SEPULUH MENIT KEMUDIAN.
Pria yang akrab dipanggil Pak Wishnu itu, akhirnya datang. Ia membawa langkah pasti, memasuki ruangan yang sedang memanas ituGema memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana sambil berjalan santai. Ia yang lebih dulu menyambut Pak Wishnu."Assalamualaikum, Mas Gema." Pria empat puluh lima tahun itu, mengucap salam lebih dulu. Mengulurkan tangan kanan."Waalaikumsalam, Pak Wishnu. Maaf karena sudah merepotkan Anda, untuk datang ke sini," jawab Gema, sembari menjabat tangan pria yang berprofesi sebagai pengacara itu."Tidak repot sama sekali. Sudah sepatutnya saya membantu keluarga ini sebagaimana mestinya."Gema pun tersenyum simpul mendengar kalimat tersebut. Sementara itu, Angga Wijaya berdiri di sana tanpa bergeser sedikitpun dari posisinya. Sedangkan Anita yang semula duduk di sofa, sambil harap-harap cemas, kini berdiri dan perasaannya semakin tidak karuan."Tuan Angga," sapa Pak Wish"Bagaimana kondisi Mas Angga, Dokter?" Anita menatap melas pria di hadapannya."Kondisi, Pak Wijaya baik-baik saja. Dia hanya stres saja, yang membuatnya kelelahan," kata pria itu, sedikit menjabarkan tentang kondisi Angga Wijaya yang saat ini terbaring tak sadarkan diri di tempat tidurnya."Kapan Mas Angga sadar, Dok?" Anita masih belum tenang, meskipun sudah diberitahu tahu, bahwasanya sang suami baik-baik saja."Tidak lama lagi dia Pak Wijaya akan sadar. Namun, harus tetap diingat. Beliau harus banyak-banyak istirahat dan jangan sampai stress berlebihan seperti tadi," pesan pria yang mengenakan setelan jas putih kebesaran seorang dokter."Baik, Dok. Saya akan ingat pesan dokter dengan baik." Anita meremas ujung hijabnya. Mendekap seerat mungkin. Mencoba untuk menguatkan diri sendiri.Dia tidak menduga sebelumnya, akan terjadi hal seperti ini. Kondisi suaminya sangat drop, sampai tidak sadarkan diri. "Kalau begitu, saya permis
Beberapa hari telah berlalu. Kehidupan seolah kembali berjalan normal. Tidak ada drama yang menguras emosi dan tenaga. Semuanya tampak baik-baik saja. Melakukan aktivitas masing-masing, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Diketahui, setelah kejadian hari itu, Gema tidak pulang ke rumah. Padahal ia begitu ngotot, bahwasanya itu adalah miliknya, sampai dihadirkan pengacara untuk membantunya mengklaim rumah tersebut.Selama itu juga, Angga Wijaya tidak dapat menghubungi sang putra. Ponsel Gema selalu saja tidak aktif. Entah ia sudah mengganti nomornya atau sengaja mematikan ponselnya, supaya tidak ada yang bisa menghubunginya? Entahlah. Angga Wijaya pun tidak tahu, jalan pikiran putranya itu.Bahkan, ketika Angga Wijaya menghubungi Juna pun, pemuda itu mengatakan tidakbada komunikasi dengan Gema dalam beberapa hari terakhir. Juna juga tidak bisa menghubungi Gema, yang saat ini entah di mana keberadaannya?Angga Wijaya, sebenarnya percaya dan tidak
Angga Wijaya pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirannya begitu kacau saat ini. Pekerjaan pun ikut terbengkalai. Semua agenda dibatalkan hanya demi mencari sang putra yang saat ini entah di mana rimbanya."Assalamualaikum, Dek," ucap Angga Wijaya, uruk salam sambil memasuki ruangan. Namun, tidak ada satu orang pun yang menjawab. "Dek!" panggilnya kemudian, mengedarkan pandangannya sebab Anita tidak kunjung terlihat."Mas Angga." Penggilan lembut itu, seketika membuat pria lima puluhan tahun itu, langsung berbalik badan, lalu melebarkan senyuman. Mood yang semula tidak baik-baik saja, seolah berganti keceriaan."Mas Angga udah pulang?" tanya Anita, menghampiri sang suami. Mengikis jarak yang hanya beberapa meter itu."Iya, Dek. Mas kangen banget sama kamu," jawabnya disertai senyuman menggoda. "Dih, apaan si, Mas. Kayak ABG aja," celetuk Anita, melayangkan protes."Memangnya kenapa kalau Mas berbicara sep
Pukul 21.00 WIB.Anita keluar dari kamar mandi. Malam ini, dia sengaja menggerai rambutnya yang hitam legam itu. Entah setan mana yang telah merasukinya? Anita mengenakan setelan baju tidur yang cukup ketat, sehingga terlihat lekuk tubuhnya. Memiliki pinggang ramping, dua buah dada cukup besar. Tidak biasanya ia berpenampilan demikian. Anita berjalan menghampiri sang suami yang asyik bermain ponsel di atas tempat tidur itu."Mas Angga," panggilnya sangat lembut, seperti desahan pelan, sembari menyentuh punggung tangan sang suami. Tatapannya begitu berbeda malam ini. Angga Wijaya melirik, melepaskan fokusnya pada benda pintar itu. "Iya, Dek. Ada apa?" Bukannya dia tidak paham atau mengerti? Dilihat dari penampilan Anita dan riasan wajah itu, Angga Wijaya sudah bisa menebak. Pasti ada apa-apa ini.Anita sedikit tertunduk sejenak. Sebelum akhirnya, ia kembali menatap sang suami. "Mas, boleh aku katakan sesuatu
Pukul 04.45 WIB.Adzan subuh pun sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Anita dan Angga Wijaya telah bersiap untuk sholat subuh berjamaah. Angga Wijaya sebagai imam dan Anita menjadi makmumnya. Baik Anita maupun Angga Wijaya, sudah sama-sama sepakat untuk melupakan kejadian semalam. Saling memaafkan satu sama lain.Sholat subuh kali ini, begitu khusyuk dan tenang. Sampai di sujud terakhir. Angga Wijaya tak kunjung menggerakkan tubuhnya.Posisinya tetap sujud hingga beberapa menit. Mendapati adanya kejanggalan di sini, Anita pun menyudahi sholatnya."Mas Angga." Dia mendekat dengan perasaan was-was, kemudian digerakkan tubuh sang suami pelan. "Mas Angga!" Suaranya cukup histeris, lantaran suaminya memejamkan mata dan ketika didorong, ia pun telentang kaku."Mas bangun." Sebisa mungkin ia tetap tenang. Mencoba mengendalikan isi kepalanya supaya tidak berpikir yang aneh-aneh.Anita mencoba menggerakkan tub
27 TAHUN YANG LALU.*** Pernikahan yang dibina Angga Wijaya bersama Calista, baru menginjak usia satu tahun. Kalau kata orang, sedang hangat-hangatnya, seperti masih pacaran. Begitulah kira-kira yang lain menilai."Kapan kita punya anak? Mamaku terus saja menanyakan soal, kapan kita bisa berikan keturunan bagi keluarga Buana!"Calista meninggikan suaranya, memecah keheningan di ruangan itu. Angga Wijaya melepaskan pulpen yang sedang digenggamnya, lalu mengangkat kepalanya. Menatap lurus sang istri.Calista yang tiba-tiba datang ke ruangan itu, seketika meluapkan emosinya. Melontarkan pertanyaan yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus meninggikan suara."Setiap hari, mama selalu bertanya. Kapan aku hamil? Kapan kita memiliki anak? Mama sudah sangat ingin, kita memberi keturunan bagi keluarga Buana!" tambahnya yang tidak mampu meredam emosi, sehingga intonasi suaranya semakin tinggi. Calista mengatakan apa ya
Satu bulan setelahnya. Angga Wijaya tampak begitu terburu-buru katika menuruni anak-anak itu, seolah ada hal yang sangat penting, yang tidak bisa ia lewatkan.Selama satu bulan terakhir ia tidak lagi tinggal satu atap dengan Calista. Ya, lebih tepatnya dia mengusir Calista dari rumah tersebut, tepat di malam itu bersama dengan pria yang menjadi selanjutnya tersebut. Hatinya begitu hancur, ketika tahu sang istri berselingkuh. Bahkan melakukan hubungan badan di kamar mereka. Tempat yang seharusnya, hanya boleh ditempati ia dan sang istri saja.Per detik itu juga, Angga Wijaya sudah menggugat cerai Calista. Menjatuhkan talak kepada wanita, yang sudah ia nikahi selama satu tahun tersebut.'Mengapa kamu melakukan ini di belakang saya, Dek? Kamu menghancurkan kepercayaan yang selama ini saya berikan ke kamu!''Aku sudah lelah, Mas. Aku capek, ditanya kapan punya anak! Batinku sakit, Mas! Mama terus memaksaku untuk cepat-cepat memiliki anak! Ak
Gema mengatur pernapasannya dari waktu ke waktu. Sungguh, ia dibuat emosional setelah membaca sebagian kisah yang dituliskan sang ayah sebelum dirinya tiada.Baru sepenggal kisah yang ia ketahui, tetapi sudah mampu memporak-porandakan hati serta pikirannya. Dari kisah ini, siapakah yang bersalah? Ayahnya atau Bundanya? Ataukah dirinya yang ikut ambil bagian dalam kisah ini?Sejak kecil ia tidak pernah mengenal sosok sang Bunda. Selama ini, ia tahu hanya melalu kisah yang kerap kali Angga Wijaya ceritakan.Dalam setiap perjalanannya. Gema mengenal sosok sang bunda, adalah wanita yang baik, mandiri dan cantik. Namun, siapa sangka. Ada topeng hitam, yang sengaja disembunyikan oleh ayahnya. Di balik kisah luar biasa itu, ternyata tersimpan kenangan kelam, yang siapa pun akan kecewa dan marah besar bilamana menjadi sosok di dalamnya.Gema mengambil lembaran kertas lainnya. Kali ini ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan