“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya.
Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan.
“Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.”
“Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebelum kamu ke sini, ‘kan?” sela Bella sambil menyesap kopi Espresso pesanannya, sementara Moreno hanya terdiam, mengaduk-aduk kopi Espresso yang ada di depannya dengan sendok, menyimak pembicaraan kakak beradik ini sambil sesekali melirik ke arah Tsabitha, membuat gadis itu jadi salah tingkah lagi.
“Iyaa, sih. Aku udah les bahasa Perancis, tapi ‘kan ada juga kata-kata yang nggak aku ngerti, Kak. Apalagi bahasa Perancis gitu, lho! Jadi kadang, kalau aku nggak tahu ngomongnya, aku pake bahasa tubuh, pokoknya segala macam gestur deh! Supaya bisa ngobrol sama mereka, baik di apartemen atau di kampus.”
Moreno tersenyum, menyimak celoteh Tsabitha dengan mimik yang lucu dan menggemaskan, membuat gadis itu jadi semakin salah tingkah di depannya. Apalagi saat Bella menggelanyut manja di lengan laki-laki itu, perasaannya jadi semakin tidak karuan. Jujur, dia cemburu, apalagi saat Moreno mencium lembut rambut sang istri sambil menatap tajam ke arahnya, membuat dadanya berdesir sakit.
“Teruus ….” sela Mabella sambil bermanja-manja di lengan Moreno, merapatkan tubuhnya di pelukkan laki-laki itu yang memeluknya erat, membuat Tsabitha jadi semakin gelisah. Moreno bisa melihat gurat cemburu di matanya.
“Ya, jadi ….” Tsabitha mencoba menarik napas untuk menetralisir emosinya. “Ini … jadi tantangan buatku, supaya bisa ngobrol pake bahasa Perancis.”
“Ini suamiku faseh banget ngobrol bahasa Perancis dan Jerman. Iya, ‘kan, Sayang?” ujar Bella sambil mencium pipi suaminya dengan perasaan bangga. Moreno tersenyum lalu mencium balik pipi istrinya dengan lembut, dada Tsabitha berdesir kembali, sakit rasanya. Mabella pun tersenyum lebar, ada rona kebahagiaan yang terpancar di wajahnya.
Tsabitha tidak suka melihat kemesraan pasangan suami istri ini. “Mereka pasti sudah melakukan malam pertama,” batinnya resah. “Kak Bella terlihat sudah biasa bermanja-manja sama Mas Reno, pasti mereka sering melakukannya. Ya, iyalah! Mereka ‘kan sudah suami istri, sudah sewajarnya mereka melakukan itu, gimana sih kamu, Bitha!” rutuknya dalam hati.
“Vous êtes jaloux (kamu cemburu)?” Tsabitha tersentak kaget, saat Moreno buka suara dan menatapnya tajam.
“Quelle(apa)?” sahut Tsabitha bingung.
“Du bist eifersuchtig (kamu cemburu)?” sela Moreno lagi sambil menatap wajah gadis itu lekat. Mata elang itu menghujam tepat ke jantungnya, membuat dia jadi semakin resah.
“Kalian ngomong apaan sih?” Mabella ikut menyela sambil merapatkan tubuhnya dipelukkan sang suami dengan memegang lengan laki-laki itu yang melingkar di perut.
“Aku cuma memuji Tsabitha saja, bahasa Perancisnya juga sudah mulai faseh!” Moreno berusaha berkelit dan memberikan alasan yang logis yang bisa diterima sang istri.
Tsabitha menggeleng seraya berkata, “Aah, nggak juga. Makanya aku kerja di café ini. Biar aku terbiasa ngobrol sama mereka pake bahasa Perancis. Jadi itu alasannya aku kerja di café ini. Kebetulan ‘kan aku sering lewat sini kalau mau ke kampus, dari apartemenku ‘kan deket banget,” lanjutnya, “trus aku lihat ada lowongan pelayan, ya udah aku nyoba nglamar, trus diterima jadi pelayan freelance. Jam kerjanya juga cuma tiga jam, dari jam 6 sampai jam 9 malam atau dari jam 5 sampai 8 malam, tergantung jadwal. Tapi yang pasti sore sampai malam.”
“Sejak kapan kamu kerja di café ini? Apa nggak ganggu kuliahmu?” sela Mabella.
“Baru sebulan, Kak. Kuliahku asyik-asyik aja, kok! Oh iya, kalian udah sempet pulang ke rumah ‘kan, sejak bulan madu ke Abu Dhabi kemarin?”
“Udah lah, Bith. Iya, ‘kan, Sayang?” sahut Bella sambil kembali mencium pipi laki-laki itu. Moreno hanya tersenyum sambil menatapnya lekat. Tsabitha pun membuang tatapannya ke arah lain, supaya tidak melihat lagi kemesraan kakak dan mantan pacarnya. “Kebetulan Reno ada urusan bisnis di Jerman. Jadi kami sebenarnya juga udah di Jerman selama dua minggu ini!”
Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Kok nggak kasih kabar, sih? Jerman Paris ‘kan deket! Kalau pake pesawat ‘kan cuma 1 jam, pake kereta, ya dua jam-an lah!” selanya cepat untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, agar tidak resah memikirkan kemesraan pasangan pengantin baru ini yang kelihatannya sudah begitu intim.
“Ya, nggak lah! Kita ‘kan memang sengaja, sengaja mau kasih kejutan ke kamu! Kalau kami ngasih kabar, itu namanya bukan kejutan!” Mabella terkekeh geli, Tsabitha hanya tersenyum datar, sementara Moreno hanya terdiam penuh misteri.
“Weekend nanti kamu libur, ‘kan?” sela Moreno tiba-tiba dan masih menatap Tsabitha lekat.
Tsabitha jadi salah tingkah. “Ya, liburnya cuma pas Sabtu atau Minggu! Memangnya kenapa?” sahutnya canggung.
“Ambil libur tiga hari, Jumat, Sabtu, Minggu!” Mabella ikutan menyela. “Kamu harus menemani kami selama tiga hari di sini. Soalnya hari Senin nanti, kami udah ke Jerman lagi!”
“Atau … kamu keluar aja dari kerjaan ini! Kamu ‘kan nggak butuh-butuh banget!” Moreno menimpali ucapan istrinya. “Lagian, aku rasa, lama-kelamaan nanti kuliahmu keganggu, mungkin saat ini belum terasa, tapi next, suatu saat nanti, kamu pasti bakal kewalahan.” Mabella mengangguk mantap, membenarkan ucapan sang suami.
“Iya, bener itu, Bith! Kata kakak iparmu ini! Mending kamu keluar aja, lagian kalau mau faseh pake bahasa Perancis, kamu ‘kan bisa ngobrol sama Reno pake bahasa Perancis! Iya, ‘kan, Sayang?” Laki-laki itu mengangguk dengan senyum manisnya.
Sebelah alis Tsabitha melengkung naik ke atas. “Oh tidak! Ngobrol sama Moreno pake bahasa Perancis? Itu artinya kamu membiarkan suamimu mendekati aku lagi, Kak!” batinnya cemas. “Tapi, kalau boleh jujur, sebenernya aku seneng juga, kalau aku boleh ngobrol sama Mas Reno, apalagi Kak Bella juga mengijinkan. Dengan begitu aku jadi semakin deket sama dia. Iiih … nggak usah ngayal terlalu tinggi deh, Bith!” kata hatinya mulai saling bertentangan satu sama lain. “Pikirin Kak Bella dan yang lain!”
“Gimana, Bith …?” Suara Mabella menyadarkan lamunannya.
“Oh, eeh, gimana, Kak?” Tsabitha jadi gugup.
“Kamu bisa ‘kan ambil libur tiga hari besok? Kalau oke, besok Jumat, kami jemput, gimana?”
“Ya, nanti coba deh, aku bilang sama Boss-ku dulu! Nanti aku kabari, Kak!”
“Okee, kalau gitu aku tunggu kabarnya! Sekarang pulang, yuk! Udah malam banget, nih! Udah hampir jam 12, lho! Ayok, kami antar kamu pulang!”
Tsabitha tersenyum dan mengangguk kecil, tak lama kemudian mereka bertiga sudah beralih berjalan menuju ke apartemen yang jaraknya kurang lebih hanya 10 menit ke café Le Marais, Les Philosophes. “Terima kasih, Kak! Sudah dianter sampai depan pintu, mau mampir?” ujarnya basa-basi, ketika mereka sudah tiba di Apartemen Pompidou. Sebuah apartemen dengan konsep studio, yang terletak di tengah-tengah kawasan Marais Paris, yang terkenal sebagai tempat belanja, museum dan galeri seni. Hanya 200 meter dari Centre Pompidou.
“Mau banget! Aku pengin lihat-lihat apartemenmu ini!”
Mabella bergegas masuk ke dalam apartemen, saat adiknya membuka pintu lalu meletakkan tas ransel di sofa, sebuah tas ransel warna coklat tua yang terbuat dari karung goni, hadiah dari Moreno dulu. Laki-laki itu hanya melirik sekilas ke tas ransel tersebut dan mengekor di belakang. Mereka berdua lalu melihat-lihat apartemen Tsabitha yang girly banget, banyak bunga-bunga segar diletakkan di sudut-sudut ruangan, belum lagi pot-pot bunga yang berisi tanaman perdu hijau yang terletak di rak susun berbentuk zigzag, juga ikut mewarnai ruangan itu. Gadis itu memang suka keindahan dan keasrian.
“Waah, keren banget apartemen kamu ini! Kamarnya di atas?”
“Iya, model studio, jadi cuma satu kamarnya di atas dan nggak ada pintunya,” seloroh Tsabitha sambil menunjuk ke lantai atas, yang bisa terlihat dari lantai bawah dengan jelas. Mabella juga ikut mendongak ke atas, merasa kagum, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Waah, asyik juga, ya! Trus apa aja fasilitasnya?” Mabella jadi semakin penasaran.
“Fasilitasnya, akses Wi-Fi gratis, juga panggilan internasional ke lokal juga gratis! Trus itu TV kabel layar datar. Ada dapur kecil juga, lengkap sama mesin cuci piring dan microwave. Kamar mandinya pake shower dan mesin cuci, trus ada taman kecil di belakang untuk jemur baju,” sahut Tsabitha sambil beralih ke dapur. “Mau minum apa?”
“Nggak usah! Udah kembung, dari tadi minum terus!” sahut Moreno sambil merebahkan tubuhnya lebih dalam lagi di sofa besar itu.
“Apartemenmu ini kayaknya deket ke pusat kota, ya?”
Tsabitha mengangguk sambil duduk di kursi yang ada di dapur dan menyesap air putih yang diambilnya dari dalam lemari pendingin, sementara Mabella mulai naik ke lantai atas, untuk melihat-lihat kamar yang menggunakan kasur king size. “Iyaa, kemana-mana deket, ke stasiun RER Châtelet - Les Halles, deket. Ke bandara juga deket, kalau mau ke Notre-Dame atau ke Pont Neuf juga deket. Ke tempat wisata 4th arr juga deket!”
“Kasurmu gede juga, yaa! Eh, apaan itu 4th arr?” sela Mabella sambil turun dari lantai atas.
“4th arr itu tempat wisata buat yang suka makan, belanja dan seni, Kak! Di sana toko-toko fashion yang brandid macem H&M, Zara, Chanel, Cartier, Hermès banyak!”
“Waah, asyik itu! Kita bisa belanja-belanja di sana. Iya, ‘kan, Sayang?”
“Iya, gampang! Udah yuk, sekarang kita pulang! Kasihan adikmu, besok ‘kan dia kuliah! Biar dia istirahat dulu. Ayok, kita pulang!” ujar Moreno sambil berdiri dan menjulurkan satu tangannya ke Mabella. Perempuan itu segera berlari dan menyambut tangan sang suami lalu menggenggamnya erat.
“Iya, iya, kami pulang dulu, ya, Bith! Jangan lupa Jumat, Sabtu, Minggu, kamu kudu nemenin kami!” teriak Mabella lantang sambil menggelanyut manja di lengan suaminya. Tsabitha hanya tersenyum dan menghampiri mereka, desiran di dadanya kembali terasa.
“Iya, nanti aku ijin dulu sama si Boss!”
“Ya, udah pulang dulu, ya! Suamiku udah capek nih!” goda Mabella sambil mengerlingkan matanya ke Moreno, laki-laki itu hanya tersenyum.
Tsabitha segera menutup pintu apartemen dan menguncinya, saat pasangan pengantin baru itu telah pergi meninggalkannya. Di tariknya napas cukup dalam dan dipejamkan matanya sesaat sambil bersandar di balik pintu, desiran di dadanya terasa semakin sakit. Entah mengapa tiba-tiba rasa cemburu itu menguasai setiap relung hatinya, Tsabitha menangis sesenggukkan sambil terduduk di lantai, bersandar di pintu. Dia tidak mengerti, kenapa sangat sulit melupakan Moreno? Kenapa rasa cinta itu kembali bersemi, ketika laki-laki itu kembali muncul di depannya? Kenapa dia harus cemburu sama Mabella, yang notabene adalah istri laki-laki itu?
[“Vous êtes jaloux?”]
Tiba-tiba sebuah pesan dari Moreno masuk ke ponsel yang digenggamnya sedari tadi. Tsabitha hanya membacanya. Namun, tidak membalas pesan itu.
[“Kamu sudah tahu artinya?”]
Kembali pesan kedua masuk. Gadis kembali mengabaikan pesan itu.
[“Kamu cemburu? Itu artinya, Sayang. I love you! Have a nice dream!”]
Begitu bunyi pesan dari Moreno yang ketiga. Tsabitha hanya terdiam sambil membaca pesan-pesan itu. Namun, lagi-lagi tidak membalasnya. “Ya, aku akui, aku memang cemburu, Mas! Kenapa kamu membuatnya jadi semakin sulit? Aku jadi sulit ngelupain kamu!” teriaknya kesal sambil menangis pilu.
Malam itu, Tsabitha gelisah dan bingung. Apa dia harus menerima ajakan Mabella untuk menemani mereka selama tiga hari? Karena itu artinya, selama tiga hari itu, dia harus merelakan hatinya tercabik-cabik oleh rasa cemburu, melihat kemesraan mereka berdua. Moreno pasti sengaja ingin membuatnya cemburu. Tapi kalau dia menolak menemani mereka, Bella pasti akan bertanya-tanya dan penasaran dengan sikapnya. Oooh Tuhan, bagaimana ini?
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Di kampus … “Apa kamu mau nikah?” tanya Havika setengah berteriak, saat Tsabitha menceritakan tentang niatnya yang ingin menikah dengan Moreno. Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Vika! Jangan teriak-teriak gitu, malu tahu! Gak enak didengerin banyak orang! Lagian baru kamu yang tahu tentang hal ini!” sahutnya sambil menutup mulut Havika dengan tangannya. “Alaa, tenang aja! Lagian bule-bule ini nggak pada ngarti kita ngomong apa! Sante ajaa!” ujar Havika sambil membuka tangan sahabatnya itu lalu menunjuk ke bule-bule yang ada di sekitar mereka, yang lagi pada nongkrong sambil ngobrol-ngobrol di kantin kampus. “Tapi jujur, parah kamu, Bith! Kamu mau nikah sama pacar kamu yang suami kakak kamu itu?” “Ssttt, Vika! Kalau ngomong suka keras-keras, deh! Pelan dikit bisa, ‘kan? Ayo, sini ikut aku!” Tsabitha segera menggeret tangan Havika dan mengajaknya ke taman yang ada di tengah kampus. Havika adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia te
"Mister Moreno ada di kamar 1001, Nona bisa langsung ke kamarnya, Mister Reno sudah menunggu di atas. Nanti biar kopernya saya antar ke atas," ujar sopir Moreno yang asli dari Jerman, tapi faseh berbahasa Indonesia dengan logatnya yang cadel. Malam itu, Tsabitha dijemput oleh sopir suruhan Moreno, yang bernama Oscar dan mengantarkannya ke hotel Crowne Plaza, tempat laki-laki itu berada."Terima kasih, Oscar. Aku ke atas, ya!" sahut Tsabitha sambil membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke dalam hotel.Malam itu hotel Crowne Plaza terlihat cukup ramai, rupanya rombongan turis asal China baru saja datang dan menginap di hotel tersebut. Sepertinya mereka ini rombongan piknik sebuah perusahaan, karena mereka tampak ramai-ramai foto bersama dengan sebuah spanduk yang dibentangkan di depan mereka. Tsabitha hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang lucu-lucu, sambil melangkah gontai ke arah lift."Tsabitha, how are you?"