Setengah jam sudah Tsabitha menunggu Moreno yang sedang menemui Miss Medusa di ruangannya. Gadis itu jadi gelisah dan cemas, memikirkan apa yang sedang dibicarakan sama teman barunya dengan Miss Medusa di dalam. Sedari tadi dia hanya bisa bolak-balik sambil sesekali mengintip melalui jendela yang tertutup tirai transparan. Ingin rasanya menyeruak masuk ke dalam ruangan itu. Namun, hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Dan benar saja, lima belas menit kemudian, pintu ruangan Miss Medusa terbuka. Tampak Moreno keluar dari ruangan itu sambil menyeringai senang dan memberikan kode ibu jarinya ke arah Tsabitha, diikuti oleh Miss Medusa yang berjalan mengekor di belakang.
"Oohh jadi ini adikmu ...?" Bu Hana menatap ke arah Tsabitha dengan wajah yang sinis dari balik kacamata kucingnya. Rasanya seperti diskrining dari atas ke bawah saat perempuan paruh baya itu menatapnya seperti itu, membuatnya jadi salah tingkah di depan Bu Hana si Miss Medusa, sementara Moreno terlihat santai dan begitu menguasai keadaan.
"Iya, Bu Hana, ini Tsabitha! Tsabitha Humaira Halim salah satu murid anda. Seperti yang saya bilang tadi, kalau semua ini bukan kesalahannya, tapi semua ini gara-gara saya, jadi-- ..."
"Baiklah! Mana sketsamu?"
Gadis itu bergegas menyerahkan map plastik berwarna pink yang berisi sketsa desain baju buatannya ke Bu Hana dengan senyum manisnya yang tulus. Bu Hana menerima map plastik itu dengan tatapan ketus yang tak lepas menatap ke arahnya, wajah arogan itu sekilas terlihat.
"Ini, Bu. Sketsa buatan saya ...."
"Okee, aku terima! Tapi lain kali, kamu nggak boleh telat lagi yaa! Aku paling nggak suka sama mahasiswa yang pelupa apalagi teledor! Ingat itu!"
"Tentu, Bu Hana! Saya pastikan dan saya jamin adik saya ini nggak akan lupa lagi dengan tugasnya, bukan begitu, Bitha?" Tsabitha hanya bisa mengangguk pasrah, membenarkan ucapan Moreno sambil tersenyum manis yang kali ini dipaksakan untuk Bu Hana. "Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, Bu. Sekali lagi terima kasih atas perhatiannya, mariii ...."
Bu Hana hanya mengangguk dan tersenyum manis ke arah laki-laki itu, sebuah senyuman yang sangat jarang diberikan oleh Miss Medusa selama dia jadi mahasiswanya. Tsabitha jadi heran dan penasaran dengan apa yang telah dilakukan oleh Reno ke Miss Medusa tadi?
"Tunggu, tunggu ... itu tadi apa yaa? Kok kamu bisa sih bikin Miss Medusa senyum kayak tadi?" tanya Tsabitha polos sambil menghentikan langkahnya begitu mereka tiba di dekat mobil. Moreno hanya tersenyum manis hingga kedua dekik di pipinya terlihat dengan jelas, membuat hatinya jadi semakin teriris melihat ketampanan laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya.
"Memangnya kenapa? Apa Miss Medusamu itu jarang senyum kayak tadi?"
"Jarang banget! Makanya aku tadi nanya, kok kamu bisa bikin dia senyum kayak gitu, emangnya kamu apain dia di dalam sana tadi?" sahutnya sambil berjalan menghampiri Moreno.
"Rahasia dong! Hanya aku dan Bu Hana yang tahu, kamu kepo yaa?"
"Yaaa iyalaaah! Aku ‘kan jadi pengin tahu, emang kamu kasih apa Miss Medusa itu?"
Moreno menyeringai senang seraya berkata, "Hmm ... aku kasih kerlingan sang perjaka!" ujarnya sambil menyender di mobil BMW hitam itu.
"Iiisssh gombal! Nggak percaya! Masa cuma dikasih kerlingan aja, dia bisa lunak kayak gitu, mana mungkin?"
"Lhooo! Yang penting buktinya, ‘kan? Buktinya dia nggak marah sama kamu dan bisa senyum lagi, jadi sudah jelas, ‘kan?” sela Moreno sambil mengerlingkan sebelah matanya, genit. “Sudah aaah! Nggak usah dibahas! Sekarang lebih baik kita pulang! Aku laper niii, dari tadi cacing di perutku ini pada meronta, lagian ayahmu nungguin aku juga, ‘kan?"
***
Pertemuan pertamanya dengan Moreno, selalu menjadi kenangan terindah bagi Tsabitha, apalagi Moreno adalah laki-laki pertama yang mampu mengisi kekosongan hatinya setelah sekian lama menjomblo. Gadis itu bergegas mengusap airmatanya yang membasahi pipi kala teringat dengan semua kenangan manis tersebut, kenangan terindahnya bersama cinta pertama.
"Kak Bitha! Ayooo, turun ke bawah!" teriak Wanda lantang. "Ditunggu sama Ibu di bawah! Ayooo, buruan, Kak!" Lidia pun ikut menimpali. Suara kedua adiknya, Wanda dan Lidia yang baru berusia tujuh belas dan enam belas tahun terdengar sangat nyaring di telinga, begitu keduanya menyeruak masuk secara tiba-tiba ke dalam kamar. Malam ini kalau boleh jujur, rasanya enggan dia turun ke bawah berbaur dengan seluruh tamu undangan.
"Iyaaa, adikku sayang! Nanti Kakak nyusul, kamu duluan aja yang ke bawah, Kakak mau ngrapiin rambut dulu!" ujarnya malas sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam legam.
"Buruan ya! Aku capek nii kalau disuruh bolak-balik terus ke atas, tau ‘kan gimana Ibu?"
"Iyaa, iyaa, nanti Kakak turun, tenang aja ...."
Kedua adiknya itu bergegas ngeloyor keluar dari kamar, begitu mendapat kepastian dari sang kakak yang akan segera turun ke bawah. Sementara Tsabitha sendiri begitu mendengar kata Ibu, dirinya kembali teringat pada peristiwa tiga bulan yang lalu, ketika Ibu mulai mengetahui hubungannya dengan Moreno yang tidak sekedar hubungan antara kakak adik belaka. Tsabitha teringat kenangan tiga bulan yang silam saat Bu Shanti—ibunya—tahu soal hubungannya dengan Moreno Darmais—salah satu anak kolega Pak Halim yang bekerja sama alias merger dengan perusahaan sang ayah.
"Bitha, kamu dari mana saja barusan?" Gadis itu tersentak kaget saat Shanti mencegat di ruang tamu. Malam itu dia baru pulang dari berpergian bareng Moreno.
"Dari rumah temen, Bu,” sahutnya bohong, “dari rumah Yossie, ngerjain tugas, emang kenapa?"
"Bener kamu baru dari rumah Yossie? Nggak bohong sama Ibu?” sela Shanti cepat sambil memegang tangan putrinya, “sini duduk sini, deket Ibu!" Tsabitha pun menurut dan menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu. Entah mengapa malam ini, rumahnya tampak sepi, padahal baru jam 9 malam. Apa kedua adiknya sudah tidur terlebih dulu atau mungkin malah pergi kencan seperti dirinya?
"Coba sekarang kamu telpon Yossie, bilang sama dia kalau Ibu mau bicara dengannya."
Gadis itu jadi panik, tidak biasanya ibunya seperti ini. Sebelah alisnya pun melengkung ke atas, heran. "Idiiih, Ibu ini apaan sih? Mau ngapain pake telpon-telpon Yossie segala?" Gadis itu benar-benar merasa terancam, ketika sang ibu mendesak memintanya untuk menghubungi Yossie—teman satu kampus.
"Ibu cuma mau mastiin aja, apa bener kamu pergi ke rumah Yossie temenmu itu, bukannya jalan-jalan di mall sama seorang cowok?"
"Jalan-jalan di mall? Kata siapa?" tanyanya panik dan jadi semakin salah tingkah di depan perempuan tua itu.
"Kata Ibu! Emang kenapa? Bener, ‘kan?"
Tsabitha hanya bisa terdiam dan tidak berusaha membantah ucapan Shanti, karena rasanya percuma saja kalau dia terus-terusan bohong padanya. Perempuan paruh baya itu selalu bisa melihat kebohongan di mata anak-anaknya. Gadis itu jadi semakin gelisah saat manik mata sang ibu menatapnya dan mencari jawaban yang pasti. "Ibu tau dari mana?" tanyanya sambil tertunduk pasrah.
"Ibu lihat sendiri tadi sore. Kebetulan tadi sore Ibu arisan sama teman-teman Ibu di mall Taman Angsa. Kami memang sengaja ngadain arisan di sebuah restaurant Korea yang ada di sana. Kebetulan juga Ibu duduk di dekat jendela, jadi Ibu bisa lihat siapa aja yang lewat di depan resto itu!" Lidah Tsabitha terasa kelu ketika Shanti menceritakan kepergiannya ke sebuah mall sore tadi, di mana dia juga baru saja pulang dari sana untuk makan malam bareng Moreno. "Siapa yang bareng kamu tadi di mall, Bitha?"
Tsabitha hanya bisa terdiam dan menenggelamkan wajahnya, selama ini dia memang berusaha menutupi hubungannya dengan Moreno di depan keluarga. Gadis itu belum siap untuk mengungkapkan siapa laki-laki special yang telah mengisi hatinya selama setahun ini. "Jawab pertanyaan Ibu, Bitha! Siapa yang bareng kamu tadi di mall? Apa bener itu Moreno?"
Gadis yang mengenakan blouse dan rok A-line selutut dengan warna senada merah muda itu hanya bisa mengangguk pelan sambil menunduk, masih menenggelamkan wajahnya demi menghindari tatapan mata sang ibu yang menyorot tajam. Tsabitha merasa seperti sedang diadili dalam sebuah persidangan dan tinggal menunggu eksekusi apa yang akan dijatuhkan padanya nanti.
"Jadi bener itu Reno? Moreno Darmais?” ucap Shanti sambil menepuk jidat seraya berkata, “Yaa Tuhan! Jadi Moreno itu ... pacar kamu?" tanyanya lagi sambil menutupi mulut yang sedikit menganga dengan tangannya.
"Iyaa, Bu ...." sahut gadis itu lirih.
"Yaa Tuhan! Bitha, usia kalian ‘kan terpaut jauh!"
"Memangnya kenapa, Bu? Kami hanya beda delapan tahun saja, memangnya apa yang salah?” Tsabitha memberanikan diri untuk bersuara dan membela hubungannya dengan Moreno, “banyak kok pasangan lain yang beda usia sampai puluhan tahun, juga nggak papa. Lagian Bitha ‘kan juga udah gede. Aku berhak milih siapa yang jadi pacarku."
Shanti menghela napas dalam lalu memegang tangan putrinya. "Tapi nggak bisa gini juga, Sayang. Kamu nggak boleh egois," ujarnya lirih dengan nada yang terdengar sedih.
Sebelah alis Tsabitha kembali melengkung ke atas dengan ekspresi wajahnya yang heran, "Egois ...? Maksud Ibu?"
"Kamu harus mikirin kakakmu, Mabella! Kamu tahu ‘kan gimana kondisi kakakmu? Coba kamu bayangkan bagaimana perasaannya kalau dia tahu kamu sudah punya pacar, sedangkan dia belum? Sekalinya punya pacar dulu, malah disakiti. Kakakmu pasti akan sedih hatinya."
Lagi dan lagi Tsabitha harus mengalah dengan sang kakak yang bernama Mabella yang usianya juga terpaut delapan tahun dengannya. Sejak kecil gadis itu selalu dibiasakan untuk lebih mengalah sama Mabella yang sering sakit-sakitan, pendiam dan introvert, sehingga tak banyak orang yang dekat dengannya. Berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu terbuka, periang dan mempunyai banyak teman.
"Bitha, dengarkan Ibu, Nak. Asal kamu tahu, sebenarnya sejak awal, Bapak dan Ibu ingin menjodohkan kakakmu Mabella sama Moreno. Kamu masih ingat ‘kan kalau kami berdua sering minta Reno untuk mengajak Bella keluar berdua dengannya. Semua itu karena ini, Sayang ...." Perempuan tua itu menghela napas cukup dalam lagi. "Bapak dan Ibu juga sudah ngobrol serius soal perjodohan ini dengan orangtua Reno, bahkan nggak lama lagi mereka akan datang untuk melamar kakakmu."
Lidah gadis itu tersekat, hingga membuatnya susah bernapas. Detak jantungnya bergemuruh sangat kencang, begitu mendengar ucapan Shanti soal perjodohan Moreno dan kakaknya, Mabella. Ingin rasanya dia menangis. Namun, ditahannya sekuat tenaga, dia bukan anak yang cengeng!
"Ibu harap kamu bisa ngerti, Bitha. Kasihan kakakmu, saat ini usianya sudah hampir 28 tahun, tapi nggak ada seorang pun pria yang dekat dengannya. Jangankan ngajak dia nikah, ngajak kakakmu pacaran saja, rasanya sangat jarang, sedangkan kamu ... Ibu yakin kamu bisa dengan mudah mendapatkan pengganti Reno, bahkan mungkin lebih baik dari laki-laki itu."
"Kenapa harus Reno, Bu? Kenapa Ibu nggak njodohin Kak Bella dengan orang lain?" Suara Tsabitha terdengar serak sambil menahan rasa sakit di dada karena menahan tangis.
"Kamu kira apa tujuan Reno datang ke Indonesia? Apa hanya untuk menjalankan bisnisnya bareng Bapakmu?" sahut Shanti sambil menggeleng pelan dan menyeka ujung matanya yang berair.
"Tapi apa Reno tahu tentang hal itu? Aku rasa dia nggak tahu ...."
"Nggak lama lagi dia akan tahu. Suka nggak suka, mau nggak mau, kamu harus bisa menerima semua kenyataan ini, Bitha. Kamu harus bisa melupakan dia, karena dia bukan jodohmu, Sayang. Ibu sangat berharap kamu bisa ngerti, ini semua demi kakakmu, kamu paham ‘kan maksud Ibu?"
Gadis itu tidak bisa lagi menahan tangis di dalam dada, dadanya terasa sakit, tubuhnya pun lemas. Berat rasanya untuk melupakan dan merelakan Moreno begitu saja, karena laki-laki itu adalah cinta pertamanya yang benar-benar serius dan tulus mencintainya. Tsabitha menangis sesenggukkan.
"Bitha, kakakmu butuh seseorang seperti Reno, Sayang. Seseorang yang bisa melindunginya, apalagi jantungnya sangat lemah. Ibu nggak bisa ngebayangin kalau seandainya dia tahu tentang hubunganmu sama Reno, perasaannya pasti sangat terluka dan-- ..."
"Darimana Ibu tahu kalau perasaannya akan terluka?” sela Tsabitha cepat disela tangisnya yang meledak, “Apa Kak Bella juga suka sama Reno?"
"Kakakmu itu nggak hanya menyukainya, Sayang. Tapi dia sangat mengagumi laki-laki itu. Ibu sudah membicarakan soal perjodohan ini dengannya, kakakmu sangat senang sekali waktu mengetahuinya, bahkan kondisinya jadi semakin stabil begitu dia tahu soal ini," jelas Shanti penuh semangat. "Kamu lihat sendiri, ‘kan? Kalau akhir-akhir ini kakakmu jarang sekali sakit-sakitan! Wajahnya pun berseri-seri, nggak pucat dan kusam seperti dulu. Malam ini aja dia masih nglembur kerja di kantor bareng Bapakmu," tegas Shanti senang, hingga seberkas sinar tampak terpancar dari kedua manik mata perempuan tua itu.
Tsabitha bisa merasakan kebahagiaan ibunya, bahkan sang ibu juga penuh semangat saat menceritakan kondisi Mabella yang mulai mengalami banyak perubahan, sejak kenal sama Moreno. Laki-laki itu memang telah memberikan pengaruh positif untuk kakaknya. Mendengar semua yang diceritakan oleh sang ibu, gadis itu kembali merasa dadanya semakin sakit dan sesak. Direbahkan tubuhnya di sofa besar sambil berusaha mengontrol napasnya satu per satu untuk mengurangi rasa sakit di dada yang terasa semakin nyeri.
"Ibu tahu, kalau semua ini pasti nggak mudah buat kamu. Ibu minta maaf, Sayang. Ibu harap kamu juga nggak akan marah sama kakakmu. Atas nama kakakmu, Ibu minta maaf,” lanjut perempuan tua itu sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada, “Ibu akan sangat berterima kasih kalau kamu bisa melepaskan Reno untuk kakakmu."
Tsabitha hanya mampu memejamkan mata dan merasakan hangatnya airmata yang mengalir di pipi. Permintaan Shanti benar-benar membuatnya shock, apalagi ketika perempuan berusia setengah abad lebih itu mengusap airmatanya dan ikut menangis seperti dia, seolah-olah wanita tua itu bisa merasakan apa yang dirasakannya saat ini.
"Kamu mau ‘kan, Sayang?” pintanya lagi, “kamu mau ‘kan melakukan semua ini untuk kakakmu? Untuk Bapak dan Ibu juga?"
Shanti sangat berharap putri ke duanya ini bisa memenuhi permintaannya. Digenggamnya tangan gadis itu yang terasa dingin. Tsabitha hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Dadanya masih terasa sakit. Namun, akhirnya sebuah anggukkan kecil pun dilakukan, membuat sang Ibu sangat senang dan bertubi-tubi mengucapkan rasa terimakasih yang tak terkira sambil menciumi punggung tangan sang putri, memeluknya lalu menciumi kedua pipinya secara bergantian. Namun, gadis itu bergeming dan tidak memberikan respon apa-apa. Tubuhnya terasa lemas, serasa semua tulang lolos dari raganya, hingga tinggal jiwa yang sepi tak bernyawa. Hanya satu keinginan Tsabitha, dia hanya ingin Bapak dan Ibunya bahagia.
Malam itu hujan masih turun cukup deras di luar sana, sementara suara riuhnya pesta masih terdengar samar-samar di bawah, tiba-tiba pintu kamar terkuak kembali, dilihatnya Shanti sedang berdiri mematung sambil memegang handle pintu kamar, menatapnya seraya bertanya, “Bitha, kamu nggak papa, Sayang?" Bagaimana bisa perempuan tua itu bertanya seperti itu ke padanya? Karena dia tahu benar apa yang sedang dirasakan oleh putrinya ini. Ingin rasanya Tsabitha menjerit dan berteriak dengan lantang ke sang ibu sambil berkata kalau dirinya tidak baik-baik saja. Namun, lagi-lagi yang keluar dari bibir mungilnya hanyalah sebuah ucapan klise yang menyenangkan hati perempuan paruh baya itu. "Aku nggak papa, Bu. Cuma pusing sedikit, mungkin karena kehujanan tadi di luar, jadi agak kurang enak badan," sahutnya sambil pura-pura memijat keningnya pelan. Gadis itu teringat kalau sebenarnya tadi setelah ijab kabul pernikahan Mabella dan Moreno, rencananya akan diselenggarakan di area kebun belakang, deng
“Sejak awal, dua tahun yang lalu, kedatanganmu ke Indonesia memang sudah direncanakan, selain untuk urusan bisnis keluarga kita.” Tsabitha akhirnya mulai memberanikan diri untuk mengurai permasalahan mereka satu per satu. “Aku tahu itu! Aku kembali ke Indonesia memang untuk menjalankan bisnis Ayah yang ada di sini, karena sejak kuliah hingga aku ambil S2 di London, aku lebih fokus magang di perusahaan orang lain dan kerja di sana juga," ucap Moreno sambil menghela napas dalam, "hingga akhirnya, Ayah merasa sudah saatnya aku peduli dan fokus ke bisnis keluarga, makanya aku datang ke sini!” lanjutnya dengan kedua bolamatanya yang tak lepas menatap sang kekasih. “Itu aku tahu, tapi masih ada rencana yang lain yang disiapkan untuk kamu--...” “Apa itu ...?" sela Moreno cepat, "Bitha, bilang ke aku! Nggak usah muter-muter terus kayak gini, jangan bikin aku penasaran, Sayang!” ujar laki-laki itu lagi dengan gayanya yang manja, sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Tsabitha dan berusaha men
“Kita sudah sampai, kamu bisa pulang sekarang! Selamat malam!” ujar Moreno dingin. Tidak biasanya laki-laki ini berkata seperti itu saat mengantar Tsabitha pulang ke rumah. Namun, gadis itu sendiri juga enggan untuk mengeluh atas sikapnya yang seperti ini, padahal biasanya dia bakalan ngambek kalau Moreno mulai cuek dan tidak peduli padanya.“Terima kasih, selamat malam!” Hanya itu kata yang terlontar dari bibir mungil Tsabitha yang selalu jadi favourite Moreno selama setahun ini. Bergegas dibukanya handle pintu mobil dan saat Tsabitha hendak keluar dari mobil, tiba-tiba tangan Moreno menyambar tangan kanannya dan mencengkram erat, gadis itu menoleh. Kedua mata mereka saling beradu satu sama lain.“Beri aku waktu tiga hari, aku akan memberikan keputusannya ....”Tsabitha hanya bisa mengangguk lemah sambil menatap mata elang Moreno yang menatapnya tajam yang selalu dirindukannya selama ini. Tak lama kemudian dia keluar dari mobil, setelah Moreno melepaskan cengkraman di tangannya. ***
Pagi itu Tsabitha gelisah, sedari tadi kerjaannya hanya bolak-balik saja sambil memikirkan sesuatu. Gadis itu bergidik ngeri kalau teringat rencana Moreno yang akan menceraikan kakaknya setelah satu tahun pernikahan mereka. Tsabitha benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Bella nanti bila hari itu tiba. Dia tidak ingin melihat semua itu terjadi di depannya dan menjadi bagian dari sejarah perceraian Moreno dan Bella. Tsabita juga tidak mau dituding sebagai penyebab perceraian kakaknya. Untung saja, dua hari sebelum pernikahan mereka, pengajuan beasiswanya ke salah satu sekolah mode internasional di Paris, telah diterima. Tsabitha akhirnya bisa mendapatkan beasiswa itu dan belajar selama tiga tahun di sana. Dia berharap kehidupannya akan berubah dan bisa melupakan Moreno atau paling tidak, tidak melihat apa yang akan diperbuat oleh laki-laki itu ke kakaknya nanti. Gadis itu ingin memulai kehidupannya yang baru di kota Paris, Perancis tanpa Moreno di sisinya.Seminggu kemud
“Kenapa kamu kerja di sini sih, Bith? Apa kiriman uang dari Bapak nggak cukup?” tanya Bella heran, saat Tsabitha sudah selesai dari pekerjaannya dan ikut gabung bersama kakak dan kakak iparnya. Malam itu Bella dan Moreno masih nongkrong di café Le Marais, Les Philosophes, café tempat Tsabitha bekerja, yang terletak di kawasan bohemian megah yang merupakan cafe Paris ikonis. Café ini dulunya berfungsi sebagai tempat pertemuan setelah jam kerja bagi pekerja di awal abad ke-20. Dengan konsepnya yang vintage, maka tak heran bila banyak barang-barang kuno yang dipajang di sana dan cafe ini juga ideal untuk bersantai sambil melihat orang-orang berlalu-lalang di jalan. “Nggak gitu juga, Kak. Jadi ceritanya gini, dulu waktu aku datang ke sini, ke negara yang nggak ada bahasa Inggrisnya ini,” jelas Tsabitha sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping, “aku jadi serasa orang asing di antara mereka, karena nggak bisa komunikasi sama siapapun.” “Tapi ‘kan kamu udah les bahasa Perancis, sebe
“Selamat pagi, sayang … sudah siap?” teriak Mabella, pagi itu, saat Tsabitha membuka pintu apartemen. “Iya, sudah!” balas gadis itu malas sambil berbalik, menuju ke dapur. “Kakak, sudah sarapan?” tanyanya sambil menaruh satu telor ceplok di piring. “Aku bikin sandwich, Kakak mau?” “Aku mau!” sela Moreno yang tiba-tiba muncul dan berjalan ke dapur, lalu menyesap orange juice milik Tsabitha yang tinggal setengah. Gadis itu melongo saat Moreno menghabiskan semua orange juice buatannya. “Masih ada lagi?” tanyanya santai. “Apanya?” “Orange juice-nya!” sahut laki-laki itu sambil menunjukkan gelas yang kosong di tangan ke Tsabitha. Mabella pun tersenyum sambil mengambil gelas kosong itu dari tangan sang suami seraya berkata, “Sini aku buatin! Bitha masih sibuk bikin sandwich. Orange juice-nya di kulkas ‘kan, Bith?” “Iya, Kak. Cari saja di situ!” Mabella bergegas ke lemari pendingin dan mencari-cari orange juice, sementara Moreno menghempaskan tubuhnya di kursi dan duduk di depan Tsa
"Here we are!" ujar Moreno setelah mereka tiba di Le Queen, sebuah tempat hiburan malam yang merupakan percampuran banyak gaya modern dengan skala internasional di Paris.Dari pelataran parkir, sayup-sayup Tsabitha sudah bisa mendengar suara dentuman lagu irama house music yang menghentak jantungnya. Mabella dan Tsabitha tampak menikmati dentuman music yang mulai membahana sejak mereka masuk ke dalam lobby diskotik yang suasananya ramai dan temaram. Mabella tampak asyik mengangguk-angguk mengikuti irama music ajeb-ajeb itu diantara beberapa orang yang hilir mudik dengan baju yang beraneka gaya. Mulai dari yang biasa hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jeans panjang hingga rok mini, semua melintas di depan mata. Aroma parfum dan rokok pun menyengat memenuhi ruang nafas, sementara hentakan musik dari dalam diskotik sudah terdengar cukup keras."Bagus juga tempat clubbingnya! Dulu, kamu suka ke sini, Sayang?""Apa ...?" Moreno memang harus berteriak cukup keras dan memasang teli
Saat itu mobil yang mereka tumpangi sudah membelah jalan raya. Sepanjang perjalanan, Mabella tampak mendominasi percakapan di antara mereka. Perempuan itu menceritakan betapa senangnya malam ini bisa berdansa berdua sama Moreno, sambil sesekali mencium pipi laki-laki itu yang fokus mengemudikan mobil lalu merebahkan kepalanya di pundak sang suami yang kekar. Dari belakang, Tsabitha hanya bisa diam membisu sambil menahan desiran rasa sakit di dadanya. Belum pernah dia merasa begitu cemburu seperti saat ini, gadis itu lalu membuang tatapannya ke luar jendela mobil sambil tersenyum masam. Moreno melihat semua gerak-gerik Tsabitha dari kaca spion tengah sambil mendengarkan celoteh istrinya yang tidak kunjung berhenti. “Bella, turunlah! Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti aku nyusul! Aku mau antar Tsabitha dulu,” ujarnya, setelah menghentikan mobil di depan pintu lobby hotel. Mabella bingung dan sempat tercengang begitu mendengar permintaan sang suami. “Sayang, kenapa kita nggak antar
Dua bulan kemudian … “Kamu ini kenapa sih, Bith? Dari tadi aku perhatikan, sepertinya kamu nggak begitu suka sama makanan itu?” tanya Moreno heran sambil memperhatikan perempuan itu yang mengorek-ngorek beef steak kesukaannya. “Iya, Mama ini! Biasanya lahap kalau makan beef steak! Masa kalah sama Bian! Bian aja makannya lahap, iya ‘kan, Pa?” Moreno mengangguk sambil menunjukkan ibu jarinya di depan putra tunggalnya ini. Malam ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam bersama di sebuah restaurant mewah, setelah selama 40 hari mereka berkabung atas kematian Mabella yang tidak bisa melewati masa kritisnya. Baru kali ini ayah, ibu dan anak ini keluar rumah untuk menghibur diri dan refreshing. Tsabitha pun tersenyum sambil mengusap-usap kepala putranya seraya berkata, “Iyaa, Sayang. Mama sendiri nggak tahu kenapa? Rasanya kok perut Mama penuh, yaa. Jadi rasanya malas untuk makan lagi,” sahutnya sambil meringis kecil. “Memangnya sebelum ke sini, kamu sudah makan?” sela Moreno her
Semua orang tampak tegang dan serius saat melihat dan mendengar percakapan yang terekam di video yang direkam oleh Angga. Dewi semakin tidak nyaman dan berusaha mencari alasan yang tepat yang bisa menyangkal bukti dari Angga. Hingga akhirnya video itu pun berakhir, semua orang terlihat merasa lega setelah melihat video tersebut. “Bagaimana, Wie? Apa kamu mengakui bukti ini?” tanya Moreno sambil menoleh ke Dewi yang masih terlihat cemas dan bingung. Perempuan itu menghela napas dalam seraya berkata, “Baik, aku akui pagi itu aku memang datang ke apartemen Angga dan memergoki dia sama Vanka, seperti yang ada di video itu. Tapi kejadian itu bukan kejadian luka lebam yang aku derita kemarin, Pak!” Dewi berusaha mengelak, “kamu itu nggak usah mengada-ngada, ya, Ngga! Kejadian yang kamu rekam di ponselmu itu bukan kejadian luka lebam di pipiku ini!” Angga dan Vanka terbengong sejenak dan menatap ke Dewi dengan ekspresi tidak percaya. “Bagaimana mungkin, ini bukan ke
Lagi-lagi harus menunggu, satu hal yang sangat menjemukan bagi Dewi saat harus menanti Moreno di rumah, karena sampai tujuh malam, laki-laki itu belum tampak juga, baik di rumah Mabella maupun di rumah Tsabitha. Sementara Tsabitha sudah terlihat di rumah, menemani Fabian mengerjakan PR dari sekolah. Dewi tampak berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan cemas sambil sesekali melirik ke ponsel. Ada keinginan untuk menelpon Moreno dan menanyakan keberadaannya, tapi hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Diliriknya ke tempat tidur, Farah—putrinya sudah tertidur lelap, wajahnya begitu polos dan menggemaskan. “Sabar, sabar, Dewi. Pikirkan anakmu. Jangan terburu-buru. Mungkin Pak Reno ada keperluan, hingga harus pulang malam,” batinnya menenangkan dirinya sendiri. Perempuan itu menghela napas dalam dan menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepat pada saat itu terdengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar. “Bu Dewi, Bu. Bu Dewi.” Sua
“Pagi, Tika! Pak Reno ada?” tanya Dewi yang tiba-tiba muncul di depan meja Kartika. Perempuan itu kaget saat melihat Dewi. Wajahnya seketika itu juga pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu, tubuhnya pun terpaku, kaku dan tidak bisa bergerak. Apalagi saat perempuan itu mendelik ke arahnya. “Eh, Bu Dewi. Selamat pagi, Bu! Bu Dewi sudah masuk kerja, ya? Kemarin, waktu cuti, jalan-jalan kemana saja selama ini, Bu? Oleh-olehnya mana?” “Udah nggak usah basa-basi, Tika! Mana Pak Reno?” ujar Dewi tegas dengan nada tidak suka saat sekretaris Moreno ini mulai bicara tidak penting dan berusaha mengulur-ulur waktu. “Maaf, Bu. Saat ini Pak Reno nggak ada di tempat. Pak Reno lagi keluar, tadi katanya ada kepentingan. Ada pesan?” “Pagi-pagi begini? Ini baru jam 10 pagi!” sela Dewi tidak percaya sambil menengok ke kanan dan ke kiri, “nggak biasanya Pak Reno keluar kantor jam segini? Kamu bohong, ‘kan?” lanjutnya sambil menjulurkan jari telunjuknya ke depa
“Jadi begini, Pak. Saya tahu kalau saat ini Dewi ada di rumah Pak Reno. Farah juga ada di sana, karena Dewi yang bilang ke saya.” Sebelah alis Moreno kembali naik ke atas, laki-laki itu tampak heran karena berkali-kali Dewi menangis meminta perlindungan padanya karena ditelpon oleh sang mantan suami yang mengancam akan mengambil putrinya. Moreno jadi kembali bertanya-tanya, setelah mendengar semua cerita dari Angga—mantan suami Dewi. Apalagi setelah laki-laki itu memberikan bukti video tersebut. “Asal Anda tahu, Dewi bilang ke saya kalau Anda yang menelpon dan mengancamnya akan mengambil Farah,” sela Moreno heran. “Itu nggak mungkin, Pak. Putusan hakim sudah jelas kalau hak asuh Farah ada pada Dewi dan lagi saat ini saya sudah merasa cukup bisa ketemu putri saya seminggu sekali, karena saat ini saya sedang merencanakan pernikahan saya yang kedua sama pacar saya itu. Jadi saya nggak mungkin mau ngambil Farah dari Dewi. Malah Dewi marah-marah kalau anaknya nggak dikasi
Menikmati sarapan pagi bersama seluruh anggota keluarga, sudah lama tidak dirasakan oleh Dewi setelah brcerai dari sang suami, tapi kali ini setelah tinggal di rumah pimpinannya selama kurang lebih satu minggu dan menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Membuat perempuan itu bisa merasakan lagi kehangatan sebuah sarapan pagi yang menyenangkan. Dewi membayangkan, bagaimana sekiranya kalau dia menjadi istri ke tiga Moreno, pasti seru. Apalagi saat ini Mabella masih terkapar sakit di rumah sakit, rasanya tidak masalah untuk laki-laki itu menambah satu istri lagi, batinnya sambil tersenyum senang.“Kamu kenapa, Wie? Kok senyum-senyum terus, apa ada yang lucu?” tanya Tsabitha heran sambil menyuapkan nasi goreng ikan asin buatan Mbok Nah ke mulut.Dewi jadi canggung dan malu sendiri saat tertangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. “Eeeh, anu, Bu. Saya tadi keinget sama kenangan masa lalu.”“Masa lalu sama mantan sua
Jam enam pagi, saat sinar matahari masih terasa hangat di kulit dan burung-burung pun berkicau riang menyambut pagi, laki-laki itu masih bertahan di sana dengan baju casualnya—celana jeans dan kaos oblong dengan warna senada, biru. Sambil duduk di tepi ranjang, diperhatikannya wajah polos itu yang masih terlelap dalam tidur panjangnya.“Papa? Papa ada di sini?” tanya Fabian sambil menggeliat kecil dan menarik ke dua tangannya ke atas. Moreno hanya tersenyum sambil membelai rambut coklat putranya. Ya, dia memang putra kandungnya, laki-laki itu tidak ragu lagi, warna rambut mereka sama, bahkan kalau diperhatikan wajahnya memang mirip dengan bocah cilik ini.“Papa ngapain ada di sini?” tanya Fabian polos sambil membuka selimut yang menutupi tubuhnya lalu terduduk di atas tempat tidur. Moreno bergegas mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh mungil itu erat. Laki-laki itu tidak pernah mengira kalau anak kandungnya ternyata bersamanya selama ini
“Wie, aku mau ke atas dulu. Thanks untuk kopi dan roti isinya, mumpung masih gelap, kamu bisa kembali tidur. Udah dulu ya.” Dewi hanya mengangguk saat Moreno berlalu meninggalkannya dan bergegas naik ke lantai atas.Laki-laki itu teringat kalau Tsabitha sedang tidur di kamar Fabian. Moreno segera beralih ke kamar putra angkatnya itu, dibukanya perlahan pintu kamar itu dan dilihatnya mereka masih tertidur lelap. Bergegas dihampirinya ibu dan anak yang sedang tertidur nyenyak. Laki-laki itu lalu duduk di tepi ranjang sambil membelai rambut Fabian. Bocah cilik itu menggeliat kecil, Moreno jadi teringat ucapan Dokter Burhan yang mengatakan kalau Fabian ini mirip sama dirinya.“Apa iya, Bian memang mirip sama aku? Apa aku perlu melakukan test DNA, untuk memastikan kalau dia adalah anakku dan Bitha?” batinnya penasaran sambil terus membelai rambut cokelat bocah itu, Fabian kembali menggeliat kecil, membuat Tsabitha terbangun dan hendak menena
“Anak itu adalah anak kalian berdua! Hahaha … iyaa anak kalian berdua yang telah mati! Mati! Hahaha … kamu kira anak kamu mati ‘kan, Reno? Padahal anak kamu masih hidup! Masih hidup! Hahaha …!” Moreno bingung dan tidak tahu dimana dirinya berada, semuanya serba gelap, hitam pekat dan hanya suara perempuan itu saja yang bergema di telinganya yang menyebutkan tentang anaknya yang telah mati. Dia berusaha mencari-cari darimana suara itu berasal? “Anakku! Anakku! Di mana anakku? Katakan di mana anakku? Katakan!” Moreno tampak begitu gelisah dalam tidurnya, berkali-kali dia menanyakan keberadaan anaknya. Rupanya pengakuan Bu Shanty tentang buah hatinya masuk ke dalam alam bawah sadar laki-laki itu, hingga mengganggu tidurnya. Moreno pun akhirnya terbangun dengan napas yang memburu dan terengah-engah, peluh tampak membasahi wajahnya. “Mimpi apa aku tadi?” ujar Moreno sambil mengusap wajahnya dan berusaha mengingat-ingat mimpi itu. “Say--…” Suaranya terhenti saat menoleh ke samping, tern