LIMA HARI SEBELUM PERNIKAHAN TERJADI.
••• Tok! Tok! Tok! Suara pintu yang diketuk berulang kali. "Iya, sebentar!" seru Anita, yang berjalan tergesa-gesa dari ruang dapur rumahnya. Suara ketukan itu, membuatnya menghentikan segala aktivitas di dapur. "Siap itu, Neng?" tanya pria dewasa sambil terbatuk-batuk. Dia tidak lain adalah Sueb, ayahnya Anita. Ia keluar dari kamarnya setelah mendengar suara ketukan di luar. Kondisi ia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. "Enggak tahu, Pak. Anita buka pintunya dulu ya." Sueb pun mengangguk. Namun, tiba-tiba perasaannya menjati tidak tenang. Firasatnya begitu buruk. Anita membukakan pintu. Dia langsung menatap dua pria bertubuh kekar, yang berdiri di depan rumahnya. "Mana Bapakmu!" seru salah satu pria dengan tatapan yang mematikan. Aura yang keluar sangat tidak bersahabat. "Kalian siapa? Ada keperluan apa mencari Bapak?" tanyanya polos, yang memang tidak mengenal mereka. Sampai beberapa detik berlalu, dia masih bisa bersikap tenang. "Menyingkir kamu, anak ingusan!" seru ia kembali, kali ini langsung main tangan. Mendorong tubuh Anita, supaya memudahkan jalannya untuk memasuki rumah. "Hei, kalian! Mau ngapain?!" Teriakan Anita sama sekali tidak digubris oleh mereka. "Hei, kalian!" Anita menarik tangan salah satu pria itu. BRUK! Pria itu langsung mendorong Anita dengan sangat kencang, sehingga gadis itu tersungkur di lantai. "Anita!" seru Sueb, yang bereaksi ketika melihat anak gadisnya jatuh. "Lunasin utang-utang lu dulu! Baru, lu urus anak gadis lu itu!" Pria itu mencekik geram leher Sueb. Saking kuatnya tenaga, tubuh ringkih Sueb pun sampai terangkat. Padahal pria itu hanya menggunakan sebelah tangannya. "Saya tidak memiliki uang!" Suara Sueb tercekat lantar lehernya dicengkeram kuat oleh pria itu. "Kparat!" Dengan kasar, ia membanting tubuh pria yang sudah sakit-sakitan itu, ke lantai. Saking kencangnya benturan, hingga terdengar suara tulang yang patah. "Bapak!" teriak Anita dan langsung menghampiri pria yang tubuhnya sudah sangat kurus itu. "Cepat, ambil semua barang-barang di rumah ini! Cari surat tanah rumah ini. Kita bisa menjualnya!" seru pria itu, kepada rekannya. "Ok!" Temanya langsung paham, perintah yang dimaksud. Segera dia masuk ke salah satu kamar, guna mencari barang-barang berharga yang tersimpan di rumah ini. Entah apa itu? Dari yang terlihat, tidak ada barang-barang berharga, selain tv tabung di sana. "Hei, apa yang kalian ingin lakukan!" Anita buru-buru bangkit. Ia mengabaikan semua rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Satu pria berada di kamar Sueb dan yang satunya ada di kamar Anita. Gadis itu masuk ke kamar Bapaknya karena ia tahu, surat tanah rumah ini ada di sana. Anita melebarkan matanya, ketika mendapati pria itu mengacak-acak isi lemari Bapaknya. Semua pakaian dikeluarkan dari sana. Sehingga berserakan di lantai. Tidak perlu waktu lama, pria itu akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Surat tanah rumah ini. Anita buru-buru menghampiri pria itu. "Jangan ambil surat tanah ini!" Dia berusaha keras merebut kembali amplop coklat itu dari tangan pria, yang tenaganya jauh di atasnya. "Menyingkir kau!" serunya sambil mendorong tubuh Anita, sehingga wanita itu kembali jatuh ke lantai. Anita langsung bangkit dan mengejar pria yang telah membawa surat tanah itu. "Udah ketemu surat tanahnya?" tanya rekannya, yang baru saja keluar di kamar Anita, yang ternyata tidak ada satu pun barang berharga di sana. "Udah ni." Pria itu menunjukkan barang, dari hasil pencariannya. Sesuai dengan yang diinginkan. "Ya sudah, kita pulang!" Setelah berkata demikian, keduanya melenggang pergi dari sana membawa surat tanah. Barang yang paling berharga bagi Anita dan Bapak. Anita masih berusaha untuk mendapatkan kembali surat tanah itu. Namun, usahanya sia-sia. Pria itu terus mendorongnya hingga terjatuh berulang kali. BRAK! Tiba-tiba ada suara cukup keras dari dalam rumahnya. "Bapak!" Hal yang terlintas dalam pikirannya pertama kali, adalah pria sakit-sakitan itu. Sesampainya di dalam rumah, Anita dikejutkan dengan posisi bapaknya yang sudah tidak sadarkan diri dan ada darah segar mengalir keluar dari mulutnya. "Bapak!" teriaknya histeris dan langsung berlari. "Bapak!" Tidak ada kata lain yang terucap. Pikirannya kacau. Sangat kacau. Kalang kabut, melihat bapaknya yang sudah tidak sadarkan diri. Napasnya juga sangat lemah. "Bertahan, Pak." Anita buru-buru keluar rumah, mencari pertolongan tetangga untuk membawa bapaknya ke rumah sakit. Dalam situasi rumit ini, dia tidak boleh lemah, apa lagi menangis. Semuanya akan baik-baik saja. Dia kuat. *** Berkat bantuan dari beberapa tetangga, akhirnya Sueb bisa dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya sudah sangat kritis. Anita begitu kacau, ketika melihat bapaknya yang sudah dipasangi banyak alat medis. Dokter dan para timnya segera membawa Sueb ke ruang pemeriksaan. Anita diminta untuk menunggu di luar. Dia sudah bermandikan keringat. Garis bawah matanya memerah. Namun, sampai detik ini ia masih belum meneteskan setetes pun air mata. Anita duduk tertunduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Pikirannya sangat kacau sekarang. Dapat dibayangkan betapa rumitnya masalah yang dihadapinya. Tak berselang lama, seorang perawat pun datang kepadanya. "Maaf, Mba. Tolong di isi formulir administrasinya." Suara itu, memecah keheningan di sana. Anita mengangkat kepalanya. Kemudian meraih papan yang bertuliskan beberapa hal yang perlu diisi. Anita membaca formulir itu secara kasar. Sorot matanya terpaku pada nominal yang tertulis di sana. Lima belas juta. Tertulis jelas di formulir itu. "Mba, apa pembayarannya boleh dicicil?" tanya Anita ragu. Jujur saja, ia tidak memiliki uang sebanyak itu. Bahkan dirinya sekarang tidak memegang uang sepeserpun. "Tidak bisa, Mba. Sudah menjadi prosedur rumah sakit, Mba harus segera membayar semua biayanya. Supaya pasien segera ditangani." Perawat itu menjelaskan. Anita mengucap istighfar dalam hatinya. Ya Allah. Mengapa cobaan ini tak kunjung berakhir? Lima belas juta, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. "Baik, Mba. Saya akan usahakan mendapatkan uang lima belas juta itu, secepatnya," ucap Anita mencoba yakin dengan perkataannya. Perawat itu mengangguk, sebelum akhirnya dia melenggang pergi. Meninggalkan Anita seorang diri di sana, dengan pikiran yang kacau balau."Dek."Panggilan tersebut, sontak menyadarkan Anita dari lamunannya. Pikirannya kembali pada detik ini. Suara berat, disertai sentuhan lembut itu, membuat Anita mengulas senyuman tipis, yang sebenarnya ia buat-buat, guna menutupi kesedihannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Angga Wijaya sembari menatap teduh sang istri."Enggak ada kok, Mas," jawabnya mengelak. "Sepertinya, dia sudah tidur." Angga menjatuhkan tatapannya kepada pemuda dua puluh lima tahun, yang terbaring di atas ranjang.Gema sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah beberapa saat lalu terus melontarkan kata-kata kasar pada Angga Wijaya maupun Anita, sebagai bentuk kekesalannya kepada dua insan itu."Iya, sepertinya, Mas.""Ya sudah. Sebaiknya kamu juga tidur. Sudah jam dua. Seharian ini, kamu belum istirahat sama sekali.""Iya, Mas. Mas juga, harus istirahat."Pria lima puluh tahun itu mengangguk. Seharusnya, ini menjadi malam pertama bagi mereka. Namun, keadaan rumit ini, membuat suasana malam perta
BUK!Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai.Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya. "Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!" Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu. Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut. "BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya. Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak.Anita langsung berlari. "Hent
Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak."Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu. Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. "Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas."Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan."Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali. Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan. Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya."Balikin hp gue!"
"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega. "Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya."Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah. Gema mengulas s
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Mobil pun mulai memasuki perkampungan. Rumah Anita memang masih pelosok dan padat penduduk.Mobil pun berhenti di tanah kosong, lebih tepatnya lapangan bola untuk anak-anak di sana."Lu aja yang cari tahu, gue malas keluar mobil," kata Gema, sesaat setelah mesin mobil dimatikan.Juna menatap lurus sahabatnya itu, "apa-apa si lu, Bro? Lu mau mati di mobil, kayak yang di berita-berita gitu?"Omelan itu seolah masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri. Gema malas menanggapi dan ogah berdebat.Mendapati ucapannya hanya sebagai angin lalu, Juna pun menghela napas panjang. "Tadi, katanya pengen cari tahu, kenapa si Anita nikah sama bokap lu? Sekarang, udah capek-capek ke sini, lu malah malas-malasan kayak gini," protesnya yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Kali ini giliran Gema yang membuang napas berat, "ya! Gue keluar! Puas lu!" katanya sedikit membentak."Nah, gi
MALAM ITU.Anita yang kebingungan mencari uang 15 juta dalam waktu singkat, akhirnya memutuskan pergi ke kediaman keluarga Wijaya.Hanya keluarga Wijaya saja yang Anita percaya untuk bisa menolongnya. "Pak, tunggu sebentar. Saya masuk dulu," kata Anita kepada kang ojek online, yang telah mengantarkannya itu."Mau kemana, Mba? Bayar dulu ongkosnya!" seru pria itu yang langsung menggenggam erat pergelangan tangan Anita. Ia takut kalau Anita akan pergi tanpa membayar ongkosnya.Anita gelagapan dan panik, lantaran saat ini ia tidak memiliki seperser pun uang di tangannya. Dia berniat untuk masuk ke dalam rumah besar itu, guna mencari seseorang yang mungkin saja mau membantunya."Iya, Mas. Saya akan bayar, tapi nanti. Saya mau masuk dulu ke dalam buat ketemu sama orang. Entar kalau udah ketemu, saya pasti bayar," kata Anita kembali memberi penjelasan.Tubuhnya sudah bergetar hebat. Anita begitu ketakutan saat ini. Pikirannya benar-benar kacau antara bapaknya dan juga uang untuk membayar o
"Dek."Suara bariton itu, seketika menyadarkan gadis cantik yang sedang duduk di tepi ranjang, dari lamunannya. Sentuhan lembut Angga Wijaya di bahu membuat Anita mendongak. Pandangan keduanya pun saling bertemu. "Mas," ucapnya terdengar lirih. Buru-buru ia menyeka kristal bening yang masih tertahan di dinding matanya. Selanjutnya berdiri menghadap sang suami. "Kamu kenapa, Dek? Kamu habis nangis?" tanya Angga Wijaya kemudian.Anita menggeleng cepat, "enggak, Mas. Siapa yang nangis? Aku enggak nangis. Aku lagi tersenyum. Niii," katanya dan memasang senyuman lebar sampai terlihat deretan giginya yang putih."Kamu jangan bohong, Dek. Mas bisa lihat ada kesedihan di matamu." Angga Wijaya menyentuh pipi kanan sang istri penuh kelembutan. Anita pun terpejam, merasakan belaian itu masuk hingga ke dalam raganya. Setelahnya, ia kembali membuka matanya."Mas tahu, kalau kamu lagi sedih. Pasti mikirin Almarhum Bapak y
Meninggalkan kebersamaan yang sedang dirajut Anita dan Angga Wijaya. Di tempat terpisah. Gema yang sedang tertidur dalam posisi tengkurap pun, perlahan-lahan membuka matanya.Ada rasa sakit yang luar biasa sedang memberatkan tubuhnya. Ia merasa badannya seperti ditimpah batu berukuran sangat besar. Setelah kesadarannya penuh. Dia berbalik badan dan menatap langit-langit kamar itu. Pikirannya seolah sedang berkeliaran bebas tanpa penghalang. Ada sesuatu yang sedang ia rencanakan sekarang. "Lu udah bangun, Bro?" Juna pun mengayunkan kakinya, keluar dari kamar mandi. Dia bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawahnya.Rambutnya masih basah dan tubuhnya belum kering sepenuhnya. Masih ada butiran air yang menempel.Gema mengubah posisinya menjadi duduk bersila. Dipandanginya sekeliling kamar. Lebih tepatnya di dekat ranjang. Ada banyak botol minuman berserakan.Dia tidak protes, hanya diam. Sebab yang memb