“Kalau begitu apa yang harus kami lakukan dengan anak yang ada di dalam kandunganku ini?”
Aku menegaskan kata-kataku, membalas pernyataannya yang sempat melukai hatiku itu.
Nyatanya ibu malah diam meski wajahnya sekarang menjadi bersungut-sungut.
“Yang jelas sekarang aku sudah hamil Bu, bahkan kami sudah menunggu kehamilan ini sangat lama.”
Aku mulai mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku.
Meski awalnya aku sempat bimbang tapi setelah tadi aku melihat sendiri rupa bayiku yang terpampang di layar USG, rasa sayangku langsung terunggah, mengikis segala ragu yang sempat menyergapku ketika aku pertama kali mendengar kabar yang sangat di luar dugaan ini.
“Tapi kalian sudah sangat terlalu terlambat,” tegas ibu dengan tatapan yang tajam nan sarkas.
“Kalian berdua sudah tua. Usia kamu saja sekarang sudah 51.”
Ibu kian lugas menyudutkan.
“Nanti kalau pas melahirkan kamu sudah 52, terus pas anak kalian masuk sekolah, kamu sudah 57. Kamu jadi makin tua, dan bisa jadi anak kamu akan manggil kamu, nenek, bukan ibu.”
Ibu semakin bersungut-sungut.
“Itu kalau kamu bisa melahirkan dengan selamat. Kalau tidak, bisa saja kamu tidak akan selamat melewati masa persalinan, dan nantinya anak ini hanya akan menjadi beban bagi suami kamu, yang sekarang saja sudah tidak becus untuk menafkahi keluarga.”
Kata-kata ibu semakin lama semakin menyakitkan.
Bagaimana mungkin ibuku sendiri bisa mengatakan hal sekejam itu, bahkan menggambarkan dengan sangat lugas tentang kemungkinan aku yang tidak akan bisa selamat melewati masa persalinan.
Jelas ucapan ibu membuat hatiku kian ciut. Aku menjadi tertekan sekarang.
Tapi Mas Mirza yang masih mendampingiku langsung menggenggam tanganku, kembali meyakinkan dan menguatkan hatiku.
“Ibu, kenapa Ibu tidak mendoakan agar Shania bisa melahirkan dengan selamat?” Mas Mirza berupaya untuk mengingatkan ibuku yang masih saja sengit menentang kehamilanku yang dianggapnya sudah sangat terlambat.
“Nyatanya memang sudah bukan masanya bagi Shania untuk melahirkan dan menjadi seorang ibu. Aku sudah menegaskan pada kalian kalau kehamilan Shania sudah sangat terlambat.”
Tatapan ibu kian menajam ke arah kami berdua.
“Sebaiknya kalian gugurkan saja kandungan kamu itu.”
Aku terbeliak menatap pada ibu yang baru saja melontarkan ide gila yang jelas tak akan bisa aku terima.
Terlebih dengan Mas Mirza, suamiku itu langsung meradang menampakkan kemarahan dengan sangat lugas.
“Benar-benar saran yang sangat gila.”
Mas Mirza menentang dengan keras.
Ibu membalas tatapan Mas Mirza dengan sama tegasnya.
“Apa Ibu sadar dengan apa yang sudah Ibu ucapkan? Ibu meminta kami untuk menggugurkan kandungan Shania? Ibu ingin kami membunuh anak kami sendiri, anak yang sudah kami nantikan selama lebih dari 25 tahun?”
Mas Mirza mencecar mengunggah kekecewaannya dengan sangat nyata.
“Kalau Ibu mengkhawatirkan tentang kemampuanku untuk menghidupi keluargaku, percayalah soal rejeki, Allah sudah mengatur semuanya. Aku tidak akan meragukan apapun soal itu Bu.”
Mas Mirza masih tak terlihat surut dengan keyakinannya meski ibuku dengan tegas sedang meragukannya.
Ibu masih saja bersungut-sungut.
“Kalian memang tidak bisa diingatkan, lihat saja nanti, kalian pasti akan menjadi bertambah susah dengan adanya anak itu.”
“Bu, cukup jangan terus meragukan aku dan Mas Mirza. Tolonglah doakan kebaikan bagi kami berdua, Ibu adalah ibuku, di mana keridhoan Ibu akan bisa membuka keridhoan Tuhan buat kami.”
Aku mengingatkan ibu dengan sangat memohon.
Ibu menanggapiku dengan sikapnya yang tak rela.
“Sudahlah sekarang, cepat kamu masak aku sudah lapar. Ingat jangan sampai karena kehamilan kamu itu kamu menjadi melupakan kepentingan ibu.”
Setelah itu ibu bangkit dari kursi meninggalkan aku dan Mas Mirza begitu saja.
Aku dan suamiku kembali berpandangan.
Hatiku terasa sesak sekarang, ternyata kehamilanku ini tak akan berlangsung dengan mudah. Apa yang pernah aku impikan dulu tentang segala hal bahagia yang akan bisa aku terima ketika aku mengandung nyatanya tak sejalan dengan kenyataan yang ada.
Hanya satu yang masih harus aku syukuri dengan sepenuh hatiku bahwa aku memiliki seorang suami yang selalu suportif.
Pria berwajah teduh yang sebagian rambutnya mulai memutih itu memandangku dengan lembut.
“Percayalah semua yang dikatakan ibu tidak benar, anak kita tidak akan pernah menjadi anak pembawa sial. Dia adalah anugerah dari Allah untuk kita. Allah sedang menaikkan level kita dengan memberikan anugerah indah itu dalam hidup kita. Jadi jangan pernah berprasangka buruk apapun walau kamu lihat keadaan kita sangat memburuk saat ini.”
Aku mengangguk dalam diam, membenarkan setiap kata yang baru saja diucapkan suamiku.
Setelah itu aku merebahkan kepalaku pada pundaknya sebagaimana aku selalu menyandarkan diriku selama ini, karena nyatanya saat ini aku memang membutuhkan tempat untuk bersandar sampai beberapa saat saja.
***
“Bagaimana Mas, apa sudah dapat pelaris hari ini?” tanyaku ketika aku baru saja datang ke pasar dengan membawa sarapan pagi untuk suamiku yang sudah lebih dulu datang untuk membuka toko dan mendasar barang dagangan kami.
Mas Mirza menjawabku dengan seulas senyuman.
“Hari ini Allah memberikan kita rejeki sebungkus kerupuk dan seikat kangkung.”
Mas Mirza langsung menunjukkan semua itu padaku.
Aku bisa menebak kalau kerupuk dan kangkung itu berasal dari para pedagang dasaran yang selalu berjualan di depan toko kami saat pagi buta sebelum toko pakaian kami buka.
Mereka memberikan apapun yang mereka perdagangkan dengan sekedarnya sebagai ucapan terima kasih karena mereka sudah diperbolehkan berjualan di teras toko kami saat pagi buta dengan gratis tanpa membayar sewa.
“Mas, hari ini kita sudah janji pada ibu untuk memberikan beliau uang buat membayar arisan.”
Walau ibu sudah berusia lanjut nyaris 73 tahun tapi beliau masih sangat sehat dan sangat aktif dengan kegiatan di kampung kami. Bahkan beliau masih ikut perkumpulan arisan bersama ibu-ibu di rumah lamanya, yang letaknya hanya bersebelahan dengan kampung tempat tinggal kami saat ini.
“Belum lagi ibu juga minta kita masak asem-asem daging buat nanti malam karena adik-adikku akan datang berkunjung.”
Aku langsung mengutarakan keresahanku.
Mas Mirza memandangku lurus. Saat ini aku bisa menangkap kegusarannya walau dengan cepat suamiku yang penyabar itu menutupinya dengan senyuman tipis.
“Insya Allah, Allah akan memberikan rejeki pada kita hari ini. Kita jemput bersama-sama rejeki itu nanti, sekarang kita sarapan dulu ya.”
Aku menuruti ajakan suamiku dan segera menyiapkan menu sederhana yang baru saja aku masak itu di atas lembaran tikar di lantai toko kami yang semakin lama barang dagangannya kian menyusut.
Sudah sejak enam bulan terakhir ini kami bahkan tak lagi membutuhkan seorang karyawanpun untuk melayani para pelanggan yang kian lama kian surut.
Ketika sepiring nasi dengan lauk tempe goreng dan sambal terasi aku sodorkan, Mas Mirza menerimanya dengan mengucap rasa syukur.
“Kamu juga makan yang banyak, sayang,” ucap Mas Mirza selalu memberikan perhatian besarnya untukku.
Aku mengangguk dan mulai menyantap makanan yang sudah aku siapkan sendiri.
Sampai akhirnya aku menyadari Mas Mirza menatapku dengan dalam dan intens.
“Apa yang sedang Mas pikirkan?” tanyaku penuh selidik. Aku selalu tak bisa melihat jika suamiku yang selalu bertanggung jawab pada keluarganya tampak sedang digayuti mendung seperti itu.
Nyatanya Mas Mirza malah menggelengkan kepala dengan masih berusaha untuk menyunggingkan senyumnya.
“Aku akan berusaha untuk mendapatkan uang agar aku bisa segera membelikan kamu susu hamil. Aku tak mau anak kita menjadi kekurangan gizi, bahkan sekarang saja kamu hanya makan tempe dan sambal.”
Dengan tangan gemetar Mas Mirza menyentuh perutku yang masih datar.
Selalu saja hatiku trenyuh bila mendengar ucapan suamiku yang terdengar seperti sedang menyalahkan dirinya sendiri.
Kini ganti aku yang harus menebarkan sebuah keoptimisan di hadapannya.
“Kita akan berusaha bersama, dan aku berdoa semoga Allah membuka pintu rejeki kita hari ini.”
Aku ikut mengulas senyuman, yang langsung menulari Mas Mirza dengan aura keyakinan yang sama.
“Aamiin ....”
Mas Mirza langsung mengaminkan doaku.
Sejurus kemudian baru saja kami berucap mendadak terlihat sosok yang tak asing datang memasuki toko kami, yang membuat kami langsung menoleh ketika mendengar suaranya.
“Assalamualaikum.”
***
“Assalamualaikum.”Sapaan salam yang terdengar langsung mengalihkan perhatianku bersama Mas Mirza ke arah sosok yang perempuan bertubuh bongsor yang bahkan sedang mengembangkan senyuman manisnya ke arah kami.Aku langsung membalasnya dengan keramahan yang wajar sembari berusaha mengikis segala praduga yang sering tak bisa aku hindari bila melihatnya datang untuk menemui Mas Mirza, kakak tertuanya.“Wa’alaikumsalam, Dina, pagi sekali kamu datang?”Mas Mirza langsung meletakkan sarapannya yang belum ia sentuh.Wanita berwajah lebar itu langsung mendekat, dan hanya sekilas melirikku.Aku sedikit beringsut menjauh untuk memberikan celah pada adik iparku untuk berbicara dengan kakaknya.“Mau sarapan ya Mas?”Dina terlihat mulai berbasa basi.“Ayo kalau mau, bergabung sarapan sekalian,” ajakku segera.Wanita beranak tiga itu langsung menggeleng ketika melihat menu sarapan kami yang kelewat sederhana.“Tumben kok cuma makan tempe?”“Iya, Alhamdulillah disyukuri saja Din, “ balas Mas Mirza da
“Jadi Mas, apa sebaiknya kita memang harus merahasiakan kehamilanku dulu?”Aku mulai bertanya dengan gamang.Mas Mirza masih saja memandangku.“Aku yakin ibu tak akan bisa merahasiakan hal itu karena kita memang sudah memberitahu beliau. Tak ada yang harus dirahasiakan juga Nia, lama-lama semua orang juga tahu dengan kehamilan kamu.”Sekarang aku malah tak bisa menahan senyumku saat membayangkan reaksi orang-orang bila mereka mengetahui tentang kehamilanku, di saat sebelumnya semua orang sudah menganggap aku sebagai wanita yang mandul.“Kenapa kamu malah tersenyum sendiri?” tanya Mas Mirza saat melihat senyumku yang terulas.Aku langsung membalas tatapan suamiku.“Mas, kira-kira apa ya yang akan orang-orang bilang saat mengetahui aku hamil.”Mas Mirza malah menggelengkan kepala pelan.“Bisa saja mereka ikut bahagia, atau bahkan kasihan, bisa juga tidak senang, akan ada banyak tanggapan nantinya, Nia.”Aku masih mengulas senyumku.“Kalau ada yang bilang, Pak Mirza makin tua makin perka
“Ide apa Mas?” tanyaku ingin tahu.“Bagaimana kalau kita minta bantuan Dina, agar dia mau membantu kamu di toko, cuma setengah hari saja, pas aku sudah meninggalkan kamu untuk berkeliling?”Mas Mirza terdengar hati-hati menyampaikan idenya.Aku mengernyit tipis, memikirkan dengan baik usulan suamiku.Untuk beberapa saat aku tak memberikan tanggapan, masih gamang untuk memutuskan.Kalau saja adik iparku adalah sosok yang bisa dipercaya, pasti dengan sangat senang hati aku menerima tawaran Mas Mirza.Tapi aku yang sudah lama mengenal adik suamiku itu dengan sifatnya yang suka mengambil uang kami seenaknya, ditambah dengan sikapnya yang suka mengomentari apapun dan siapapun, menjadi harus berpikir dua kali untuk mempekerjakan wanita seperti itu.“Aku tahu, Dina pasti sangat tidak kamu harapkan untuk mendampingi kamu di toko.”Mas Mirza kemudian menghela nafasnya lagi.“Dina memang orangnya susah seperti itu, juga tidak bisa dipercaya, kalau kamu lengah sedikit saja pasti dia mengambil se
“Cukup ... !”Aku menjadi kehilangan kendali.Seketika ibu langsung membeliakkan mata menatapku dengan sangat tajam.“Kamu membentak ibu?!”Aku mendesah panjang dan menatap ke arah ibu dengan luruh. Bahkan sekarang kepalaku terasa teramat pening, aku sedikit merasa tertekan dengan penampikkan ibu atas kehamilanku yang sepertinya sangat tak ia inginkan.Tak ada yang bisa aku lakukan selain menundukkan kepala, menjadi tak sanggup menentang tatapan ibu, yang dipenuhi aura kecewa.“Bu, tolong mengertilah, keadaan Nia sedang kurang sehat sekarang. Aku mohon juga jangan selalu menyalahkan dia. Nia sedang hamil dan pastinya dia tidak boleh stress.”Mas Mirza berusaha memberi pengertian pada ibuku.Tapi wanita yang sudah melahirkan aku itu menanggapi dengan cibiran nyinyir.“Kalau begini aku yang malah jadi stress, mau makan aja jadi susah ... ““Ibu sendiri yang bikin semua susah, bukankah Nia sudah bilang kalau mau makan Ibu tinggal menghangatkan asem-asem daging di kulkas. Sekarang biar a
“Terus aku harus bagaimana dong?”Aku mencecar ibuku yang sekarang bahkan menatapku semakin tajam.“Aku sudah terlanjur hamil Bu, dan aku semakin sayang nih sama calon bayiku.”Aku mulai mengelus perutku meski masih belum terlihat membuncit.Ibu memandangku nyinyir.“Harusnya kamu itu ... ““Jangan bilang kalau Ibu tetap akan menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Lha emang dokter yang kamu datangi itu nggak menjelaskan apapun tentang kehamilan kamu di usia menjelang senja seperti ini?”“Banyak yang sudah dijelaskan oleh Dokter Mira, tapi beliau sama sekali tak pernah menyarankan aku untuk melakukan aborsi.”“Tapi orang-orang bilang kalau kamu hamil di usia tua, resikonya sangat besar, dan bisa saja nyaw
“Ada apa ya?” tanyaku pada mereka yang masih bertahan untuk menelisikku dengan sangat lekat.Tapi ketika melihat sorot mata mereka yang kemudian terarah pada perutku, aku segera bisa menebak kalau mereka pasti sedang bertanya-tanya tentang kehamilanku.Aku yakin pasti ibu sudah menyebarkan tentang kabar ini hingga sekarang para tetanggaku itu menjadi sangat penasaran terlihat jelas dari tatapan mereka yang sedemikian intens padaku.Seorang wanita berambut berantakan langsung mendekat. Aku yakin waktu dia datang ke warung dia bahkan belum menyisir rambut ikalnya yang semrawut itu.“Hey Jeng Nia, apa bener kalau Jeng itu sekarang hamil?”Tapi sebelum aku menjawab Mbak Narti langsung menyahut.“Kalau hamil ya nggak masalah juga dong Ci, lha wong Jeng Nia ini punya suamiku kok, anaknya juga bukan anak haram nantin
{“Ayolah kasih tahu mbak, apa kejutan kamu?”} Aku kian penasaran, sementara Sharma malah terdengar tergelak dari seberang sana.{“Kalau aku kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan lagi dong.”}Aku mendengus tak sabar.Adikku yang menjadi pemborong di pulau sebarang itu masih saja terkekeh.{“Nanti aja Mbak Nia pasti akan tahu sendiri. Ya udah Mbak ya Mbak aku lain kali kita sambung lagi, oh iya kalau ibu bikin masalah lagi jangan lupa untuk cerita sama aku dan Shandy, kami tahu benar kok kalau selama ini ibu kita memang seringkali rewel dan nggak masuk akal. Kita akan membantu sebisanya, meski aku dan Shandy tinggal di kota yang berbeda.”}Adikku yang nomor dua itu memang sangat pengertian. Pun dengan adik lelakiku yang bungsu, cukup perhatian juga pada masalah-masalah yang sering ditimbulkan ibu selama tinggal bersamaku. Tak ada satupun dari mereka yang menyalahkan aku, jika ibu mulai mengeluh dan menjelekkan aku. Mereka sudah sangat tahu bagaimana karakter ibu, karena memang sejak
“Kalau aku bilang Mas Mirza nggak punya uang itu, apa yang akan Ibu lakukan?”Aku mendesah nafas panjang.Tapi ibu sontak menegaskan tatapannya ke arahku.“Apa kamu bilang tadi? Mirza nggak punya uang?”Aku mengangguk pelan, memalingkan wajah enggan membalas tatapan ibu yang sekarang bahkan sudah dipenuhi emosi.“Kamu pasti bohong, lha wong Mirza punya toko sebesar itu mana mungkin nggak punya uang. Lagipula cuma 5 juta, masak nggak ada?”Selalu ibu akan menjadi bersikeras mempertahankan keinginannya sendiri yang begitu egois.Dalam keadaan yang seperti ini ibu tak akan mempan diberi pengertian yang macam apapun.Aku sudah sangat kenal karakter ibuku yang keras, yang sering mementingkan dirinya sendiri itu.Aku memutuskan bangkit dari sofa hendak m