“Hamil?!”
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang sudah aku dengar hingga aku menaikkan nada bicaraku setelah dokter memastikan tentang hasil pemeriksaanku.
“Aku hamil Dok?!”
Kali ini aku menggeleng sembari tersenyum satir, seakan menertawakan kabar yang sebenarnya sudah terlalu lama aku tunggu, nyaris hampir 25 tahun silam.
Rasanya berita ini sangat tak bisa aku terima dengan akalku.
Bagaimana mungkin aku yang awalnya memeriksakan diri tentang kemungkinan aku yang sudah mulai memasuiki masa menopause karena sudah satu bulan ini tak lagi mendapat tamu bulanan, malah dikagetkan dengan kabar yang sangat di luar dugaan ini.
Untuk saat ini aku menerima kabar itu dengan hati yang penuh kebimbangan. Meski ada rasa bahagia, tapi aku juga tak bisa mengabaikan rasa bimbangku.
“Hasil pemeriksaan ini sama sekali tak diragukan Bu,” ucap dokter berhijab di hadapan kami yang sejak tadi berusaha menjelaskan dengan gamblang tentang kehamilanku yang sudah aku ragukan sendiri.
Segera aku bisa merasakan jika sekarang Mas Mirza sudah menggenggam tanganku dengan erat. Untuk ke sekian kalinya dia kembali mendukungku atas setiap fragmen penting di dalam hidupku, sejak kami dipersatukan dalam mahligai pernikahan, 25 tahun silam.
“Apa kehamilan istri saya di usianya yang sudah tidak muda lagi akan membawa dampak negatif nanti?”
Kali ini suamiku bertanya dengan mengunggah rasa khawatirnya.
Mas Mirza melirikku sesaat.
Aku hanya bisa menanggapinya dengan desahan panjang, menunggu dokter di hadapan kami memberikan penjelasan.
“Untuk kehamilan di atas 35 tahun memang sudah termasuk tergolong beresiko tinggi, terlebih untuk ibu yang sudah di atas lima puluh tahun bahkan seharusnya sudah menyambut masa menopause.”
Sontak aku dan Mas Mirza saling bersitatap memendam kegundahan yang tak lagi bisa kami tampik.
“Lalu bagaimana dengan saran Dokter?” tanya Mas Mirza tetap digayuti kegusaran. Aku tahu suamiku tetap akan memprioritaskan kesehatanku.
“Apa aku harus tetap melanjutkan kehamilan ini Dok?” Aku ikut menimpali yang kemudian segera menarik perhatian Mas Mirza padaku dengan tatapannya yang tajam dan nyalang.
Jelas opsi untuk menghentikan kehamilanku tak akan pernah suamiku setujui karena bagaimanapun kami sudah sangat lama menunggu momen seperti ini.
Aku menggeleng tanpa sadar masih saja tak bisa menerima dengan akal sehat apa yang sedang terjadi saat ini. Aku sama sekali tak menduga tentang kehamilan ini. Bahkan aku sempat menganggap jika selama tiga bulan aku tak lagi mendapatkan menstruasi itu karena aku sudah mulai memasuki masa menopause.
Bagiku mengandung dan melahirkan anak sudah aku anggap sebagai hal yang terlalu mustahil. Bagaimana mungkin aku yang sempat dinyatakan infertil mendadak mengandung, bahkan di saat usiaku tak lagi muda. Tahun ini aku bahkan sudah menginjak 51 tahun, rasanya sangat mustahil jika aku bisa mengandung di usia yang seharusnya mulai memasuki masa menopause ini.
Sekarang aku menerima kabar ini dengan hati yang diliputi kebingungan.
Akan sangat berbeda jika hal membahagiakan ini mendatangi kami di saat kami masih muda, ketika dulu kami masih begitu berharap akan datangnya buah hati di saat-saat awal pernikahan.
“Apa Dokter tidak salah diagnosa, Dok?”
Aku kembali bertanya malah meragukan analisa dari seorang dokter kandungan terbaik di kota kami.
Mas Mirza yang masih menggenggam tanganku langsung menyentak tipis sembari menegaskan tatapan matanya, seakan tak menyetujui dengan keraguan yang aku ungkapkan saat ini.
“Bapak dan Ibu bisa langsung melakukan USG untuk melihat pergerakan bayi di dalam perut Ibu Shania. Kita bisa melakukannya sekarang, karena mengingat usia kandungan Ibu sudah cukup untuk bisa melihat pergerakan bayi.”
Dokter itu kembali meyakinkan kami.
Aku mendesah panjang, segera disergap keraguan yang membuatku gagu.
Aku bahkan tak bisa mencerna dengan pikiran jernih tentang kehamilanku yang masih aku anggap terlalu tidak masuk akal ini.
“Mas, bagaimana ini, aku hamil Mas?”
Aku meluapkan kebingunganku di hadapan Mas Mirza yang sekarang malah aku lihat tersenyum lebar.
“Alhamdulillah, bukankah kita sudah lama menunggu kabar gembira ini?”
Aku bisa merasakan dengan jelas kalau sekarang Mas Mirza berusaha membesarkan hatiku. Nyatanya suamiku terlihat lebih siap menerima kabar yang terlalu mengagetkan ini.
“Tapi Mas, aku ....”
“Seharusnya kita bersyukur Nia, Allah sudah menjawab doa-doa kita selama ini.”
Mas Mirza langsung menyela cepat keraguanku.
Setelah itu Mas Mirza mulai mengalihkan perhatian pada sosok dokter di depan kami.
“Lalu apa yang harus kami lakukan agar istri saya bisa melewati kehamilan ini dengan baik, meski usianya sudah tidak muda lagi?”
Wanita berhijab dengan wajahnya yang teduh itu mulai memandang kami dengan ekspresi yang lebih serius.
“Meski ini kehamilan yang riskan, dan sangat tak disarankan untuk mengandung di usia menjelang menopause, apalagi untuk kehamilan pertama, tapi jika Ibu rutin memeriksakan kehamilan dan berhati-hati dalam menjalani kehamilan ini, Insya Allah segalanya bisa baik-baik saja. Jangan lupa untuk menjaga asupan gizinya selama mengandung. Nanti saya akan memberi rincian tentang makanan dan minuman yang baik dikonsumsi saat hamil.”
Dokter yang memiliki kerutan di ujung matanya itu langsung memindaiku lebih lekat.
“Yakinlah dan bertawakal saja pada Allah jika kehamilan ini bisa Ibu lalui dengan baik.”
Wanita baik hati itu berusaha membesarkan hatiku. Aku sangat bersyukur Tuhan sudah memberikan petunjuk pada kami untuk mendatangi seorang dokter yang tepat yang sama sekali tak menyarankan pada kami untuk melakukan aborsi meski aku harus menanggung resiko besar selama menjalani kehamilan di usia yang sudah tidak muda lagi.
Aku mulai tertulari vibes positif mereka, Dokter Mira dan suamiku yang selalu sabar dan menggantungkan segala hal pada takdir dan ketentuan Tuhan.
Aku mulai melirik pada Mas Mirza dan perlahan membalas genggaman tangannya.
“Aku yakin kamu pasti bisa, Nia.”
***
“Bagaimana apa kata dokter, Nia?” tanya Ibu ketika kami baru saja masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh pertanyaan yang menyiratkan dari ibuku.
Aku mendesah panjang sejenak, memandang lurus pada wanita yang sudah melahirkan aku itu, yang sejak ayah berpulang memutuskan untuk tinggal bersama kami.
Sejurus kemudian aku mulai mengulas senyuman, yang sebenarnya adalah untuk menenangkan diriku sendiri, yang masih belum sepenuhnya tenang.
“Aku tidak apa-apa kok Bu,” jawabku datar.
“Kalau nggak kenapa-kenapa, kamu kok sering muntah, sering pusing dan badan kamu lemas?” Ibuku terus saja mencecar.
“Nia memang tidak apa-apa Bu,” sahut Mas Mirza cepat yang sekarang sudah mulai duduk di sampingku.
Mas Mirza kemudian mulai melirikku sejenak.
“Nia seperti itu karena dia sekarang sedang hamil,” jawab Mas Mirza lugas.
Ketika mendengar kabar itu Ibu malah membeliakkan mata dan menatap kami tajam.
“Hamil?!”
Aku dan Mas Mirza mengangguk bersamaan.
Tapi nyatanya ibu menanggapi dengan gelengan kepala tegas. Wanita yang sudah melahirkan aku itu terlihat tak bisa menerima kabar yang sudah kami sampaikan.
Aku menganggap ibu mungkin terlalu kaget.
“Kamu hamil Nia? Di saat keadaan kita sedang sangat sulit seperti ini kenapa kamu malah hamil? Bukannya dulu kamu sempat dinyatakan mandul. Kok sekarang mendadak kamu malah hamil. Ini yang benar yang mana?”
Ibu terlihat gusar sekarang. Sikapnya sangat jelas menunjukkan sebuah penampikkan.
Aku langsung ikut tersengat gelisah, menjadi kembali gusar bila mendapati sikap ibu yang sama sekali tak bisa menerima kehamilanku.
“Mungkin saat awal kami melakukan pemeriksaan bertahun-tahun dulu itu ada sesuatu yang salah. Lagipula kami tak melakukan pemeriksaan lagi di tempat lain untuk mencari second opinion.”
Mas Mirza berusaha untuk menjelaskan.
Ibu tetap kurang bisa berkenan.
“Aku anggap semua ini sudah terlalu terlambat buat kalian.”
Tatapan ibu kian terunggah tajam pada kami.
“Apa kalian tidak sadar berapa usia kalian sekarang?”
Aku dan Mas Mirza langsung berpandangan.
“Kalian itu sudah tidak muda lagi. Bahkan usaha kalian sekarang sedang mengalami penurunan. Kamu saat ini saja sudah nggak bisa menggaji satu karyawanpun dan selalu mengandalkan tenaga Shania untuk membantu kamu di toko. Kalau Shania hamil, dia pasti akan menjadi sangat lemah dan tak bisa melakukan apapun.”
