Masih di hari yang sama. Malam pun datang menyapa. Anita sedang berdiri menghadap ke cermin. Dilihatnya raga sendiri dari pantulan kaca.
Gema yang baru selesai mandi dan mengenakan setelan baju tidur itu, datang menghampiri.Dia memeluk sang istri dari belakang. Kepalanya merunduk dan bersandar di bahu Anita. Dilihat oleh Gema keromantisan ini dari pantulan cermin.Anita mengerjapkan matanya pelan. Kali ini tidak lagi ada kecanggungan seperti sebelum-sebelumnya. Mau dipeluk dengan baya bagaimanapun, dirinya tidak akan melayangkan protes."Ada apa, Sayang? Mengapa, aku merasa kalau kamu lagi sedih?"Dari cermin, Gema bisa melihat. Ada garis merah di bawah mata Anita, yang menandakan bahwa istrinya baru saja menangis. Entah apa yang menjadi penyebab, air mata itu kembali jatuh membasahi pipi?Anita lantas memutar tubuhnya. Namun, pelukan itu sama sekali tidak terlepas. Dia menatap lekat kedua mata pria yang kini telah menjadi mah"Boleh, aku mengatakan sesuatu?" tanya Anita penuh keraguan. "Sebenarnya, ada hal yang ingin sekali aku wujudkan.""Apa itu, Sayang? Katakanlah." Gema menjawabnya yakin. Walau dia belum tahu, apa yang Anita inginkan."Kalau aku membuka sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu. Apa kamu akan mengizinkannya?"Akhirnya, kalimat itu lolos juga dari mulutnya, meskipun sempat ragu untuk mengungkapkan hal tersebut.Gema mengubah posisinya menjadi duduk menghadap sang istri. "Bagus itu, Sayang. Aku dukung penuh keinginan kamu itu," ungkapnya antusias. "Kamu enggak marah sama rencana aku itu?" Anita kembali bertanya dengan penuh keraguan.Gema menggeleng cepat, "enggak, Sayang. Malah aku bakalan dukung kamu sepenuhnya ...""Keinginan kamu itu, sangatlah mulia, Sayang. Aku sebagai suami, sudah sepatutnya mendukung niat baik kamu itu. Kamu enggak perlu izin seperti ini. Aku bakalan dukung, apa pun itu, selama hal tersebut membuat
Setelah mendatangi toko material, Gema dan Anita memutuskan untuk kembali ke rumah. Setidaknya langkah awal untuk mewujudkan mimpi Anita itu, sudah berjalan lantar sejauh ini. Hanya tinggal pembangunannya saja. Baik Gema maupun Anita sama-sama berharap, bahwa langkah baik ini tidak mengalami kendala dan diakhiri nanti bisa memberi manfaat luar biasa bagi mereka yang membutuhkan, seperti yang Anita harapkan.."Boleh aku katakan sesuatu?" ungkap Anita ragu-ragu.Gema menoleh, "katakanlah, Sayang. Kau bebas berbicara," jawabnya dan kembali fokus pada jalanan di depan sana."Terima kasih karena kamu sudah membantuku sampai sejauh ini. Keinginanku ini tidak akan bisa terwujud, jika kau tidak membantu."Ada banyak hal yang telah Anita lewati, termasuk menikah dengan pemuda yang pada awalnya berstatus, kekasih, lalu anak tiri dan pada akhirnya menjadi suami. Gema menepikan mobilnya terlebih dahulu. Dia tidak ingin membahayak
Pembangunan sekolah pun sudah berjalan dua hari. Anita tampak sangat antusias, lantaran para warga sekitar semangat bergotong royong mendirikan sekolah sederhana ini.Selain para warga yang membantunya, ada sosok pria dengan setia mendampingi Anita kemana pun ia ingin pergi. Ya! Siapa lagi kalau bukan Gema Dirgantara. Setiap pagi, dia akan repot mengantar Anita ke lokasi pembangunan, lalu agak siangan barulah Gema mengurus urusan kantor. "Cepat, ambilkan air untuk mengaduk semem di sini!" perintah seseorang, yang tampak bersemangat membantu pada Bapak-bapak di sana.Sosok pemuda memakai kemeja dan celana panjang, tampak sibuk mengaduk semen dan pasir itu. Ia dengan setelan pakaian mahal itu, sama sekali tidak jijik, ketika harus berurusan dengan adugan semen yang kotor."Ferdi?" sebut Gema, yang baru saja sampai di sana. Ia lantas mengenali sosok pemuda itu dalam satu kali lihat.Ferdi menyudahi aktivitasnya. Ia melepaskan cangkul itu, kemudian berbalik badan dan menyeka keringat di
Siang harinya. "Bagaimana rasanya, Sayang? Apa kamu menyukainya?" tanya Gema sambil tersenyum lebar. Anita melihat tangan kanan dan kirinya secara bergantian. Ia sedang duduk di kursi yang biasa Gema tempati. Kursi yang diperuntukkan untuk pemimpin. Pemilik perusahaan. Tempat yang dulunya milik Angga Wijaya, kini telah diwariskan kepada Gema Dirgantara."Rasanya nyaman tidak, duduk di kursi pemilik perusahaan?" Gema kembali melayangkan sebuah pertanyaan dan Anita mengangkat kepalanya. "Apakah tempat duduk ini berbeda dari tempat duduk kebanyakan?" Gema tersenyum lembut. Dia paham betul, sang istri baru pertama kali merasakan sensasi berada di kantor. Terutama sampai duduk di tempat pemilik perusahaan. "Ayah pernah berkata kepadaku ..."Anita tidak melepaskan pandangannya dari Gema. Sedangkan Gema tersenyum penuh makna.Dulu Angga Wijaya pernah berucap. Kursi yang ia duduki saat ini, memang sebatas kursi biasa. Tidak ada bedanya dengan kursi pada umumnya. Memiliki bantalan di bela
Lidia, yang mendapat perintah dari Gema untuk mengantarkan Anita pulang, tampak fokus pada jalanan di depannya. Sesekali dia melirik ke belakang, kursi penumpang lebih tepatnya, melalui kaca spion yang berada tepat di atas kepalanya. Ada banyak hal yang Anita pikirkan, sehingga membuatnya tidak bisa duduk dengan tenang. Raganya memang berada di sini. Namun, pikirannya sedang menjelajah kemana-mana."Apa Ibu ingin mampir ke suatu tempat dulu?" tawar Lidia, yang memberanikan diri untuk membuka pembicaraan, supaya suasana tidak terlalu tegang.Anita sedikit mengangkat kepalanya, dari yang semula hanya fokus pada jendela. "Aku tidak ingin apa-apa. Perasaanku sangat tidak tenang saat ini."Suaminya di sana, sedang berjuang untuk keluar dari badai prahara yang sedang menimpa perusahaan. Sedangkan dirinya duduk di sini, tidak bisa melakukan apa-apa. Soal bisnis, saham dan investasi, dirinya nol besar. "Ibu tenang saja. Percayalah, Bu. Pak Gema akan mampu mengatasi semua ini.""Amiin."Seti
Malam telah menyapa. Anita mondar-mandir seperti setrikaan di ruang tengah. Cemas menunggu kepulangan Gema. Sejak siang tadi, Anita belum mendapat kabar apapun tentang Gema. Suaminya sempat mengirim pesan singkat, yang mengatakan. Dirinya baik-baik saja. Tidak perlu khawatir."Sudah jam sembilan, tapi dia belum pulang juga. Semoga tidak terjadi apa-apa kepadanya," harap Anita tak tenang. Entah sudah yang keberapa kali, Anita melihat jam yang terpampang di dinding. Duduk tak tenang dan makan pun tak enak. "Bu. Mau saat buatkan sesuatu? Sejak siang, Ibu belum makan apa-apa," tawar Sari, yang datang dari arah dapur.Sedari tadi, Sari terus memperhatikan Anita yang mondar-mandir. Sesama wanita, Sari pun dapat merasakan kecemasan yang sedang Anita rasakan saat ini. "Nanti saja, Bi Sari. Saya masih cemas menunggu Gema pulang. Lagi pun, untuk saat ini saya tidak memiliki nafsu untuk makan." Anita mengepalkan tangannya di dada. Beberapa kali dia menelan ludahnya sendiri, demi menyamarkan
"Gema Dirgantara!" Seseorang berseru dengan lantai. Gema lantas menurunkan Anita dari gendongannya. Semula berniat untuk melepas lelah di dalam kamar pun, pupus sudah. Sepasang pengantin itu, menatap lurus pria dewasa yang nyelonong masuk tanpa mengucap salah. "Gema Dirgantara! Di kamar kamu?" Dia kembali berteriak, seolah rumah ini adalah miliknya, sehingga tidak perlu pakai tatak rama untuk masuk."Aku di sini, Paman?" Gema menyahut, lalu berjalan menuruni anak-anak tangga dan Anita mengekor di belakangnya."Siapa dia?" Anita berbisik."Dia adalah Pamanku. Lebih tepatnya, adik dari almarhum Bunda," jawab Gema sedikit menjelaskan. Anita mengangguk dan membuka mulutnya membentuk huruf O kecil."Ada urusan apa, malam-malam gini datang ke sini?" Gema langsung menjatuhkan pertanyaan yang masuk ke intinya. "Memangnya kenapa, jika aku datang malam-malam begini? Apakah ada peraturan tertulis untuk datang berkunjung ke rumah keponakan sendiri?" Gema menghela napas panjang. Sudah menjad
Hari yang baru telah datang menyapa. Pagi-pagi sekali, Gema sudah berangkat bekerja. Tidak dapat dipungkiri, masalah yang terjadi di perusahaan tidak bisa dianggap enteng."Apa tim keamanan sudah mengecek rekaman CCTV?" tanya Gema sangat serius, sambil berjalan melewati lobby."Tim keamanan sudah selesai ngecek semua rekaman CCTV dan pelakunya sudah diketahui identitasnya," jawab Roy tidak kalah seriusnya dengan Gema."Baiklah. Coba kita lihat. Siapa tikus kecil itu, yang telah membuat kekacauan di Wijaya Group?" Gema menyeringai kecil. Dia mempercepat langkahnya menujunya lift di sana. Sementara Roy, mengekor di belakang. ***RUANG PENGAWASAN CCTV PERUSAHAAN."Apa kalian menemukan pelakunya?" Pertanyaan Gema langsung membuat seluruh orang yang ada di ruangan itu, bangun dari tempat masing-masing."Apa kapan benar-benar sudah menemukan pelakunya?" Gema ngulang pertanyaan lagi."Sudah, Pak. Dia lah pelakunya. Dia menyusup ke ruang data keuangan saat malam hari," beber salah orang st
SEMBILAN TAHUN KEMUDIAN!•"Dirga! Jangan kencang-kencang larinya, Nak!" teriak Anita, sembari mengejar bocah laki-laki yang berlari sambil membawa pesawat mainan di tangannya."Hap! Ayah berhasil menangkap sang pilot kecil yang nakal ini." Gema Dirgantara, langsung menggendong sang putra, setibanya di rumah. Bocah kecil itu, sedang bermain kejar-kejaran dengan Bundanya. Anita."Ah, Ayah! Tidak lucu. Kenapa Ayah menangkapku?! Aku sedang terbang tinggi sekali dengan pesawat ini!" ucap bocah kecil itu mengomel, saat sang Ayah menyudahi imajinasi yang sedang tinggi-tingginya itu.Gema menurunkan bocah kecil kesayangannya, yang diberi nama Dirga Mahendra Wijaya."Baiklah, sang pilot kecil. Sekarang, saatnya pesawat itu mendarat." Gema menggoda sang putra seraya menarik hidung mungil itu."Heum ..." Dirga menunjukkan kesan tidak suka. Gema pun tersenyum dan mengacak-acak pucuk kepala bocah kecilnya. Permata paling berharga bagi keluarga ini."Ayah tumben sudah pulang? Biasanya Ayah pulang
"Gimana perjalan tadi, Sayang? Kamu merasa nyaman kan?" "Heum, iya. Aku merasa nyaman banget." Sepasang suami istri itu, berjalan sambil bergandengan tangan. Belum ada tiga puluh menit, pesawat dari yang dari dari Swees baru saja mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta, Anita dan Gema berjalan meninggalkan area kedatangan. Senyuman indah terukir di wajah sepasang suami istri yang baru saja pulang dari berbulan madu. Cerah dan penuh kebahagiaan. Sekitar lima belas hari, keduanya menghabiskan waktu berduaan, menikmati keindahan kota Swees dan sekitarnya. "Cepat tangkap dia!" "Tolong siapa pun! Tangkap pencuri itu!" "Jangan biarkan dia lolos!" Seorang pria, mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam dan celana yang panjangnya sebatas menutupi lutut, serta topi hitam menutupi kepalanya itu, berlari kencang, membuat para pengunjung bandara kocar-kacir. Dia membawa sebuah senjata api di tangan kanannya. Hal tersebutlah yang membuat orang-orang di bandara meras
"Kamu sudah pulang, Sayang?" ucap Anita, menyambut kedatang Gema, seraya mencium punggung tangannya, sebagai tanda bakti seorang istri kepada suami. "Iya. Hari ini aku sangat lelah sekali," keluh Gema, terlihat memijat-mijat lehernya yang terasa kaku dan pegal. "Kamu mandi dulu, habis itu aku pijitin," tawar Anita, tersenyum menggoda seraya melingkarkan tangannya di leher Gema. "Heum, pijit lehernya aja atau yang lainnya juga?" Anita sontak melotot, "apaan si kamu? Nakal deh. Ya, aku pijit lehernya aja lah." Sebagai bentuk kekesalannya, Anita mencubit pinggang Gema, tapi bukannya merasa bersalah, Gema malah keenakan. "Udah, ih. Sana mandi dulu. Entar aku pijitin. Semuanya," pisiknya pelan dan memberi penekanan pada kata terakhir. Gema tersenyum sumringah. Angan-angannya langsung membayangkan sesuatu yang nikmat dalam pelukan hangat. "Ok deh, Sayang." Muach ... Dia mencium pipi istirnya, baru setelah itu mempercepat langkahnya menujunya kamar. Anita geleng-gelen
[Lu lagi di mana?][Lagi di rumah sakit. Ada apa?] Gema tersenyum lembut, saat menyuapi Anita dan mengobrol dengan seseorang di telpon.[Siapa yang sakit? Anita?][Iya. Ceritanya panjang pokoknya. Itu mah bahas nanti aja. Lu sendiri, kenapa telpon?][Gue udah berhasil nangkap ni tikus.]Gema beranjak bangun, matanya melebar sempurna. Sendok yang digenggam pun sampai lepas. [Seriusan? Jadi, tuh tikus berhasil lu tangkap?][Iya, seriusan lah. Gue mana pernah bohong soal kerjaan. Udah, dijelasinnya belakangan aja. Sekarang harus gue bawa kemana ni tikus? Gue si belum apa-apain dia, tapi anak buah gue, udah bikin dia babak belur. Hahaha.]Gema memijat keningnya, sudah menduga hal ini akan terjadi. Dia menoleh ke belakang, lalu tersenyum kepada Anita.Melihat adanya perubahan sikap Gema yang mendadak, membuat Anita bertanya-tanya, siapakah yang menelpon?[Kasih tahu aja lokasinya di mana? Biar gue langsung ke sana.][Di Kalimantan.][Apa?] Gema sangat terkejut sampai-sampai napasnya sepert
Gema langsung membawa Anita ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, begitu juga dengan Sari dan satpam yang berjaga di rumahnya. Dikarenakan mengalami luka berat akibat dipukuli berulang kali sampai tidak sadarkan diri, Pamannya juga harus dilarikan ke rumah sakit. Namun, diawasi oleh pihak yang berwajib. Gema ingin, pria keparat itu langsung dijebloskan ke penjara, setelah sadar nanti. Gema telah memastikan, pria itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Pelecehan terhadap wanita berstatus istri, adalah kejahatan besar. . Di salah satu ruang perawatan. Anita masih terbaring lemas di ranjang. Tangannya dipasangi selang infus. "Maafkan aku, Sayang. Seandainya aku tidak terlambat sampai rumah, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi," ungkap Gema penuh dengan penyesalan. Dia menggenggam erat-erat tangan Anita. Mengecupnya berulang kali. Bahkan kepalanya terus tertunduk. Rasa bersalahnya tidak bisa hilang begitu saja. Bayangan bagaimana tangan-tan
Anita yang hendak ke dapur pun, tiba-tiba berlari, langkahnya berbalik, tidak jadi ke dapur ketika mendengar suara pintu terbuka. Dia sangat yakin kalau Gema yang datang.Langkahnya berhenti. Tubuhnya mematung dan mantanya membola, saat mendapati yang membuka pintu bukanlah Gema, melainkan pria lain, yang sosoknya tidak terlalu asing."Paman." Satu kata lolos dari bibirnya. Anita tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. "Halo, Sayangku. Bagaimana kabarmu hari ini? Kamu baik-baik saja kan di rumah ini? Maafkan Mas yang baru datang," racau pria itu setengah mabuk.Satu hal yang membuat Anita terkejut, tidak lain adalah kondisi pria itu dalam keadaan mabuk. Setengah kesadarannya hilang karena pengaruh alkohol. Bahkan botol minuman keras masih ada digenggamnya."Gema belum pulang! Dia masih di kantor!" Anita meninggikan suaranya sambil berjalan mundur. Dia sangat ketakutan. Takut pria itu melakukan hal yang bukan-bukan."Mas datang bukan untuk menanyakan anak brengsek itu, tapi kedata
Hari yang baru telah datang menyapa. Pagi-pagi sekali, Gema sudah berangkat bekerja. Tidak dapat dipungkiri, masalah yang terjadi di perusahaan tidak bisa dianggap enteng."Apa tim keamanan sudah mengecek rekaman CCTV?" tanya Gema sangat serius, sambil berjalan melewati lobby."Tim keamanan sudah selesai ngecek semua rekaman CCTV dan pelakunya sudah diketahui identitasnya," jawab Roy tidak kalah seriusnya dengan Gema."Baiklah. Coba kita lihat. Siapa tikus kecil itu, yang telah membuat kekacauan di Wijaya Group?" Gema menyeringai kecil. Dia mempercepat langkahnya menujunya lift di sana. Sementara Roy, mengekor di belakang. ***RUANG PENGAWASAN CCTV PERUSAHAAN."Apa kalian menemukan pelakunya?" Pertanyaan Gema langsung membuat seluruh orang yang ada di ruangan itu, bangun dari tempat masing-masing."Apa kapan benar-benar sudah menemukan pelakunya?" Gema ngulang pertanyaan lagi."Sudah, Pak. Dia lah pelakunya. Dia menyusup ke ruang data keuangan saat malam hari," beber salah orang st
"Gema Dirgantara!" Seseorang berseru dengan lantai. Gema lantas menurunkan Anita dari gendongannya. Semula berniat untuk melepas lelah di dalam kamar pun, pupus sudah. Sepasang pengantin itu, menatap lurus pria dewasa yang nyelonong masuk tanpa mengucap salah. "Gema Dirgantara! Di kamar kamu?" Dia kembali berteriak, seolah rumah ini adalah miliknya, sehingga tidak perlu pakai tatak rama untuk masuk."Aku di sini, Paman?" Gema menyahut, lalu berjalan menuruni anak-anak tangga dan Anita mengekor di belakangnya."Siapa dia?" Anita berbisik."Dia adalah Pamanku. Lebih tepatnya, adik dari almarhum Bunda," jawab Gema sedikit menjelaskan. Anita mengangguk dan membuka mulutnya membentuk huruf O kecil."Ada urusan apa, malam-malam gini datang ke sini?" Gema langsung menjatuhkan pertanyaan yang masuk ke intinya. "Memangnya kenapa, jika aku datang malam-malam begini? Apakah ada peraturan tertulis untuk datang berkunjung ke rumah keponakan sendiri?" Gema menghela napas panjang. Sudah menjad
Malam telah menyapa. Anita mondar-mandir seperti setrikaan di ruang tengah. Cemas menunggu kepulangan Gema. Sejak siang tadi, Anita belum mendapat kabar apapun tentang Gema. Suaminya sempat mengirim pesan singkat, yang mengatakan. Dirinya baik-baik saja. Tidak perlu khawatir."Sudah jam sembilan, tapi dia belum pulang juga. Semoga tidak terjadi apa-apa kepadanya," harap Anita tak tenang. Entah sudah yang keberapa kali, Anita melihat jam yang terpampang di dinding. Duduk tak tenang dan makan pun tak enak. "Bu. Mau saat buatkan sesuatu? Sejak siang, Ibu belum makan apa-apa," tawar Sari, yang datang dari arah dapur.Sedari tadi, Sari terus memperhatikan Anita yang mondar-mandir. Sesama wanita, Sari pun dapat merasakan kecemasan yang sedang Anita rasakan saat ini. "Nanti saja, Bi Sari. Saya masih cemas menunggu Gema pulang. Lagi pun, untuk saat ini saya tidak memiliki nafsu untuk makan." Anita mengepalkan tangannya di dada. Beberapa kali dia menelan ludahnya sendiri, demi menyamarkan