“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.
Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.
“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.
“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Di kampus … “Apa kamu mau nikah?” tanya Havika setengah berteriak, saat Tsabitha menceritakan tentang niatnya yang ingin menikah dengan Moreno. Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Vika! Jangan teriak-teriak gitu, malu tahu! Gak enak didengerin banyak orang! Lagian baru kamu yang tahu tentang hal ini!” sahutnya sambil menutup mulut Havika dengan tangannya. “Alaa, tenang aja! Lagian bule-bule ini nggak pada ngarti kita ngomong apa! Sante ajaa!” ujar Havika sambil membuka tangan sahabatnya itu lalu menunjuk ke bule-bule yang ada di sekitar mereka, yang lagi pada nongkrong sambil ngobrol-ngobrol di kantin kampus. “Tapi jujur, parah kamu, Bith! Kamu mau nikah sama pacar kamu yang suami kakak kamu itu?” “Ssttt, Vika! Kalau ngomong suka keras-keras, deh! Pelan dikit bisa, ‘kan? Ayo, sini ikut aku!” Tsabitha segera menggeret tangan Havika dan mengajaknya ke taman yang ada di tengah kampus. Havika adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia te
"Mister Moreno ada di kamar 1001, Nona bisa langsung ke kamarnya, Mister Reno sudah menunggu di atas. Nanti biar kopernya saya antar ke atas," ujar sopir Moreno yang asli dari Jerman, tapi faseh berbahasa Indonesia dengan logatnya yang cadel. Malam itu, Tsabitha dijemput oleh sopir suruhan Moreno, yang bernama Oscar dan mengantarkannya ke hotel Crowne Plaza, tempat laki-laki itu berada."Terima kasih, Oscar. Aku ke atas, ya!" sahut Tsabitha sambil membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke dalam hotel.Malam itu hotel Crowne Plaza terlihat cukup ramai, rupanya rombongan turis asal China baru saja datang dan menginap di hotel tersebut. Sepertinya mereka ini rombongan piknik sebuah perusahaan, karena mereka tampak ramai-ramai foto bersama dengan sebuah spanduk yang dibentangkan di depan mereka. Tsabitha hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang lucu-lucu, sambil melangkah gontai ke arah lift."Tsabitha, how are you?"
Turun dari pesawat, mereka bertiga segera meluncur ke hotel President Wilson yang terletak di jantung kota Jenewa, saat itu sudah hampir jam 2 pagi. Sebagai kota terpadat kedua di Swiss setelah Zurich, Jenewa merupakan kota metropolis kecil. Namun, terpadat di Romandy, bagian dari Swiss yang berbahasa Prancis, maka tak heran kalau tampilan dan suasana kota Jenewa sangat berbau Prancis. Baik dari bahasa, budaya, gastronomi, sampai rangkaian gedung yang berada di kota ini."Waah, kotanya indah banget ya!" ujar Tsabitha kagum, ketika mobil jemputan dari hotel membawa mereka menyusuri jalanan di kota kecil Jenewa."Iya, ya! Keren euu!" Havika ikut menimpali sambil melihat ke sisi kanan kiri jalan."Swiss memang negeri yang sangat cantik!" sela Moreno sambil menoleh ke belakang, menimpali kekaguman kedua perempuan yang berada di belakang kursinya, "bahkan kalau
Pagi itu Tsabitha dan Havika kembali terpukau oleh keindahan alam yang terpampang nyata di depan mereka, ketika terbangun dari tidur. Keduanya kembali terkagum-kagum melihat keindahan kota kecil Jenewa.Buat mereka berdua yang baru pertama kali ke Eropa, Jenewa di akhir musim semi sangatlah berkesan karena ada danau dan sungai yang airnya sebening kaca. Selain itu, di sekelilingnya juga ada pegunungan, baik Mount Salève maupun jajaran pegunungan Alpen di kejauhan."Kalau pagi begini, pemandangannya lebih bagus lagi ya, Vik," ujar Tsabitha sambil keluar ke teras balkon yang terhubung dengan kamar mereka, Havika mengikutinya di belakang."Danaunya bening banget! Dan itu pegunungan Mount Blanc, bener-bener keren. Bener yang dibilang sama Mas Reno, viewnya dramatis banget. Jadi terharu akooh bisa ada di tempat ini, kita harus foto shelfie, Bith!" sahut Havika sambil masuk kembali ke dalam kamar lalu mengambil tripod plus ponselnya, untuk mengabadikan momen ini.
Siang itu semua orang sudah bersiap menanti kehadiran Tsabitha, sang pengantin perempuan yang masih bersiap di dalam kamar. Sementara ruang tengah utama penthouse yang awalnya hanya terdapat sofa-sofa besar, kini telah disulap menjadi sebuah area pernikahan yang menarik. Moreno pun puas dengan hasil dekorasi dari team dekorasi hotel yang disewanya, dengan cepat dan sigap, mereka mampu menyulap ruangan itu menjadi ruangan pernikahan yang indah dan alami, dengan sentuhan nuansa putih dan bunga-bunga segar yang jadi ornament pernikahan. Belum lagi meja dan kursi untuk ijab kabul, juga disetting sedemikian rupa dengan bunga-bunga segar berwarna-warni dan kain putih polos yang menjuntai. Kursi pelaminan sederhana dengan rangkaian bunga-bunga segar juga sengaja dihadirkan diruangan itu, untuk menambah kevalidan momen pernikahan Moreno dan Tsabitha. "Kak, itu kursi pelaminan harus ada juga? Acaranya cuma ijab kabul aja, ‘kan?" tanya Evan setengah berbisik sambil menunjuk ke kursi pelaminan,
Malam itu, teman-teman Moreno masih menikmati suasana pesta pernikahan Moreno dan Tsabitha dengan mengadakan pesta kolam renang di kolam renang rooftop privat yang berada di teras luar penthouse. Sementara Moreno tampak sibuk menyiapkan makanan di dapur bareng beberapa pelayan hotel, sedangkan Evan dan Mina pergi mengantarkan Om Sabian pulang ke rumahnya, sekalian bersilahturahmi dengan keluarga Om Sabian. "Heii, kenapa kamu masih di sini? Nggak pindah ke kamar misua?" tanya Havika heran, ketika melihat Tsabitha yang lagi terbaring di atas ranjang sambil menonton televisi. "Iya, iyaa ntar aku pindah, ini juga mau packing barang-barangku," sahut Tsabitha malas. "Packing? Mana kopernya? Yang aku lihat kamu itu lagi nonton TV, bukan lagi packing!" ujar Havika sambil duduk di tepi ranjang. "Kamu ini gimana sih? Kan tadi aku bilang mau packing, bukan lagi packing. Kamu tahu ‘kan bedanya antara mau dan lagi? Jadi sante aja lagi, Vik. Lagian aku juga lagi asyik nonton acara ini. Udah deh!
"Bith, lihat itu, matahari sudha mulai terlihat di tengah laut sana," ujar Moreno pagi itu, sambil mengecup puncak rambut dan mengusap lengan atas istrinya. Tsabitha yang membaringkan kepala di atas dada sang suami, setelah mereka selesai memadu kasih di sebuah villa yang berada di pinggir laut, juga ikut takjub pada keindahan alam, terbitnya matahari di tengah lautan yang biasa disebut dengan sunrise. Pagi itu, pasangan pengantin baru ini berada di sebuah villa di Peninsula selatan dengan pemandangan Laut Aegean. Moreno memang sengaja mengajak Tsabitha ke Royall Villa yang berada di kota Athena, Yunani setelah pesta pernikahan mereka di kota Jenewa. Dengan menempuh perjalanan selama dua setengah jam dari kota Jenewa, laki-laki itu ingin mengajak istrinya menikmati bulan madu mereka di sebuah villa yang sepi dari hiruk pikuk dan bisingnya suasana kota, yang menawarkan sebuah pemandangan yang indah yaitu laut Aegean yang bisa mereka lihat langsung dari peraduan. "Bagus banget, ya pema
Dua bulan kemudian … “Bith, keren yaa Mrs. Abrielle, dosen kita. Selain jadi dosen freelance di kampus, dia juga kerja jadi fashion editor di majalah Vouge, lho!” ujar Havika sambil menyesap kopi pesanannya di sebuah café bareng Tsabitha sore itu. “Iyaa, dia emang keren!” sahut Tsabitha sambil mengaduk-ngaduk kopi. “Tapi ngomong-ngomong, menurutmu enakan yang mana, Vik? Jadi fashion editor di majalah fashion terkenal atau kerja jadi desainer untuk brand besar macem Zara, Dior, Dolce Gabana atau yang lain, atau bikin clothing line sendiri. Macem jadi fashion preneur gitu?” tanyanya penasaran sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. “Hmm … kalau aku mungkin pengin nyoba jadi desainer untuk brand besar! Biasa cari pengalaman dulu!” sahut Havika sambil membuka-buka ponsel untuk mengecek kalau ada pesan masuk yang terlewat. “Boleh juga! Mungkin setelah itu kita bisa bikin clothing line sendiri kali, ya? Pasti seru!” “Iya, buat kamu yang punya suami kayak