Keesokan pagi, tampak banyak orang telah berkumpul di halaman gedung Hoa San. Terdapat panggung setinggi satu meter di tengah-tengah halaman yang disiapkan oleh para murid semalam.Para pendekar terlihat tidak sabar, mereka sudah menunggu pertandingan merebut gelar Ketua Dunia Persilatan cukup lama. Siapa yang tak ingin diakui dan mendapatkan gelar kebanggaan itu, perguruan mereka akan menjadi terkenal dan dihormati di mana-mana.“Di mana Ketua Hui?” Mereka mulai berbisik satu sama lain, karena hari sudah siang namun tuan rumah tak kunjung muncul.“Wah, jangan-jangan tewas lagi seperti kejadian Ketua Hoa San terdahulu!” celetuk salah seorang dari para kontestan.Murid-murid Hoa San mulai ikut cemas, antara mereka terjadi saling tunjuk, tidak ada yang berani pergi mencari ketua ke kamar Ketua Hui.“Kau saja!” Murid Kedua menyikut adik seperguruannya namun Murid Keempat menggeleng kuat. Ia sudah bosan dikejutkan oleh mayat ketua dua kali berturut-turut.Mereka masih berdebat tentang sia
"Kak Liu Heng, kau kah itu?" Biarawati Feng Huang berbisik dengan suara serak.“Hiih! Jangan mendekat!” Liu Heng bergidik ngeri melihat sosok wanita mendekatinya. Pria tua dengan julukan Pendekar Sinting itu merapatkan punggung ke dinding seolah ingin menyatu dengan partisi tersebut.“Kak Liu Heng, apa yang terjadi denganmu?” Wajah Feng Huang dipenuhi kekhawatiran melihat tingkah Liu Heng yang tak wajar. “Mengapa kau tega sekali melupakan aku?”Air mata ketua Perguruan Hoa Mei merembes turun di sepanjang pipi, keputusasaan menguasainya.“Biarawati Feng Huang!” sapaan Yu Ping mengejutkan sang Ketua Hoa Mei, wanita itu segera melangkah mundur, menjaga jarak dengan Liu Heng. Si Pendekar Sinting menghela napas lega, ia langsung berlari ke belakang Yu Ping untuk bersembunyi.“Yu Ping,” Feng Huang menganggukkan kepala, membalas sapaan si pemuda. Ia menyeka pipinya yang basah oleh air mata.“Bocah Nakal, mari kita pergi!” Liu Heng menarik-narik lengan baju Yu Ping, sesekali melirik cemas ke
Yu Ping dan Biarawati Feng Huang membawa Liu Heng kembali ke halaman depan Hoa San tempat pertandingan masih berlangsung.Di arena tampak dua pendekar sedang bertarung, Ketua Perguruan Kelelawar, Bian Fu melawan Liu Kang, Ketua Harimau Utara.Agak mengejutkan bagi semua yang menyaksikan pertandingan sedari awal, lantaran Bian Fu telah memenangkan hampir tiga pertarungan melawan ketua perguruan yang lebih senior.Tidak ada yang pernah mengetahui tentang Perguruan Kelelawar sebelumnya, tiba-tiba saja mendaftarkan diri sebagai peserta dan mengatakan bahwa perguruan tersebut masih baru dan berasal dari Timur.Dengan wajah menyeramkan seperti hantu karena diberi cat putih, Bian Fu terlihat misterius. Tetapi kunai yang merupakan sen
Suara terbanyak dalam rapat adalah menolak mencari Golok Pembunuh Naga, hal itu tidak memuaskan hati Tetua Cheng dan Ketua Hui gadungan. Mereka tak dapat berbuat apa-apa ketika satu per satu ketua perguruan ternama meninggalkan ruang baca.“Kita bisa pergi sendiri ke Bukit Tengkorak tanpa mereka,” cetus Ketua Hui namun Tetua Cheng menggeleng.“Bukit Tengkorak adalah tempat terlarang, bahkan konon seorang pendekar hebat ‘Si Pisau terbang’ tak pernah kembali sejak mencoba memasuki kawasan itu,” terang Tetua Cheng dengan mimik serius.“Sejak kapan kau menjadi pengecut, Tetua Cheng?” ejek Ketua Hui. Tetua Cheng menatapnya gusar karena tersinggung.“Jangan kau kira aku tak tahu siapa dirimu sebenarnya, Wang!” dengus Tetua Cheng. Ketua Hui menanggapinya dengan senyuman sinis, seolah tak takut ancaman rekannya.“Maafkan bila aku bercanda keterlaluan,” Ketua Hui palsu menangkupkan tangan ke depan dada sebagai permintaan maaf, namun senyum miring di bibirnya menunjukkan ia tak benar-benar meny
Hari terakhir pertandingan adalah hari yang paling ditunggu oleh para peserta maupun penonton yang hadir, karena merupakan duel semua pendekar dari perguruan ternama.Ketua Hui palsu juga terdaftar dalam lomba tersebut, dan diam-diam ia sudah memastikan akan memenangkan pertandingan.Makanan yang disajikan saat pertandingan ditunda untuk makan siang telah ia lumuri bubuk pelemas otot yang hanya akan berlangsung selama 6 jam dan tidak mematikan.Tentu saja tidak ada satupun peserta yang mencurigainya. Pagi hari mereka yang bertarung, dapat mengerahkan segenap kemampuan dengan sangat baik.Pertandingan dimulai dengan duel antara Adik Ketiga dari Harimau Utara -mewakili kakaknya Liu Kang yang terluka pada duel hari sebelumnya- dengan Biarawati Feng Huang dari Hoa Mei.
“Kakak Liu?” Tetua Cheng terperangah tak percaya.Wajah Liu Heng terlihat bingung, ia sendiri tak mengerti mengapa tadi ketika menyaksikan Biarawati Feng Huang dalam bahaya, secara refleks ia melompat ke atas panggung dan menahan serangan Tetua Cheng.“Jangan pukul temanku!” seru Liu Heng lalu segera berbalik menghampiri Feng Huang, “Kau tidak apa-apa?”Feng Huang menggeleng, nyaris menangis terharu menyadari Liu Heng baru saja menyelamatkan dirinya. Wanita itu yakin di dalam alam bawah sadar Liu Heng, pria itu memiliki memori tentangnya.Xin Ru menyusul naik ke panggung, membantu memapah Feng Huang yang terlihat lemah. “Anda baik-baik saja?”“Entahlah, tubuhku tiba-tiba terasa lemah tak bertenaga,” keluh Feng Huang seraya me
Siang itu di aula istana, Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa sedang berkumpul. Mereka menerima undangan dari raja Qi Xiang hingga tergesa-gesa datang menghadap.Setelah menunggu cukup lama, Qi Xiang muncul dengan pakaian kebesaran raja. Wajahnya tak jauh mengalami perubahan meski dimakan usia, hanya beberapa guratan tipis di kening dan area pipi, serta helai-helai perak di sisi kiri kanan kepala.“Semoga Yang Mulia Qi Xiang Panjang Umur!” Ketujuh pendekar tangan kanan raja bersujud memberi hormat.“Bangunlah!” Qi Xiang mengangkat tangannya sebatas bahu sebagai perintah bagi mereka untuk bangkit berdiri.“Terima kasih, Yang Mulia!” jawab mereka serempak.“Aku memanggil kalian karena ada satu misi penting yang harus segera dilaksanakan!” kata Qi Xiang seraya memandang mereka satu per satu.“Misi apakah gerangan, Yang Mulia?” Dewi Seribu Wajah memberanikan diri bertanya.“Aku mendengar berita tentang munculnya Golok Pembunuh Naga di Bukit Tengkorak,” tutur Qi Xiang. “Menurut legenda, Golok P
Setelah beberapa minggu lamanya berjalan, rombongan Yu Ping akhirnya tiba di tepi danau Erhai yang sangat luas dan memiliki pemandangan indah karena dikelilingi oleh pegunungan Chang San.“Lihat, itu Bukit Tengkorak!” Liu Kang menunjuk ke arah seberang danau. Di seberang terlihat sebuah bukit yang terpisah dari pegunungan di sekitarnya. Bukit itu tertutup kabut gelap sehingga terlihat suram.Seorang tukang perahu yang sedang duduk-duduk di atas perahunya menyapa mereka, “Tuan-tuan, apakah kalian ingin menyeberang?”“Benar, dapatkah Bapak mengantarkan kami ke Bukit Tengkorak?” tanya Ketua Hui kepada pria bertopi caping itu.“Aduh, mengapa akhir-akhir ini banyak orang berkunjung kemari hanya untuk pergi ke Bukit Tengkorak?” keluh si tukang perahu. “Sudahlah, lebih baik urungkan niat kalian untuk pergi ke sana!”“Mengapa begitu, Pak?” Liu Kang bertanya karena penasaran.“Karena semua yang pergi ke Bukit Tengkorak tak ada satupun yang pernah kembali. Setiap hari aku menyeberang ke sana
Di puncak Gunung Kunlun yang menjulang tinggi, kabut tipis menyelimuti puncak-puncak batu yang tajam. Udara dingin pegunungan menerpa wajah dua sosok yang berdiri tegap di atas jembatan batu kuno. Yu Ping dan kakak angkatnya, Xin Ru, berdiri berdampingan, mata mereka menatap jauh ke dalam jurang yang dalam dan gelap di bawah.Yu Ping, mengenakan pakaian kerajaan dengan garis emas di sepanjang tepi kain sutra yang terjuntai hingga nyaris menyentuh tanah, menggenggam seruling emas di tangan, dan sebuah golok hitam diselipkan di belakang punggung. Di sampingnya, Xin Ru berdiri dengan postur waspada, matanya yang tajam menyapu sekeliling, siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi."Kau yakin dia akan muncul?" tanya Xin Ru, suaranya nyaris berbisik.Yu Ping mengangguk pasti, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Aku yakin, karena dia adalah guruku.” Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengangkat seruling ke bibirnya. Ia menarik napas dalam, lalu mulai meniup. Nada-nada lembut mengalir d
Aula kerajaan Qi dipenuhi oleh kemegahan dan kemewahan. Dinding-dinding berukir emas berkilau di bawah cahaya ribuan lilin yang menerangi ruangan. Aroma dupa yang manis mengambang di udara, menciptakan suasana sakral yang teduh.Di tengah aula, Yu Ping berdiri tegap, mengenakan jubah kerajaan berlapis emas. Wajahnya tenang berwibawa, mencerminkan seorang yang berhati lembut namun juga tegas. Kasim Liu, berlutut di hadapannya, menyodorkan mahkota dan jubah emas kerajaan di atas bantal beludru merah.Dengan gerakan perlahan, Yu Ping mengambil mahkota itu dan meletakkannya di atas kepala. Jubah emas kemudian disampirkan di bahunya, melengkapi penampilannya sebagai seorang raja. Seketika itu juga, seluruh ruangan dipenuhi oleh suara gemerisik kain—para Jenderal dan Menteri berlutut, memberikan penghormatan kepada raja baru mereka.Di samping singgasana raja, dua wanita cantik duduk dengan anggun. Di sisi kiri, Sayana, dengan pakaian mewah dan perhiasan yang gemerlap, tersenyum anggun. Mat
Mentari bersinar cerah di atas Kota Xianfeng, cahayanya memantul dari atap-atap bangunan. Udara dipenuhi oleh semangat dan kegembiraan yang menggelora, seiring dengan persiapan pelantikan Yu Ping sebagai raja baru Negeri Qi.Hiruk pikuk keramaian terdengar dari setiap sudut kota, sementara di dalam istana, para pelayan berlarian kesana-kemari, sibuk dengan persiapan acara yang akan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.Di aula utama istana, Kepala Pelayan, seorang pria paruh baya dengan wajah serius namun berwibawa, tampak kewalahan menerima bingkisan hadiah yang terus berdatangan. Utusan dari berbagai negeri jiran dan perwakilan sekte-sekte aliran putih dari seluruh penjuru negeri silih berganti memasuki ruangan, membawa persembahan untuk raja baru mereka."Yang Mulia pasti akan sangat senang melihat sem
Suasana suram menyelimuti pemakaman keluarga kerajaan. Angin semilir membelai dedaunan pohon-pohon tua yang mengelilingi area sakral itu. Di tengah keheningan, sosok Yu Ping berlutut di depan sebuah makam yang masih baru. Tangannya gemetar memegang beberapa batang hio yang telah dinyalakan, asapnya mengepul tipis ke udara. Dengan hati-hati, ia menancapkan hio-hio tersebut ke dalam hiolo -tempat dupa yang terbuat dari logam berukir indah- yang terletak tepat di depan batu nisan ibunya, Xian Lian.Yu Ping menatap lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kesedihan mendalam. Ia menghela napas berat sebelum berbisik lirih, suaranya nyaris terbawa angin."Ibu," ucap si pemuda dengan nada bergetar, "sekian lama aku mendambakan pertemuan dengan orang tua kandungku. Tapi mengapa, ketika akhirnya kita dipertemukan, waktu begitu kejam membatasi kebersamaan kita?"Jemarinya perlahan menelusuri ukiran nama ibunya di batu nisan. "Qi Yun sungguh beruntung,"
Kedua pendekar muda itu berhadapan di udara, aura mereka yang bertolak belakang - keemasan milik Yu Ping dan kegelapan milik Qi Yun - bertabrakan, menciptakan gelombang energi yang membuat udara bergetar."Qi Yun," balas Yu Ping, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Hentikan semua ini! Terlalu banyak nyawa yang telah melayang."Qi Yun tertawa sinis. "Hentikan? Tidak akan! Hari ini, salah satu dari kita akan mati!"Bersamaan dengan itu Qi Yun mengayunkan goloknya, menciptakan gelombang energi hitam yang melesat ke arah Yu Ping. Yu Ping dengan sigap mengeluarkan seruling saktinya, bersiap menghadapi pertarungan yang akan menentukan nasib kerajaan Qi.Di bawah, pasukan kedua belah pihak menghentikan pertempuran sejenak, mata mereka tertuju ke langit di mana dua sosok pemimpin mereka akan bertarung hingga titik darah penghabisan. Mereka tahu, hasil pertarungan ini akan menentukan tidak hanya nasib mereka, tapi juga masa depan seluruh kerajaan.Langit di atas Xianfeng menjadi arena perta
Di atas benteng kokoh, di kotaraja Xianfeng, Qi Yun berdiri tegak, jubah perang yang berat dan berkilauan menambah kegagahannya. Matanya yang tajam menatap ke kejauhan, menanti kedatangan musuh yang ia tahu pasti akan tiba.Berita kekalahan para Jenderal Perang dan pasukannya telah sampai ke telinganya, dibawa oleh prajurit-prajurit yang berhasil meloloskan diri dari pertempuran.Suasana di atas benteng sunyi senyap, hanya deru napas para pasukan yang merasa tegang memecah keheningan. Mereka telah mendengar desas-desus tentang kesaktian Yu Ping, dan ketakutan mulai merayapi hati mereka. Namun, di bawah tatapan dingin Qi Yun, tak seorang pun berani menunjukkan keraguan."Pasukan siap, Pangeran!" lapor seorang perwira. "Pemanah, infanteri, dan pelontar batu telah mengambil posisi."Qi Yun mengangguk singkat, matanya tak lepas memandang langit. Tak lama kemudian, apa yang ditunggunya muncul. Dari kejauhan, terlihat pasukan Yu Ping yang mulai mendekat. Mereka berhenti agak jauh dari bent
Asap pertempuran mengepul di berbagai sudut kota, menandai jejak perjuangan pasukan Yu Ping dalam perjalanan mereka menuju Xianfeng. Satu demi satu, pertempuran dimenangkan oleh Yu Ping dan pasukannya. Namun, kemenangan demi kemenangan ini tidak membuat Yu Ping lengah. Sebaliknya, instingnya sebagai strategi perang mulai menangkap pola yang mencurigakan.Yu Ping berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah kota yang masih diselimuti asap pertempuran. Matanya yang tajam menyipit, menganalisis situasi dengan cermat. Perlahan, sebuah kesimpulan terbentuk di benaknya."Dia ingin pasukan kita kelelahan saat tiba di Xianfeng," gumam Yu Ping, lebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya lebih kepada kekaguman namun juga mengandung kejengkelan. "Dasar licik!"Panglima Sung yang berdiri di sampingnya, menangkap gumaman itu. Dengan wajah serius, ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan, Jenderal Yu Ping?" Suaranya penuh hormat dan kesiapan. "Kami siap melakukan apapun perintahmu!"Yu Ping ter
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia