“Kita sudah sampai, kamu bisa pulang sekarang! Selamat malam!” ujar Moreno dingin.
Tidak biasanya laki-laki ini berkata seperti itu saat mengantar Tsabitha pulang ke rumah. Namun, gadis itu sendiri juga enggan untuk mengeluh atas sikapnya yang seperti ini, padahal biasanya dia bakalan ngambek kalau Moreno mulai cuek dan tidak peduli padanya.
“Terima kasih, selamat malam!” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir mungil Tsabitha yang selalu jadi favourite Moreno selama setahun ini. Bergegas dibukanya handle pintu mobil dan saat Tsabitha hendak keluar dari mobil, tiba-tiba tangan Moreno menyambar tangan kanannya dan mencengkram erat, gadis itu menoleh. Kedua mata mereka saling beradu satu sama lain.“Beri aku waktu tiga hari, aku akan memberikan keputusannya ....”Tsabitha hanya bisa mengangguk lemah sambil menatap mata elang Moreno yang menatapnya tajam yang selalu dirindukannya selama ini. Tak lama kemudian dia keluar dari mobil, setelah Moreno melepaskan cengkraman di tangannya.***
Tiga hari pun berlalu tanpa kehadiran Moreno di sisi Tsabitha. Tepat pada hari ketiga, Moreno yang selalu menepati janji, muncul di depan kampusnya sore itu dan mengajak gadis itu ke suatu tempat.
“Kita akan kemana, Mas?”“Aku ingin mengajakmu makan malam, aku sudah menyewa tempat special untuk kita berdua!”Moreno bergegas melajukan mobilnya ke sebuah hotel ternama di kota Jakarta. Setibanya di sana, tanpa sungkan Moreno melenggang masuk ke dalam hotel tersebut sambil menggandeng tangan Tsabitha. Diabaikannya beribu pasang mata yang menatap ke arah mereka berdua. Gadis itu sendiri hanya bisa tersenyum bingung dan menyadari kalau penampilannya sore itu jauh berbeda dengan apa yang dikenakan oleh Moreno, yang berpakaian perlente ala eksekutif muda dengan setelan kemeja, vest dan celana kain yang warnanya cukup kontras abu abu dan merah maroon.Sementara Tsabitha hanya mengenakan rok span jeans belel di atas lutut plus kemeja kotak-kotak biru yang tidak dikancingkannya sama sekali dengan daleman ketat warna putih yang sekilas semakin menampakkan dadanya yang berisi, plus ransel dan sepatu sneakers favourite. Tsabitha sadar kalau semua pasang mata itu pasti akan memandang heran dengan penampilan mereka berdua yang jauh berbeda. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka, dia tidak mau tahu dan tidak ingin ambil pusing soal ini, karena sore ini gadis itu sendiri tidak tahu mau dibawa kemana oleh Moreno?
“Bukannya restonya di sebelah sana?” tanya Tsabitha heran, begitu mereka berdua sudah berada di dalam lift yang akan mengantar mereka ke lantai atas.“Memangnya dinner hanya boleh di dalam resto? Nggak, 'kan? Sudah, tenang saja! Kamu pasti bakal senang melihatnya!” sahut Moreno sambil tersenyum manis. Laki-laki itu lalu memencet tombol rooftop di papan tombol lift. Sesaat Tsabitha hanya bisa terdiam membisu. Dirasakannya getaran lembut kotak lift yang membawa mereka naik ke atas, sementara genggaman tangan laki-laki yang berdiri di sebelahnya ini masih terasa hangat di tangan. Entah kapan lagi dia akan merasakan hal seperti ini, entah kapan lagi dia akan berdiri di samping Moreno. Mencium aroma wangi tubuhnya yang selalu konsisten dengan aroma lavender, lemon dan cedarwood yang membuatnya betah berlama-lama dengan laki-laki yang sangat detail ini.Hingga akhirnya pintu lift pun terbuka. Tsabitha benar-benar terkesima dengan pemandangan di depan mereka. Dari atas rooftop ini, dia bisa melihat keindahan gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi dan mengkilat, karena terpapar sinar matahari yang memantul membiaskan sinarnya sore itu. Sementara nuansa taman dengan pepohonannya yang hijau dan bunga bermekaran di kanan kiri meja dan kursi juga sofa yang tertata apik di sana, membuat ambience rooftop ini jadi lebih segar dan menyenangkan dengan background poolside di sisi sebelah kiri.
“Mana yang lain?” Tsabitha merasa heran ketika menyadari tidak ada seorangpun pengunjung hotel yang lagi hangout di sana, kecuali para waiter yang sudah siap melayani mereka berdua sore itu.“Maksudmu?”Tsabitha memutar kedua bola matanya dan berkata, “Ini, iyaa ... ini! Maksudku, apa nggak ada tamu yang lain yang berkunjung ke atas sini? Apa memang hanya kita berdua?” tanyanya heran.“Iyaa, memang! Hanya kita berdua, aku dan kamu!" sela Moreno cepat, "aku memang sengaja membookingnya khusus hanya untuk kita berdua. Aku nggak mau diganggu sama yang lain, apa kamu keberatan?” sahutnya sambil mengajak gadis itu berjalan mendekat ke arah kursi yang sudah disiapkan untuk mereka berdua.“Ooooh, nggak! It's okay and very nice, thank u!”“You're welcome, ayooo kita duduk!”Laki-laki itu kembali menggeret tangan Tsabitha dan mengajaknya duduk di sebuah kursi yang memang sudah diset untuk dinner romantis untuk mereka berdua. Sesaat Tsabitha teringat ketika dulu Moreno menyatakan cinta padanya. Waktu itu bukan dinner romantis seperti ini, tapi saat acara piknik di sebuah kebun teh di Puncak, Bogor, yang memang sudah direncanakan untuknya. Moreno memang seperti itu, selalu bisa memberikan kejutan yang tidak pernah diduga sama sekali, sederhana, tapi sangat berkesan. Sama seperti sore ini, saat matahari mulai balik ke peraduannya, membuat suasana dinner mereka jadi tambah semakin romantis, karena rooftop tersebut hanya dihiasi lampu-lampu hias yang cukup redup.“Mas Reno, aku mau ... mengembalikan cincin ini.”Tsabitha mencoba membuka pembicaraan di antara mereka berdua sambil mengeluarkan kotak yang dibalut kain beludru berwarna biru yang berisi cincin berlian mungil pemberian Moreno dulu.
“Saat ini aku nggak ingin ngebahas itu, karena aku ingin menikmati suasana malam ini dan makan malam sama kamu, ayooo kita makan!”Moreno mempersilahkan Tsabitha untuk menikmati makanan yang telah dipesannya. Gadis itu pun menurut dan memasukkan kembali kotak beludru itu ke dalam ransel, lalu mulai menikmati makanan yang tersedia di meja. Setelah selesai menikmati dessert, Moreno lalu mengajak Tsabitha berdansa dengan diiringi lagu Can't Help Falling In Love With You-nya Elvis Presley.“Kamu tahu, lagu ini adalah salah satu lagu kesukaanku,” ujarnya di sela-sela gerakan dansanya mereka.“Kenapa?” tanya Tsabitha heran sambil terus mengikuti setiap gerakan dansa laki-laki itu yang pelan dan intens yang membawanya ke sana kemari. Moreno memang selalu bisa memperlakukan seorang perempuan.“Karena lagu ini mewakili perasaan kita!”“Mas, pleaseee ... mulai sekarang kita harus melupakan semua perasaan kita. Kita mulai lagi dari awal sebagai seorang teman atau mungkin lebih tepatnya sebagai kakak dan adik. Kamu masih ingat, 'kan? Apa tujuanmu mengajakku kemari?”“Iyaa, of course! Aku masih ingat, aku nggak akan lupa, Bith!”“Kalau begitu, katakan padaku apa keputusanmu?”Sesaat gerakan dansa Moreno mulai melambat dan berhenti ketika Tsabitha kembali menyinggung soal keputusannya. “Kamu mau tahu? Apa keputusanku?" Tsabitha segera mengangguk pelan, seolah-olah ingin segera mengakhiri semua permainan laki-laki ini dan segera angkat kaki dari sana cepat-cepat, begitu mendengar apapun keputusan Moreno. “Keputusanku adalah ....”
Keduanya terdiam, ada jeda di antara mereka. Pasangan ini hanya saling menatap satu sama lain, Tsabitha jadi semakin penasaran dan ingin segera tahu apa keputusan laki-laki yang telah dianggapnya sebagai mantan pacarnya ini.
“Keputusanku ... aku bersedia menikah dengan kakakmu! Tapi dengan satu syarat!”“Kenapa harus pakai syarat segala?” sela Tsabitha kesal. “Baiklah, apa syaratnya?”“Setelah satu tahun pernikahan kami, aku akan menceraikannya!”Tsabitha terhenyak dan sesaat hanya bisa terdiam sambil menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya. “Cerai? Kenapa kamu nggak berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kalian? Karena siapa tahu dengan berjalannya waktu, kamu bisa mencintainya, who knows, 'kan?”
“Aku hanya mencintai kamu saja, Bitha! Kamu tahu itu, 'kan?" sela Moreno cepat, "dan asal kamu tahu! Aku mau melakukan ini semua, hanya karena kamu! Kalau bukan kamu yang memintanya, aku juga nggak mau melakukan semua ini! Jadi sekarang, kamu mau menerima keputusanku ini atau tidak?” tantangnya mantap.“Apa kamu nggak bisa sedikitpun? Sedikit saja memikirkan perasaan Kak Bella? Bagaimana nanti perasaan Kak Bella kalau kamu mengajukan cerai padanya? Kamu tega?”“Aku 'kan sudah bilang sama kamu, kalau aku nggak mungkin menikah sama perempuan yang nggak aku cintai! Jadi, bagaimana bisa aku mempertahankan rumah tangga kami? Dan lagi aku rasa satu tahun pernikahan, aku rasa itu sudah cukup, Bitha!" ucap Moreno kesal, "aku akan mencoba memberi pengertian ke kakakmu kalau aku hanya mencintai kamu!”Tsabitha menggeleng pelan, “Jangan katakan itu, Sayang. Ooh maaf, nggak seharusnya aku manggil kamu sayang lagi!”
“Nggak masalah! Kamu sah-sah saja memanggil aku apa saja, Sayang,” sela Moreno sambil membelai rambut Tsabitha yang panjang dan ikal mayang.
“Nggak, Mas! Mulai hari ini aku nggak berhak memanggilmu dengan sebutan sayang lagi. Hubungan kita hanya sebatas kakak dan adik, tidak lebih dari itu!”
“Tapi aku tetap akan memanggil kamu dengan sebutan sayang ….”
“Terserah!” balas Tsabitha ketus. “Oh ya, balik soal Kak Bella tadi, aku mohon, pleaseee ... jangan ceraikan dia! Kasihan Kak Bella, aku nggak bisa ngebayangin bagaimana dia nanti.”
“Kenapa harus dibayangin? Kita jalani saja! Percaya padaku, Sayang! Kakakmu akan baik-baik saja dan aku yakin, dia pasti bisa menerima semua ini, dia itu sudah dewasa, trust me!”“Nggak, Mas! Kamu nggak tahu gimana kakakku. Kalau dia tahu rencana ini, sakit jantungnya bisa kumat! Aku nggak mau terjadi sesuatu sama Kak Bella, gara-gara ulah kamu, Mas. Aku mohon, please ….”
“Terserah kamu! Semuanya aku kembalikan ke kamu! Kalau kamu menerima syaratku ini, aku akan menikah sama kakakmu, tapi kalau kamu menolaknya, aku juga nggak mau menikah sama kakakmu. Bagaimana?”
Lagi-lagi Tsabitha dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit, apakah dirinya harus menerima syarat Moreno atau menolaknya? Kalau dia menolak, itu artinya Moreno tidak akan menikahi Kak Bella! Dia tahu bagaimana sifat laki-laki ini yang selalu teguh dengan pendiriannya. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, gadis itu menerima syarat Moreno, agar kakaknya bisa menikah. Tsabitha hanya ingin kakak dan kedua orang tuanya bahagia, itu saja. Dan malam ini Moreno telah sah menjadi suami Mabella. Gadis itu merasa lega, satu permasalahannya telah terselesaikan dengan baik, meskipun dibalik itu, masih ada permasalahan yang lain yang menantinya.
Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.Seminggu kemud
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern