Malam ini hujan turun rintik-rintik, Tsabitha termangu menatap buliran air yang mengalir turun di jendela kamar. Tubuhnya terasa berat dan kaku, enggan rasanya beralih dari kamar yang selalu memberikan kehangatan selama kurang lebih 20 tahun ini. Kamar yang selalu menjadi curahan hatinya di kala sedih dan senang, seperti perasaannya malam ini, yang tidak bisa di gambarkan olehnya. Apakah dia harus senang atau sedih? Sementara di bawah sana, terdengar dengan jelas, suara ramai orang saling bercakap-cakap, bersenda gurau sambil bersenandung dan menari. Gadis itu bisa membayangkan bagaimana meriahnya pesta pernikahan kakaknya, Mabella dan Moreno—seorang laki-laki blasteran Indo Jerman, yang notabene adalah pacarnya dulu.
Masih terekam dengan jelas dalam benaknya ketika dulu, dua tahun yang lalu, pertemuan kali pertama dengan laki-laki itu di bandara Soekarno Hatta. Saat itu Reno baru tiba di Jakarta, setelah sekian lama menimba ilmu di London, Inggris.
"Moreno Darmais!
Please pick me!"Itulah sebaris kalimat yang ditulisnya pada selembar sobekan buku gambar ukuran A3 yang dibentangkan dengan penuh semangat di atas kepala, agar laki-laki itu bisa mengenali dirinya di antara ribuan penjemput yang hadir di sana. Saat itu dia tidak bisa menerobos ke depan untuk menunjukkan dirinya di depan Reno. Entah kenapa hari itu, banyak sekali penjemput yang datang ke bandara untuk menjemput sanak famili mereka. Mau tak mau, akhirnya Tsabitha berusaha sekuat tenaga membentangkan kertas tersebut di atas kepala, agar Moreno bisa melihat dirinya.
Karena kalau boleh jujur, dia sendiri tidak tahu seperti apa wajah laki-laki itu yang sebenarnya. Bapak hanya berpesan agar menjemput anak rekan bisnisnya yang bernama Moreno Darmais, lalu mengirimkan sebuah foto yang menurutnya sudah cukup lama. Dia yakin kalau wajah tamunya ini pasti sudah berubah, tidak seperti di foto yang dikirimkan oleh bapaknya itu—seorang pemuda imut dengan kostum baju basket yang sedang menenteng bola basket di tangan.
Padahal pada awalnya, sebenarnya Tsabitha sempat menolak permintaan Pak Halim—ayah kandungnya untuk menjemput laki-laki ini, karena siang ini, dia harus mengirimkan sketsa desain baju rancangannya ke salah satu dosen killer yang ada di kampus. Namun, demi melihat imutnya wajah tamu barunya ini, tatapan mata Miss Medusa dibalik kacamata kucingnya, langsung terabaikan seketika itu juga. Satu jam lebih, gadis itu berdiri di sana sambil terus membentangkan kertas putih tersebut. Namun, sosok Moreno tidak muncul juga di hadapannya, padahal satu per satu penjemput telah berkurang dan pergi meninggalkan tempat itu. Hingga tinggal segelintir orang yang masih bertahan di sana, termasuk dia. Tsabitha sudah mulai putus asa, dirinya merasa konyol dan bingung.
"Apa aku yang salah jemput yaa? Kok orangnya nggak ada?" batinnya cemas.
Bergegas diceknya lagi pesan dari sang bapak melalui pesan chatting. Gadis itu mencoba memastikan jadwal penjemputan dan gate yang benar, ternyata semuanya benar, tidak ada yang salah. Tapi kenapa laki-laki itu tidak nongol juga? Gadis itu pun heran. Tanpa menunggu lama, bergegas dimasukkan kertas itu ke dalam tas backpack kesayangannya dan beralih menuju ke customer service. Namun, belum juga kakinya melangkah ke sana tiba-tiba ada suara yang memanggil namanya.
"Bitha! Tsabitha Humaira Halim!"
Gadis itu bergegas menoleh pada sumber suara tersebut yang menyebutkan nama lengkapnya dengan begitu jelas, karena jarang sekali ada yang memanggil namanya selengkap itu. Dilihatnya di sebrang sana, seorang laki-laki dengan gayanya yang kekinian dengan celana blue jeans yang sedikit belel plus kaos oblong warna putih yang dipadu padankan dengan jaket Parka warna abu-abu yang dihiasi dengan beberapa kantong, yang menjadi salah satu ciri khas jaket itu hingga membuatnya terlihat cool dan keren. Laki-laki itu lalu melipat koran sambil duduk di sebuah bangku, kemudian berdiri dan beralih berjalan ke arahnya sambil menggeret sebuah koper besar.
"Kamu manggil saya?" Laki-laki itu menganggukkan kepala sambil terus berjalan ke arahnya, sementara Tsabitha hanya bisa terdiam, seolah-olah tersihir oleh ketampanannya yang semakin jelas, ketika laki-laki itu berada tepat berdiri di depannya.
"Yaaa ampuun, ganteng banget ni mahluk!" batinnya dalam hati, dengan tatapan yang sedikit melongo bego sambil terus menatap laki-laki itu tanpa berkedip.
"Iyaa, aku yang manggil kamu. Kamu ... Bitha, ‘kan? Tsabitha Humaira Halim, putri kedua Pak Halim, rekan bisnis ayahku, Pak Darmais!"
"Oooh jadi kamu ... Kak Reno? Moreno Sebastian Darmais?” sahutnya sambil menunjuk laki-laki itu, “kenapa nggak bilang dari tadi? Dan lagi, dari tadi kamu duduk di bangku itu?" tanyanya kesal sambil menunjuk ke bangku yang ada di ujung sana.
Laki-laki itu mengangguk dengan senyumnya yang polos dan tanpa dosa. "Iyaa! Memang kenapa? Ada yang salah?"
"Eenggg … nggaak siih! Cuma apa kamu nggak liat kalau tadi aku bentangin sebuah kertas dengan tulisan nama kamu? Ini dia kertasnya!" Tsabitha segera mengeluarkan kembali kertas bertuliskan nama Moreno dan membentangkannya di depan dada dengan harapan tadi laki-laki itu sempat membaca.
"Iyaa aku liat itu! Aku malah langsung liat ke kertas itu, waktu aku keluar dari gate tadi!"
"Lalu ...?"
"Lalu ...? Lalu kenapa?"
Tsabitha benar-benar gemas dengan sikap laki-laki ini yang sok nggak tahu dan terkesan bodoh. "Lalu kenapa kamu nggak hampiri aku tadi? Kenapa kamu malah asyik nongkrong di sana?" tanyanya kesal sambil menunjuk bangku yang diduduki Reno tadi.
"Sengaja emang!"
"Sengaja? Maksud kamu?"
"Iyaa, aku memang sengaja melakukan itu, aku cuma ingin lihat seberapa gigihnya putri Pak Halim yang bernama Bitha? Aku dengar kamu ini orangnya super gigih, penuh semangat, energik, periang dan ... cantik!"
"Gombal!" sungutnya kesal lalu balik badan dan berjalan meninggalkan laki-laki itu.
"Heiii, Bitha! Tunggu! Ini bagaimana dengan barang-barangku?"
"Bawa aja sendiri! Emang enak dikerjain!"
Tsabitha terus melangkah gontai menuju ke lapangan parkir, di mana mobil BMW hitamnya terparkir di sana, sementara Moreno berusaha sekuat tenaga menggeret koper dan beberapa barang bawaan yang lain sambil terus mengekor di belakang gadis itu.
"Oooh, jadi maksudnya mbales niih?" tanya Reno begitu tiba di dekat mobil Bitha yang terpakir di area parkir bandara Soeta yang luas dengan nafas yang terengah-engah karena membawa barang-barang bawaannya.
"Kamu itu harusnya bilang terima kasih kek atau apa kek! Karena aku mau jauh-jauh datang ke sini untuk jemput kamu! Asal kamu tahu aja yaa, gara-gara jemput kamu ke sini, aku harus bikin beribu alasan ke Miss Medusa nanti!"
"Miss Medusa ...?"
"Iya Miss Medusa! Dosen killerku! Gara-gara kamu, aku jadi belum sempet setorin tugas sketsaku ke dia! Padahal harus dikumpulin siang ini, sekarang sudah hampir sore!" sungutnya kesal dengan muka cemberut.
"Oooh gitu yaa. Maaf yaa ... abis tadi aku ngerasa geli aja waktu baca tulisan kamu di kertas yang kamu bentangkan tadi," ujar Reno sambil tersenyum geli.
"Emangnya kenapa? Apanya yang lucu ...?" Gadis itu jadi penasaran.
"Tulisan kamu yang lucu! Moreno Darmais, please pick me! So I have to pick you up?" sahut laki-laki itu geli, “nggak kebalik tuh?”
"Yeaah, what's wrong? Apanya yang salah?” sela Bitha cepat. “Dengan begitu, kamu ‘kan jadi tahu siapa yang jemput kamu! Tanpa kamu harus bersusah payah nyari-nyari orang yang jemput kamu! Iya, ‘kan?” Gadis itu berusaha memberikan alasan yang logis. “Kamu tahu ‘kan kalau tadi banyak banget yang jemput?" Tsabitha bener-bener kesel dengan sikap Moreno yang menurutnya susah dimengerti, bukannya menyadari kesalahannya, laki-laki itu malah ketawa geli dengan tulisan yang dibuatnya tadi. "Dasar aneh! Malah ketawa-ketawa nggak jelas! Waktu itu, aku nggak mungkin nerobos ke depan, orangnya banyak banget! Atau mungkin maksud kamu, lebih baik aku lompat-lompat di belakang sambil manggil-manggil nama kamu gitu? Daripada nulis seperti tadi, gitu maksudmu?" lanjutnya dengan gestur tubuh yang melompat-lompat, membuat Reno jadi semakin geli.
"Itu lebih menggelikan lagi, bayangin kamu lompat-lompat di belakang kerumunan orang banyak tadi, it's a silly thing! Ternyata kamu ini orangnya konyol juga ya," goda Reno sambil mengerlingkan sebelah mata, Tsabitha jadi semakin jutek.
"Terserah!" Gadis itu bergegas masuk ke dalam mobil dengan perasaan kesal sambil membanting pintu, meninggalkan Moreno yang masih tertawa geli di dekat mobil sambil memegangi perutnya yang berguncang-guncang ke atas ke bawah. “Seneng dia, ketawa terus, dasar aneh!” batinnya kesal.
"Heiii, Bitha! Barang-barangku ini gimana? Buka bagasinya dong, please ...," teriak Reno dari belakang mobil.
Gadis itu hanya melirik ke belakang melalui kaca spion luar seraya berkata dengan nada sinis, "Katanya sekolah di luar negeri, kok nggak tahu cara buka bagasi mobil?"
Tsabitha berusaha sedikit mengejek dari belakang kemudi. Namun, tiba-tiba saja bagasi mobil itu terbuka secara elektris, diiringi lampu hazard yang berkedip dua kali dengan bunyi ‘beep.’ Di belakang sana tampak Moreno tersenyum lebar, menunjukkan barisan giginya yang putih bersih sambil memasukkan barang-barang yang dibawanya ke dalam bagasi mobil, lalu beralih ke depan dan duduk di sebelah gadis itu, setelah menutup bagasi mobil tersebut.
"Ayoo berangkat! Kenapa?" Moreno merasa heran dengan tatapan Tsabitha yang sempat melongo sesaat, menatapnya dengan tatapan bego.
"Aaah nggak papa!" Tsabitha berusaha menetralisir suasana hatinya yang tiba-tiba jadi dag dig dug ketika laki-laki itu duduk berdekatan dengannya.
"Kamu kira aku nggak bisa buka bagasi mobilmu ini? It's piece of cake! Gampang! Tinggal tekan aja bagian atas emblem logo mobilmu ini ke dalam, maka secara elektris pintu bagasi terbuka, iya ‘kan? Atau yang lebih praktisnya lagi ayunkan saja kaki kita di bawah kolong bumper belakang, bener ‘kan?" Gadis itu tidak berusaha membantah ucapan Reno, karena apa yang dikatakannya memang benar, jadi rasanya rancu kalau dirinya berusaha membantah. "Sekarang, antar aku ke apartemen lalu ke kampusmu!"
"Males! Sesuai perintah Bapak! Aku harus ngantar kamu ke rumah orangtuaku dulu, setelah itu selesai! Terserah kamu mau kemana, aku nggak peduli! Tugasku hanya ngantar kamu sampai di rumah orangtuaku!" ujar gadis itu ketus sambil menjalankan mesin mobil BMW hitamnya dan melesat ke luar parkiran bandara.
"Lalu bagaimana dengan sketsa bajumu yang harus kamu setorin ke Miss Medusa itu?" cecar Moreno saat gadis itu mengantri keluar di pintu luar area parkir mobil.
"Emangnya apa urusanmu?"
"Karena aku yang bikin kamu nggak bisa nyetorin sketsa itu, iya, ‘kan? Apa kamu sudah siap lihat ular di kepalanya yang menjulur-julurkan lidahnya ke arahmu?" Sesaat Tsabitha berusaha menahan tawa gelinya begitu mendengar sindiran Moreno tentang Miss Medusa.
"Miss Medusa itu hanya kiasan! Namanya Bu Hana, orangnya killer dan menyeramkan makanya semua orang menyebutnya Miss Medusa!"
"Kenapa dia bisa menyeramkan?"
"Entahlah!” sahut Tsabitha sambil mengendikkan bahunya ke atas, “banyak yang bilang karena dia itu perawan tua jadi agak sedikit sensitif dan galak, makanya dia menyeramkan!" lanjutnya lagi sambil membayar ongkos parkir dan bergegas melajukan mobil itu ke jalan raya.
"Apa kamu pernah kena semprot kemarahannya?"
"Belum sih, tapi mungkin hari ini aku bakal mengalaminya, yaaa ... pasrah aja!"
Tsabitha berusaha santai, karena mau tidak mau, dia memang harus menghadapi Miss Medusa. Yaa sekali-sekali kena semprot Miss Medusa, nggak masalah juga, ‘kan? “Nggak bakal mati juga!” pikirnya santai.
"Kalau begitu mari kita temui ... Miss Medusa!"
Tsabitha melirik ke arah Moreno yang saat itu juga menoleh ke arahnya. Gadis ini benar-benar merasa heran dengan laki-laki yang duduk di sebelahnya. Beberapa menit yang lalu, dia begitu menyebalkan dengan sikap polosnya dan sekarang dia berusaha menjadi pahlawan kesiangan untuknya dengan menemui Miss Medusa, the killer dosen! Dasar cowok aneh!
Setengah jam sudah Tsabitha menunggu Moreno yang sedang menemui Miss Medusa di ruangannya. Gadis itu jadi gelisah dan cemas, memikirkan apa yang sedang dibicarakan sama teman barunya dengan Miss Medusa di dalam. Sedari tadi dia hanya bisa bolak-balik sambil sesekali mengintip melalui jendela yang tertutup tirai transparan. Ingin rasanya menyeruak masuk ke dalam ruangan itu. Namun, hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Dan benar saja, lima belas menit kemudian, pintu ruangan Miss Medusa terbuka. Tampak Moreno keluar dari ruangan itu sambil menyeringai senang dan memberikan kode ibu jarinya ke arah Tsabitha, diikuti oleh Miss Medusa yang berjalan mengekor di belakang. "Oohh jadi ini adikmu ...?" Bu Hana menatap ke arah Tsabitha dengan wajah yang sinis dari balik kacamata kucingnya. Rasanya seperti diskrining dari atas ke bawah saat perempuan paruh baya itu menatapnya seperti itu, membuatnya jadi salah tingkah di depan Bu Hana si Miss Medusa, sementara Moreno terlih
Malam itu hujan masih turun cukup deras di luar sana, sementara suara riuhnya pesta masih terdengar samar-samar di bawah, tiba-tiba pintu kamar terkuak kembali, dilihatnya Shanti sedang berdiri mematung sambil memegang handle pintu kamar, menatapnya seraya bertanya, “Bitha, kamu nggak papa, Sayang?" Bagaimana bisa perempuan tua itu bertanya seperti itu ke padanya? Karena dia tahu benar apa yang sedang dirasakan oleh putrinya ini. Ingin rasanya Tsabitha menjerit dan berteriak dengan lantang ke sang ibu sambil berkata kalau dirinya tidak baik-baik saja. Namun, lagi-lagi yang keluar dari bibir mungilnya hanyalah sebuah ucapan klise yang menyenangkan hati perempuan paruh baya itu. "Aku nggak papa, Bu. Cuma pusing sedikit, mungkin karena kehujanan tadi di luar, jadi agak kurang enak badan," sahutnya sambil pura-pura memijat keningnya pelan. Gadis itu teringat kalau sebenarnya tadi setelah ijab kabul pernikahan Mabella dan Moreno, rencananya akan diselenggarakan di area kebun belakang, deng
“Sejak awal, dua tahun yang lalu, kedatanganmu ke Indonesia memang sudah direncanakan, selain untuk urusan bisnis keluarga kita.” Tsabitha akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengurai permasalahan mereka satu per satu. “Aku tahu itu! Aku kembali ke Indonesia memang untuk menjalankan bisnis Ayah yang ada di sini, karena sejak kuliah hingga aku ambil S2 di London, aku lebih fokus magang di perusahaan orang lain dan kerja di sana juga," ucap Moreno sambil menghela napas dalam, "hingga akhirnya, Ayah merasa sudah saatnya aku peduli dan fokus ke bisnis keluarga, makanya aku datang ke sini!” lanjutnya dengan kedua bolamatanya yang tak lepas menatap sang kekasih. “Itu aku tahu, tapi masih ada rencana yang lain yang disiapkan untuk kamu--...” “Apa itu ...?" sela Moreno cepat, "Bitha, bilang ke aku! Nggak usah muter-muter terus kayak gini, jangan bikin aku penasaran, Sayang!” ujar laki-laki itu lagi dengan gayanya yang manja, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Tsabitha dan berusaha men
“Kita sudah sampai, kamu bisa pulang sekarang! Selamat malam!” ujar Moreno dingin. Tidak biasanya laki-laki ini berkata seperti itu saat mengantar Tsabitha pulang ke rumah. Namun, gadis itu sendiri juga enggan untuk mengeluh atas sikapnya yang seperti ini, padahal biasanya dia bakalan ngambek kalau Moreno mulai cuek dan tidak peduli padanya.“Terima kasih, selamat malam!” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir mungil Tsabitha yang selalu jadi favourite Moreno selama setahun ini. Bergegas dibukanya handle pintu mobil dan saat Tsabitha hendak keluar dari mobil, tiba-tiba tangan Moreno menyambar tangan kanannya dan mencengkram erat, gadis itu menoleh. Kedua mata mereka saling beradu satu sama lain.“Beri aku waktu tiga hari, aku akan memberikan keputusannya ....”Tsabitha hanya bisa mengangguk lemah sambil menatap mata elang Moreno yang menatapnya tajam yang selalu dirindukannya selama ini. Tak lama kemudian dia keluar dari mobil, setelah Moreno melepaskan cengkraman di tangannya. ***
Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.Seminggu kemud
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli