Halaman parkir.
Gema sudah berada di dalam mobil. Entah mobil siapa itu, sebab mobilnya sedang berada di bengkel, setelah ia adu dengan pohon besar. Dalam hitungan detik, mobil itu tancap gas meninggalkan area rumah sakit. Sementara itu, hanya berselang beberapa detik, Angga Wijaya pun sampai di sana, bersama Anita yang ikut mengejar. Angga Wijaya mengumpat kasar dan menghentakkan kakinya sebagai bentuk kekesalan, sebab ia tidak berhasil mengejar sekaligus menghentikan Gema. "Mas, tunggu! Jangan dikejar. Sabar, Mas." Suara Anita sedikit tersengal-sengal, sebab ia terus berlari mengejar suaminya. Sayangnya yang dikejar telah lolos duluan. Angga Wijaya, melihat Anita yang napasnya terengah-engah. "Kamu enggak apa-apa, Sayang? Maafin aku ya." Anita mengangguk sambil mengerjapkan matanya. "Iya, Mas. Enggak apa-apa." "Mas enggak perlu ngejar dia. Percuma dikejar. Gema tidak mau bertemu, Mas. Dia akan menolak, Mas." Ucapan Anita ada benarnya juga. Namun, tetap saja. Sebagai seorang ayah, Angga tidak bisa tenang, melihat anaknya bersikap ugal-ugalan seperti itu. Padahal putranya itu baru saja sadar dari pingsan, setelah mengalami kecelakaan siang tadi. Akan tetapi, hal tersebut seolah tidak membuatnya kapok. "Sebaiknya kita pulang saja. Biar nanti kuperintahkan beberapa orang untuk mencari keberadaan anak itu." "Iya, Mas. Sebaiknya memang seperti itu. Awasi dia dari jauh, agar dia tidak merasa terganggu." Angga Wijaya mengangguk tanda setuju. ** Tiga puluh menit kemudian. Mobil yang Gema tumpangi pun, berhenti di depan sebuah klub malam. "Udah sampe ni, Gem," ucap seorang pemuda yang duduk tepat di samping Gema. Sedari tadi, pemuda itulah yang menyetir. Sedangkan Gema duduk sambil melamun di samping pemuda tersebut. "Woi, Gema!" teriaknya, yang akhirnya menyadarkan Gema dari lamunannya. "Lu lagi bengong atau tidur, Bro?" tambahnya penuh pertanyaannya, saat melihat temannya baru tersadar dari alam khayalan. "Bukan urusan, Lu," jawab Gema bernada ketus. Tanpa pake kata lagi, dia segera membuka pintu mobil, kemudian keluar. Nyelonong begitu saja. Sedangkan temannya itu, mengumpat kesal. "Sial banget tuh anak. Udah dibantuin, bukannya bilang makasih, malah langsung kabur," desisnya sambil menyunggingkan bibir. "Dasar cowok lagi galau. Bawaannya sensitif aja," gerutunya, sebelum akhirnya ia juga keluar dari mobil. Kemudian menyusul Gema yang sudah lebih dulu pergi. Sesampainya di dalam klub. Gema langsung duduk di depan bar. Segera dia memesan minuman yang paling mahal di sana. Kadar alkoholnya terbilang tinggi. Dia memesan dua gelas sekaligus. Tidak perlu waktu lama, minuman itu telah siap. Gema langsung menenggak minuman dalam gelas itu, dalam satu kali teguk. Kemudian, berganti ke gelas lainnya. Tidak ada dua menit, dua gelas minuman telah habis, hanya menyisakan beberapa tetes di dalamnya. "Tambah lagi!" serunya lantang. Kesadarannya masih 90%. Walau begitu, pikirannya sudah melalang buana sedari tadi. Raganya memang ada di sini, tetapi pikirannya entah sedang berada di mana? Selang beberapa detik, temannya yang akrab dipanggil Juna itu, datang. "Woi, Bro. Lu minum apa?" Dia langsung menjatuhkan tatapannya pada dua gelas di depan Gema. Gema, tampak masih baik-baik saja. Walaupun tatapannya sudah kosong. Ya, memang sedari tadi sudah kosong, seperti orang yang tidak lagi memiliki semangat hidup. "Ini minumannya." Penjaga Bar, memberikan dua gelas minuman seperti yang Gema pesan tadi. Tanpa pake lama, Gema langsung menenggak minuman tersebut. Juna bergidik ngeri, melihat Gema yang mampu menghabiskan empat minuman dengan kadar alkohol tinggi, dalam waktu singkat. "Astaga, Bro! Lu udah gila atau apa? Itu minuman langsung habis aja!" Seruan itu, seolah tidak mampu menyadarkan Gema dari rasa keputusasaan. "Pesan dua lagi!" Suara Gema bergema di sana. Orang-orang yang berada di sekitarnya pun, menolah untuk sesaat, sebelum akhirnya kembali asyik dengan kebahagiaan masing-masing. Tak perlu waktu lama, dua gelas minuman pun tersaji di depan mata Gema. "Bro, udah!" Juna mencoba untuk menahan. Dia menggenggam pergelangan tangan Gema. Hal tersebut, langsung mendapat tatapan tajam dari Gema. "Lepasin tangan gue!" tegas Gema. Ditariknya tangan Juna, sehingga tidak lagi ada penghalang. Selanjutnya, dia menenggak minuman itu lagi, sampai tandas. "Bro! Elu benaran udah gila ya! Sakit hati boleh aja, tapi jangan merusak diri lu kayak gini!" Juna tidak peduli, orang-orang memandanginya dengan tatapan aneh. Baginya yang terpenting sekarang, ialah membuat Gema sadar, agar temannya itu tidak lebih dalam terjerumus dalam lubang hitam. Bisa bahaya masa depannya. "Pesan dua lagi!" seru Gema, yang kesadarannya sudah mabuk berat itu. 'Jaga bicaramu, Gema! Aku menikah dengan Mas Angga bukan karena harta, melainkan karena aku mencintai Mas Angga!' 'Jangan pernah kamu bersikap kurang ajar lagi, kepada ayahmu! Aku mencintai Mas Angga, begitu juga dengan Mas Angga!' Kata-kata itu, kembali menari-nari di dalam kepalanya. Dia tertawa sangat keras. "Lu, pernah sakit hati enggak?" tanya Gema dibawah pengaruh alkohol. "Pasti lu belum pernah ngalamin hal, yang seperti gue alamin kan?" sambungnya meracau. "Hahaha ... Di dunia ini, mana ada cowok yang ngalamin hal seperti yang gue alamin. Cewek yang gue cintai, ternyata dia lebih milih cowok lain." "Ok, kalau itu orang lain, lah ini bokap gue sendiri. Lu bisa bayangin engga, jadi gue ah? Gue bakalan hidup satu atap sama cewek yang gue sayang, bukan sebagai suami istri, tapi sebagai anak dan orang tua. Lucu kan? Semesta, becandanya kadang enggak ngotak banget. Hahaha." "Gue tuh kerja ke luar kota, buat apa memangnya, ah?" Gema menatap serius Juna. Namun, temannya itu tidak bisa berkata-kata. "Iya, buat halalin dia lah. Masa buat nikahin sapi ... Hahaha." "Gue udah nyiapin rumah buat dia. Maskawin buat dia, tapi apa? Pas gue pulang ke rumah, ternyata dia udah nikah sama bokap gue. Sakit hati gue, Jun. Lu bisa rasain engga, sakitnya gimana?" "Iya, gue bisa rasain, tapi lu jangan kayak gini, yang ada lu cuma bikin rusak badan lu aja. Rasa sakit lu enggak bakalan hilang!" Juna meninggikan suaranya, sebab musik DJ, membuat suaranya sulit tertangkap oleh telinga Gema. "Merusak kata lu?" Gema mendesis, sedikit menyeringai geli, mendengar penuturan Juna. "Bersetan dengan kata peduli! Gue memang udah hancur. Gue udah engga punya semangat hidup lagi. Mending gue mati sekalian!" Kalimatnya semakin meracau kemana-mana. Mengoceh tanpa ada rem. Nyerocos saja, seperti rel kereta api. "Astaga, Gem. Enggak baik lu ngomong gitu. Gue yakin, lu bisa bangkit dan lupain ini semua." "Alah! Gue udah enggak perlu kata-kata penenang kayak gitu. Bagi gue dah basi yang kayak gitu. Mending kata-kata itu, buat lu aja. Enggak usah lu peduli lagi sama gue." Gema hendak menenggak minuman itu. Namun, segera dirampas oleh Juna. Entah sudah gelas yang keberapa itu? Juna sudah sangat geram. "Cukup, Gem!" PLAAAKKKKKK! Terpaksa ia menampar Gema. Alhasil, pemuda itu tersungkur ke lantai dan tidak sadarkan diri. Semua orang langsung tertuju pada dua pemuda yang baru saja saling beradu argument itu.Satu jam kemudian. Angga Wijaya terlihat mondar-mandir di ruang tamu, seperti setrikaan panas. Perasaannya begitu gelisah, setelah mendapat kabar bahwasanya sang putra, jatuh pingsan di salah satu tempat hiburan malam. Putranya itu, memang brutal, disaat perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. "Kapan mereka akan sampai?" gumamnya sangat gelisah. Pandangannya terus mengarah ke luar pintu, berharap yang dinanti-nanti cepat sampai. Sementara itu, Anita duduk di sofa. Perasaannya tidak kalah kalang kabutnya dari Angga Wijaya.Dalam hatinya, ia terus melafalkan doa, demi keselamatan Gema, yang sampai detik ini tak kunjung sampai rumah. Hatinya seperti dicubit-cubit, sesaat setelah mendengar kabar bahwa Gema mabuk berat dan jatuh pingsan di tempat hiburan malam. Angga Wijaya memalingkan pandangannya ke arah Anita di sana. Dilihatnya sang istri yang mulai pucat sambil mengusap wajahnya berulang kali. Ia paham, bahwasanya Anit
LIMA HARI SEBELUM PERNIKAHAN TERJADI.•••Tok!Tok!Tok!Suara pintu yang diketuk berulang kali."Iya, sebentar!" seru Anita, yang berjalan tergesa-gesa dari ruang dapur rumahnya. Suara ketukan itu, membuatnya menghentikan segala aktivitas di dapur. "Siap itu, Neng?" tanya pria dewasa sambil terbatuk-batuk.Dia tidak lain adalah Sueb, ayahnya Anita. Ia keluar dari kamarnya setelah mendengar suara ketukan di luar. Kondisi ia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. "Enggak tahu, Pak. Anita buka pintunya dulu ya." Sueb pun mengangguk. Namun, tiba-tiba perasaannya menjati tidak tenang. Firasatnya begitu buruk.Anita membukakan pintu. Dia langsung menatap dua pria bertubuh kekar, yang berdiri di depan rumahnya."Mana Bapakmu!" seru salah satu pria dengan tatapan yang mematikan. Aura yang keluar sangat tidak bersahabat. "Kalian siapa? Ada keperluan apa mencari Bapak?" tanyanya polos, yang memang tidak mengenal mereka. Sampai beberapa detik berlalu, dia masih bisa bersikap tenang. "Meny
"Dek."Panggilan tersebut, sontak menyadarkan Anita dari lamunannya. Pikirannya kembali pada detik ini. Suara berat, disertai sentuhan lembut itu, membuat Anita mengulas senyuman tipis, yang sebenarnya ia buat-buat, guna menutupi kesedihannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Angga Wijaya sembari menatap teduh sang istri."Enggak ada kok, Mas," jawabnya mengelak. "Sepertinya, dia sudah tidur." Angga menjatuhkan tatapannya kepada pemuda dua puluh lima tahun, yang terbaring di atas ranjang.Gema sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah beberapa saat lalu terus melontarkan kata-kata kasar pada Angga Wijaya maupun Anita, sebagai bentuk kekesalannya kepada dua insan itu."Iya, sepertinya, Mas.""Ya sudah. Sebaiknya kamu juga tidur. Sudah jam dua. Seharian ini, kamu belum istirahat sama sekali.""Iya, Mas. Mas juga, harus istirahat."Pria lima puluh tahun itu mengangguk. Seharusnya, ini menjadi malam pertama bagi mereka. Namun, keadaan rumit ini, membuat suasana malam perta
BUK!Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai.Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya. "Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!" Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu. Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut. "BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya. Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak.Anita langsung berlari. "Hent
Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak."Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu. Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. "Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas."Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan."Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali. Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan. Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya."Balikin hp gue!"
"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega. "Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya."Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah. Gema mengulas s
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Mobil pun mulai memasuki perkampungan. Rumah Anita memang masih pelosok dan padat penduduk.Mobil pun berhenti di tanah kosong, lebih tepatnya lapangan bola untuk anak-anak di sana."Lu aja yang cari tahu, gue malas keluar mobil," kata Gema, sesaat setelah mesin mobil dimatikan.Juna menatap lurus sahabatnya itu, "apa-apa si lu, Bro? Lu mau mati di mobil, kayak yang di berita-berita gitu?"Omelan itu seolah masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri. Gema malas menanggapi dan ogah berdebat.Mendapati ucapannya hanya sebagai angin lalu, Juna pun menghela napas panjang. "Tadi, katanya pengen cari tahu, kenapa si Anita nikah sama bokap lu? Sekarang, udah capek-capek ke sini, lu malah malas-malasan kayak gini," protesnya yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Kali ini giliran Gema yang membuang napas berat, "ya! Gue keluar! Puas lu!" katanya sedikit membentak."Nah, gi
MALAM ITU.Anita yang kebingungan mencari uang 15 juta dalam waktu singkat, akhirnya memutuskan pergi ke kediaman keluarga Wijaya.Hanya keluarga Wijaya saja yang Anita percaya untuk bisa menolongnya. "Pak, tunggu sebentar. Saya masuk dulu," kata Anita kepada kang ojek online, yang telah mengantarkannya itu."Mau kemana, Mba? Bayar dulu ongkosnya!" seru pria itu yang langsung menggenggam erat pergelangan tangan Anita. Ia takut kalau Anita akan pergi tanpa membayar ongkosnya.Anita gelagapan dan panik, lantaran saat ini ia tidak memiliki seperser pun uang di tangannya. Dia berniat untuk masuk ke dalam rumah besar itu, guna mencari seseorang yang mungkin saja mau membantunya."Iya, Mas. Saya akan bayar, tapi nanti. Saya mau masuk dulu ke dalam buat ketemu sama orang. Entar kalau udah ketemu, saya pasti bayar," kata Anita kembali memberi penjelasan.Tubuhnya sudah bergetar hebat. Anita begitu ketakutan saat ini. Pikirannya benar-benar kacau antara bapaknya dan juga uang untuk membayar o