Malam itu, sebuah pedati tua yang ditarik dua ekor kuda keluar perlahan dari pintu gerbang Perbatasan Timur. Roda kayunya berderit pelan, memecah kesunyian malam yang dingin.Di bagian depan pedati, duduk dua sosok berjubah hitam dengan penutup kepala,seorang laki-laki tua dan seorang gadis muda. Wajah mereka tersembunyi dalam bayangan, namun ketegangan terlihat jelas dari postur tubuh mereka. Di bagian belakang, terdapat tumpukan karung beras tertutup terpal, menyembunyikan sesuatu - atau seseorang - di bawahnya.Yu Ping berdiri di atas benteng, pandangan mata tak lepas dari pedati yang perlahan menjauh. Pikirannya berkecamuk, beragam emosi bergulat dalam benaknya."Mengapa kau melepaskan dia?" Sebuah suara lembut terdengar di belakangnya.Yu Ping menoleh, mendapati Xin Ru berdiri di sana. Mata gadis itu memancarkan kesedihan yang tak terucapkan.Yu Ping menghela napas panjang, suaranya sarat dengan beban berat yang ia pikul. "Dia adalah seorang suami dan seorang ayah, dia juga adala
Pagi yang cerah menyapa Wisma Barat, sinar mentari menembus masuk melalui celah-celah jendela. Udara sejuk membawa aroma embun dan bunga-bunga di taman, menandakan hari baru yang penuh harapan.Di salah satu ruangan, Qing Ning tengah asyik bermain dengan putra kecilnya, Du Fei. Jemari lentiknya menggelitik perut sang buah hati, tawa riang si kecil memenuhi ruangan. Tiba-tiba, derap langkah tergesa terdengar dari luar. Seorang pelayan muncul di ambang pintu, nafasnya sedikit terengah-engah. "Nyonya Qing Ning," ucapnya dengan nada mendesak, "Tuan Qi Yun sudah kembali!"Jantung Qing Ning seolah berhenti berdetak sejenak. Selama ini, setiap hari ia dibayangi kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Kini, mendengar kabar kepulangannya, gelombang kelegaan membanjiri seluruh tubuhnya.Dengan cekatan Qing Ning menggendong Du Fei, bergegas keluar. Degup jantungnya semakin kencang seiring langkahnya mendekati pintu depan, tak sabar untuk menyambut kepulangan sang suami.Namun, harapannya pupus
Di dalam ruang kerjanya yang temaram, Qi Yun berdiri kaku di depan meja. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih menahan gejolak emosi yang dalam dada. Suara Qing Ning yang memanggil namanya dengan pilu menembus dinding, menghantam hatinya seperti ribuan jarum tak kasat mata."Qi Yun! Tolong dengarkan aku!" Suara Qing Ning terdengar putus asa.Beberapa kali Qi Yun mengulurkan tangannya ke arah pintu, hendak membukanya setiap mendengar suara Qing Ning memanggil namanya. Namun setiap kali pula ia mengurungkan niatnya, teringat akan rasa sakit dan kekecewaan akibat pengkhianatan istrinya.Qi Yun memejamkan mata rapat-rapat dan menulikan telinga, berusaha meredam dorongan untuk berlari keluar dan merengkuh istrinya ke dalam pelukan. Namun, bayangan pengkhianatan yang dilakukan Qing Ning terus berputar dalam benaknya, mengingatkan akan luka yang masih menganga.Tiba-tiba jerit tangis Du Fei -putra kecilnya yang masih berusia empat tahun- menyentakkannya dari lamunan. Suara itu b
Di dalam penjara yang pengap dan lembab, Qing Ning duduk memeluk lutut, bersandar pada dinding batu yang dingin dan kasar. Cahaya remang-remang dari obor di luar sel menerangi wajahnya yang pucat dan letih. Matanya yang sembab menatap kosong ke arah jeruji besi, pikirannya melayang jauh kepada putra kecilnya, Du Fei."Du Fei..." bisiknya lirih, suaranya serak dan gemetar. "Apakah kau sudah makan, Sayang? Siapa yang memelukmu tidur malam ini?"Bayangan Du Fei yang biasanya hanya bisa terlelap dalam dekapannya membuat hati Qing Ning semakin perih. Air mata hangat kembali mengalir di pipinya yang tirus, jatuh membasahi pakaian tahanan yang lusuh dan kotor.Kabar tentang hukuman mati yang akan dijatuhkan padanya besok pagi terngiang-ngiang di telinganya. Dibakar hidup-hidup, hukuman yang kejam bagi para pengkhianat. Qing Ning meringis getir, merenungkan betapa ironisnya nasib yang menimpanya.Di sudut sel, sebuah nampan berisi makanan lezat tergeletak tak tersentuh. Hidangan terakhir sebe
Malam telah larut ketika Qi Yun melangkahkan kakinya memasuki desa Kuning, angin malam yang dingin menyapu wajahnya, Namun, ada sesuatu yang janggal malam itu. Desa yang biasanya tenang kini terasa mencekam.Qi Yun mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Biasanya, meski sepi karena hanya dihuni oleh orang-orang tua, desa ini masih memiliki kehangatan tersendiri. Cahaya lilin yang biasa menari-nari di balik jendela-jendela kayu, kini tak nampak lagi. Kegelapan pekat menyelimuti setiap sudut desa, seolah menelan setiap tanda kehidupan."Ada apa ini?" gumam Qi Yun pada dirinya sendiri, perasaan tidak enak mulai menggelayuti hatinya. Instingnya sebagai pendekar memperingatkan akan bahaya yang mengintai.Dengan langkah yang semakin cepat, Qi Yun bergegas menuju rumah tempat ibu angkatnya, Xian Lian, tinggal. Jantungnya berdegup kencang, setiap detik terasa begitu panjang.Ketika akhirnya ia tiba di depan pondok, napasnya semakin berat terasa. Rumah itu juga gelap gulita, tak ada tanda-tand
Angin dingin berhembus kencang di atas benteng Perbatasan Timur, membawa aroma tanah dan rumput liar. Yu Ping berdiri tegak di puncak benteng, matanya menerawang jauh ke langit gelap di depannya. Wajahnya yang biasanya penuh semangat kini tampak muram, penuh gurat kesedihan mendalam.Berita kematian Qing Ning telah menyebar dengan cepat mencapai telinga Yu Ping. Kesedihan dan amarah bergolak dalam dadanya, bercampur menjadi emosi yang sulit diungkapkan. Ia menyesal telah memberi Qi Yun kesempatan kedua, dengan harapan pemuda itu bisa menjadi pelindung wanita yang sangat ia cintai. Namun yang terjadi kini justru menghukum mati istrinya yang setia dengan tuduhan pengkhianatan.Di sampingnya, Xin Ru berdiri dalam diam, matanya sesekali melirik cemas ke arah Yu Ping. Ia bisa merasakan pergolakan emosi yang dialami pemuda itu."Sudah kuduga, ini jadinya bila mencoba melawan takdir!" gumam Xin Ru akhirnya, suaranya lirih nyaris terbawa angin. Ada nada kesedihan yang dalam dalam suaranya, s
Di dalam penjara bawah tanah istana yang lembab dan dingin, suara rintihan tertahan memecah keheningan. Seorang wanita, dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping, terikat dengan kedua tangan terentang di atas sebuah papan kayu yang kasar. Wajahnya yang cantik kini penuh dengan luka dan lebam, hasil dari penyiksaan brutal yang baru saja ia alami.Ma Yin, dengan senyum puas tersungging di bibirnya, berdiri di hadapan wanita itu. Cambuk di tangannya masih basah oleh darah."Yang Mulia Ratu," ujarnya dengan nada mengejek, "ternyata Anda sungguh tangguh ... sudah dicambuk dan dihajar berulang kali tetapi masih berdiri tegak!"Xian Lian, mantan Ratu yang kini diperlakukan bagai penjahat kelas berat, hanya diam. Kepalanya tertunduk, seolah tak lagi memiliki kekuatan untuk mengangkatnya.Ma Yin melangkah mendekat, suara sepatunya bergema di dinding-dinding sel. "Seandainya Anda mau bekerja sama, tentu hal ini tak akan sampai terjadi."Tangan kanan Raja itu kini berada tepat di depan Xia
Pemandangan itu menyadarkan Qi Xiang akan kenyataan yang mengerikan: ia benar-benar berhadapan dengan Raja Iblis. Ketakutan yang luar biasa mencengkeram hatinya, membuatnya gemetar hebat."B-baik," ujar Qi Xiang terbata-bata, keringat dingin membasahi dahinya. "Akan kulakukan apapun yang kau mau asal bunuh Yu Ping dan antek-anteknya untukku."Sebuah senyum tipis tersungging di bibir Qi Yun. "Bagus," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sekarang lakukan sesuatu untukku! Bebaskan ibuku dari penjara, obati luka-lukanya dan biarkan ia menempati kamar ratu.""A-apa?" Qi Xiang terkejut, tidak menyangka permintaan semacam ini akan datang dari Qi Yun."Kau merampas itu darinya," desis Qi Yun, matanya berkilat-kilat penuh ancaman. "Aku akan mengembalikan martabatnya seperti semula!"Qi Xiang, yang kini tak lebih dari boneka di tangan Qi Yun, tak berkutik. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa hidupnya kini bergantung pada keinginan pemuda di hadapannya ini."Baik ... baik …,"