"Saya nikahkan dan kawinkan, Ananda Anita Apsari binti Almarhum Sueb, dengan Angga Wijaya dengan maskawin emas seberat satu kilogram, uang sepuluh juta, satu unit rumah dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
"Saya terima nikahnya, Anita Apsari binti Almarhum Sueb dengan maskawin dibayar ... Tunai!" tegas pria itu dalam sekali tarikan napas. "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Ketua Pengulu yang bertugas sambil melihat kiri dan kanannya. "Sah!" ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan. "Sah!" ucap yang lainnya di sisi kiri. Setelah para saksi menyatakan 'Sah!' Ketua Penghulu itu, segera memimpin doa bersama. Kedua insan yang kini telah sah menjadi suami istri secara agama itu, ikut mengaminkan doa tersebut. "Ayah, kenapa di luar banyak ..." Kalimat itu tergantung di ujung tenggorokan bersamaan dengan sorot matanya yang menatap lurus ke sudut ruangan. Suara itu seketika memecah keheningan di sana. Seorang pemuda, memasuki ruangan dengan langkah cepat dan raut wajah keheranan. Namun, ayunan kakinya terhenti beberapa langkah dari bibir pintu. Seluruh pasang mata tertuju padanya. Seketika itu juga, mimik wajah pemuda itu berubah menjadi tegang dan rasa tidak percaya. "Ada apa ini?" tanyanya terdengar sangat pelan sambil berjalan mendekati mereka yang telah mengisi ruangan tersebut. Pria setengah baya yang memiliki nama lengkap Angga Wijaya itu, beranjak bangun dari tempatnya. Di waktu yang hampir bersamaan, wanita yang baru saja sah menjadi istrinya itu, ikut bangun dari duduknya. "Apa yang terjadi di sini, Yah? Jelaskan kepadaku? Kenapa Ayah memakai baju pengantin dan Anita ..." Ia seolah tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Sebelumnya tidak ada pemberitahuan akan ada acara kumpul-kumpul seperti ini. "Kenapa Anita memakai baju pengantin juga? Apa kalian ...?" Ditatapnya kedua orang itu bergantian, penuh tanda tanya. "Ayah akan jelaskan semua ini. Kamu tenangkan diri dulu ya," ucap Angga Wijaya penuh kehati-hatian. *** Setengah jam kemudian. Suasana ruangan sudah sepi, hanya ada tiga orang saja di sana. Angga Wijaya, Anita dan pemuda dua puluh lima tahun, yang tidak lain adalah putra satu-satunya Angga Wijaya. "Jelaskan padaku, Yah. Kenapa kalian menikah? Anita adalah kekasihku, Yah. Dia itu calon membantumu, bukan seseorang yang seenaknya kau jadikan istri!" Suaranya begitu bergetar. Gema Dirgantara, tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya di hadapan sang ayah dan wanita yang selama ini telah mengisi relung hatinya. "Aku sangat mencintai, Anita, Yah! Aku berniat untuk menikahi Anita dalam waktu dekat, tapi apa yang Ayah perbuat hari ini? Aku kecewa banget, Yah!" Angga Wijaya masih diam tanpa kata. Begitu juga dengan Anita. Keduanya masih mengenakan pakaian pengantin. Kebaya putih untuk wanita dan setelan jas hitam untuk sang pria. Gema memijat keningnya yang mulai terasa sakit. Selama sebulan terakhir ia berada di luar kota, untuk urusan bisnis, tapi mengapa setelah ia kembali, sesuatu telah terjadi di dalam keluarga ini. Hal, yang sama sekali bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirannya. Bagaimana bisa, sosok yang selama ini ia hormati dan banggakan, malah menikungnya seperti ini. Menikahi wanita, yang sangat ia cintai, tanpa sepengetahuan ia sebelumnya? "Kenapa Ayah diam saja? Jawab aku, Yah! Aku butuh jawaban dari Ayah! Kenapa Ayah menikah dengan wanita, yang jelas-jelas Ayah tahu, kalau aku sangat mencintainya! Apa Ayah ingin aku mati secara perlahan-lahan?" "Jawab aku, Yah!!!" teriak pemuda itu, dengan wajah yang sudah merah padam karena emosi memuncak. Angga Wijaya mengangkat pandanganya. Setelah diam untuk waktu yang lama, akhirnya ia baru bisa menatap kedua mata sang putra. "Kami saling mencintai," ucap Angga Wijaya serius tanpa berkedip. Satu kalimat langsung menjawab semuanya. Gema menahan napasnya. Rasa tidak percaya semakin memberontak di dalam raganya. Sorot matanya sudah tak setajam sebelumnya. Hanya saja, tubuhnya seperti mati rasa sekarang. "Bohong!" "Ayah, pasti berbohong padaku! Anita tidak mungkin mencintai Ayah. Dia hanya mencintaiku. Ya, kan Anita?" Demi menjawab rasa ketidakpercayaannya itu, Gema langsung menarik tangan Anita, yang sekarang telah berstatus ibu di atas kertas baginya. Gema menatap Anita penuh haram. Berharap, apa yang barusan ia dengar, tidaklah benar. Semua ini sekedar mimpi. Wajahnya sudah sangat berkeringat, menanti jawaban dari sang pujaan hati. "Jawab pertanyaanku, Anita. Apa kamu mencintai Ayahku?" Pertanyaan itu, langsung mendapat anggukan kepala dari Anita. "Iya, aku mencintai Mas Angga." Dia mempertegas pengakuannya dengan sebuah kalimat disertai tatapan teduh, yang memiliki banyak arti. "Kamu pasti berbohong padaku, Anita!" Gema sudah mengangkat sebelah tangannya, siap melayangkan sebuah pukulan. Namun, diwaktu bersamaan, Angga Wijaya langsung menggenggam pergelangan tangan putranya itu. "Jangan pernah, kau main tangan kepada Ibumu! Sekarang, dia adalah Ibumu! Kau harus menghormatinya, sebagaimana bakti seorang anak terhadap orang tuanya!" tegas Angga Wijaya dalam satu tarikan napas. Gema menarik tangannya kasar. "Aku tidak akan pernah menganggap dia sebagai ibuku! Sampai kapanpun juga, dia bukanlah Ibuku! Aku sangat mencintai Anita. Ayah tidak bisa mengubah hal tersebut!" sungutnya, yang nada suaranya tidak kalah tinggi dari sang ayah. PLAAAKKKKKK! Tamparan keras mendarat di pipi Gema. Saking kencangnya tamparan, hingga meninggalkan bekas merah di pipi. Tubuh pemuda itu sedikit terhuyung. Namun, ia masih bisa berdiri. "Ayah, menamparku, demi wanita itu?" ucap Gema terdengar lirih sambil menyentuh pipinya yang masih terasa nyeri itu. Rasa sakitnya tak seberapa, jika dibandingkan dengan pengkhianat yang dilakukan Anita sang ayah di belakangnya. "Selama ini, Ayah kasar padaku karena aku melakukan kesalahan, tapi sekarang ... Ayah menamparku karena aku tidak ingin menganggapnya sebagai Ibu!" Dia menunjuk wajah Anita penuh kemarahan. Gema tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya dari wanita yang sangat ia cintai itu. "Aku tidak akan sudi, menjadikan wanita murahan seperti dia, sebagai ibuku!" tegasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Anita. Angga Wijaya menarik kerah baju sang putra tanpa ragu. PLAAAKKKKKK! Satu lagi tamparan keras mendarat di wajah pemuda dua puluh lima tahun itu. Emosinya telah di ubun-ubun. Angga Wijaya paling tidak suka, jika seorang wanita mendapat penghinaan di depan matanya. Kali ini Gema tidak memegangi pipinya. Dia sedikit mendongak, kemudian tertawa keras. "Kenapa kamu, Anak Durhaka?!" seru Angga Wijaya yang mulai menipis kesabarannya. Mendengar kalimat tersebut, Gema pun mengalihkan pandangannya. "Ouh. Jadi, sekarang Ayah menganggap aku sebagai anak durhaka?" Dia mengangguk-anggukkan kepalanya disertai senyuman kepalsuan. "Belum satu jam, wanita ini menjadi bagian keluarga ini dan seketika, semuanya berubah. Ayah menganggapku anak durhaka. Lantas, kau Tuan Angga Wijaya ... Seperti apa diri Anda sekarang? Pria yang merebut kekasih putranya, demi kepuasannya sendiri?" sungut Gema sampai wajahnya mendongak. Menjatuhkan tatapan tajam seperti orang yang ingin mengajak tawuran. "DIRGANTARA!!!" teriak Angga Wijaya sangat kencang dan sebelah tangannya sudah terangkat ke atas "CUKUP, MAS!""JAGA UCAPANMU, DIRGANTARA!" teriak Angga Wijaya sangat keras."MAS TUNGGU!" Suara Anita tidak kalah kencang. Hal tersebut membuat Angga Wijaya tidak melanjutkan aksinya. Tangan kanannya, berada beberapa sentimeter dari wajah Gema. "Cukup, Mas! Kamu jangan lakukan kekerasan lagi. Sabar, Mas," pinta Anita sambil mengelus bidang dada suaminya, sekaligus menariknya supaya menjauh dari Gema."Semakin kamu melawannya, maka dia akan semakin menjadi-jadi. Sebaiknya, kamu mengalah dan bersabar. Gema butuh waktu untuk menerima kenyataan ini," tambah Anita, berusaha menenangkan pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu. Pemuda tampan itu, menyeringai kecil. Tatapan yang dahulunya penuh cinta terhadap Anita, kini berubah menjadi tatapan yang dipenuhi dendam dan kekecewaan.Bagaimana bisa, dalam hitungan menit, cinta yang telah dibangun selama dua tahun, berubah menjadi dendam?"Mengapa kau hentikan dia, Anita? Seharusnya kau biarkan saja dia membunuhku! Dengan begitu, kalian akan hidup den
Halaman parkir.Gema sudah berada di dalam mobil. Entah mobil siapa itu, sebab mobilnya sedang berada di bengkel, setelah ia adu dengan pohon besar.Dalam hitungan detik, mobil itu tancap gas meninggalkan area rumah sakit. Sementara itu, hanya berselang beberapa detik, Angga Wijaya pun sampai di sana, bersama Anita yang ikut mengejar.Angga Wijaya mengumpat kasar dan menghentakkan kakinya sebagai bentuk kekesalan, sebab ia tidak berhasil mengejar sekaligus menghentikan Gema."Mas, tunggu! Jangan dikejar. Sabar, Mas." Suara Anita sedikit tersengal-sengal, sebab ia terus berlari mengejar suaminya. Sayangnya yang dikejar telah lolos duluan.Angga Wijaya, melihat Anita yang napasnya terengah-engah. "Kamu enggak apa-apa, Sayang? Maafin aku ya."Anita mengangguk sambil mengerjapkan matanya. "Iya, Mas. Enggak apa-apa.""Mas enggak perlu ngejar dia. Percuma dikejar. Gema tidak mau bertemu, Mas. Dia akan menolak, Mas."Ucapan Anita ada benarnya juga. Namun, tetap saja. Sebagai seorang ayah, An
Satu jam kemudian. Angga Wijaya terlihat mondar-mandir di ruang tamu, seperti setrikaan panas. Perasaannya begitu gelisah, setelah mendapat kabar bahwasanya sang putra, jatuh pingsan di salah satu tempat hiburan malam. Putranya itu, memang brutal, disaat perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. "Kapan mereka akan sampai?" gumamnya sangat gelisah. Pandangannya terus mengarah ke luar pintu, berharap yang dinanti-nanti cepat sampai. Sementara itu, Anita duduk di sofa. Perasaannya tidak kalah kalang kabutnya dari Angga Wijaya.Dalam hatinya, ia terus melafalkan doa, demi keselamatan Gema, yang sampai detik ini tak kunjung sampai rumah. Hatinya seperti dicubit-cubit, sesaat setelah mendengar kabar bahwa Gema mabuk berat dan jatuh pingsan di tempat hiburan malam. Angga Wijaya memalingkan pandangannya ke arah Anita di sana. Dilihatnya sang istri yang mulai pucat sambil mengusap wajahnya berulang kali. Ia paham, bahwasanya Anit
LIMA HARI SEBELUM PERNIKAHAN TERJADI.•••Tok!Tok!Tok!Suara pintu yang diketuk berulang kali."Iya, sebentar!" seru Anita, yang berjalan tergesa-gesa dari ruang dapur rumahnya. Suara ketukan itu, membuatnya menghentikan segala aktivitas di dapur. "Siap itu, Neng?" tanya pria dewasa sambil terbatuk-batuk.Dia tidak lain adalah Sueb, ayahnya Anita. Ia keluar dari kamarnya setelah mendengar suara ketukan di luar. Kondisi ia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. "Enggak tahu, Pak. Anita buka pintunya dulu ya." Sueb pun mengangguk. Namun, tiba-tiba perasaannya menjati tidak tenang. Firasatnya begitu buruk.Anita membukakan pintu. Dia langsung menatap dua pria bertubuh kekar, yang berdiri di depan rumahnya."Mana Bapakmu!" seru salah satu pria dengan tatapan yang mematikan. Aura yang keluar sangat tidak bersahabat. "Kalian siapa? Ada keperluan apa mencari Bapak?" tanyanya polos, yang memang tidak mengenal mereka. Sampai beberapa detik berlalu, dia masih bisa bersikap tenang. "Meny
"Dek."Panggilan tersebut, sontak menyadarkan Anita dari lamunannya. Pikirannya kembali pada detik ini. Suara berat, disertai sentuhan lembut itu, membuat Anita mengulas senyuman tipis, yang sebenarnya ia buat-buat, guna menutupi kesedihannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Angga Wijaya sembari menatap teduh sang istri."Enggak ada kok, Mas," jawabnya mengelak. "Sepertinya, dia sudah tidur." Angga menjatuhkan tatapannya kepada pemuda dua puluh lima tahun, yang terbaring di atas ranjang.Gema sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah beberapa saat lalu terus melontarkan kata-kata kasar pada Angga Wijaya maupun Anita, sebagai bentuk kekesalannya kepada dua insan itu."Iya, sepertinya, Mas.""Ya sudah. Sebaiknya kamu juga tidur. Sudah jam dua. Seharian ini, kamu belum istirahat sama sekali.""Iya, Mas. Mas juga, harus istirahat."Pria lima puluh tahun itu mengangguk. Seharusnya, ini menjadi malam pertama bagi mereka. Namun, keadaan rumit ini, membuat suasana malam perta
BUK!Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai.Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya. "Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!" Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu. Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut. "BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya. Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak.Anita langsung berlari. "Hent
Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak."Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu. Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. "Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas."Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan."Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali. Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan. Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya."Balikin hp gue!"
"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega. "Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya."Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah. Gema mengulas s