"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."
Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega."Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya."Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah.Gema mengulas sSetelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Mobil pun mulai memasuki perkampungan. Rumah Anita memang masih pelosok dan padat penduduk.Mobil pun berhenti di tanah kosong, lebih tepatnya lapangan bola untuk anak-anak di sana."Lu aja yang cari tahu, gue malas keluar mobil," kata Gema, sesaat setelah mesin mobil dimatikan.Juna menatap lurus sahabatnya itu, "apa-apa si lu, Bro? Lu mau mati di mobil, kayak yang di berita-berita gitu?"Omelan itu seolah masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri. Gema malas menanggapi dan ogah berdebat.Mendapati ucapannya hanya sebagai angin lalu, Juna pun menghela napas panjang. "Tadi, katanya pengen cari tahu, kenapa si Anita nikah sama bokap lu? Sekarang, udah capek-capek ke sini, lu malah malas-malasan kayak gini," protesnya yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Kali ini giliran Gema yang membuang napas berat, "ya! Gue keluar! Puas lu!" katanya sedikit membentak."Nah, gi
MALAM ITU.Anita yang kebingungan mencari uang 15 juta dalam waktu singkat, akhirnya memutuskan pergi ke kediaman keluarga Wijaya.Hanya keluarga Wijaya saja yang Anita percaya untuk bisa menolongnya. "Pak, tunggu sebentar. Saya masuk dulu," kata Anita kepada kang ojek online, yang telah mengantarkannya itu."Mau kemana, Mba? Bayar dulu ongkosnya!" seru pria itu yang langsung menggenggam erat pergelangan tangan Anita. Ia takut kalau Anita akan pergi tanpa membayar ongkosnya.Anita gelagapan dan panik, lantaran saat ini ia tidak memiliki seperser pun uang di tangannya. Dia berniat untuk masuk ke dalam rumah besar itu, guna mencari seseorang yang mungkin saja mau membantunya."Iya, Mas. Saya akan bayar, tapi nanti. Saya mau masuk dulu ke dalam buat ketemu sama orang. Entar kalau udah ketemu, saya pasti bayar," kata Anita kembali memberi penjelasan.Tubuhnya sudah bergetar hebat. Anita begitu ketakutan saat ini. Pikirannya benar-benar kacau antara bapaknya dan juga uang untuk membayar o
"Dek."Suara bariton itu, seketika menyadarkan gadis cantik yang sedang duduk di tepi ranjang, dari lamunannya. Sentuhan lembut Angga Wijaya di bahu membuat Anita mendongak. Pandangan keduanya pun saling bertemu. "Mas," ucapnya terdengar lirih. Buru-buru ia menyeka kristal bening yang masih tertahan di dinding matanya. Selanjutnya berdiri menghadap sang suami. "Kamu kenapa, Dek? Kamu habis nangis?" tanya Angga Wijaya kemudian.Anita menggeleng cepat, "enggak, Mas. Siapa yang nangis? Aku enggak nangis. Aku lagi tersenyum. Niii," katanya dan memasang senyuman lebar sampai terlihat deretan giginya yang putih."Kamu jangan bohong, Dek. Mas bisa lihat ada kesedihan di matamu." Angga Wijaya menyentuh pipi kanan sang istri penuh kelembutan. Anita pun terpejam, merasakan belaian itu masuk hingga ke dalam raganya. Setelahnya, ia kembali membuka matanya."Mas tahu, kalau kamu lagi sedih. Pasti mikirin Almarhum Bapak y
Meninggalkan kebersamaan yang sedang dirajut Anita dan Angga Wijaya. Di tempat terpisah. Gema yang sedang tertidur dalam posisi tengkurap pun, perlahan-lahan membuka matanya.Ada rasa sakit yang luar biasa sedang memberatkan tubuhnya. Ia merasa badannya seperti ditimpah batu berukuran sangat besar. Setelah kesadarannya penuh. Dia berbalik badan dan menatap langit-langit kamar itu. Pikirannya seolah sedang berkeliaran bebas tanpa penghalang. Ada sesuatu yang sedang ia rencanakan sekarang. "Lu udah bangun, Bro?" Juna pun mengayunkan kakinya, keluar dari kamar mandi. Dia bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawahnya.Rambutnya masih basah dan tubuhnya belum kering sepenuhnya. Masih ada butiran air yang menempel.Gema mengubah posisinya menjadi duduk bersila. Dipandanginya sekeliling kamar. Lebih tepatnya di dekat ranjang. Ada banyak botol minuman berserakan.Dia tidak protes, hanya diam. Sebab yang memb
"DIRGANTARA!" teriak Angga Wijaya, yang sudah menggenggam erat kerah baju sang putra dan siap melayangkan sebuah pukulan keras."Mas Angga! Berhenti!"Namun, tindakan tersebut berhenti, tepat saat seruan itu menyeruak. Menembus gendang telinga dua pria yang memiliki hubungan kuat itu.Tangan kanan Angga Wijaya mengambang di udara, sedangkan tangan lainnya masih menggenggam erat kerah baju Gema. Sementara pemuda itu, tampak tenang. Tidak ada sedikitpun rasa takut terpancar di wajahnya. Padahal, persekian detik saja, pukulan keras itu akan membuat wajah tampannya membiru."Cukup, Mas! Hentikan! Lepasin Gema, Mas!" pinta Anita dengan meninggikan suaranya. Ia tahu, sekedar ucapan tidak akan mampu mengubah pemikiran sang suami. Dia juga berusaha menarik tangan Angga Wijaya, supaya mau melepaskan cengkeramannya terhadap Gema."Jangan halangi saya, Dek. Anak ini sudah sangat keterlaluan! Semakin hari. Tingkahnya semakin keterlaluan! Se
SEPULUH MENIT KEMUDIAN.Pria yang akrab dipanggil Pak Wishnu itu, akhirnya datang. Ia membawa langkah pasti, memasuki ruangan yang sedang memanas itu Gema memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana sambil berjalan santai. Ia yang lebih dulu menyambut Pak Wishnu."Assalamualaikum, Mas Gema." Pria empat puluh lima tahun itu, mengucap salam lebih dulu. Mengulurkan tangan kanan. "Waalaikumsalam, Pak Wishnu. Maaf karena sudah merepotkan Anda, untuk datang ke sini," jawab Gema, sembari menjabat tangan pria yang berprofesi sebagai pengacara itu."Tidak repot sama sekali. Sudah sepatutnya saya membantu keluarga ini sebagaimana mestinya."Gema pun tersenyum simpul mendengar kalimat tersebut. Sementara itu, Angga Wijaya berdiri di sana tanpa bergeser sedikitpun dari posisinya. Sedangkan Anita yang semula duduk di sofa, sambil harap-harap cemas, kini berdiri dan perasaannya semakin tidak karuan."Tuan Angga," sapa Pak Wish
"Bagaimana kondisi Mas Angga, Dokter?" Anita menatap melas pria di hadapannya."Kondisi, Pak Wijaya baik-baik saja. Dia hanya stres saja, yang membuatnya kelelahan," kata pria itu, sedikit menjabarkan tentang kondisi Angga Wijaya yang saat ini terbaring tak sadarkan diri di tempat tidurnya."Kapan Mas Angga sadar, Dok?" Anita masih belum tenang, meskipun sudah diberitahu tahu, bahwasanya sang suami baik-baik saja."Tidak lama lagi dia Pak Wijaya akan sadar. Namun, harus tetap diingat. Beliau harus banyak-banyak istirahat dan jangan sampai stress berlebihan seperti tadi," pesan pria yang mengenakan setelan jas putih kebesaran seorang dokter."Baik, Dok. Saya akan ingat pesan dokter dengan baik." Anita meremas ujung hijabnya. Mendekap seerat mungkin. Mencoba untuk menguatkan diri sendiri.Dia tidak menduga sebelumnya, akan terjadi hal seperti ini. Kondisi suaminya sangat drop, sampai tidak sadarkan diri. "Kalau begitu, saya permis
Beberapa hari telah berlalu. Kehidupan seolah kembali berjalan normal. Tidak ada drama yang menguras emosi dan tenaga. Semuanya tampak baik-baik saja. Melakukan aktivitas masing-masing, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Diketahui, setelah kejadian hari itu, Gema tidak pulang ke rumah. Padahal ia begitu ngotot, bahwasanya itu adalah miliknya, sampai dihadirkan pengacara untuk membantunya mengklaim rumah tersebut.Selama itu juga, Angga Wijaya tidak dapat menghubungi sang putra. Ponsel Gema selalu saja tidak aktif. Entah ia sudah mengganti nomornya atau sengaja mematikan ponselnya, supaya tidak ada yang bisa menghubunginya? Entahlah. Angga Wijaya pun tidak tahu, jalan pikiran putranya itu.Bahkan, ketika Angga Wijaya menghubungi Juna pun, pemuda itu mengatakan tidakbada komunikasi dengan Gema dalam beberapa hari terakhir. Juna juga tidak bisa menghubungi Gema, yang saat ini entah di mana keberadaannya?Angga Wijaya, sebenarnya percaya dan tidak