“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen.
“Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?”
“Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai.
“Apanya?”
“Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha.
Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?”
“Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsabitha, gadis itu jadi tidak nyaman. “Kakak juga mau sandwich?” Mabella mengangguk sambil menuangkan orange juice ke tiga gelas kosong yang disediakannya, lalu menyodorkan salah satunya ke Moreno.
“Hari ini kita awali pergi ke Menara Eiffel dulu ya, Bith!” ujar Mabella sambil menyesap orange juice-nya lalu memakan sandwich buatan sang adik, Moreno juga tampak lahap menikmati sandwich itu.
“Terserah Kakak aja, kemana aja, aku ikut! Aku ‘kan sudah minta ijin tiga hari nggak kerja,” sindir Tsabitha sambil menikmati sandwich buatannya sendiri.
“Kenapa nggak yang deket-deket sini aja dulu, sih? Kenapa harus yang jauh?” sela Moreno heran.
“Sayang, banyak orang yang bilang, kalau ke Paris dan nggak ngunjungi bangunan paling ikonik di kota romantis ini, yaitu Menara Eiffel. Sama aja belum ke Paris!”
“Iyaa … pendapat itu memang tepat! Tapi saranku, kalau mau ke Menara Eiffel itu, enakan malam hari! Nggak pagi-pagi gini!”
“Kenapa emangnya?” sela Mabella penasaran.
“Kamu nggak pengin ngabadiin momen keindahan suasananya? Itu Menara kelihatan bagus banget karena lampu-lampunya, ‘kan?” Mabella mengangguk, membenarkan ucapan sang suami. “Lampu menara itu biasanya, hanya nyala setiap satu jam sekali, dan hanya lima menit! Itu momen langka banget, ‘kan?”
“Iyaa … juga yaa, kalau gitu ganti jadwalnya deh!” sahut Mabella kesal.
“Tapi katanya ngantrinya juga lama lho, Kak!” Tsabitha menimpali ucapan Moreno.
“Ngantri sampai berapa lama?”
“Katanya sih kurang lebih hampir tiga jam, soalnya banyak turis yang datang ke sana, kan!”
“Yang bener?” Tsabitha mengangguk, meyakinkan sang kakak. “Kalau gitu kita butuh tenaga ekstra nih kalau mau ke sana!” ucap Mabella antusias.
“Ya, nggak papa lah! Seumur sehidup sekali, ‘kan?” sela Moreno. “Sebenarnya yang paling asyik, kalau mau menikmati Menara Eiffel, kita bisa ngelihatnya di Champ de Mars!”
“Apa itu, Sayang?” Mabella jadi semakin penasaran dengan cerita suaminya.
“Area itu macem ruang terbuka hijau, jadi kita bisa nyante di taman itu sambil lihat keindahan Menara Eiffel dari jauh atau bisa selfie dengan background Menara Eiffel. Seru, ‘kan?”
“Bener juga ya! Kalau gitu, abis naik ke Menara Eiffel, terus kita nongkrong di Champ de Mars, gimana? Hmm … kalau gitu pas malam Senin aja ke sananya. Bukan begitu, Bith?” ucap Mabella lagi.
“Terserah, Kakak aja! Aku ikut aja,” sahut Tsabitha sambil memberesi piring dan gelas kotor lalu mencucinya di bak cuci piring.
“Kalau gitu, gimana kalau pagi ini kita ke Arc de Triomphe de l’Etoile!” sela Moreno.
“Apa …? Susah amat namanya, kamu tahu itu, Bith?”
“Itu macem monument, Kak. Yang bentuknya kayak gapura gede itu lho, Kak!” jelas Tsabitha sambil membersihkan meja dapur dengan cairan disinfektan. “Itu monument penghargaan orang-orang yang berjuang untuk Perancis, khususnya, yang berperang selama Perang Napoleon dulu.”
“Oh, gitu! Ya udah, yuk sekarang kita berangkat! Udah beres semua, ‘kan?”
Pagi itu Moreno, Mabella dan Tsabitha memulai tour keliling Parisnya dari Arc de Triomphe de l’Etoile, lalu berlanjut ke Louvre, salah satu museum terbesar dan paling terkenal di dunia. Berbagai karya seni dipajang di sini, mulai dari seni antik hingga seni renaissance. Bangunannya pun punya daya tarik tersendiri, seperti piramida gelas di area lapangannya dan pernah menjadi objek utama dalam film fenomenal 'The Da Vinci Code' yang dibintagi Tom Hanks. Banyak orang yang bilang, tidak cukup waktu satu hari saja untuk mengelilingi tempat yang dibuka sebagai museum pada tahun 1793 ini. Ada lebih dari 30.000 objek dari zaman pra-sejarah sampai abad 19 yang harus dilihat dan dikagumi di sini, termasuk melihat lukisan asli Mona Lisa yang legendaris.
“Waaah gila! Baru dua tempat kita kunjungin, tau-tau udah sore gini!” ujar Mabella sambil berjalan di sepanjang pasar loak St. Oen yang mereka kunjungi, bersisian bareng Tsabitha, sementara Moreno mengekor di belakang kakak beradik ini.
“Yaa … gini, deh. Kalau jalan-jalan di Paris itu emang nggak bisa sehari dua hari. Kalau mau melihat semua keindahan di kota Paris ini, kita harus liburan sebulan atau dua bulan, baru puas, Kak!” sahut Tsabitha.
“Iyaa bener banget kamu, Bith! Aku mungkin memang harus liburan berapa bulan di Eropa kali yaa. Biar bisa mengunjungi semua penjuru kota Paris! Iyaa, nggak, Sayang?” Moreno tidak menggubris ucapan Mabella, karena sedang asyik-asyik melihat-lihat benda-benda antik yang ditawarkan di sana.
Pasar St. Ouen memang disebut sebagai pasar loak, tapi banyak ratusan dealer yang menjual barang-barang antik dengan kondisi masih bagus. Salah satu yang menarik adalah koleksi baju-bajunya. Paris memang terkenal sebagai kota dengan selera fashion yang mengagumkan, dan penataan etalase toko di sini membuktikan pernyataan tersebut. Setiap display ditata begitu apik dan mengagumkan. Mulai dari butik fashion sampai toko kue, semuanya memiliki display yang ditata dengan citarasa seni yang tinggi untuk menampilkan produk-produk mereka secara maksimal. Sebuah cara yang murah bahkan gratis, untuk menikmati keindahan Paris.
“Bith, gimana kalau malam nanti kita dugem?” tanya Mabella sambil melihat-lihat barang-barang antik yang ada di depan mereka. “Mau ya, Bith! Soalnya Moreno nggak pernah mau kalau diajak dugem!” ujarnya lirih setengah berbisik. Tsabitha hanya tersenyum datar.
“Lagi ngobrol apa kalian berdua? Kok bisik-bisik gitu?” sela Moreno sambil memeluk istrinya dari belakang, membuat Tsabitha mulai tak nyaman.
“Ini lho, Sayang. Tsabitha pengin dugem, pengin clubbing nanti malam. Iya kan, Bith!” sahut Mabella sambil menyandarkan tubuhnya di dada Moreno dan memeluk tangan laki-laki itu yang melingkar di perut sambil memberikan kode ke Tsabitha dengan matanya.
“Bener begitu, Bith?” tanya Moreno yang matanya tak lepas menatap gadis itu lekat. Tsabitha jadi salah tingkah ketika mata mereka saling beradu pandang.
“Iyaaa, bener! Tsabitha pengin clubbing, Sayang. Tadi dia bilang ke aku. Kebetulan juga aku ‘kan belum pernah clubbing kalau ke luar negeri. Kemarin waktu di Abu Dhabi sama Jerman, kamu nggak mau ‘kan aku ajak clubbing!” Mabella pura-pura merajuk.
“Ooh, jadi ceritanya ini cari pasukan buat nyerang aku? Hmm …?” ujar Moreno sambil mencium pipi sang istri dari belakang, Tsabitha jadi semakin tidak nyaman melihat kemesraan mereka berdua.
“Iih, siapa yang nyari pasukan? Bitha itu juga suka clubbing! Dulu kami berdua suka clubbing bareng di Jakarta. Iya ‘kan, Bith!” Gadis itu mengangguk resah dengan senyum yang dipaksakan. Moreno bisa membaca gestur tubuh mantan pacarnya ini yang mulai tidak nyaman melihat kemesraannya dan Bella.
“Wah, ternyata kalian suka dunia malam juga!”
“Nggak setiap hari kok, Sayang! Paling sebulan sekali. Tapi itu dulu, dulu banget! Sekarang kita nggak pernah dugem kok! Kita udah lama yaa, Bith. Nggak pernah dugem!”
Tsabitha mengangguk membenarkan ucapan sang kakak. “Iya, udah lama banget,” selanya. “Iya, udah lama banget, Kak. Karena waktu itu aku lebih suka berduaan sama suami kamu, ketimbang sama kamu,” bathinnya resah.
“Oke, kalau gitu, nanti malam kita clubbing!”
“Serius …? Makasih, Sayang!” ujar Bella sambil membalikkan tubuhnya, mencium kedua pipi laki-laki itu dan memeluknya erat, Moreno hanya tersenyum tipis. Namun, matanya tetap melekat menatap Tsabitha. Gadis itu melengos, membuang tatapannya ke arah lain. Lagi-lagi dadanya sakit, desiran itu kembali terasa. “Yaa udah kalau gitu, aku jemput kamu jam 8 malam. Kita makan malam dulu, trus clubbing, gimana?” Tsabitha mengangguk kecil sambil tersenyum manis yang dipaksakan, saat Bella berbalik dan memegang tangannya.
***
Malam itu, Tsabitha bingung. Baju apa yang harus dipakainya untuk clubbing nanti malam? Dipilihnya satu per satu baju yang mungkin akan dipakainya, lalu dikeluarkannya semua baju-baju itu dari lemari kayu geser. Dicobanya baju-baju itu satu per satu dengan menempelkan ditubuhnya sendiri sambil bercermin di depan kaca riasnya yang besar. Namun, tidak ada satu pun yang cocok. Tsabitha sadar dengan bentuk tubuhnya yang seperti jam pasir, dengan ukuran pinggang kecil, tapi bagian dada dan pinggulnya yang cenderung besar dan berisi, dia memang bisa memakai berbagai model rok, terutama rok span yang mempertegas bentuk pinggang, tapi sedari tadi dia tidak menemukan model yang pas di hati.
“Tapi aku nggak mau pake rok span!” ujarnya sambil mematutkan diri di depan cermin. “Kesannya gimana gitu! Aku nggak mau mencari perhatian Mas Reno! Nanti dikiranya aku coba-coba cari perhatian dia! Ciiih, nggak sudi!” rutuknya kesal.
“Kalau gitu aku pake yang casual aja! Yang nggak gitu mencolok! Gimana kalau aku pake Spaghetti Strap Tank Top yang putih ini saja, ditutup sama blazer hitam yang pendek ini dan roknya A - line skirt abu-abu. Nah pas! Plus sepatu sneaker!” ujarnya sambil mengambil Spaghetti Strap Tank Top-nya dari dalam lemari. Sebuah tanktop yang menggunakan tali pengikat berukuran sangat tipis seperti ukuran spaghetti atau ukuran mie yang melewati pundak yang terbuat dari bahan spandex, sehingga membalut tepat di tubuhnya. Juga rok A – line skirt-nya yang mengembang di bagian bawah, sehingga memberikan kesan volume pada tubuh.
Berulang kali dia mematutkan diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya malam ini tidak norak dan tidak mencuri perhatian Moreno. “Kenapa aku harus mikirin apa yang bakal dipikirin Mas Reno tentang diriku? Emangnya dia itu apanya aku! Kok aku jadi bego gini sih!” rutuknya di depan cermin. “Sebodo! Apa yang dibilang Mas Reno, aku nggak peduli!”
Gadis itu segera turun ke lantai bawah dan menyiapkan sepatu sneaker kesayangan, setelah mengenakan blazer hitam yang menggantung di atas pinggang. Diliriknya jam tangannya sendiri, sudah hampir jam 8 malam. “Mereka pasti sudah menuju ke sini, Mas Reno ‘kan on time banget!” bathinnya sambil mengenakan sepatu sneaker. Tak berapa lama kemudian bel di pintu berdentang. Moreno dan Mabella sudah berdiri di depan pintu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen.
“Ayooo, kita pergi!” Tsabitha mengangguk dan segera berlari ke dalam mengambil tas selempang kecil yang tergeletak di atas meja.
“Tunggu!” Tiba-tiba Moreno berteriak keras sambil berjalan menghampirinya. “Apa kamu nggak punya baju yang lain?”
“Maksudmu …?” tanyanya bingung.
Laki-laki itu menelan ludah saat melihat area dada gadis itu yang sedikit terbuka di balik blazer hitamnya. Rupanya kerah Spaghetti Strap Tank Top yang dikenakan Tsabitha yang membentuk huruf U lebar, sedikit menampilkan gumpalan dadanya yang besar di bagian atas. Moreno tidak suka kalau gadisnya jadi perhatian banyak pria hidung belang yang nongkrong di club malam ini, laki-laki ini ingin Tsabitha menyadari hal itu.
“Ada apa sih, Sayang? Aku rasa bajunya baik-baik saja.” Mabella mencoba menetralkan suasana yang sedikit tegang.
“Apa kamu nggak lihat atasan yang dipakainya? Dadanya itu terlalu terbuka!” sahut Moreno kesal.
“Tapi aku ‘kan pakai blazer! Nggak kelihatan, kok!” Tsabitha juga ikut kesal, saat pria ini mulai mengkritik penampilannya.
“Udah lah, Sayang. Namanya juga mau clubbing. Lagian bagian dadanya ini nggak terekspose banget, kok! Kan udah ditutupi pake blazer. Roknya juga selutut, adikku ini memang sexy body-nya, tapi dia masih sopan kok dandanannya, nggak norak-norak amat, seperti yang lain kalau clubbing. Udah nggak papa, yuk!” Mabella segera menggandeng tangan Tsabitha dan mengajaknya keluar.
“Tapi Bell--…” Suara Moreno tercekat ketika kedua kakak beradik itu berjalan beriringan melintas di depannya sambil tersenyum manis.
“Mau ikut nggak?” goda Mabella sambil memegang handle pintu apartemen, hendak menutup pintu. Laki-laki itu hanya bisa mendengkus kesal, lalu beralih keluar dari apartemen.
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Matahari sudah meninggi ketika Moreno mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau yang menerpa. Laki-laki itu terbangun dari tidur lelapnya setelah semalaman bercinta, menyalurkan hasrat yang lama terpendam bersama sang kekasih. Senyuman manis tampak menghias wajahnya yang tampan sambil melirik ke arah gadis itu yang masih tertidur dalam pelukkannya. Wajah Tsabitha yang polos dan cantik terlihat sangat nyaman terbaring di atas dadanya yang putih bak pualam. Perlahan dibelainya wajah ayu itu, wajah yang sangat dirindukannya setiap saat. Moreno merasa puas dan lega karena bisa mendapatkan gadisnya kembali. Ditariknya nafas lega, hingga membuat perempuan itu sedikit menggeliat, Moreno jadi semakin gemas menatapnya. Baru kali ini dia merasakan getaran yang begitu dahsyat saat bersatu Bersama sang kekasih, satu perasaan yang sangat sulit dilukiskan, yang tidak pernah dirasakannya ketika sedang bersama Mabella—istrinya. Kebutuhan bathin yang diberikannya ke sang istri selama ini, baginya hanya
Siang itu selesai menikmati makan siang di hotel, Moreno, Mabella dan Tsabitha segera melesat ke pusat perbelanjaan yang sangat terkenal di kota Paris, Galeries Lafayette. Sebuah tempat belanja kalangan kelas atas di dunia. Bentuk interiornya yang megah dan berkelas membuat Mall ini memang diperuntukkan untuk kalangan kelas atas. Mabella terkagum-kagum ketika memasuki Mall tersebut, berbagai macam butik barang branded seperti, Chanel, Louis Vuitton dan Hermes, semuanya ada di sana. “Bith, gila! Lihat! Tenant-nya branded semua!” “Paris itu memang salah satu tempat untuk berburu barang branded, Kak! Karena sebagian besar asal barang branded itu ‘kan berasal dari Paris, macam Chanel, Dior, Kenzo dan lain-lain,” sahut Tsabitha sambil berjalan bersisian di sebelah sang kakak. “Tepat! Dan sebagian besar negara di Eropa menerapkan sistem Refund Tax atau pengembalian pajak pada wisatawan termasuk belanja sebesar 10-15%. Itulah kenapa harga barang branded di Paris jauh lebih murah.” Moreno
“Sayang, besok jadi ‘kan ke Menara Eiffel?” tanya Mabella sambil membersihkan wajah di depan cermin, setibanya di kamar hotel, setelah selesai menikmati makan malam di restaurant dan puas ngobrol banyak hal. Saat itu baru pukul 11 malam.Moreno menghela napas dalam sambil duduk di sofa dan membuka laptopnya seraya berkata, “Kamu tahu ‘kan ngantrinya itu lama banget, kurang lebih selama tiga jam. Udah mending besok malam kita ke tamannya aja, yang aku cerita kemarin, yang deket sama Menara Eiffel,” sahutnya sambil membuka email di laptop dan mengecek laporan yang masuk.“Sayang, Menara Eiffel itu jadi landmark Paris yang amat sangat wajib dikunjungi! Rasanya kurang afdol kalau belum ke sana. Gimana coba kalau ada temenku yang nanya, apa kamu udah ke Menara Eiffel waktu ke Paris? Masa aku bilang, aku belum ke sana, nggak seru, ‘kan?” Mabella mulai merajuk.“Ya, udah gini aja, aku akan nanya ke resepsionis
Di kampus … “Apa kamu mau nikah?” tanya Havika setengah berteriak, saat Tsabitha menceritakan tentang niatnya yang ingin menikah dengan Moreno. Kedua bola mata Tsabitha mendelik. “Vika! Jangan teriak-teriak gitu, malu tahu! Gak enak didengerin banyak orang! Lagian baru kamu yang tahu tentang hal ini!” sahutnya sambil menutup mulut Havika dengan tangannya. “Alaa, tenang aja! Lagian bule-bule ini nggak pada ngarti kita ngomong apa! Sante ajaa!” ujar Havika sambil membuka tangan sahabatnya itu lalu menunjuk ke bule-bule yang ada di sekitar mereka, yang lagi pada nongkrong sambil ngobrol-ngobrol di kantin kampus. “Tapi jujur, parah kamu, Bith! Kamu mau nikah sama pacar kamu yang suami kakak kamu itu?” “Ssttt, Vika! Kalau ngomong suka keras-keras, deh! Pelan dikit bisa, ‘kan? Ayo, sini ikut aku!” Tsabitha segera menggeret tangan Havika dan mengajaknya ke taman yang ada di tengah kampus. Havika adalah salah satu mahasiswa dari Indonesia te
"Mister Moreno ada di kamar 1001, Nona bisa langsung ke kamarnya, Mister Reno sudah menunggu di atas. Nanti biar kopernya saya antar ke atas," ujar sopir Moreno yang asli dari Jerman, tapi faseh berbahasa Indonesia dengan logatnya yang cadel. Malam itu, Tsabitha dijemput oleh sopir suruhan Moreno, yang bernama Oscar dan mengantarkannya ke hotel Crowne Plaza, tempat laki-laki itu berada."Terima kasih, Oscar. Aku ke atas, ya!" sahut Tsabitha sambil membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke dalam hotel.Malam itu hotel Crowne Plaza terlihat cukup ramai, rupanya rombongan turis asal China baru saja datang dan menginap di hotel tersebut. Sepertinya mereka ini rombongan piknik sebuah perusahaan, karena mereka tampak ramai-ramai foto bersama dengan sebuah spanduk yang dibentangkan di depan mereka. Tsabitha hanya tersenyum melihat tingkah mereka yang lucu-lucu, sambil melangkah gontai ke arah lift."Tsabitha, how are you?"
Turun dari pesawat, mereka bertiga segera meluncur ke hotel President Wilson yang terletak di jantung kota Jenewa, saat itu sudah hampir jam 2 pagi. Sebagai kota terpadat kedua di Swiss setelah Zurich, Jenewa merupakan kota metropolis kecil. Namun, terpadat di Romandy, bagian dari Swiss yang berbahasa Prancis, maka tak heran kalau tampilan dan suasana kota Jenewa sangat berbau Prancis. Baik dari bahasa, budaya, gastronomi, sampai rangkaian gedung yang berada di kota ini."Waah, kotanya indah banget ya!" ujar Tsabitha kagum, ketika mobil jemputan dari hotel membawa mereka menyusuri jalanan di kota kecil Jenewa."Iya, ya! Keren euu!" Havika ikut menimpali sambil melihat ke sisi kanan kiri jalan."Swiss memang negeri yang sangat cantik!" sela Moreno sambil menoleh ke belakang, menimpali kekaguman kedua perempuan yang berada di belakang kursinya, "bahkan kalau
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern