Beberapa hari berlalu setelah aksi unjuk rasa di Perbatasan Timur.Di markas besar, Jenderal Xiao duduk dengan wajah lelah di balik meja kerjanya. Di hadapannya terhampar peta strategi pertahanan Perbatasan Timur. Xin Ru, kakak angkat Yu Ping, berdiri di sampingnya dengan raut wajah cemas.“Bagaimanakah nasib Yu Ping?” gumam Jenderal Xiao, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri. “Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya.”“Jenderal Xiao,” Xin Ru tersenyum, mencoba menghibur pria tua itu. “Saya yakin Yu Ping baik-baik saja. Dia adalah pendekar tanpa tanding, tak ada apapun yang dapat menghalangi dirinya mencapai tujuan.”Meski berkata begitu, Xin Ru sebenarnya juga sangat gelisah. Sudah berhari-hari tak ada kabar dari Yu Ping, sedangkan kondisi Perbatasan Timur sedang tidak kondusif. Penduduk kota diliputi kegelisahan dan hilangnya kepercayaan pada kebijaksanaan Jenderal mereka.Tiba-tiba pintu terbuka, Ketua Bu Tong, Xun Huan, dan Ketua Pedang Langit, Ru Chen, memasuki ruangan.
Malam merangkak perlahan di Perbatasan Timur, membawa kesunyian yang tidak biasa. Bulan purnama menggantung rendah di langit, menyinari jalan-jalan kosong dengan cahaya peraknya yang temaram. Di dalam rumah-rumah, penduduk kota telah terlelap lebih awal dari biasanya. Rasa lelah yang tak wajar mendera mereka, memaksa mata-mata yang biasanya masih terjaga kini terpejam rapat. Bahkan para peronda yang seharusnya berjaga, kini tak terlihat batang hidungnya.Di benteng pertahanan, prajurit-prajurit yang seharusnya waspada kini tergeletak tak berdaya. Suara dengkur halus terdengar dari pos-pos penjagaan, menandakan kelelahan yang tak tertahankan telah mengambil alih kesadaran mereka.Di tengah kesunyian itu, sebuah bayangan hitam berkelebat di pelataran kediaman Jenderal Xiao Gang. Sosok itu bergerak dengan lincah namun hati-hati, matanya yang tajam memeriksa sekeliling. Tak ada tanda-tanda penjagaan, bahkan kamar para tamu yang terdiri dari pendekar-pendekar berilmu tinggi dan Jenderal
"Serbu!" teriak Qi Yun lantang, suaranya membelah keheningan malam.Seketika, ratusan ribu prajurit bergerak bersama-sama dari tiga sisi. Suara derap langkah kaki dan ringkikan kuda memenuhi udara, bagai gemuruh badai yang menerjang. Pasukan berkuda melesat cepat dari sisi barat dan timur, debu beterbangan di belakang mereka.Di garis depan, para pemanah mulai melepaskan anak panah berapi. Ratusan titik api meluncur di udara, menciptakan pemandangan mengerikan namun menakjubkan. Anak-anak panah itu jatuh di berbagai sudut kota, memicu kebakaran yang dengan cepat menyebar.Infanteri bergerak maju dengan formasi rapat, perisai mereka membentuk dinding besi yang tak tertembus. Mereka siap menghancurkan siapapun yang mencoba melawan.Kegelapan malam tiba-tiba terbelah oleh kilatan cahaya obor. Di atas benteng yang semula tampak kosong, muncul ratusan pemanah berbaris rapi. Armor mereka berkilau tertimpa cahaya api, menciptakan pemandangan yang menakjubkan.Di tengah barisan itu, Jenderal
Suara retakan terdengar memekakkan telinga ketika pintu gerbang perbatasan timur akhirnya menyerah pada hantaman balok kayu yang kesekian kali. Bagai air bah yang menembus bendungan, prajurit istana bersenjata pedang dan tombak berhamburan masuk, diiringi teriakan perang.Di hadapan mereka, para pendekar dari berbagai sekte berdiri tegak. Wajah mereka keras oleh tekad meski hati mereka tahu kemungkinan menang sangatlah tipis.Ru Chen menoleh pada Xun Huan yang berdiri di sampingnya, mata memancarkan keberanian dan kesedihan. "Saudara Xun, sungguh suatu kebanggaan bisa mati bersamamu!" ujarnya, suaranya sedikit bergetar namun penuh ketulusan.Xun Huan membalas tatapan sahabatnya, matanya berkaca-kaca. "Demikian juga denganku, Saudara Ru!" Namun tiba-tiba, suara lantang Liu Kang, si Harimau dari Utara, memecah atmosfer suram itu. "Jangan bicara begitu!" sergahnya, matanya berkilat penuh semangat. "Yu Ping pasti datang menyelamatkan kita. Jangan menyerah!"Feng Huang menghela napas bera
Yu Ping menatap Qi Yun lekat-lekat, matanya menyiratkan pergulatan batin yang hebat. Akhirnya, ia menurunkan mata pedang patah yang ditodongkan ke kening musuhnya itu. "Aku memberikanmu kesempatan kedua untuk berubah, Qi Yun," ujarnya dengan suara tegas. Qi Yun terdiam, matanya memancarkan keragu-raguan dan kelegaan. ‘Setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk meloloskan diri,’ pikirnya.Yu Ping memberi isyarat pada dua orang prajurit Mongolia di dekatnya, "Ikat orang ini dengan rantai besi, pastikan dia tidak bisa melarikan diri!"“Meskipun ku ampuni, kau harus tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku di negeri ini!” ujar Yu Ping pada suami Qing Ning. Suara gemerincing rantai besi terdengar ketika tangan dan Qi Yun diikat dengan rantai besi yang berat hingga sulit untuk bergerak. Sementara itu, di sekeliling mereka, pasukan istana kocar-kacir. Teriakan ketakutan dan dentingan senjata memenuhi udara ketika sebagian prajurit tertangkap, sebagian terbunuh, dan sisanya melarikan d
Malam itu, sebuah pedati tua yang ditarik dua ekor kuda keluar perlahan dari pintu gerbang Perbatasan Timur. Roda kayunya berderit pelan, memecah kesunyian malam yang dingin.Di bagian depan pedati, duduk dua sosok berjubah hitam dengan penutup kepala,seorang laki-laki tua dan seorang gadis muda. Wajah mereka tersembunyi dalam bayangan, namun ketegangan terlihat jelas dari postur tubuh mereka. Di bagian belakang, terdapat tumpukan karung beras tertutup terpal, menyembunyikan sesuatu - atau seseorang - di bawahnya.Yu Ping berdiri di atas benteng, pandangan mata tak lepas dari pedati yang perlahan menjauh. Pikirannya berkecamuk, beragam emosi bergulat dalam benaknya."Mengapa kau melepaskan dia?" Sebuah suara lembut terdengar di belakangnya.Yu Ping menoleh, mendapati Xin Ru berdiri di sana. Mata gadis itu memancarkan kesedihan yang tak terucapkan.Yu Ping menghela napas panjang, suaranya sarat dengan beban berat yang ia pikul. "Dia adalah seorang suami dan seorang ayah, dia juga adala
Pagi yang cerah menyapa Wisma Barat, sinar mentari menembus masuk melalui celah-celah jendela. Udara sejuk membawa aroma embun dan bunga-bunga di taman, menandakan hari baru yang penuh harapan.Di salah satu ruangan, Qing Ning tengah asyik bermain dengan putra kecilnya, Du Fei. Jemari lentiknya menggelitik perut sang buah hati, tawa riang si kecil memenuhi ruangan. Tiba-tiba, derap langkah tergesa terdengar dari luar. Seorang pelayan muncul di ambang pintu, nafasnya sedikit terengah-engah. "Nyonya Qing Ning," ucapnya dengan nada mendesak, "Tuan Qi Yun sudah kembali!"Jantung Qing Ning seolah berhenti berdetak sejenak. Selama ini, setiap hari ia dibayangi kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Kini, mendengar kabar kepulangannya, gelombang kelegaan membanjiri seluruh tubuhnya.Dengan cekatan Qing Ning menggendong Du Fei, bergegas keluar. Degup jantungnya semakin kencang seiring langkahnya mendekati pintu depan, tak sabar untuk menyambut kepulangan sang suami.Namun, harapannya pupus
Di dalam ruang kerjanya yang temaram, Qi Yun berdiri kaku di depan meja. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih menahan gejolak emosi yang dalam dada. Suara Qing Ning yang memanggil namanya dengan pilu menembus dinding, menghantam hatinya seperti ribuan jarum tak kasat mata."Qi Yun! Tolong dengarkan aku!" Suara Qing Ning terdengar putus asa.Beberapa kali Qi Yun mengulurkan tangannya ke arah pintu, hendak membukanya setiap mendengar suara Qing Ning memanggil namanya. Namun setiap kali pula ia mengurungkan niatnya, teringat akan rasa sakit dan kekecewaan akibat pengkhianatan istrinya.Qi Yun memejamkan mata rapat-rapat dan menulikan telinga, berusaha meredam dorongan untuk berlari keluar dan merengkuh istrinya ke dalam pelukan. Namun, bayangan pengkhianatan yang dilakukan Qing Ning terus berputar dalam benaknya, mengingatkan akan luka yang masih menganga.Tiba-tiba jerit tangis Du Fei -putra kecilnya yang masih berusia empat tahun- menyentakkannya dari lamunan. Suara itu b