“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”
Aku mendesah nafas panjang.
Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.
“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”
Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.
“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”
Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.
Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.
Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.
Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m
“Gimana Mas, katakan apa rencana Mas untuk uang itu?”Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk berterus terang.Suamiku malah diam membisu memandangku dengan luruh dan kelu, seperti ada sesuatu yang berat untuk disampaikan.“Mas, katakan saja ada apa? Katakan apa yang bisa aku bantu? Aku tahu kalau Mas sekarang sedang ada masalah. Mas pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku kan?”Aku kian mencecar suamiku, pria baik yang sudah seperempat abad ini membersamaiku.“Nia, sebenarnya sangat berat buatku untuk mengatakan semua ini padamu.”Mas Mirza malah menarik nafas panjang sembari tatapannya mulai terarah pada perutku yang sedang dihuni oleh calon bayi kami, seorang anak yang sudah terlalu lama kami tunggu.“Kamu sedang hamil, harusnya kamu tidak ikut tertekan memikirkan masalah keuangan kita.”
“Apa kamu nggak malu disebut miskin sama semua orang?” sergah ibu semakin emosional.“Bu, nyatanya keadaan kita tidak sebaik sebelumnya, kumohon kendalikan diri Ibu,” jelasku berusaha memberi pengertian pada ibu yang selalu saja sangat sulit untuk diberi pengertian.“Jadi kita sudah benar-benar miskin sekarang?” jerit ibu jelas tidak bisa menerima.“Ya Allah Ibu, jangan seperti ini.”Aku berusaha mendekat meminta ibu untuk tak berteriak dengan memberi isyarat telunjukku yang aku letakkan di depan bibir.Benar-benar aku merasa seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang sedang kehilangan mainannya.Aku sedikit bisa memahami sikap ibu yang menjadi panik seperti ini. Sejak dulu ibu dibesarkan oleh keluarga yang tergolong berada, dan juga menikah dengan pria yang lumayan kaya, dengan bapakku yang bisa memenuhi apapun permintaan ibu, sebelum bapak akhirnya jatuh bangkrut yang membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga dulu.Ibu terbiasa hidup nyaman, karena itu bayangan kemiskina
“Kalau kami akhirnya bisa punya anak, terus kamu apa?”Mas Mirza menegaskan kalimatnya.Aku langsung menggeleng sembari memberi isyarat tatapan mata lugas agar Mas Mirza tak sampai kelepasan omong.Untuk saat ini aku merasa belum saatnya mengungkap tentang kehamilanku pada mereka yang pastinya juga tetap akan ditanggapi dengan nyinyir. Aku sendiri tak mengerti kenapa suamiku yang begitu baik bisa memilki adik-adik yang sering membuat kami sakit hati, walau kami sudah begitu banyak memberi pertolongan pada mereka.Tak terhitung sudah berapa banyak Mas Mirza menggelontorkan dana untuk adik-adiknya di saat kami jaya dulu. Tapi mereka tak pernah membalasnya dengan kebaikan. Kalaupun mereka membantu selalu saja ada pamrihnya. Seperti bantuan Dina saat ini yang bersedia ikut melayani di toko, tapi dengan imbalan yang kurasa lumayan besar.Meski dalam keadaan kami yang cukup
“Mas ... !”Mas Mirza langsung melirikku tapi saat melihat dadanya yang naik turun aku bisa menduga kalau amarahnya saat ini belum sepenuhnya mereda.Tatapannya kemudian nyalang terarah pada ketiga adiknya yang sudah begitu kelewatan.“Mas, kamu dan Mbak Nia kan nggak punya anak, jadi sudah sewajarnya kalau Mas memberikan warisan pada anak-anak kami. Salah Mas sendiri yang masih bertahan dengan wanita mandul, jadi sampai tua Mas nggak punya keturunan.”Arman kian sarkas mengomentari.Telingaku sudah sangat panas mendengarnya.Pun dengan Mas Mirza yang sekarang tampaknya sudah tak bisa menahan diri.“Siapa bilang Nia mandul, istriku bukan wanita mandul, bahkan sekarang kami sedang menunggu kelahiran putra pertama kami.”Aku hanya bisa mendesah panjang ketika akhirnya Mas Mirza mulai
“Apa kalian melakukan program bayi tabung, hingga Mbak Nia bisa hamil?” cecar Dina pada kami ketika pengunjung terakhir toko kami sudah berlalu.Aku tak segera menjawab malah menatap pada Mas Mirza dengan lurus. Kali ini entah perkara apalagi yang akan dibuat oleh adik bungsu suamiku itu.Mas Mirza menanggapi dengan jengah, tampak enggan untuk menjawab apapun.“Mas Mirza selalu bilang tak memiliki uang, dan sering ngomong kalau toko tak seramai dulu, tapi kalian malah bisa melakukan program bayi tabung dengan tanpa banyak pertimbangan, di saat aku sedang membutuhkan banyak uang untuk sekolah anak-anakku.”Dina selalu saja menjadikan anak-anaknya sebagai alasan.Riska dan Danny adalah anak-anak baik yang seringkali membongkar kebusukan ibunya sendiri. Bahkan terakhir Riska mengatakan padaku kalau dia berhasil mendapatkan program beasiswa, jadi
“Soal apa sih?” tanyaku menjadi penasaran.“Soal suaminya Jeng Nia yang mereka bilang akan jatuh bangkrut.”Aku menarik nafas panjang.Mereka pasti selama ini mengamati perubahan di dalam rumah tangga kami. Tentang aku yang menjadi sangat jarang memborong banyak belanjaan di tokonya Narti, menyumbang sekedarnya saja saat ada tarikan sumbangan, tak lagi mengadakan acara makan-makan setiap satu bulan sekali di malam jumat untuk acara rutin kirim doa. Juga banyak hal lagi lainnya yang sekarang memang tak lagi aku dan Mas Mirza lakukan demi bisa mengatur keuangan keluarga kami dengan baik.Aku terdiam sejenak kemudian memilih menggelengkan kepala saja tanpa berkomentar apapun.Sampai akhirnya arisan dimulai dan dikocok lalu namaku disebut.“Bu Mirza yang dapat!” seru Ibu RT yang juga ketua PKK kampung kami.
“Minta uang lagi buat apa Bu?” tanyaku jengah pada ibu yang kembali meminta uang saat kami baru saja pulang dari pasar.“Pakai nanya buat apa? Biasanya kamu itu nggak pernah nanya-nanya juga,” balas ibu dengan bersungut-sungut.Mas Mirza langsung menyentuh lembut pundakku berusaha untuk meredam emosiku yang sudah mulai meletup karena saat ini aku sudah menyergap ibuku sendiri dengan tatapan tajam.Saat bapak masih hidup dulu, beliau yang selalu menjadi sasaran keegoisan ibu, sekarang giliran aku yang harus merasakannya.Sejak dulu ibu memang tipikal orang yang manja dan egois. Segala permintaannya harus dipenuhi. Bapak yang selalu meratukan ibu, kala itu selalu bisa melakukannya, tapi sekarang aku, rasanya aku sudah nyaris kehilangan kesabaran.“Nia nanya baik-baik Bu.”Mas Mirza menatap lembut ke arah ibuku yang masih saja menampakkan wajah masamnya.“Ibu minta uang buat apalagi? Bukankah kemarin kami sudah memberinya saat Nia dapat arisan?”“Itu sudah habis, buat beli bedak dan make
“Katakan sebenarnya apa yang sedang terjadi?” tanya Mas Mirza tegas.Nyatanya Andika dan Arman malah memandang tajam ke arah Dina yang masih setia menunduk.Aku segera bisa menduga jika saat ini pasti Dina sudah membuat masalah.“Sebaiknya Mas tanyakan saja pada Dina,” tegas Andika kian menampakkan kegeraman pada adik bungsunya itu.Tatapan Mas Mirza segera beralih pada wanita bertubuh besar di dekatnya. Perawakan Dina memang berbeda dengan suamiku yang sejak muda memiliki tubuh proporsional. Wanita berumur menjelang 50 tahun itu setelah memiliki dua anak tubuhnya kian hari kian melar.“Ada apa Din?” tanyaku Mas Mirza baik-baik.Tapi Dina malah menanggapi pertanyaan suamiku dengan sikapnya yang culas.“Apa Mas mau menyalahkan aku juga? Iya begitu?!”Dina membentak dengan