“Katakan saja syarat kamu Din?!” sergah Erna tak sabar.
“Jangan seperti ini Umi, jangan terlalu keras,” ucap Andika berusaha menegur istrinya yang malah ditanggapi dengan tatapan nyalang dari Erna yang memang selalu kesal dengan sikap suaminya yang tidak pernah tegas.
“Kamu itu sama kayak Mas Mirza selalu saja membela Dina yang semakin tidak tahu diri ini.”
“Tapi kan Dina hutang juga karena terpaksa.”
Andika malah membela adik bungsunya itu.
Aku masih memilih diam, semakin lama semakin jengah mendengar perdebatan mereka. Tidak Dina, tidak juga Erna keduanya selalu saja tak pernah mau dikalahkan dan selalu saja menentang suami mereka.
“Sudah aku bilang jangan bela Dina, dia itu makin lama makin ngelunjak kalau dia kita kasih hati.”
Erna menampakkan kebencian yang teramat sangat pa
“Sekarang kamu jujur, kamu pasti menyesal kan sekarang? Iya Kan?”Arman kian menyudutkan Dina.Dina semakin murka yang membuat wanita itu menggebrak meja dengan keras.Semua orang langsung terkesiap.Aku bahkan sampai sedikit terlunjak ketika mendapati gebrakan Dina yang begitu keras.Mas Mirza langsung menggenggam tanganku lagi, mulai mencemaskan aku yang menjadi sangat kaget.“Sudahlah, kurasa kita sudah mendapatkan penyelesaian dari permasalahan Dina. Meski dengan berat hati kita harus terpaksa menjual rumah karena memang aku sudah tidak memiliki tabungan untuk menalangi rumah ini. Dina akan menyelesaikan hutangnya dengan uang hasil penjualan rumah, untuk tempat tinggal dia bersama keluarganya nanti, aku yang akan mencarikan Dina kontrakan.”Semua mendengarkan dengan seksama dan langsung memberi persetujuan.
“Apa itu Mas?”Aku mengernyit tipis.“Apa yang harus aku ketahui tentang kebahagiaan kita saat ini?”Mas Mirza malah menyunggingkan segaris senyuman, yang selalu mampu menghipnotisku membawa hatiku ke dalam sebuah rasa nyaman.“Bahwa Allah selalu mengirimkan anugerahnya di saat yang tepat.”Aku mengerutkan dahi, malah tak bisa memahami makna ucapan suamiku yang terkesan terlalu dalam itu.Padahal sebelumnya aku menerima anugerah ini dengan segala kebingungan yang meraja, karena memang calon buah hati kami hadir di saat kondisi perekonomian kami sedang turun.Aku malah disusupi ketakutan jika nantinya kami tidak bisa memberikan yang terbaik untuk calon anak kami nantinya. Tapi sekarang suamiku malah menyebut jika anugerah kehamilanku ini hadir di saat yang tepat.“Kenapa Mas me
“Aku pengen tahu bagaimana rasanya saat Ibu hamil aku dulu?”Aku kembali mengulangi pertanyaanku.Ibu mengernyitkan dahi tampak agak terkejut ketika mendengar pertanyaanku.“Kenapa kamu tanya gitu?”“Apa aku tidak boleh tahu pengalaman Ibu dulu? Ibu tahu sendiri kan kalau sekarang aku sedang hamil.”Ibu melirik lagi ke arah perutku yang sudah mulai terlihat membulat.“Dulu aku hamil kamu, aku masih muda, aku nggak sakit-sakitan kayak kamu.”Ibu masih saja melontarkan kalimatnya yang sarkas padaku.Aku tetap berusaha menghadapinya dengan sabar. Bahkan aku mulai mengembangkan senyumku.“Jadi pas Ibu hamil dulu, Ibu sama sekali nggak pernah merasa sakit?”Ibu lagi-lagi melirik ke arahku, tapi wanita itu kemudian menarik
"Kapan Mas akan ngasih aku uang buat bayar kontrakan?" sergah Dina semakin tegas.Aku mengernyit tajam ke arahnya. Dina terlihat begitu mendesak, yang membuatku malah curiga.Dengan semua kelakuan Dina yang sudah cukup aku kenal, membuatku tak lagi mudah untuk menaruh rasa percaya kepadanya.Bukan hanya sekali kami dibohongi, telah beberapa kali, Dina menipu kami.Terakhir Dina meminta uang dengan alasan untuk membayar uang sekolah Danny, tapi beberapa hari kemudian Riska malah mendatangi kami dengan mengatakan kalau sudah tiga bulan, adiknya itu belum membayar uang sekolah.Kalau kami tanyakan pada Dina, kenapa dia melakukan kebohongan itu, Dina pasti akan selalu menyalahkan Muchtar dan mengatakan kalau uang itu dipakai untuk berobat suaminya itu.Kami yang selalu menghindari perdebatan, memilih untuk tak memperpanjang masalah itu, mendiamkannya seperti yang sebelumnya selalu kami lakukan.Jadi saat Dina mendadak m
Pak Mirza, Bu Nia ... !”Seorang pemuda berlari mendekat dengan nafas tersengal.Aku melihatnya dengan hati berdebar dengan memendam firasat yang buruk.Ketika pemuda yang merupakan salah seoarang tetangga kami itu sudah berada di hadapanku, aku langsung bertanya.“Ada apa, Nuri?” tanyaku pada pemuda bertubuh ceking itu.Nuri tak langsung menjawab, masih menata nafasnya yang tersengal setelah berlari begitu jauh.Tak berselang lama Mas Mirza yang tadinya berada di dalam masjid ikut segera keluar bersama beberapa orang di sana.“Kamu itu kenapa Nuri, kok berlari kayak kesetanan gitu?” sergah salah seorang pria paruh baya yang sebelumnya ikut mengaji di dalam masjid.“Itu, itu ... Pak Mirza, pasar ... “Nuri malah menjadi tergagap sembari tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arah selatan.“Kenapa memangnya? Ada apa dengan pasar?”Mas Mirza ikut membuka suara dan bertanya.“Itu Pak, pasar besar ... kebakaran!”Nuri berucap dengan terengah-engah.Aku yang mendengarnya langsung terkesiap.Ba
“Mas Mirza ... !”Rasanya jantungku sudah nyaris berhenti ketika melihat api di belakang suamiku kian dekat menjilat.Aku sudah menganggap jika tubuh suamiku pasti akan dilalap api yang berkobar yang sudah membakar apapun yang dilewatinya.Tapi di saat yang tepat mendadak beberapa orang petugas pemadam kebakaran dan petugas keamanan langsung menarik tubuh suamiku bersama dengan etalase besar yang sejak awal dipertahankan oleh suamiku.Mereka berhasil membawa suamiku menepi sembari menggeret etalase itu hingga sampai di luar bersama bapak-bapak tetangga kami yang sejak tadi memberikan pertolongan kepada kami.Dengan hati yang bercampur aduk aku langsung menyongsong suamiku dan menghambur ke dalam pelukannya.“Mas, kenapa kamu nekat sekali, Mas ... !”Aku meluapkan kekhawatiranku dengan memukuli dadanya. 
Setelah mendengar keterangan dari dokter jika kondisi kandunganku baik-baik saja, aku langsung menarik nafas lega sembari mengucap syukur.Di tengah kecamuk cobaan yang menerpa kami masih dianugerahi kebahagiaan.Walau semuanya kini berselimut dengan serba ketidakpastian, tapi aku tetap berusaha untuk memandang persoalan dengan positif.“Alhamdulillah keadaan bayi kita baik-baik saja, bahkan Dokter Mira tadi bilang kalau tinggal tiga bulan lagi kamu akan melahirkan.”Mas Mirza yang sejak awal selalu mendampingiku, tetap berusaha untuk membesarkan hatiku.“Lalu dari mana kita akan mendapatkan uang untuk biaya persalinan? Kita bahkan belum mengurus jaminan kesehatan, karena dulu Mas bilang kalau kita memakai kartu jaminan kesehatan saat untuk berobat kita tidak akan mendapatkan pelayanan yang baik, sementara dengan keadaan kita sekarang, kita sudah tidak memiliki
Mirza POVRasanya aku semakin tak kuasa melihat penderitaan istriku. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, secara tidak langsung aku memaksanya untuk bekerja lebih keras. Pontang-panting berusaha menawarkan dagangan kami yang tersisa, untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.Sementara saudara-saudara kandungku yang dulu tak pernah berhenti mendapatkan bantuan dariku sama sekali tak menjenguk dan memberikan uluran tangannya.Terlebih Arman yang dulu pernah aku pinjami sejumlah uang, sama sekali tak menampakkan batang hidungnya.Saat aku meminjamkan uang pada adikku yang nomor tiga itu, Nia sama sekali tak mengetahuinya.Karena itu dengan diam-diam juga aku berusaha menagihnya dan uang itu akan aku gunakan untuk biaya persalinan istriku nanti.Dua hari sebelum lebaran aku mendatangi rumahnya sembari membawa barang dagangan yang baru saja selesai aku tawarkan