Malam itu hujan masih turun cukup deras di luar sana, sementara suara riuhnya pesta masih terdengar samar-samar di bawah, tiba-tiba pintu kamar terkuak kembali, dilihatnya Shanti sedang berdiri mematung sambil memegang handle pintu kamar, menatapnya seraya bertanya, “Bitha, kamu nggak papa, Sayang?" Bagaimana bisa perempuan tua itu bertanya seperti itu ke padanya? Karena dia tahu benar apa yang sedang dirasakan oleh putrinya ini. Ingin rasanya Tsabitha menjerit dan berteriak dengan lantang ke sang ibu sambil berkata kalau dirinya tidak baik-baik saja. Namun, lagi-lagi yang keluar dari bibir mungilnya hanyalah sebuah ucapan klise yang menyenangkan hati perempuan paruh baya itu.
"Aku nggak papa, Bu. Cuma pusing sedikit, mungkin karena kehujanan tadi di luar, jadi agak kurang enak badan," sahutnya sambil pura-pura memijat keningnya pelan. Gadis itu teringat kalau sebenarnya tadi setelah ijab kabul pernikahan Mabella dan Moreno, rencananya akan diselenggarakan di area kebun belakang, dengan tema pesta kebun, tapi gagal, gara-gara hujan yang tanpa permisi tiba-tiba mengguyur kediaman mereka. Para tamu pun bergegas masuk ke dalam rumah. Untung saja hari itu dekorasi ruangan di rumah sudah disiapkan dan disetting sedemikian rupa sebagai rencana kedua untuk pernikahan kedua mempelai, sehingga kemeriahan pesta pernikahan mereka tidaklah berkurang.
Semua tamu masih bisa enjoy menikmati acara demi acara yang digelar sambil menikmati makanan dan minuman yang disajikan di sana. Namun, sepertinya alam semesta ini enggan memberikan restu untuk pernikahan pasangan sejoli itu, karena hujan tidak juga berhenti sampai malam ini. Padahal sebentar lagi ada pesta resepsi yang akan diselenggarakan di sebuah gedung yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari.
"Kamu sudah minum obat? Apa masih sakit?" tanya Shanti sambil meraba kening putrinya, untuk mengecek kondisinya.
"Sudah nggak kok, Bu. Sudah enakkan, aku nggak papa. Apa semuanya baik-baik saja, Bu? Bagaimana resepsinya nanti? Apa jadi-- ...?"
"Jadi dong!” sela Shanti cepat, “sebentar lagi kami mau berangkat, kamu bisa ikutan, ‘kan? Kalau kamu sudah baikkan, kamu harus datang. Jangan bikin kakakmu sedih, dia pasti bakal tanya macam-macam tentang kamu kalau kamu nggak nongol di hari pernikahannya," sahut perempuan tua itu dengan senyumnya yang mengembang lebar. "Jadi Ibu harap, datang yaa nanti! Dan satu lagi, sekali lagi Ibu mau ngucapin terima kasih ... akhirnya kamu bisa meyakinkan Reno untuk menikah sama kakakmu. Terima kasih banyak, Sayang," ucapnya sambil menggenggam tangan gadis itu lembut dan mencium kening putri keduanya ini.
Tsabitha hanya tersenyum dan membalas genggaman erat tangan sang ibu, dia berusaha meyakinkan perempuan tua itu kalau semuanya akan baik-baik saja. Dan malam itu benar saja, dengan diwarnai rintik-rintik hujan yang masih mengguyur kediaman mereka, Reno dan Bella tetap melangsungkan resepsi pernikahan mereka di sebuah gedung yang di dekorasi dengan konsep yang mewah, persis seperti permintaan mempelai wanita.
Dari kejauhan Tsabitha bisa melihat betapa serasinya pasangan suami istri yang baru saja ditasbihkan ini. Dengan model baju pengantin yang simple dan elegan warna putih gading yang dipadupadankan dengan warna emas, membuat penampilan Mabella semakin memukau dan cantik, serasi dengan ketampanan Moreno yang hanya mengenakan setelan kemeja, vest dan celana kain dengan warna yang senada hitam dan putih gading, plus dasi kupu kupu warna emas sebagai aksesoris pelengkapnya. Selama prosesi resepsi pernikahan itu, gadis itu bisa melihat bagaimana Reno terlihat santai dan nyaman menjalani semua ritual yang diadakan, padahal tiga bulan yang lalu, laki-laki itu menolak dan tidak mau melakukan ini semua. Reno menolak mentah-mentah perjodohan ini.
***
"Bitha!"
Gadis itu menoleh ke arah suara yang sangat dikenalnya, yaitu, Reno—pacarnya. Sore itu, sepulang dari kampus, rupanya laki-laki itu mencegatnya di pintu gerbang utama, karena setelah insiden permintaan ibu yang cukup berat, Tsabitha berusaha menghindar dari Reno dan tidak ingin menghubunginya lagi. Hal ini tentu saja membuat sang pacar heran dan penasaran dengan sikapnyaa yang tiba-tiba berubah 180 derajat, karena saat pertemuan mereka yang terakhir kali di mall Taman Angsa, semuanya baik-baik saja, tidak ada pertengkaran di antara mereka. Waktu itu hubungan mereka malah lagi mesra-mesranya, bahkan Reno sudah merencanakan untuk melamar Tsabitha menjadi istrinya.
"Tsabitha Humaira Halim!"
Reno selalu begitu, selalu memanggilnya dengan nama lengkap kalau gadis itu tidak menggubris sama sekali. Sama seperti sore ini, Tsabitha berusaha menghindar dan semakin mempercepat langkahnya agar laki-laki itu tidak bisa mengejarnya. Namun, sial baginya karena hari ini mobil hitam kesayangannya harus masuk ke bengkel untuk diservice, alhasil dia tidak bisa menghindar dari laki-laki itu dengan mudah. Reno pun berhasil menangkap gadis itu dengan cepat di pinggir jalan.
Dicengkramnya tangan Tsabitha dengan begitu kuat, saat gadis itu berusaha untuk memberontak. Sementara beberapa orang yang lalu lalang di sana, merasa heran dan hanya memperhatikan mereka berdua dengan rasa penasaran.
"Kamu ini kenapa sih? Apa salahku? Sampai-sampai kamu menghindari aku seperti ini? Ada apa, Sayang? What's wrong with you?"
"Aku nggak papa, semuanya baik-baik aja!” sahutnya ketus, “aku cuma nggak pengin aja ketemu lagi sama kamu!" Kening Moreno berkerut ke tengah, mendengar jawaban pacarnya yang begitu pedas. Tidak biasanya Tsabitha bersikap seperti ini. "Aku rasa ... hubungan kita cukup sampai di sini saja!"
"Tunggu! Apa kamu bilang ...?"
"Pleasee, Reen ... lepasin tanganku, nggak enak dilihat orang banyak, apa kamu nggak malu dilihatin sama mereka?" Gadis itu berusaha membujuk Reno sambil terus berusaha melepaskan cengkraman di tangannya yang cukup membuatnya meringis kesakitan.
"Buat apa aku malu? Aku nggak melakukan kesalahan! Jadi buat apa aku malu? Aku cuma ingin mencari jawaban, kenapa kamu menghindariku? Dari kemarin aku telpon, nggak diangkat, aku WA, aku SMS ... nggak juga kamu balas, ada apa sama kamu? Nggak biasanya kamu begini, Sayang? Bilang ke aku!" sahut Reno kesal.
"Aku ‘kan sudah bilang tadi, kalau aku nggak mau ketemu sama kamu lagi!" sela Tsabitha cepat sambil terus berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman laki-laki itu.
Moreno menyeringai sinis seraya berkata, "Kamu ini aneh! Memangnya ada apa? Nggak ada hujan nggak ada badai, tiba-tiba minta putus! Aneh kamu ini! Apa yang salah dengan hubungan kita berdua?" Gadis itu hanya terdiam sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan sang pacar yang begitu kuat dan keras. "Okay, fine! Baiklah ... kalau kamu nggak mau bilang, aku akan teriak biar semua orang yang ada di pinggir jalan ini denger teriakanku dan penasaran sama kita berdua, bagaimana?"
Tsabitha benar-benar merasa kesal dengan ulah Moreno, karena laki-laki itu begitu keras kepala, sama seperti dirinya. Semua ucapannya yang memang tidak memberikan penjelasan apapun, benar-benar tidak gubris Moreno sama sekali, karena laki-laki yang mengenakan setelan kemeja, jas dan celana kain itu butuh jawaban yang pasti bukannya yang menggantung seperti ini. Lama mereka terdiam sambil saling memandang satu sama lain dengan perasaan kesal. Moreno kesal karena Tsabitha tidak membiarkan dirinya tahu apa yang sebenarnya terjadi, sementara gadis itu sendiri juga kesal sama Reno karena dia tidak bisa menceritakan apa yang dirasakannya saat ini, rasanya berat untuk mengungkap semuanya, dan ketika laki-laki itu mulai berulah hendak membuka mulutnya.
"Tunggu! Tunggu dulu! Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya, tapi nggak di sini!"
"Okaay, kita memang harus pergi dari sini sedari tadi!"
Bergegas Moreno menggeret tangan Tsabitha yang masih dicengkramnya dengan begitu kuat, mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan berjalan ke arah mobil Reno yang diparkir di tepi jalan. Setibanya di sana, laki-laki itu segera memintanya masuk ke dalam mobil lalu mulai melajukan mobilnya dan meninggalkan tempat tersebut. Sepanjang perjalanan keduanya hanya terdiam, ada keheningan dan jeda di antara mereka berdua dengan pemikiran mereka masing-masing. Moreno benar-benar kesal dengan sikap Tsabitha yang membuatnya penasaran, sementara gadis itu sendiri juga bingung, apa yang harus dikatakan ke pacarnya ini nanti?
Hingga akhirnya Moreno melajukan mobilnya ke arah pantai dan menghentikan mobil itu di bibir pantai begitu mereka tiba di sana. Sore itu suasana pantai sedikit lengang, tidak banyak orang yang datang ke sana untuk sekedar menikmati embusan angin pantai yang sejuk sepoi-sepoi atau melihat sunset yang cantik yang turun petang ini. Sesaat laki-laki itu menghela napas cukup dalam, sebelum keluar dari mobil, semburat senja mulai terlihat di sebrang sana, gradasi warna perpaduan warna kuning, merah, orange dan biru terlihat begitu indah.
"Sekarang, bilang sama aku, apa yang sebenarnya terjadi, Bi?"
Tsabitha mengendikkan bahunya ke atas seraya berkata, "Aku sendiri, nggak tahu harus memulai dari mana? Aku bingung,” sahutnya lirih, “aku hanya ingin mengakhiri hubungan kita berdua." Nada suara gadis itu terdengar pilu sambil mengalihkan tatapannya ke luar jendela ke seorang nelayan yang sedang mendorong perahunya ke tengah laut.
"Kamu sadar bilang seperti itu?" tanya Reno heran sambil meremas tangannya lembut.
"Iyaa aku sadar, Ren! Aku waras dan aku nggak gila ataupun setres!" sahutnya kesal sambil melepaskan dan mengibaskan genggaman tangan laki-laki itu begitu saja. Moreno jadi semakin bingung, tidak biasanya gadisnya ini bersikap seperti ini. Tsabitha yang dikenalnya selama mereka pacaran setahun ini adalah seorang gadis yang manja dan periang, meskipun kadang sifat judesnya sering muncul, tapi selalu ada alasan dibalik itu semua. Namun, kali ini sifat judesnya bener-bener tidak beralasan.
"Tapi kenapa, Bi? Apa yang salah dengan hubungan kita?"
"Sejak awal hubungan kita memang sudah salah! Seharusnya kita nggak memulai hubungan ini! Seharusnya aku nggak jatuh cinta sama kamu!"
"Kenapa memangnya? Lihat aku! Tatap mataku!" tukas Reno tegas sambil memegang kedua pipi gadis itu dengan kedua tangannya, memaksa Tsabitha untuk menatap mata elangnya yang selalu membuatnya luluh. "Kamu tahu ‘kan ... seperti yang sering aku bilang ke kamu dulu, aku jatuh cinta sama kamu sejak pandangan yang pertama. Love at the first sight! Waktu ayahku menunjukkan fotomu, waktu aku mau balik ke Indonesia, apa itu salah?" tanya Moreno sambil menatap kedua bolamata gadisnya yang bulat, lekat-lekat. "Cinta ini nggak salah, Bi. Cinta bisa terjadi sama siapa saja dan kapan saja, cinta itu nggak pernah memilih. Aku cinta sama kamu, Tsabitha Humaira ... karena aku memang mencintai kamu dari hati."
Tsabitha mengusap ujung matanya yang berair sambil menatap mata elang pejantannya yang tajam seraya berkata, "Cinta memang nggak salah, tapi kamu salah orang. Seharusnya bukan aku yang kamu cintai, Ren" sahutnya lirih sambil melepaskan kedua tangan laki-laki itu di pipinya.
"Apa maksudmu ...?"
Moreno jadi semakin penasaran dan nggak ngerti dengan arah pembicaraan Tsabitha, sementara gadis itu hanya bisa terdiam, rasanya berat untuk mengungkap semua ini. Dikumpulkannya semua keberanian untuk mengatakan semuanya ke laki-laki yang sangat dicintainya yang telah menjadi belahan jiwanya selama setahun ini.
“Sejak awal, dua tahun yang lalu, kedatanganmu ke Indonesia memang sudah direncanakan, selain untuk urusan bisnis keluarga kita.” Tsabitha akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengurai permasalahan mereka satu per satu. “Aku tahu itu! Aku kembali ke Indonesia memang untuk menjalankan bisnis Ayah yang ada di sini, karena sejak kuliah hingga aku ambil S2 di London, aku lebih fokus magang di perusahaan orang lain dan kerja di sana juga," ucap Moreno sambil menghela napas dalam, "hingga akhirnya, Ayah merasa sudah saatnya aku peduli dan fokus ke bisnis keluarga, makanya aku datang ke sini!” lanjutnya dengan kedua bolamatanya yang tak lepas menatap sang kekasih. “Itu aku tahu, tapi masih ada rencana yang lain yang disiapkan untuk kamu--...” “Apa itu ...?" sela Moreno cepat, "Bitha, bilang ke aku! Nggak usah muter-muter terus kayak gini, jangan bikin aku penasaran, Sayang!” ujar laki-laki itu lagi dengan gayanya yang manja, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Tsabitha dan berusaha men
“Kita sudah sampai, kamu bisa pulang sekarang! Selamat malam!” ujar Moreno dingin. Tidak biasanya laki-laki ini berkata seperti itu saat mengantar Tsabitha pulang ke rumah. Namun, gadis itu sendiri juga enggan untuk mengeluh atas sikapnya yang seperti ini, padahal biasanya dia bakalan ngambek kalau Moreno mulai cuek dan tidak peduli padanya.“Terima kasih, selamat malam!” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir mungil Tsabitha yang selalu jadi favourite Moreno selama setahun ini. Bergegas dibukanya handle pintu mobil dan saat Tsabitha hendak keluar dari mobil, tiba-tiba tangan Moreno menyambar tangan kanannya dan mencengkram erat, gadis itu menoleh. Kedua mata mereka saling beradu satu sama lain.“Beri aku waktu tiga hari, aku akan memberikan keputusannya ....”Tsabitha hanya bisa mengangguk lemah sambil menatap mata elang Moreno yang menatapnya tajam yang selalu dirindukannya selama ini. Tak lama kemudian dia keluar dari mobil, setelah Moreno melepaskan cengkraman di tangannya. ***
Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.Seminggu kemud
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya