Angga Wijaya pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirannya begitu kacau saat ini. Pekerjaan pun ikut terbengkalai. Semua agenda dibatalkan hanya demi mencari sang putra yang saat ini entah di mana rimbanya.
"Assalamualaikum, Dek," ucap Angga Wijaya, uruk salam sambil memasuki ruangan. Namun, tidak ada satu orang pun yang menjawab."Dek!" panggilnya kemudian, mengedarkan pandangannya sebab Anita tidak kunjung terlihat."Mas Angga." Penggilan lembut itu, seketika membuat pria lima puluhan tahun itu, langsung berbalik badan, lalu melebarkan senyuman. Mood yang semula tidak baik-baik saja, seolah berganti keceriaan."Mas Angga udah pulang?" tanya Anita, menghampiri sang suami. Mengikis jarak yang hanya beberapa meter itu."Iya, Dek. Mas kangen banget sama kamu," jawabnya disertai senyuman menggoda."Dih, apaan si, Mas. Kayak ABG aja," celetuk Anita, melayangkan protes."Memangnya kenapa kalau Mas berbicara sepPukul 21.00 WIB.Anita keluar dari kamar mandi. Malam ini, dia sengaja menggerai rambutnya yang hitam legam itu. Entah setan mana yang telah merasukinya? Anita mengenakan setelan baju tidur yang cukup ketat, sehingga terlihat lekuk tubuhnya. Memiliki pinggang ramping, dua buah dada cukup besar. Tidak biasanya ia berpenampilan demikian. Anita berjalan menghampiri sang suami yang asyik bermain ponsel di atas tempat tidur itu."Mas Angga," panggilnya sangat lembut, seperti desahan pelan, sembari menyentuh punggung tangan sang suami. Tatapannya begitu berbeda malam ini. Angga Wijaya melirik, melepaskan fokusnya pada benda pintar itu. "Iya, Dek. Ada apa?" Bukannya dia tidak paham atau mengerti? Dilihat dari penampilan Anita dan riasan wajah itu, Angga Wijaya sudah bisa menebak. Pasti ada apa-apa ini.Anita sedikit tertunduk sejenak. Sebelum akhirnya, ia kembali menatap sang suami. "Mas, boleh aku katakan sesuatu
Pukul 04.45 WIB.Adzan subuh pun sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Anita dan Angga Wijaya telah bersiap untuk sholat subuh berjamaah. Angga Wijaya sebagai imam dan Anita menjadi makmumnya. Baik Anita maupun Angga Wijaya, sudah sama-sama sepakat untuk melupakan kejadian semalam. Saling memaafkan satu sama lain.Sholat subuh kali ini, begitu khusyuk dan tenang. Sampai di sujud terakhir. Angga Wijaya tak kunjung menggerakkan tubuhnya.Posisinya tetap sujud hingga beberapa menit. Mendapati adanya kejanggalan di sini, Anita pun menyudahi sholatnya."Mas Angga." Dia mendekat dengan perasaan was-was, kemudian digerakkan tubuh sang suami pelan. "Mas Angga!" Suaranya cukup histeris, lantaran suaminya memejamkan mata dan ketika didorong, ia pun telentang kaku."Mas bangun." Sebisa mungkin ia tetap tenang. Mencoba mengendalikan isi kepalanya supaya tidak berpikir yang aneh-aneh.Anita mencoba menggerakkan tub
27 TAHUN YANG LALU.*** Pernikahan yang dibina Angga Wijaya bersama Calista, baru menginjak usia satu tahun. Kalau kata orang, sedang hangat-hangatnya, seperti masih pacaran. Begitulah kira-kira yang lain menilai."Kapan kita punya anak? Mamaku terus saja menanyakan soal, kapan kita bisa berikan keturunan bagi keluarga Buana!"Calista meninggikan suaranya, memecah keheningan di ruangan itu. Angga Wijaya melepaskan pulpen yang sedang digenggamnya, lalu mengangkat kepalanya. Menatap lurus sang istri.Calista yang tiba-tiba datang ke ruangan itu, seketika meluapkan emosinya. Melontarkan pertanyaan yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus meninggikan suara."Setiap hari, mama selalu bertanya. Kapan aku hamil? Kapan kita memiliki anak? Mama sudah sangat ingin, kita memberi keturunan bagi keluarga Buana!" tambahnya yang tidak mampu meredam emosi, sehingga intonasi suaranya semakin tinggi. Calista mengatakan apa ya
Satu bulan setelahnya. Angga Wijaya tampak begitu terburu-buru katika menuruni anak-anak itu, seolah ada hal yang sangat penting, yang tidak bisa ia lewatkan.Selama satu bulan terakhir ia tidak lagi tinggal satu atap dengan Calista. Ya, lebih tepatnya dia mengusir Calista dari rumah tersebut, tepat di malam itu bersama dengan pria yang menjadi selanjutnya tersebut. Hatinya begitu hancur, ketika tahu sang istri berselingkuh. Bahkan melakukan hubungan badan di kamar mereka. Tempat yang seharusnya, hanya boleh ditempati ia dan sang istri saja.Per detik itu juga, Angga Wijaya sudah menggugat cerai Calista. Menjatuhkan talak kepada wanita, yang sudah ia nikahi selama satu tahun tersebut.'Mengapa kamu melakukan ini di belakang saya, Dek? Kamu menghancurkan kepercayaan yang selama ini saya berikan ke kamu!''Aku sudah lelah, Mas. Aku capek, ditanya kapan punya anak! Batinku sakit, Mas! Mama terus memaksaku untuk cepat-cepat memiliki anak! Ak
Gema mengatur pernapasannya dari waktu ke waktu. Sungguh, ia dibuat emosional setelah membaca sebagian kisah yang dituliskan sang ayah sebelum dirinya tiada.Baru sepenggal kisah yang ia ketahui, tetapi sudah mampu memporak-porandakan hati serta pikirannya. Dari kisah ini, siapakah yang bersalah? Ayahnya atau Bundanya? Ataukah dirinya yang ikut ambil bagian dalam kisah ini?Sejak kecil ia tidak pernah mengenal sosok sang Bunda. Selama ini, ia tahu hanya melalu kisah yang kerap kali Angga Wijaya ceritakan.Dalam setiap perjalanannya. Gema mengenal sosok sang bunda, adalah wanita yang baik, mandiri dan cantik. Namun, siapa sangka. Ada topeng hitam, yang sengaja disembunyikan oleh ayahnya. Di balik kisah luar biasa itu, ternyata tersimpan kenangan kelam, yang siapa pun akan kecewa dan marah besar bilamana menjadi sosok di dalamnya.Gema mengambil lembaran kertas lainnya. Kali ini ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan
"Apa kamu sudah selesai dengan kemarahanmu itu, Dek?!" Perkataan itu, sontak membuat Anita mengangkat kepalanya. Melebarkan kedua matanya. Garis bawa matanya semakin merah. Dia diam. Namun, hatinya begitu panas. Setiap aliran darahnya begitu meluap-luap, bagaikan magma di dalam perut bumi. "Kamu boleh marah, Dek. Kamu boleh kesal kepada saya, Dek. Namun, ada hal yang kamu harus ketahui dari diri saya, Dek. Hal yang selama ini tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya!"Keduanya saling menatap dalam satu garis lurus. Angga Wijaya masih tampak tenang. Akan tetapi, percayalah! Hati serta pikirannya sedang bertarung layaknya dua mata pedang yang saling beradu. "Maafkan saya karena sebelumnya tidak mengatakan ini terlebih dahulu. Seharusnya saya membicarakan ini sejak awal. Namun, saya terlalu bingung saat itu karena kondisi kamu yang sedang berduka."Kini giliran Anita yang diam dan tidak bergerak seinci pun dari posisinya. Tangisnya tel
TUJUH HARI BERIKUTNYA. •••• Tak terasa, sudah tujuh hari Angga Wijaya dikebumikan. Gema pun menyempatkan diri untuk mengunjungi makam sang Ayah, yang berada tepat di samping pusaran sang Bunda. Gema membur bunga di atas dua makam yang saling berdampingan itu. Tidak lupa, dia mengirimkan doa untuk kedua orang tuanya. Ya, meskipun Angga Wijaya bukanlah ayah kandungnya. Akan tetapi, rasa sayang Angga Wijaya terhadap dirinya, melebihi cinta ayah kandung. Gema memakai kacamata hitam dan outfit santai. Kedua tangannya mengadah. Mulutnya melafalkan doa untuk mereka yang telah lebih dulu pergi. "Ayah ..." panggil Gema bersuara lirih. Setiap hari, dia pasti mendatangi makan, walau hanya setengah jam di sana. "Bunda ... Gimana kabar kalian?" tanyanya tenang. Meskipun begitu, tetap ada raut kesedihan. Terutama saat mengelus nisan yang bertuliskan nama Ayah tirinya. Ya, begit
"Lepasin aku, Ferdi! Kamu tidak pantas menarik wanita yang sudah bersuami, seperti ini!" sungut Anita, berteriak, menjerit meminta untuk dilepaskan. Upayanya supaya bisa lepas dari cengkraman Ferdi pun, seolah tidak mempan.Lagi-lagi Ferdi tertawa lantang. Sangat puas ketika melihat ketidakmampuan Anita. "Kamu tidak akan bisa melawanku, Sayang. Sudah aku katakan. Aku akan membawa kamu ke istana kita!"Setiap kali kalimat itu terlontar dari mulut Ferdi, Anita merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Plus merasa jijik. Isi perutnya seolah ingin keluar lagi."Aku tidak pergi dari rumah ini!" seru Anita, sembari menahan kedua kakinya, supaya sulit bagi Ferdi untuk bisa menariknya.Bukan Ferdi, jika gagal mendapatkan apa yang menjadi keinginannya."Kamu memang sangat keras kepala, Sayang, tapi aku suka itu." Ferdi menjawab dengan nada sensual dan sedikit menjilat bibir bawahnya. Hal tersebut tentu saja membuat Anita semakin me