Satu bulan setelahnya. Angga Wijaya tampak begitu terburu-buru katika menuruni anak-anak itu, seolah ada hal yang sangat penting, yang tidak bisa ia lewatkan.
Selama satu bulan terakhir ia tidak lagi tinggal satu atap dengan Calista. Ya, lebih tepatnya dia mengusir Calista dari rumah tersebut, tepat di malam itu bersama dengan pria yang menjadi selanjutnya tersebut.Hatinya begitu hancur, ketika tahu sang istri berselingkuh. Bahkan melakukan hubungan badan di kamar mereka. Tempat yang seharusnya, hanya boleh ditempati ia dan sang istri saja.Per detik itu juga, Angga Wijaya sudah menggugat cerai Calista. Menjatuhkan talak kepada wanita, yang sudah ia nikahi selama satu tahun tersebut.'Mengapa kamu melakukan ini di belakang saya, Dek? Kamu menghancurkan kepercayaan yang selama ini saya berikan ke kamu!''Aku sudah lelah, Mas. Aku capek, ditanya kapan punya anak! Batinku sakit, Mas! Mama terus memaksaku untuk cepat-cepat memiliki anak! AkGema mengatur pernapasannya dari waktu ke waktu. Sungguh, ia dibuat emosional setelah membaca sebagian kisah yang dituliskan sang ayah sebelum dirinya tiada.Baru sepenggal kisah yang ia ketahui, tetapi sudah mampu memporak-porandakan hati serta pikirannya. Dari kisah ini, siapakah yang bersalah? Ayahnya atau Bundanya? Ataukah dirinya yang ikut ambil bagian dalam kisah ini?Sejak kecil ia tidak pernah mengenal sosok sang Bunda. Selama ini, ia tahu hanya melalu kisah yang kerap kali Angga Wijaya ceritakan.Dalam setiap perjalanannya. Gema mengenal sosok sang bunda, adalah wanita yang baik, mandiri dan cantik. Namun, siapa sangka. Ada topeng hitam, yang sengaja disembunyikan oleh ayahnya. Di balik kisah luar biasa itu, ternyata tersimpan kenangan kelam, yang siapa pun akan kecewa dan marah besar bilamana menjadi sosok di dalamnya.Gema mengambil lembaran kertas lainnya. Kali ini ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan-lahan
"Apa kamu sudah selesai dengan kemarahanmu itu, Dek?!" Perkataan itu, sontak membuat Anita mengangkat kepalanya. Melebarkan kedua matanya. Garis bawa matanya semakin merah. Dia diam. Namun, hatinya begitu panas. Setiap aliran darahnya begitu meluap-luap, bagaikan magma di dalam perut bumi. "Kamu boleh marah, Dek. Kamu boleh kesal kepada saya, Dek. Namun, ada hal yang kamu harus ketahui dari diri saya, Dek. Hal yang selama ini tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya!"Keduanya saling menatap dalam satu garis lurus. Angga Wijaya masih tampak tenang. Akan tetapi, percayalah! Hati serta pikirannya sedang bertarung layaknya dua mata pedang yang saling beradu. "Maafkan saya karena sebelumnya tidak mengatakan ini terlebih dahulu. Seharusnya saya membicarakan ini sejak awal. Namun, saya terlalu bingung saat itu karena kondisi kamu yang sedang berduka."Kini giliran Anita yang diam dan tidak bergerak seinci pun dari posisinya. Tangisnya tel
TUJUH HARI BERIKUTNYA. •••• Tak terasa, sudah tujuh hari Angga Wijaya dikebumikan. Gema pun menyempatkan diri untuk mengunjungi makam sang Ayah, yang berada tepat di samping pusaran sang Bunda. Gema membur bunga di atas dua makam yang saling berdampingan itu. Tidak lupa, dia mengirimkan doa untuk kedua orang tuanya. Ya, meskipun Angga Wijaya bukanlah ayah kandungnya. Akan tetapi, rasa sayang Angga Wijaya terhadap dirinya, melebihi cinta ayah kandung. Gema memakai kacamata hitam dan outfit santai. Kedua tangannya mengadah. Mulutnya melafalkan doa untuk mereka yang telah lebih dulu pergi. "Ayah ..." panggil Gema bersuara lirih. Setiap hari, dia pasti mendatangi makan, walau hanya setengah jam di sana. "Bunda ... Gimana kabar kalian?" tanyanya tenang. Meskipun begitu, tetap ada raut kesedihan. Terutama saat mengelus nisan yang bertuliskan nama Ayah tirinya. Ya, begit
"Lepasin aku, Ferdi! Kamu tidak pantas menarik wanita yang sudah bersuami, seperti ini!" sungut Anita, berteriak, menjerit meminta untuk dilepaskan. Upayanya supaya bisa lepas dari cengkraman Ferdi pun, seolah tidak mempan.Lagi-lagi Ferdi tertawa lantang. Sangat puas ketika melihat ketidakmampuan Anita. "Kamu tidak akan bisa melawanku, Sayang. Sudah aku katakan. Aku akan membawa kamu ke istana kita!"Setiap kali kalimat itu terlontar dari mulut Ferdi, Anita merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Plus merasa jijik. Isi perutnya seolah ingin keluar lagi."Aku tidak pergi dari rumah ini!" seru Anita, sembari menahan kedua kakinya, supaya sulit bagi Ferdi untuk bisa menariknya.Bukan Ferdi, jika gagal mendapatkan apa yang menjadi keinginannya."Kamu memang sangat keras kepala, Sayang, tapi aku suka itu." Ferdi menjawab dengan nada sensual dan sedikit menjilat bibir bawahnya. Hal tersebut tentu saja membuat Anita semakin me
"Bukankah, Anita sudah mengatakannya dengan jelas! Pergi dari sini, kparat!" umpat Gema geram. Air liurnya sampai muncrat saking emosinya.Emosi yang sudah memuncak itu, membuatnya ringan tangan. Dia menarik kerah baju Ferdi, sehingga tubuh pemuda itu terangkat.BRUK!Pukulan keras kembali dilayangkan Gema. Ferdi lagi-lagi tersungkur ke tanah. Kali ini tepi bibir Ferdi, sedikit mengeluarkan darah segar. Segera dia menyekanya tanpa risih. Kedua bodyguard-nya lantas datang membantu. Setelah ia berhasil berdiri, dua pria gagah itu segera mengepung Gema.Anita yang melihat kekacauan di depan matanya pun, merasa ingin langsung menghabisi nyawanya sendiri, dari pada harus menyaksikan perkelahian yang tak ada ujungnya itu.Ferdi bukanlah orang baru baginya. Anita cukup lama mengenal siapa itu Ferdi. Katakanlah sebelum mengenal Gema, dirinya sudah lebih dulu bertemu Ferdi. Satu hal yang tidak Anita habis pikir, sebenarnya perj
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa sudah 40 hari sepeninggalan Angga Wijaya. Rasa rindu tentu ada. Namun, sosok yang dirindukan sudah tidak ada di dunia lagi. Hanya menyisakan nama serta kenangan indah yang dibangun dalam waktu singkat. Setiap harinya, berjalan begitu lambat dan dipenuhi rasa kesepian. Tidak ada lagi sosok yang mempu menghapus air mata. Membelai kepala dan mengucap kalimat cinta. Anita sedang merenung di depan pusaran sang suami. Menutupi kedua matanya dengan kacamata hitam. Kendati demikian, rona kesedihan tetap ada, meskipun sudah tertutup make up. Ya. Setelah 40 hari, ia baru bisa mengunjungi makam Angga Wijaya. Hatinya masih sangat terpukul sampai detik ini. "Assalamualaikum, Mas Angga. Gimana kabarnya, di sana? Aku merindukanmu, Mas," ucapnya pilu, sembari menyiramkan air ke atas gundukan tanah. Sekuat tenang, Anita menahan air matanya. Dia mau terlihat tegar di depan makam sang suami. Tidak ingin membuat
"Saya nikahkan dan kawinkan, Ananda Anita Apsari binti Almarhum Sueb, dengan Angga Wijaya dengan maskawin emas seberat satu kilogram, uang sepuluh juta, satu unit rumah dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Saya terima nikahnya, Anita Apsari binti Almarhum Sueb dengan maskawin dibayar ... Tunai!" tegas pria itu dalam sekali tarikan napas. "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Ketua Pengulu yang bertugas sambil melihat kiri dan kanannya."Sah!" ucap seorang pria yang duduk di sebelah kanan."Sah!" ucap yang lainnya di sisi kiri.Setelah para saksi menyatakan 'Sah!' Ketua Penghulu itu, segera memimpin doa bersama. Kedua insan yang kini telah sah menjadi suami istri secara agama itu, ikut mengaminkan doa tersebut."Ayah, kenapa di luar banyak ..." Kalimat itu tergantung di ujung tenggorokan bersamaan dengan sorot matanya yang menatap lurus ke sudut ruangan. Suara itu seketika memecah keheningan di sana. Seorang pemuda, memasuki ruangan dengan langkah cepat dan raut wajah keheranan.
"JAGA UCAPANMU, DIRGANTARA!" teriak Angga Wijaya sangat keras."MAS TUNGGU!" Suara Anita tidak kalah kencang. Hal tersebut membuat Angga Wijaya tidak melanjutkan aksinya. Tangan kanannya, berada beberapa sentimeter dari wajah Gema. "Cukup, Mas! Kamu jangan lakukan kekerasan lagi. Sabar, Mas," pinta Anita sambil mengelus bidang dada suaminya, sekaligus menariknya supaya menjauh dari Gema."Semakin kamu melawannya, maka dia akan semakin menjadi-jadi. Sebaiknya, kamu mengalah dan bersabar. Gema butuh waktu untuk menerima kenyataan ini," tambah Anita, berusaha menenangkan pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu. Pemuda tampan itu, menyeringai kecil. Tatapan yang dahulunya penuh cinta terhadap Anita, kini berubah menjadi tatapan yang dipenuhi dendam dan kekecewaan.Bagaimana bisa, dalam hitungan menit, cinta yang telah dibangun selama dua tahun, berubah menjadi dendam?"Mengapa kau hentikan dia, Anita? Seharusnya kau biarkan saja dia membunuhku! Dengan begitu, kalian akan hidup den