Ibu mulai mengungkit tentang usaha toko pakaian Mas Mirza yang sekarang tidak berjalan dengan baik. Sejak toko online gencar menggempur usaha perniagaan kami mulai kian surut. Sementara kami sedikit kesulitan untuk mengikuti perkembangan jaman.
“Bu, bagaimanapun kehamilan Shania adalah anugerah yang seharusnya kita syukuri.” Mas Mirza berusaha untuk meyakinkan ibu tentang kehamilanku.
Ibu masih saja bersikeras dengan pendapatnya.
Tatapan ibu kemudian kembali menyergapku dengan sarkas.
“Aku yakin anak yang ada dalam kandungan kamu itu hanya akan menjadi anak pembawa sial.”
Aku tersentak ketika mendengar kata-kata ibu yang sangat menyudutkan, terasa sangat menyakiti hati. Benar-benar tak bisa aku duga.
Aku lalu membalas tatapan ibu.
“Kalau begitu apa yang harus kami lakukan dengan anak yang ada di dalam kandunganku ini?”
***
“Kalau begitu apa yang harus kami lakukan dengan anak yang ada di dalam kandunganku ini?”Aku menegaskan kata-kataku, membalas pernyataannya yang sempat melukai hatiku itu.Nyatanya ibu malah diam meski wajahnya sekarang menjadi bersungut-sungut.“Yang jelas sekarang aku sudah hamil Bu, bahkan kami sudah menunggu kehamilan ini sangat lama.”Aku mulai mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku.Meski awalnya aku sempat bimbang tapi setelah tadi aku melihat sendiri rupa bayiku yang terpampang di layar USG, rasa sayangku langsung terunggah, mengikis segala ragu yang sempat menyergapku ketika aku pertama kali mendengar kabar yang sangat di luar dugaan ini.“Tapi kalian sudah sangat terlalu terlambat,” tegas ibu dengan tatapan yang tajam nan sarkas.“Kalian berdua sudah tua. Usia kamu saja sekarang sudah 51.”Ibu kian lugas menyudutkan.“Nanti kalau pas melahirkan kamu sudah 52, terus pas anak kalian masuk sekolah, kamu sudah 57. Kamu jadi makin tua, dan bisa jadi anak kamu akan manggil
“Assalamualaikum.”Sapaan salam yang terdengar langsung mengalihkan perhatianku bersama Mas Mirza ke arah sosok yang perempuan bertubuh bongsor yang bahkan sedang mengembangkan senyuman manisnya ke arah kami.Aku langsung membalasnya dengan keramahan yang wajar sembari berusaha mengikis segala praduga yang sering tak bisa aku hindari bila melihatnya datang untuk menemui Mas Mirza, kakak tertuanya.“Wa’alaikumsalam, Dina, pagi sekali kamu datang?”Mas Mirza langsung meletakkan sarapannya yang belum ia sentuh.Wanita berwajah lebar itu langsung mendekat, dan hanya sekilas melirikku.Aku sedikit beringsut menjauh untuk memberikan celah pada adik iparku untuk berbicara dengan kakaknya.“Mau sarapan ya Mas?”Dina terlihat mulai berbasa basi.“Ayo kalau mau, bergabung sarapan sekalian,” ajakku segera.Wanita beranak tiga itu langsung menggeleng ketika melihat menu sarapan kami yang kelewat sederhana.“Tumben kok cuma makan tempe?”“Iya, Alhamdulillah disyukuri saja Din, “ balas Mas Mirza da
“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”Aku mulai bertanya dengan gamang.Mas Mirza masih saja memandangku.“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.Aku langsung membalas tatapan suamiku.“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”Aku masih mengulas senyumku.“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perka
“Ide apa Mas?” tanyaku ingin tahu.“Bagaimana kalau kita minta bantuan Dina, agar dia mau membantu kamu di toko, cuma setengah hari saja, pas aku sudah meninggalkan kamu untuk berkeliling?”Mas Mirza terdengar hati-hati menyampaikan idenya.Aku mengernyit tipis, memikirkan dengan baik usulan suamiku.Untuk beberapa saat aku tak memberikan tanggapan, masih gamang untuk memutuskan.Kalau saja adik iparku adalah sosok yang bisa dipercaya, pasti dengan sangat senang hati aku menerima tawaran Mas Mirza.Tapi aku yang sudah lama mengenal adik suamiku itu dengan sifatnya yang suka mengambil uang kami seenaknya, ditambah dengan sikapnya yang suka mengomentari apapun dan siapapun, menjadi harus berpikir dua kali untuk mempekerjakan wanita seperti itu.“Aku tahu, Dina pasti sangat tidak kamu harapkan untuk mendampingi kamu di toko.”Mas Mirza kemudian menghela nafasnya lagi.“Dina memang orangnya susah seperti itu, juga tidak bisa dipercaya, kalau kamu lengah sedikit saja pasti dia mengambil se
“Cukup ... !”Aku menjadi kehilangan kendali.Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.“Kamu membentak ibu?!”Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... ““Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar a
“Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak