27 TAHUN YANG LALU.
*** Pernikahan yang dibina Angga Wijaya bersama Calista, baru menginjak usia satu tahun. Kalau kata orang, sedang hangat-hangatnya, seperti masih pacaran. Begitulah kira-kira yang lain menilai."Kapan kita punya anak? Mamaku terus saja menanyakan soal, kapan kita bisa berikan keturunan bagi keluarga Buana!"Calista meninggikan suaranya, memecah keheningan di ruangan itu. Angga Wijaya melepaskan pulpen yang sedang digenggamnya, lalu mengangkat kepalanya. Menatap lurus sang istri.Calista yang tiba-tiba datang ke ruangan itu, seketika meluapkan emosinya. Melontarkan pertanyaan yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik tanpa harus meninggikan suara."Setiap hari, mama selalu bertanya. Kapan aku hamil? Kapan kita memiliki anak? Mama sudah sangat ingin, kita memberi keturunan bagi keluarga Buana!" tambahnya yang tidak mampu meredam emosi, sehingga intonasi suaranya semakin tinggi.Calista mengatakan apa yaSatu bulan setelahnya. Angga Wijaya tampak begitu terburu-buru katika menuruni anak-anak itu, seolah ada hal yang sangat penting, yang tidak bisa ia lewatkan.Selama satu bulan terakhir ia tidak lagi tinggal satu atap dengan Calista. Ya, lebih tepatnya dia mengusir Calista dari rumah tersebut, tepat di malam itu bersama dengan pria yang menjadi selanjutnya tersebut. Hatinya begitu hancur, ketika tahu sang istri berselingkuh. Bahkan melakukan hubungan badan di kamar mereka. Tempat yang seharusnya, hanya boleh ditempati ia dan sang istri saja.Per detik itu juga, Angga Wijaya sudah menggugat cerai Calista. Menjatuhkan talak kepada wanita, yang sudah ia nikahi selama satu tahun tersebut.'Mengapa kamu melakukan ini di belakang saya, Dek? Kamu menghancurkan kepercayaan yang selama ini saya berikan ke kamu!''Aku sudah lelah, Mas. Aku capek, ditanya kapan punya anak! Batinku sakit, Mas! Mama terus memaksaku untuk cepat-cepat memiliki anak! Ak
Gema mengatur pernapasannya dari waktu ke waktu. Sungguh, ia dibuat emosional setelah membaca sebagian kisah yang dituliskan sang ayah sebelum dirinya tiada.Baru sepenggal kisah yang ia ketahui, tetapi sudah mampu memporak-porandakan hati serta pikirannya. Dari kisah ini, siapakah yang bersalah? Ayahnya atau Bundanya? Ataukah dirinya yang ikut ambil bagian dalam kisah ini?Sejak kecil ia tidak pernah mengenal sosok sang Bunda. Selama ini, ia tahu hanya melalu kisah yang kerap kali Angga Wijaya ceritakan.Dalam setiap perjalanannya. Gema mengenal sosok sang bunda, adalah wanita yang baik, mandiri dan cantik. Namun, siapa sangka. Ada topeng hitam, yang sengaja disembunyikan oleh ayahnya. Di balik kisah luar biasa itu, ternyata tersimpan kenangan kelam, yang siapa pun akan kecewa dan marah besar bilamana menjadi sosok di dalamnya.Gema mengambil lembaran kertas lainnya. Kali ini ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan
"Apa kamu sudah selesai dengan kemarahanmu itu, Dek?!" Perkataan itu, sontak membuat Anita mengangkat kepalanya. Melebarkan kedua matanya. Garis bawa matanya semakin merah. Dia diam. Namun, hatinya begitu panas. Setiap aliran darahnya begitu meluap-luap, bagaikan magma di dalam perut bumi. "Kamu boleh marah, Dek. Kamu boleh kesal kepada saya, Dek. Namun, ada hal yang kamu harus ketahui dari diri saya, Dek. Hal yang selama ini tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya!"Keduanya saling menatap dalam satu garis lurus. Angga Wijaya masih tampak tenang. Akan tetapi, percayalah! Hati serta pikirannya sedang bertarung layaknya dua mata pedang yang saling beradu. "Maafkan saya karena sebelumnya tidak mengatakan ini terlebih dahulu. Seharusnya saya membicarakan ini sejak awal. Namun, saya terlalu bingung saat itu karena kondisi kamu yang sedang berduka."Kini giliran Anita yang diam dan tidak bergerak seinci pun dari posisinya. Tangisnya tel
TUJUH HARI BERIKUTNYA. •••• Tak terasa, sudah tujuh hari Angga Wijaya dikebumikan. Gema pun menyempatkan diri untuk mengunjungi makam sang Ayah, yang berada tepat di samping pusaran sang Bunda. Gema membur bunga di atas dua makam yang saling berdampingan itu. Tidak lupa, dia mengirimkan doa untuk kedua orang tuanya. Ya, meskipun Angga Wijaya bukanlah ayah kandungnya. Akan tetapi, rasa sayang Angga Wijaya terhadap dirinya, melebihi cinta ayah kandung. Gema memakai kacamata hitam dan outfit santai. Kedua tangannya mengadah. Mulutnya melafalkan doa untuk mereka yang telah lebih dulu pergi. "Ayah ..." panggil Gema bersuara lirih. Setiap hari, dia pasti mendatangi makan, walau hanya setengah jam di sana. "Bunda ... Gimana kabar kalian?" tanyanya tenang. Meskipun begitu, tetap ada raut kesedihan. Terutama saat mengelus nisan yang bertuliskan nama Ayah tirinya. Ya, begit
"Lepasin aku, Ferdi! Kamu tidak pantas menarik wanita yang sudah bersuami, seperti ini!" sungut Anita, berteriak, menjerit meminta untuk dilepaskan. Upayanya supaya bisa lepas dari cengkraman Ferdi pun, seolah tidak mempan.Lagi-lagi Ferdi tertawa lantang. Sangat puas ketika melihat ketidakmampuan Anita. "Kamu tidak akan bisa melawanku, Sayang. Sudah aku katakan. Aku akan membawa kamu ke istana kita!"Setiap kali kalimat itu terlontar dari mulut Ferdi, Anita merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Plus merasa jijik. Isi perutnya seolah ingin keluar lagi."Aku tidak pergi dari rumah ini!" seru Anita, sembari menahan kedua kakinya, supaya sulit bagi Ferdi untuk bisa menariknya.Bukan Ferdi, jika gagal mendapatkan apa yang menjadi keinginannya."Kamu memang sangat keras kepala, Sayang, tapi aku suka itu." Ferdi menjawab dengan nada sensual dan sedikit menjilat bibir bawahnya. Hal tersebut tentu saja membuat Anita semakin me
"Bukankah, Anita sudah mengatakannya dengan jelas! Pergi dari sini, kparat!" umpat Gema geram. Air liurnya sampai muncrat saking emosinya.Emosi yang sudah memuncak itu, membuatnya ringan tangan. Dia menarik kerah baju Ferdi, sehingga tubuh pemuda itu terangkat.BRUK!Pukulan keras kembali dilayangkan Gema. Ferdi lagi-lagi tersungkur ke tanah. Kali ini tepi bibir Ferdi, sedikit mengeluarkan darah segar. Segera dia menyekanya tanpa risih. Kedua bodyguard-nya lantas datang membantu. Setelah ia berhasil berdiri, dua pria gagah itu segera mengepung Gema.Anita yang melihat kekacauan di depan matanya pun, merasa ingin langsung menghabisi nyawanya sendiri, dari pada harus menyaksikan perkelahian yang tak ada ujungnya itu.Ferdi bukanlah orang baru baginya. Anita cukup lama mengenal siapa itu Ferdi. Katakanlah sebelum mengenal Gema, dirinya sudah lebih dulu bertemu Ferdi. Satu hal yang tidak Anita habis pikir, sebenarnya perj
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa sudah 40 hari sepeninggalan Angga Wijaya. Rasa rindu tentu ada. Namun, sosok yang dirindukan sudah tidak ada di dunia lagi. Hanya menyisakan nama serta kenangan indah yang dibangun dalam waktu singkat. Setiap harinya, berjalan begitu lambat dan dipenuhi rasa kesepian. Tidak ada lagi sosok yang mempu menghapus air mata. Membelai kepala dan mengucap kalimat cinta. Anita sedang merenung di depan pusaran sang suami. Menutupi kedua matanya dengan kacamata hitam. Kendati demikian, rona kesedihan tetap ada, meskipun sudah tertutup make up. Ya. Setelah 40 hari, ia baru bisa mengunjungi makam Angga Wijaya. Hatinya masih sangat terpukul sampai detik ini. "Assalamualaikum, Mas Angga. Gimana kabarnya, di sana? Aku merindukanmu, Mas," ucapnya pilu, sembari menyiramkan air ke atas gundukan tanah. Sekuat tenang, Anita menahan air matanya. Dia mau terlihat tegar di depan makam sang suami. Tidak ingin membuat
Hari berikutnya. Kali ini Gema bangun lebih awal. Setelah sholat Subuh, dia langsung berkutat di dapur, seorang diri tanpa dibantu oleh ART. Ya, begitulah seperti yang dibayangkan. Dia sedang memasak. Ceritanya itu membuat sarapan untuk semua orang dengan penuh semangat dan antusias. Tangan kanannya memegang pisau dan asyik memotong bawang-bawangan.Siapa yang bilang, cowok enggak bisa masak? Tentu saja bisa. Cowok pun bisa memasak bila ada kemauan.Sementara itu, di atas kompor yang sedang menyala. Dia sedang menghangatkan sayur yang kemarin Anita masak. Kemarin malam, sayur itu tidak habis. Dari pada dibuang, mending dihangatkan kembali. Toh rasanya juga masih enak.Senyuman sumringah terpencar sempurna di wajah tampan pemuda dua puluh lima tahun itu. Entah jin mana yang telah merasukinya, sehingga suasana hatinya kali ini tampak sangat bahagia?Setelah memotong bawang, sekarang dia mengiris cabai. Kemudian mengeluarkan bahan makanan d
SEMBILAN TAHUN KEMUDIAN!•"Dirga! Jangan kencang-kencang larinya, Nak!" teriak Anita, sembari mengejar bocah laki-laki yang berlari sambil membawa pesawat mainan di tangannya."Hap! Ayah berhasil menangkap sang pilot kecil yang nakal ini." Gema Dirgantara, langsung menggendong sang putra, setibanya di rumah. Bocah kecil itu, sedang bermain kejar-kejaran dengan Bundanya. Anita."Ah, Ayah! Tidak lucu. Kenapa Ayah menangkapku?! Aku sedang terbang tinggi sekali dengan pesawat ini!" ucap bocah kecil itu mengomel, saat sang Ayah menyudahi imajinasi yang sedang tinggi-tingginya itu.Gema menurunkan bocah kecil kesayangannya, yang diberi nama Dirga Mahendra Wijaya."Baiklah, sang pilot kecil. Sekarang, saatnya pesawat itu mendarat." Gema menggoda sang putra seraya menarik hidung mungil itu."Heum ..." Dirga menunjukkan kesan tidak suka. Gema pun tersenyum dan mengacak-acak pucuk kepala bocah kecilnya. Permata paling berharga bagi keluarga ini."Ayah tumben sudah pulang? Biasanya Ayah pulang
"Gimana perjalan tadi, Sayang? Kamu merasa nyaman kan?" "Heum, iya. Aku merasa nyaman banget." Sepasang suami istri itu, berjalan sambil bergandengan tangan. Belum ada tiga puluh menit, pesawat dari yang dari dari Swees baru saja mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta, Anita dan Gema berjalan meninggalkan area kedatangan. Senyuman indah terukir di wajah sepasang suami istri yang baru saja pulang dari berbulan madu. Cerah dan penuh kebahagiaan. Sekitar lima belas hari, keduanya menghabiskan waktu berduaan, menikmati keindahan kota Swees dan sekitarnya. "Cepat tangkap dia!" "Tolong siapa pun! Tangkap pencuri itu!" "Jangan biarkan dia lolos!" Seorang pria, mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam dan celana yang panjangnya sebatas menutupi lutut, serta topi hitam menutupi kepalanya itu, berlari kencang, membuat para pengunjung bandara kocar-kacir. Dia membawa sebuah senjata api di tangan kanannya. Hal tersebutlah yang membuat orang-orang di bandara meras
"Kamu sudah pulang, Sayang?" ucap Anita, menyambut kedatang Gema, seraya mencium punggung tangannya, sebagai tanda bakti seorang istri kepada suami. "Iya. Hari ini aku sangat lelah sekali," keluh Gema, terlihat memijat-mijat lehernya yang terasa kaku dan pegal. "Kamu mandi dulu, habis itu aku pijitin," tawar Anita, tersenyum menggoda seraya melingkarkan tangannya di leher Gema. "Heum, pijit lehernya aja atau yang lainnya juga?" Anita sontak melotot, "apaan si kamu? Nakal deh. Ya, aku pijit lehernya aja lah." Sebagai bentuk kekesalannya, Anita mencubit pinggang Gema, tapi bukannya merasa bersalah, Gema malah keenakan. "Udah, ih. Sana mandi dulu. Entar aku pijitin. Semuanya," pisiknya pelan dan memberi penekanan pada kata terakhir. Gema tersenyum sumringah. Angan-angannya langsung membayangkan sesuatu yang nikmat dalam pelukan hangat. "Ok deh, Sayang." Muach ... Dia mencium pipi istirnya, baru setelah itu mempercepat langkahnya menujunya kamar. Anita geleng-gelen
[Lu lagi di mana?][Lagi di rumah sakit. Ada apa?] Gema tersenyum lembut, saat menyuapi Anita dan mengobrol dengan seseorang di telpon.[Siapa yang sakit? Anita?][Iya. Ceritanya panjang pokoknya. Itu mah bahas nanti aja. Lu sendiri, kenapa telpon?][Gue udah berhasil nangkap ni tikus.]Gema beranjak bangun, matanya melebar sempurna. Sendok yang digenggam pun sampai lepas. [Seriusan? Jadi, tuh tikus berhasil lu tangkap?][Iya, seriusan lah. Gue mana pernah bohong soal kerjaan. Udah, dijelasinnya belakangan aja. Sekarang harus gue bawa kemana ni tikus? Gue si belum apa-apain dia, tapi anak buah gue, udah bikin dia babak belur. Hahaha.]Gema memijat keningnya, sudah menduga hal ini akan terjadi. Dia menoleh ke belakang, lalu tersenyum kepada Anita.Melihat adanya perubahan sikap Gema yang mendadak, membuat Anita bertanya-tanya, siapakah yang menelpon?[Kasih tahu aja lokasinya di mana? Biar gue langsung ke sana.][Di Kalimantan.][Apa?] Gema sangat terkejut sampai-sampai napasnya sepert
Gema langsung membawa Anita ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, begitu juga dengan Sari dan satpam yang berjaga di rumahnya. Dikarenakan mengalami luka berat akibat dipukuli berulang kali sampai tidak sadarkan diri, Pamannya juga harus dilarikan ke rumah sakit. Namun, diawasi oleh pihak yang berwajib. Gema ingin, pria keparat itu langsung dijebloskan ke penjara, setelah sadar nanti. Gema telah memastikan, pria itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Pelecehan terhadap wanita berstatus istri, adalah kejahatan besar. . Di salah satu ruang perawatan. Anita masih terbaring lemas di ranjang. Tangannya dipasangi selang infus. "Maafkan aku, Sayang. Seandainya aku tidak terlambat sampai rumah, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi," ungkap Gema penuh dengan penyesalan. Dia menggenggam erat-erat tangan Anita. Mengecupnya berulang kali. Bahkan kepalanya terus tertunduk. Rasa bersalahnya tidak bisa hilang begitu saja. Bayangan bagaimana tangan-tan
Anita yang hendak ke dapur pun, tiba-tiba berlari, langkahnya berbalik, tidak jadi ke dapur ketika mendengar suara pintu terbuka. Dia sangat yakin kalau Gema yang datang.Langkahnya berhenti. Tubuhnya mematung dan mantanya membola, saat mendapati yang membuka pintu bukanlah Gema, melainkan pria lain, yang sosoknya tidak terlalu asing."Paman." Satu kata lolos dari bibirnya. Anita tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. "Halo, Sayangku. Bagaimana kabarmu hari ini? Kamu baik-baik saja kan di rumah ini? Maafkan Mas yang baru datang," racau pria itu setengah mabuk.Satu hal yang membuat Anita terkejut, tidak lain adalah kondisi pria itu dalam keadaan mabuk. Setengah kesadarannya hilang karena pengaruh alkohol. Bahkan botol minuman keras masih ada digenggamnya."Gema belum pulang! Dia masih di kantor!" Anita meninggikan suaranya sambil berjalan mundur. Dia sangat ketakutan. Takut pria itu melakukan hal yang bukan-bukan."Mas datang bukan untuk menanyakan anak brengsek itu, tapi kedata
Hari yang baru telah datang menyapa. Pagi-pagi sekali, Gema sudah berangkat bekerja. Tidak dapat dipungkiri, masalah yang terjadi di perusahaan tidak bisa dianggap enteng."Apa tim keamanan sudah mengecek rekaman CCTV?" tanya Gema sangat serius, sambil berjalan melewati lobby."Tim keamanan sudah selesai ngecek semua rekaman CCTV dan pelakunya sudah diketahui identitasnya," jawab Roy tidak kalah seriusnya dengan Gema."Baiklah. Coba kita lihat. Siapa tikus kecil itu, yang telah membuat kekacauan di Wijaya Group?" Gema menyeringai kecil. Dia mempercepat langkahnya menujunya lift di sana. Sementara Roy, mengekor di belakang. ***RUANG PENGAWASAN CCTV PERUSAHAAN."Apa kalian menemukan pelakunya?" Pertanyaan Gema langsung membuat seluruh orang yang ada di ruangan itu, bangun dari tempat masing-masing."Apa kapan benar-benar sudah menemukan pelakunya?" Gema ngulang pertanyaan lagi."Sudah, Pak. Dia lah pelakunya. Dia menyusup ke ruang data keuangan saat malam hari," beber salah orang st
"Gema Dirgantara!" Seseorang berseru dengan lantai. Gema lantas menurunkan Anita dari gendongannya. Semula berniat untuk melepas lelah di dalam kamar pun, pupus sudah. Sepasang pengantin itu, menatap lurus pria dewasa yang nyelonong masuk tanpa mengucap salah. "Gema Dirgantara! Di kamar kamu?" Dia kembali berteriak, seolah rumah ini adalah miliknya, sehingga tidak perlu pakai tatak rama untuk masuk."Aku di sini, Paman?" Gema menyahut, lalu berjalan menuruni anak-anak tangga dan Anita mengekor di belakangnya."Siapa dia?" Anita berbisik."Dia adalah Pamanku. Lebih tepatnya, adik dari almarhum Bunda," jawab Gema sedikit menjelaskan. Anita mengangguk dan membuka mulutnya membentuk huruf O kecil."Ada urusan apa, malam-malam gini datang ke sini?" Gema langsung menjatuhkan pertanyaan yang masuk ke intinya. "Memangnya kenapa, jika aku datang malam-malam begini? Apakah ada peraturan tertulis untuk datang berkunjung ke rumah keponakan sendiri?" Gema menghela napas panjang. Sudah menjad
Malam telah menyapa. Anita mondar-mandir seperti setrikaan di ruang tengah. Cemas menunggu kepulangan Gema. Sejak siang tadi, Anita belum mendapat kabar apapun tentang Gema. Suaminya sempat mengirim pesan singkat, yang mengatakan. Dirinya baik-baik saja. Tidak perlu khawatir."Sudah jam sembilan, tapi dia belum pulang juga. Semoga tidak terjadi apa-apa kepadanya," harap Anita tak tenang. Entah sudah yang keberapa kali, Anita melihat jam yang terpampang di dinding. Duduk tak tenang dan makan pun tak enak. "Bu. Mau saat buatkan sesuatu? Sejak siang, Ibu belum makan apa-apa," tawar Sari, yang datang dari arah dapur.Sedari tadi, Sari terus memperhatikan Anita yang mondar-mandir. Sesama wanita, Sari pun dapat merasakan kecemasan yang sedang Anita rasakan saat ini. "Nanti saja, Bi Sari. Saya masih cemas menunggu Gema pulang. Lagi pun, untuk saat ini saya tidak memiliki nafsu untuk makan." Anita mengepalkan tangannya di dada. Beberapa kali dia menelan ludahnya sendiri, demi menyamarkan