“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya.
“Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?”
“Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu.
“Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?”
“Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
"Para penumpang yang terhormat, selamat datang! Sesaat lagi kita akan terbang menuju ke Jakarta Indonesia. Kami persilahkan kepada anda untuk menegakan sandaran kursi, mengencangkan sabuk pengaman, karena sebentar lagi kita akan take off. Atas nama kapten Gunadi dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat jalan, happy flying! Terima kasih atas pilihan anda untuk terbang bersama kami dan silahkan menikmati penerbangan ini!" Suara pemberitahuan dari kapten pilot di pesawat membuyarkan lamunan perempuan itu yang sedang duduk termangu di salah satu kursi di dalam kabin pesawat. Hari ini Tsabitha Halim akhirnya pulang juga ke tanah air, setelah cukup lama mengadu nasib di negeri orang, Perancis. Tujuh tahun sudah dia bergelut dengan waktu, mengejar semua mimpinya di kota mode dunia ternama, Paris, untuk menjadi seorang desainer yang cukup diperhitungkan di kancah mode dunia. Namun, gemerlapnya kehidupan di kota Paris dan anggunnya menara Eiffel tidak membuatnya ingin berlam
Malam ini hujan turun rintik-rintik, Tsabitha termangu menatap buliran air yang mengalir turun di jendela kamar. Tubuhnya terasa berat dan kaku, enggan rasanya beralih dari kamar yang selalu memberikan kehangatan selama kurang lebih 20 tahun ini. Kamar yang selalu menjadi curahan hatinya di kala sedih dan senang, seperti perasaannya malam ini, yang tidak bisa di gambarkan olehnya. Apakah dia harus senang atau sedih? Sementara di bawah sana, terdengar dengan jelas, suara ramai orang saling bercakap-cakap, bersenda gurau sambil bersenandung dan menari. Gadis itu bisa membayangkan bagaimana meriahnya pesta pernikahan kakaknya, Mabella dan Moreno—seorang laki-laki blasteran Indo Jerman, yang notabene adalah pacarnya dulu. Masih terekam dengan jelas dalam benaknya ketika dulu, dua tahun yang lalu, pertemuan kali pertama dengan laki-laki itu di bandara Soekarno Hatta. Saat itu Reno baru tiba di Jakarta, setelah sekian lama menimba ilmu di London, Inggris. "Moreno Darmais! Please pick me!"
Setengah jam sudah Tsabitha menunggu Moreno yang sedang menemui Miss Medusa di ruangannya. Gadis itu jadi gelisah dan cemas, memikirkan apa yang sedang dibicarakan sama teman barunya dengan Miss Medusa di dalam. Sedari tadi dia hanya bisa bolak-balik sambil sesekali mengintip melalui jendela yang tertutup tirai transparan. Ingin rasanya menyeruak masuk ke dalam ruangan itu. Namun, hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Dan benar saja, lima belas menit kemudian, pintu ruangan Miss Medusa terbuka. Tampak Moreno keluar dari ruangan itu sambil menyeringai senang dan memberikan kode ibu jarinya ke arah Tsabitha, diikuti oleh Miss Medusa yang berjalan mengekor di belakang. "Oohh jadi ini adikmu ...?" Bu Hana menatap ke arah Tsabitha dengan wajah yang sinis dari balik kacamata kucingnya. Rasanya seperti diskrining dari atas ke bawah saat perempuan paruh baya itu menatapnya seperti itu, membuatnya jadi salah tingkah di depan Bu Hana si Miss Medusa, sementara Moreno terlih
Malam itu hujan masih turun cukup deras di luar sana, sementara suara riuhnya pesta masih terdengar samar-samar di bawah, tiba-tiba pintu kamar terkuak kembali, dilihatnya Shanti sedang berdiri mematung sambil memegang handle pintu kamar, menatapnya seraya bertanya, “Bitha, kamu nggak papa, Sayang?" Bagaimana bisa perempuan tua itu bertanya seperti itu ke padanya? Karena dia tahu benar apa yang sedang dirasakan oleh putrinya ini. Ingin rasanya Tsabitha menjerit dan berteriak dengan lantang ke sang ibu sambil berkata kalau dirinya tidak baik-baik saja. Namun, lagi-lagi yang keluar dari bibir mungilnya hanyalah sebuah ucapan klise yang menyenangkan hati perempuan paruh baya itu. "Aku nggak papa, Bu. Cuma pusing sedikit, mungkin karena kehujanan tadi di luar, jadi agak kurang enak badan," sahutnya sambil pura-pura memijat keningnya pelan. Gadis itu teringat kalau sebenarnya tadi setelah ijab kabul pernikahan Mabella dan Moreno, rencananya akan diselenggarakan di area kebun belakang, deng
“Sejak awal, dua tahun yang lalu, kedatanganmu ke Indonesia memang sudah direncanakan, selain untuk urusan bisnis keluarga kita.” Tsabitha akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengurai permasalahan mereka satu per satu. “Aku tahu itu! Aku kembali ke Indonesia memang untuk menjalankan bisnis Ayah yang ada di sini, karena sejak kuliah hingga aku ambil S2 di London, aku lebih fokus magang di perusahaan orang lain dan kerja di sana juga," ucap Moreno sambil menghela napas dalam, "hingga akhirnya, Ayah merasa sudah saatnya aku peduli dan fokus ke bisnis keluarga, makanya aku datang ke sini!” lanjutnya dengan kedua bolamatanya yang tak lepas menatap sang kekasih. “Itu aku tahu, tapi masih ada rencana yang lain yang disiapkan untuk kamu--...” “Apa itu ...?" sela Moreno cepat, "Bitha, bilang ke aku! Nggak usah muter-muter terus kayak gini, jangan bikin aku penasaran, Sayang!” ujar laki-laki itu lagi dengan gayanya yang manja, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Tsabitha dan berusaha men