Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.
Seminggu kemudian ...
"Kamu bener-bener nggak mau nunggu kakakmu pulang dari bulan madu?" tanya Bu Shanty sambil berjalan bersisian di sebelahnya. Gadis itu hanya menggeleng pelan sambil mendorong trolly yang berisi koper dan barang bawaannya yang lain, masuk ke dalam pintu bandara, sementara kedua adiknya, Wanda dan Lydia mengikuti mereka di belakang dengan perasaan sedih, karena hari ini adalah hari keberangkatan sang kakak ke kota Paris.
"Aku 'kan sudah bilang, Bu. Kalau aku harus menyiapkan semuanya di sana dulu. Ya, adaptasilah. Kalau kudu nunggu Kak Bella pulang, sampai kapan? Nanti malah nggak keburu, karena udah mepet waktunya, jadi mending jauh-jauh hari seperti ini, Bu."
"Kamu ini, memang keras kepala, tapi jangan lupa, ya! Begitu sampai di Paris, kamu harus segera hubungi Ibu dan nanti di sana ada anak buah Om Darmais, ayahnya Moreno yang akan ngantar kamu. Kamu bisa minta bantuan sama dia, okay?"
"Iyaa, Bu! Aku ingat, aku nggak bakalan lupa, begitu sampai sana aku pasti akan langsung telpon Ibu, Ibu puas?" sahut Tsabitha sambil menyeringai lebar.
"Kamu ini ...."
Bu Shanti lalu memeluk putrinya dengan perasaan pilu, berat rasanya melepaskan gadis itu yang akan pergi ke kota Paris, Perancis. Kota yang sama sekali belum pernah dikunjungi oleh Tsabitha, karena beberapa kali liburan bareng keluarga, benua biru lah yang belum mereka kunjungi selain Benua Afrika. Keluarga Halim memang lebih prefer untuk liburan domestik, ke beberapa tempat wisata terindah di tanah air selain liburan ke luar negeri.
"Jaga diri kamu baik-baik yaa ...."
"Iyaa, Bu! Ibu juga, ya! Titip salam untuk Bapak." Bu Shanty mengangguk dengan ekspresi wajahnya yang sedih. "Wanda, Lydia! Jaga Ibu baik-baik, ya! Jangan nakal dan nurut sama Ibu!"
"Beres, Kakak!" sahut Lydia mantap.
Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba Wanda memeluk kakaknya dengan perasaan sedih. Wanda si anak bungsu jadi mellow dan menangis, saat Tsabitha pamitan dengannya. Wanda merasa berat melepaskan sang kakak yang selama ini selalu menjadi tempat curhatnya. Rasanya untuk tiga tahun ke depan rumah mereka bakalan sepi, karena cuma gadis itu yang mampu membuat rumah keluarga Pak Halim lebih hidup dan berwarna. Wanda bisa membayangkan bagaimana membosankannya rumah mereka tanpa Tsabitha, meskipun ada Lydia, kakak terdekatnya. Namun, Wanda merasa lebih dekat dengan Tsabitha, karena Lydia suka sekali jahil dan menggoda sang adik, sementara Tsabitha selalu bisa menjadi penengah di antara mereka. Itulah mengapa Wanda merasa lebih dekat sama Tsabita, ketimbang Lydia. Maka tak heran, saat gadis itu hendak pergi ke Paris, untuk menuntut ilmu di sana, Wanda lah yang paling sedih.
"Kenapa kamu ini? Kamu nangis? Jangan nangis, heii ... kita 'kan masih bisa video call. Iya, 'kan? Kakak pasti akan selalu menghubungi kamu dan kalau kamu butuh kakak, kamu bisa langsung menghubungi, Kakak. Okay?" Tsabitha berusaha menenangkan adiknya.
Wanda pun mengangguk sambil tersenyum getir dan memeluknya erat. "Tapi rasanya tetap akan beda, Kak. Rumah kita pasti bakalan sepi karena Kakak nggak ada," rajuk Wanda sambil menangis dalam pelukkan kakaknya.
"Hmm ... mulai deh, manja! Udah nggak usah baper gitu! Kasihan Kak Bitha, flight-nya udah hampir mau berangkat tu!" goda Lydia sambil berusaha melepaskan pelukkan Wanda di tubuh Tsabitha yang begitu erat.
"Lydia ... sudah! Biarin aja!" sela Bu Shanty sambil menghentikan usaha Lydia yang tidak membuahkan hasil. Wanda malah semakin merajuk lalu melepas pelukkannya di tubuh Tsabitha dan beralih memeluk Bu Shanti dengan gaya manjanya.
"Ibu, Kak Lydia, Bu ...."
"Iyaaaa, sudah biarin aja kakakmu itu. Makanya mulai sekarang kamu harus belajar dewasa, biar nggak digodain terus sama Kak Lydia." Wanda mengangguk kecil dalam pelukkan sang ibu. Tsabitha dan Lydia saling tersenyum satu sama lain sambil melirik ke Wanda yang mulai kumat manjanya.
"Iya, Wanda ... 'kan masih ada Ibu, Bapak, Kak Bella dan juga Kak Moreno. Iya, 'kan?" sela Tsabitha, "jadi kalau kamu digodain sama Kak Lydia, kamu lapor aja sama mereka, atau bilang sama Kakak, biar nanti kalau Kakak pulang, Kakak rapel hukumannya untuk Kak Lydia, gimana?"
"Iih, Kak Bitha, apaan sih? Masa dirapel, emang aku ini segitu jahatnya sama adikku yang satu ini? Nggak lagi, tapi boong! Hahahaha ..." sela Lydia sambil tertawa geli.
"Tuh, 'kan! Kak! Ibuuu ...." Wanda kembali merajuk dan manja.
"Makanya catat aja semua kejahilan Kakakmu yang satu ini, nanti Kakak rapel hukumannya buat dia, okay?"
Wanda pun tersenyum senang, karena selalu mendapat banyak dukungan, sementara Lydia yang merasa terpojok, cuma bisa menjulurkan lidah keluar dengan gaya jeleknya, menggoda sang adik. Tsabitha berusaha menghibur dan meyakinkan adiknya kalau semuanya tidak seperti yang dibayangkannya selama ini, karena dia yakin kehadiran Moreno di rumah mereka akan memberikan suatu warna tersendiri yang berbeda, khususnya bagi Mabella, kakaknya. Kini saatnya Bella harus berubah, sama seperti dirinya yang juga ingin berubah.
***
Tiga bulan kemudian ...
"Bonsoir, monsieur, Madame. Que voulez-vous commander? (selamat malam, tuan, nyonya ... mau pesan apa?)" tanya Tsabitha pada sepasang pengunjung yang mampir di café Les Philosophes, tempatnya bekerja sebagai pelayan cafe sepulang kuliah.
"Nous voulons commander un menu spécial recommandé par ce café, des suggestions? (kami mau pesan menu yang sangat special yang ada di café ini, ada saran?)" sahut pengunjung itu sambil menoleh ke arahnya yang berdiri di belakang mereka. Tsabitha kaget.
"Ma--... Kak Bella!" teriak Tsabitha senang begitu pengunjung satunya juga ikut menoleh dan menatapnya dengan senyuman yang manis.
"Bitha! Sayang! Apa kabar?" tanya Bella sambil berdiri dan memeluk adiknya dengan penuh haru.
"Aku baik-baik saja, Kak! Kakak kok tahu aku di sini?" sahutnya sambil melepas pelukkan Bella dengan raut wajah yang bingung.
"Kami berdua tadi ke apartemenmu, tapi kata penjaga yang jaga di sana, kamu lagi kerja. Lalu dia kasih alamat kerjamu di sini!" sela Moreno yang sudah berdiri sedari tadi di sebelah gadis itu.
"Iya dan waktu kami ke sini, kami lihat kamu lagi ngelayanin orang. Ya udah, trus, Reno minta tolong salah satu pelayan yang lain untuk nyuruh kamu ngelayanin kami. Iya 'kan, Sayang?"
Moreno mengangguk kecil sambil tersenyum manis, senyuman yang sama dengan dekik di kedua pipi yang sampai saat ini belum bisa Tsabitha lupakan. Gadis itu jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa. "Ya udah, sekarang kalian mau pesan apa? Soalnya aku masih kerja, nggak enak sama bossku!" selanya lagi sambil mulai bersiap untuk mencatat pesanan mereka dengan gadget yang dibawanya sedari tadi, untuk mengalihkan tatapannya ke laki-laki itu, yang membuat dadanya berdesir. Moreno bisa membaca gelagat gadis itu yang salah tingkah di depannya.
"Kamu selesai jam berapa?"
"Iya, jam berapa kamu selesai kerja?" sela Bella yang mengekor pertanyaan suaminya.
"Hmm ... sekitar jam sembilan malam gitu. Kenapa?"
"Ya udah, kami tunggu! Dan pesankan makanan dan minuman yang paling enak di café ini buat kami berdua!" sahut Moreno sambil mengerlingkan sebelah matanya.
"Oh, gitu ...? Ya udah kalau gitu aku pesanin confit de canard dua yaaa, sama--..."
"Itu apaan, Bith?" sela Bella heran, begitu mendengar kata yang asing di telinganya.
"Tenang aja, Kak. Ini halal kok! Ini macem bebek goreng gitu, nanti disajikan sama kentang dan bawang putih. Enak kok!"
"Oooh ... ya udah! Pesen dua ya! Lalu minumnya?" tanya Bella.
"Orange juice aja, dua!" sela Moreno cepat.
"Oke, kalau gitu aku ulangi yaa. Pesan confit de canard dua dan orange juicenya dua!"
"Iya, betul! Oh iya, satu lagi ... dessertnya dong! Iya kan, Sayang?"
Moreno hanya mengangguk kecil saat Bella memanggilnya sayang sambil memegang lengannya. Tsabitha hanya terdiam, entah kenapa ada desiran di dada yang terasa sakit, ketika mendengar sebutan 'sayang' itu keluar dari bibir Mabella.
"Dessertnya apa, Bith?" Suara Bella menggagetkan Tsabitha yang sedikit melamun dan memikirkan kata 'sayang' yang diucapkan kakaknya tadi.
"Eh, dessertnya ... dessertnya crème brulee!"
"Crème brulee ...?" sela Mabella heran.
"Itu seperti kue lumpur--..."
"Jangan ada kata sayang, aku mohon Tuhan, jangan ada kata sayang keluar dari mulut Moreno," batin Tsabitha penuh harap, saat laki-laki itu menjelaskan apa itu crème brulee. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa tidak terima kalau Moreno juga membalas kata sayang ke Mabella.
"Crème brulee itu terbuat dari campuran susu, vanila dan buah-buahan yang dimasak dalam oven. Teksturnya lembut, rasanya juga manis dan segar. Ya sudah, Bith! Kami pesan dua!" ujar Moreno sambil mengacungkan kedua jarinya. Tsabitha pun mengangguk dan menarik napas lega, saat Moreno tidak mengucapkan kata 'sayang' ke Mabella. Ternyata untuk berbuat ikhlas, memang tidak mudah. Meskipun bibirnya bisa mengucap kata ikhlas. Namun, untuk prakteknya tetap saja terasa berat, seperti apa yang dia alami hari ini, saat Moreno kembali muncul di hadapannya.
"Kalau gitu aku ke dalam dulu yaa. Aku siapkan dulu pesanannya!"
Moreno dan Bella mengangguk kecil sambil tersenyum ke Tsabitha. Tanpa menunggu lama, bergegas gadis itu masuk ke dalam café untuk menyampaikan pesanan kedua tamu specialnya ke chef yang mengolah masakan di café itu. Sesaat gadis itu termangu di dapur café sambil memikirkan Moreno yang tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya nanti, kalau ketemu sama laki-laki itu.
Apa dirinya akan salah tingkah lagi di depan Moreno seperti tadi? Tapi kenapa harus salah tingkah? Bukankah Moreno sudah bukan miliknya lagi? Jadi buat apa dirinya salah tingkah di depan laki-laki ini? Bathin Tsabitha gamang.
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Di kampus … “Apa kamu mau nikah?” tanya Havika setengah berteriak, saat Tsabitha menceritakan tentang niatnya yang ingin menikah dengan Moreno. Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Vika! Jangan teriak-teriak gitu, malu tahu! Gak enak didengerin banyak orang! Lagian baru kamu yang tahu tentang hal ini!” sahutnya sambil menutup mulut Havika dengan tangannya. “Alaa, tenang aja! Lagian bule-bule ini nggak pada ngarti kita ngomong apa! Sante ajaa!” ujar Havika sambil membuka tangan sahabatnya itu lalu menunjuk ke bule-bule yang ada di sekitar mereka, yang lagi pada nongkrong sambil ngobrol-ngobrol di kantin kampus. “Tapi jujur, parah kamu, Bith! Kamu mau nikah sama pacar kamu yang suami kakak kamu itu?” “Ssttt, Vika! Kalau ngomong suka keras-keras, deh! Pelan dikit bisa, ‘kan? Ayo, sini ikut aku!” Tsabitha segera menggeret tangan Havika dan mengajaknya ke taman yang ada di tengah kampus. Havika adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia te
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern