Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa sudah 40 hari sepeninggalan Angga Wijaya. Rasa rindu tentu ada. Namun, sosok yang dirindukan sudah tidak ada di dunia lagi. Hanya menyisakan nama serta kenangan indah yang dibangun dalam waktu singkat.
Setiap harinya, berjalan begitu lambat dan dipenuhi rasa kesepian. Tidak ada lagi sosok yang mempu menghapus air mata. Membelai kepala dan mengucap kalimat cinta.Anita sedang merenung di depan pusaran sang suami. Menutupi kedua matanya dengan kacamata hitam. Kendati demikian, rona kesedihan tetap ada, meskipun sudah tertutup make up.Ya. Setelah 40 hari, ia baru bisa mengunjungi makam Angga Wijaya. Hatinya masih sangat terpukul sampai detik ini."Assalamualaikum, Mas Angga. Gimana kabarnya, di sana? Aku merindukanmu, Mas," ucapnya pilu, sembari menyiramkan air ke atas gundukan tanah.Sekuat tenang, Anita menahan air matanya. Dia mau terlihat tegar di depan makam sang suami. Tidak ingin membuat"Saya nikahkan dan kawinkan, Ananda Anita Apsari binti Almarhum Sueb, dengan Angga Wijaya dengan maskawin emas seberat satu kilogram, uang sepuluh juta, satu unit rumah dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Saya terima nikahnya, Anita Apsari binti Almarhum Sueb dengan maskawin dibayar ... Tunai!" tegas pria itu dalam sekali tarikan napas. "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Ketua Pengulu yang bertugas sambil melihat kiri dan kanannya."Sah!" ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan."Sah!" ucap yang lainnya di sisi kiri.Setelah para saksi menyatakan 'Sah!' Ketua Penghulu itu, segera memimpin doa bersama. Kedua insan yang kini telah sah menjadi suami istri secara agama itu, ikut mengaminkan doa tersebut."Ayah, kenapa di luar banyak ..." Kalimat itu tergantung di ujung tenggorokan bersamaan dengan sorot matanya yang menatap lurus ke sudut ruangan. Suara itu seketika memecah keheningan di sana. Seorang pemuda, memasuki ruangan dengan langkah cepat dan raut wajah keheranan.
"JAGA UCAPANMU, DIRGANTARA!" teriak Angga Wijaya sangat keras."MAS TUNGGU!" Suara Anita tidak kalah kencang. Hal tersebut membuat Angga Wijaya tidak melanjutkan aksinya. Tangan kanannya, berada beberapa sentimeter dari wajah Gema. "Cukup, Mas! Kamu jangan lakukan kekerasan lagi. Sabar, Mas," pinta Anita sambil mengelus bidang dada suaminya, sekaligus menariknya supaya menjauh dari Gema."Semakin kamu melawannya, maka dia akan semakin menjadi-jadi. Sebaiknya, kamu mengalah dan bersabar. Gema butuh waktu untuk menerima kenyataan ini," tambah Anita, berusaha menenangkan pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu. Pemuda tampan itu, menyeringai kecil. Tatapan yang dahulunya penuh cinta terhadap Anita, kini berubah menjadi tatapan yang dipenuhi dendam dan kekecewaan.Bagaimana bisa, dalam hitungan menit, cinta yang telah dibangun selama dua tahun, berubah menjadi dendam?"Mengapa kau hentikan dia, Anita? Seharusnya kau biarkan saja dia membunuhku! Dengan begitu, kalian akan hidup den
Halaman parkir.Gema sudah berada di dalam mobil. Entah mobil siapa itu, sebab mobilnya sedang berada di bengkel, setelah ia adu dengan pohon besar.Dalam hitungan detik, mobil itu tancap gas meninggalkan area rumah sakit. Sementara itu, hanya berselang beberapa detik, Angga Wijaya pun sampai di sana, bersama Anita yang ikut mengejar.Angga Wijaya mengumpat kasar dan menghentakkan kakinya sebagai bentuk kekesalan, sebab ia tidak berhasil mengejar sekaligus menghentikan Gema."Mas, tunggu! Jangan dikejar. Sabar, Mas." Suara Anita sedikit tersengal-sengal, sebab ia terus berlari mengejar suaminya. Sayangnya yang dikejar telah lolos duluan.Angga Wijaya, melihat Anita yang napasnya terengah-engah. "Kamu enggak apa-apa, Sayang? Maafin aku ya."Anita mengangguk sambil mengerjapkan matanya. "Iya, Mas. Enggak apa-apa.""Mas enggak perlu ngejar dia. Percuma dikejar. Gema tidak mau bertemu, Mas. Dia akan menolak, Mas."Ucapan Anita ada benarnya juga. Namun, tetap saja. Sebagai seorang ayah, An
Satu jam kemudian. Angga Wijaya terlihat mondar-mandir di ruang tamu, seperti setrikaan panas. Perasaannya begitu gelisah, setelah mendapat kabar bahwasanya sang putra, jatuh pingsan di salah satu tempat hiburan malam. Putranya itu, memang brutal, disaat perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. "Kapan mereka akan sampai?" gumamnya sangat gelisah. Pandangannya terus mengarah ke luar pintu, berharap yang dinanti-nanti cepat sampai. Sementara itu, Anita duduk di sofa. Perasaannya tidak kalah kalang kabutnya dari Angga Wijaya.Dalam hatinya, ia terus melafalkan doa, demi keselamatan Gema, yang sampai detik ini tak kunjung sampai rumah. Hatinya seperti dicubit-cubit, sesaat setelah mendengar kabar bahwa Gema mabuk berat dan jatuh pingsan di tempat hiburan malam. Angga Wijaya memalingkan pandangannya ke arah Anita di sana. Dilihatnya sang istri yang mulai pucat sambil mengusap wajahnya berulang kali. Ia paham, bahwasanya Anit
LIMA HARI SEBELUM PERNIKAHAN TERJADI.•••Tok!Tok!Tok!Suara pintu yang diketuk berulang kali."Iya, sebentar!" seru Anita, yang berjalan tergesa-gesa dari ruang dapur rumahnya. Suara ketukan itu, membuatnya menghentikan segala aktivitas di dapur. "Siap itu, Neng?" tanya pria dewasa sambil terbatuk-batuk.Dia tidak lain adalah Sueb, ayahnya Anita. Ia keluar dari kamarnya setelah mendengar suara ketukan di luar. Kondisi ia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. "Enggak tahu, Pak. Anita buka pintunya dulu ya." Sueb pun mengangguk. Namun, tiba-tiba perasaannya menjati tidak tenang. Firasatnya begitu buruk.Anita membukakan pintu. Dia langsung menatap dua pria bertubuh kekar, yang berdiri di depan rumahnya."Mana Bapakmu!" seru salah satu pria dengan tatapan yang mematikan. Aura yang keluar sangat tidak bersahabat. "Kalian siapa? Ada keperluan apa mencari Bapak?" tanyanya polos, yang memang tidak mengenal mereka. Sampai beberapa detik berlalu, dia masih bisa bersikap tenang. "Meny
"Dek."Panggilan tersebut, sontak menyadarkan Anita dari lamunannya. Pikirannya kembali pada detik ini. Suara berat, disertai sentuhan lembut itu, membuat Anita mengulas senyuman tipis, yang sebenarnya ia buat-buat, guna menutupi kesedihannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Angga Wijaya sembari menatap teduh sang istri."Enggak ada kok, Mas," jawabnya mengelak. "Sepertinya, dia sudah tidur." Angga menjatuhkan tatapannya kepada pemuda dua puluh lima tahun, yang terbaring di atas ranjang.Gema sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah beberapa saat lalu terus melontarkan kata-kata kasar pada Angga Wijaya maupun Anita, sebagai bentuk kekesalannya kepada dua insan itu."Iya, sepertinya, Mas.""Ya sudah. Sebaiknya kamu juga tidur. Sudah jam dua. Seharian ini, kamu belum istirahat sama sekali.""Iya, Mas. Mas juga, harus istirahat."Pria lima puluh tahun itu mengangguk. Seharusnya, ini menjadi malam pertama bagi mereka. Namun, keadaan rumit ini, membuat suasana malam perta
BUK!Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai.Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya. "Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!" Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu. Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut. "BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya. Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak.Anita langsung berlari. "Hent
Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak."Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu. Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. "Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas."Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan."Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali. Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan. Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya."Balikin hp gue!"