“Sejak awal, dua tahun yang lalu, kedatanganmu ke Indonesia memang sudah direncanakan, selain untuk urusan bisnis keluarga kita.” Tsabitha akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengurai permasalahan mereka satu per satu.
“Aku tahu itu! Aku kembali ke Indonesia memang untuk menjalankan bisnis Ayah yang ada di sini, karena sejak kuliah hingga aku ambil S2 di London, aku lebih fokus magang di perusahaan orang lain dan kerja di sana juga," ucap Moreno sambil menghela napas dalam, "hingga akhirnya, Ayah merasa sudah saatnya aku peduli dan fokus ke bisnis keluarga, makanya aku datang ke sini!” lanjutnya dengan kedua bolamatanya yang tak lepas menatap sang kekasih.
“Itu aku tahu, tapi masih ada rencana yang lain yang disiapkan untuk kamu--...”
“Apa itu ...?" sela Moreno cepat, "Bitha, bilang ke aku! Nggak usah muter-muter terus kayak gini, jangan bikin aku penasaran, Sayang!” ujar laki-laki itu lagi dengan gayanya yang manja, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Tsabitha dan berusaha mencium pipinya. Namun, gadis itu segera mengelak, menghindari ciuman Moreno.
Laki-laki itu jadi semakin penasaran. Apa permasalahan mereka begitu berat? Sampai-sampai Tsabitha menolak ciumannya yang selalu didambakan gadis itu selama ini? Bahkan kalau boleh jujur, Tsabitha suka sekali berlama-lama saling memagut bibirnya dengan bibir Moreno yang berwana merah muda. Dia bilang kalau bibirnya manis, seperti permen, makanya dia suka berlama-lama bermain dengan bibir sang kekasih.
“Kedua orang tua kita sebenarnya sudah merencanakan perjodohanmu ....” Moreno kaget ketika Tsabitha kembali bersuara, gadis itu lalu kembali terdiam.
“Per–jo–do–han? Perjodohanku sama siapa?”
“Samaaa--...”
Sesaat Tsabitha kembali terdiam, bibir mungilnya terasa berat untuk mengungkap semua. Dadanya pun terasa sesak, ditatapnya lautan biru yang membentang luas di depan, sementara Moreno masih menunggu apa yang akan diucapkan oleh gadis yang duduk di sebelahnya ini. Digenggamnya lagi tangan gadis itu lembut, dengan harapan dia tidak mengibaskannya lagi. Tsabitha pun menoleh dan menatap pemuda itu dengan kedua bolamatanya yang berkabut, riak kecil itu mulai menggantung di sana, ditarik napasnya cukup dalam, membuat Moreno jadi semakin penasaran.
Tsabitha menghela napas lagi seraya berkata, “Kamu akan dijodohkan sama ... Mabella Viviana Halim, putri pertama keluarga Pak Halim, rekan bisnismu!” sahutnya lirih, lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil, setelah menatap wajah tampan itu sesaat sambil menahan tangis di dada. Namun, tak dilepaskan tangan Moreno yang masih menggenggamnya lembut.Suasana jadi hening, lidah Moreno terasa seperti tersekat, sementara gadis itu hanya bisa membisu dan menahan tangisnya yang hampir meledak. Disekanya kedua matanya yang mulai basah, dihela napasnya cukup dalam, kemudian keluar dari mobil dan beralih ke bumper depan mobil untuk menikmati sunset yang mulai turun sambil meluapkan tangisnya di sana.
Gradasi warna orange, kuning, biru dan hitam, menjadi sebuah gradasi yang sangat apik di atas sana. Sebuah mahakarya yang sangat agung yang selalu mampu membuat siapa saja yang melihatnya, menjadi merasa sangat kecil. Tsabitha mencoba menghentikan tangisnya yang sempat membuncah dan berusaha menikmati suasana petang seperti ini di tepi pantai. Meskipun banyak yang bilang kalau suasana petang seperti ini merupakan suasana peralihan dunia ghaib. Namun, hal itu tidak membuat nyalinya ciut.
Tiba-tiba tanpa diduga dari arah belakang ada tangan yang memeluk pinggangnya erat, rupanya Moreno yang saat itu sudah keluar dari mobil, memeluk gadis itu begitu erat dari arah belakang lalu membenamkan kepalanya di bahu kanan Tsabitha. Dibiarkan pemuda itu berbuat demikian, mungkin ini adalah kali terakhir Moreno memeluknya. Lama mereka terdiam, merasakan kehangatan yang menjalar di tubuh keduanya.
“Bitha, bilang ke aku, semua yang kamu bilang tadi itu, nggak benar, 'kan?”
“Kamu sendiri tahu 'kan kalau aku nggak pernah bohong sama kamu, semua yang aku katakan tadi benar. Oleh sebab itu--...”“Tidak!”
Suara Moreno terdengar begitu keras di telinga Tsabitha, hingga rasanya gendang telinganya hampir pecah saat itu juga. Namun, gadis itu berusaha mengabaikan, karena pikirannya saat ini hanya berfokus pada perasaannya yang sangat terluka, hatinya terasa teriris ribuan pisau yang menghujam ke arahnya.“Aku nggak mungkin melakukan semua itu, Bitha! Aku nggak pernah cinta sama kakakmu, Bella! Aku hanya cinta sama kamu, Bith! Tsabitha Humaira Halim!” ujar Moreno tegas lalu menciumi telinga dan leher gadis itu dan mempererat pelukkanya di tubuh sang kekasih yang padat dan berisi, membuat gadis itu jadi kesulitan bernafas dan menahan gelora di dada.
Ingin rasanya Tsabitha berbalik, merespon aksi kekasihnya itu dan memagut kembali bibir Moreno yang manis yang selalu menjadi candu baginya. Namun, simpul abu-abu di dalam otaknya masih berjalan normal, dengan cepat gadis itu melepaskan kedua tangan Moreno dan berbalik menjauh dari darinya.
“Jangan lakukan itu, Mas Reno! Jangan buat semuanya jadi semakin sulit! Aku nggak berhak atas dirimu lagi, aku nggak bisa memilikimu!”
Tsabitha mencoba menahan lagi tangis di dada yang hampir saja kembali meledak, sambil terus berjalan mundur menjauhi laki-laki itu. Namun, Moreno tidak peduli, Dia terus saja mengejar Tsabitha yang mencoba menjauhi dirinya.
“Tapi aku juga berhak untuk memilih siapa perempuan yang nanti akan aku nikahi, Bith! Begini saja, aku akan coba bicarakan soal ini sama Ayah dan Ibuku, aku akan pulang ke Jerman untuk membicarakan semua ini dengan mereka berdua, aku yakin mereka akan mengerti.”
Tsabitha menggeleng seraya berkata, “Jangan, Sayang! Tolong please, jangan lakukan itu. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, aku mohon dengan amat sangat jangan lakukan itu. Aku sudah ikhlas! Aku rela kalian berdua menikah,” sahutnya sambil mengusap matanya yang kembali sembab.
“Tapi aku nggak ikhlas, Bith! Bagaimana bisa aku membina rumah tangga dengan perempuan yang bahkan sama sekali nggak aku cintai? Aku hanya mencintai kamu, Bitha! Kenapa kamu maksa aku untuk menikah sama kakakmu?”
“Karena kakakku mencintaimu! Dia sangat mengagumimu! Kak Bella sudah tahu kalau dia akan jodohkan sama kamu!”
“Lalu ... kamu nyerah begitu saja, begitu mendengar kabar itu? Kamu nggak berusaha mempertahankan cinta kita? Mana Tsabitha-ku yang dulu? Yang selalu berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan miliknya? Mana, Bith?”
“Tsabitha-mu yang dulu sudah pergi, Mas. Dan kamu nggak akan menemukannya lagi,” sahutnya sambil menangis, tangisnya sudah tidak terbendung lagi.
“Apa kamu nggak bilang ke mereka kalau sebenarnya kita sudah pacaran? Hubungan kita serius! Hubungan kita ini sudah setahun lebih! Aku bahkan berniat untuk menikahimu! Aku serius! Lalu ... kamu ingin melupakan semuanya? Semua yang terjadi di antara kita, begitu?”
Teriakan Moreno terdengar begitu nyaring sambil terus berjalan ke arah Tsabitha yang berjalan mundur ke belakang. Gadis itu berusaha mempertegas hubungan mereka yang mulai ada jarak, karena rasanya tidak mungkin bisa mempertahankan hubungan ini, meskipun berat baginya untuk melepaskan laki-laki yang sangat dicintainya itu, yang selalu menjadi kembang tidurnya setiap malam.
“Nggak ada lagi yang bisa dipertahankan dari hubungan kita ini, Mas! Jujur, sampai saat ini aku masih sangat mencintaimu, aku nggak mungkin bisa melupakan begitu saja atas apa yang terjadi di antara kita, tapi aku juga harus memikirkan kakakku yang lebih berhak akan dirimu.”
“Lalu ... kamu mengabaikan perasaanku, Bith?”“Kamu kira, hal ini mudah bagiku? Hatiku juga sakit, Sayang! Sebenarnya aku juga berat melepaskanmu begitu saja untuk kakakku, tapi itu harus aku lakukan. Aku harus bisa ikhlas dan menerima semuanya, tolong mengertilah,” pinta Tsabitha mengiba sambil menyeka kedua matanya yang sembab.
Kedua bola mata gadis itu kembali berkaca-kaca dan pecahlah tangisnya yang tidak bisa lagi ditahan. Moreno berusaha mendekat dan ingin merengkuh Tsabitha dalam pelukannya. Namun, gadis itu menolak dan mencegah niat laki-laki itu dengan mengacungkan tangannya ke depan, agar dia jangan mendekat. Moreno pun hanya bisa mematung memandang kekasihnya ini dengan perasaan sedih.
“Asal kamu tahu, aku ini ibarat makan buah simalakama, kalau aku melepaskanmu, hatiku yang sakit, tapi kalau aku tetap mempertahankanmu, maka banyak hati yang akan sakit. Terutama kakakku yang kondisinya sangat lemah sejak dia masih kecil.”“Apa kamu bilang? Kondisi kakakmu lemah?” Tsabitha hanya mengangguk kecil. “Apa maksudmu, Bith? Apa dia mengidap suatu penyakit yang mematikan?”
“Entahlah, aku sendiri nggak begitu ngerti," sahut Tsabitha sambil mengendikkan bahunya ke atas, "menurut Ibu, sejak lahir Kak Bella sudah mengidap kelainan jantung. Sejak kecil badannya ringkih, sering sakit-sakitan dan mudah sekali lelah. Oleh karena itu sejak kecil pula kami, maksudku ... aku dan kedua adikku sudah dibiasakan oleh Ibu dan Bapak untuk mengalah dan nggak mengganggu Kak Bella. Dalam keluarga kami, Kak Bella-lah yang nomer satu!”
“Jadi, kamu minta aku untuk menikahi kakakmu yang penyakitan itu?”
“Mas Reno!” Tanpa sadar Tsabitha berteriak cukup lantang, hingga membuat Moreno kaget.
“Oooh, maaf ! Tapi aku harus menyebutnya apa, Sayang? Kamu minta aku untuk menikah sama ... maaf, dengan perempuan yang mungkin nggak bisa memberiku keturunan, lalu masa depan seperti apa yang akan aku dapatkan? Dan sampai berapa lama aku harus bertahan dengan pernikahan seperti ini?”
“Kenapa kamu begitu pesimis dan kenapa kamu begitu yakin kalau kakakku nggak bisa memberikan keturunan? Bagaimana kalau ada mukjizat atau keajaiban yang terjadi pada keluarga kalian? Aku, aku akan selalu mendoakan kalian berdua,” sahut Tsabitha tulus.
“Tapi aku tetap nggak bisa melakukan ini semua, Bitha.”
“Aku mohon, Sayang. Please ….”
Tsabitha lalu bersimpuh di bawah kaki Moreno, diabaikannya ribuan pasir pantai yang menyentuh celana jeans dan sepatu sneaker kesayangannya. Dipegangnya kaki laki-laki itu, dia memohon dengan amat sangat agar Moreno bisa mengerti keadaannya. Diperlakukan seperti itu oleh gadis yang dicintainya, laki-laki itu jadi merasa sungkan. Bergegas Moreno meminta Tsabitha untuk berdiri dan menatap wajahnya lekat-lekat.
“Aku mohon, Sayang. Demi aku, demi cinta kita, menikahlah dengannya. Aku hanya nggak ingin melihat Kak Bella terluka dan sakit jantungnya kambuh. Kasihan dia, Sayang. Saat ini dia menaruh harapan yang cukup besar ke kamu,” pintanya penuh harap. “Kalau kamu jeli, kamu bisa melihat perubahan fisiknya, saat ini wajah Kak Bella terlihat semakin berseri-seri, nggak kuyu dan pucat seperti dulu. Makannya juga sudah mulai banyak, aku yakin, setelah dia menikah denganmu, kondisi fisiknya pasti akan berangsur-angsur membaik, mungkin saja, dia bisa sembuh.”
“Kenapa harus aku, Sayang? Kenapa dia nggak milih laki-laki lain?”
“Sejak kecil sampai sekarang, Kak Bella orangnya tertutup, introvert dan jarang bergaul. Maka nggak heran kalau dia jarang punya teman, sekalinya punya teman dekat, ternyata laki-laki itu malah selingkuh. Aku yang memergokinya, aku juga yang menghajar laki-laki itu seketika itu juga. Sejak saat itu Kak Bella jadi semakin tertutup dan enggan bersosialisasi dengan laki-laki manapun. Ibu dan Bapak benar-benar khawatir dan merasa cemas dengan kondisinya.”
“Jadi itu yang menjadi alasan kedua orang tua kita menjodohkan aku dengannya? Kenapa mereka nggak bilang dari awal?”
“Mereka ingin hubungan kalian berdua berjalan secara natural, sehingga nggak terkesan seperti dijodohkan, tapi ternyata ... kenyataan berkata lain, kamu malah jatuh cinta sama aku. Itulah mengapa Ibu sempat syok begitu memergoki kita berdua lagi jalan bareng kemarin di Mall.”
“Ya, Tuhan! Aarrhhggg! Kenapa semua ini terjadi padaku?!”Jallal berteriak lepas, seolah-olah ingin melepaskan semua beban yang menghimpit tubuhnya. Sementara malam semakin gelap, hanya lampu depan mobil yang menerangi keadaan di sekitar mereka, dan tak satupun orang yang masih terlihat berkeliaran di sana, yang ada hanya suara gempuran ombak yang memecah di dinding batu dermaga yang semakin terdengar dengan jelas oleh mereka berdua.
“Mas, sudah malam, lebih baik kita pulang,” ujar Tsabitha sambil berjalan ke mobil.
“Bagaimana aku bisa pulang, Bith? Permasalahan kita belum selesai!
“Masih banyak hari, Sayang. Kita masih bisa membicarakan hal ini lagi besok atau lusa. Sekarang, aku ingin pulang, aku mohon antarkan aku pulang, aku hanya nggak ingin membuat Ibu dan Bapak lebih cemas lagi, hari sudah semakin malam.”
“Kamu benar, baiklah, ayo, kita pulang!”
Moreno segera menggeret tangan Tsbitha dan mengajaknya masuk ke dalam mobil, tak berapa lama kemudian mobil yang mereka tumpangi telah menghilang di telan keramaian jalanan ibukota. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, tak banyak kata yang keluar dari bibir keduanya, mereka hanya terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.
“Kita sudah sampai, kamu bisa pulang sekarang! Selamat malam!” ujar Moreno dingin. Tidak biasanya laki-laki ini berkata seperti itu saat mengantar Tsabitha pulang ke rumah. Namun, gadis itu sendiri juga enggan untuk mengeluh atas sikapnya yang seperti ini, padahal biasanya dia bakalan ngambek kalau Moreno mulai cuek dan tidak peduli padanya.“Terima kasih, selamat malam!” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir mungil Tsabitha yang selalu jadi favourite Moreno selama setahun ini. Bergegas dibukanya handle pintu mobil dan saat Tsabitha hendak keluar dari mobil, tiba-tiba tangan Moreno menyambar tangan kanannya dan mencengkram erat, gadis itu menoleh. Kedua mata mereka saling beradu satu sama lain.“Beri aku waktu tiga hari, aku akan memberikan keputusannya ....”Tsabitha hanya bisa mengangguk lemah sambil menatap mata elang Moreno yang menatapnya tajam yang selalu dirindukannya selama ini. Tak lama kemudian dia keluar dari mobil, setelah Moreno melepaskan cengkraman di tangannya. ***
Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.Seminggu kemud
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern