Satu jam kemudian. Angga Wijaya terlihat mondar-mandir di ruang tamu, seperti setrikaan panas. Perasaannya begitu gelisah, setelah mendapat kabar bahwasanya sang putra, jatuh pingsan di salah satu tempat hiburan malam.
Putranya itu, memang brutal, disaat perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. "Kapan mereka akan sampai?" gumamnya sangat gelisah. Pandangannya terus mengarah ke luar pintu, berharap yang dinanti-nanti cepat sampai. Sementara itu, Anita duduk di sofa. Perasaannya tidak kalah kalang kabutnya dari Angga Wijaya. Dalam hatinya, ia terus melafalkan doa, demi keselamatan Gema, yang sampai detik ini tak kunjung sampai rumah. Hatinya seperti dicubit-cubit, sesaat setelah mendengar kabar bahwa Gema mabuk berat dan jatuh pingsan di tempat hiburan malam. Angga Wijaya memalingkan pandangannya ke arah Anita di sana. Dilihatnya sang istri yang mulai pucat sambil mengusap wajahnya berulang kali. Ia paham, bahwasanya Anita sudah sangat kelelahan dan betapa stresnya ia memikirkan semua ini. "Istirahat, Sayang. Kamu pasti cepek, seharian mengurus keluarga ini. Biar Mas saja yang menunggu Gema di sini," ucap Angga Wijaya sambil mengelus punggung Anita. "Enggak, Mas. Aku baik-baik saja. Seharusnya yang istirahat tuh, Mas Angga. Mas, pasti lebih capek dari aku." Angga Wijaya mengulas senyuman kecil, menatap kedua mata Anita penuh kekaguman. Nyatanya, situasi yang terjadi lebih rumit dari yang dibayangkan. Tak berselang lama, suara mobil terparkir di depan rumah pun terdengar. Angga Wijaya mengangkat kepalanya. Menatap lurus ke luar sana. Selang beberapa menit, dua orang pemuda pun memasuki ruangan. Angga Wijaya buru-buru menghampiri keduanya. Anita beranjak bangun dari sofa. Namun, tidak bergerak dari posisinya. Dilihatnya, sosok pemuda yang dahulu sangat ia cintai itu. Juna mamapah tubuh Gema yang berada dalam pengaruh alkohol. Ia cukup kesulitan dan hampir jatuh. "Maafin aku, Om. Jalanan macet banget tadi," ucap Juna, memberi penjelasan, yang langsung mendapat anggukan kepala dari Angga Wijaya. "Maaf ya, Juna. Gema udah bikin kamu repot. Sini, saya bantu." Angga segera membantu untuk memapah putranya itu. "Sama sekali enggak ngerepotin kok, Om." Juna tersenyum kecil. Sementara itu. "Menyingkir dariku!" seru Gema sambil mendorong tubuh Angga, supaya menjauh. Kenyataannya, Gema masih memiliki sedikit kesadaran. Dia sudah sadar dari pingsan beberapa saat lalu. Secara tidak langsung, ia bisa merasakan sentuhan dari seseorang yang saat ini sangat dibencinya. "Jangan pernah menyentuhku lagi! Aku membencimu, Tuan Angga Wijaya!" serunya demikian dan dipertegas dengan tindakan. "Karena dirimu, telah merebut wanita yang sangat kucintai! Kau menikahi Anita, yang seharusnya menjadi menantumu, bukan menjadi istrimu!" racaunya lagi dan lagi. "Kau bahkan lebih menjijikkan dari seekor an*Jing!" umpatnya sambil meludahi wajah ayahnya. Kalimat terakhir Gema, membuat Angga Wijaya termangu beberapa detik. Sebelum akhirnya, dia tetap memapah tubuh Gema dengan dibantu Juna. Angga Wijaya menulikan pendengarannya, masa bodo dengan segala ocehan yang dilontarkan Gema. Baginya, apa yang diucapkan sang putra tidaklah penting. Toh, ia juga sedang berada dalam pengaruh alkohol. Keduanya memapah tubuh Gema menuju kamar yang berada di lantai bawah. Sementara itu, Anita meremas ujung hijabnya. "Ya Allah. Mengapa, semuanya menjadi seperti ini?" gumamnya terdengar sangat lirih. Ada perasaan bersalah yang membumbung tinggi di dalam dadanya. Sesak yang membuatnya tidak mampu untuk berpikir jernih. Pikirannya begitu kacau. Keputusan yang diambilnya, nyatanya membawa dampak sangat buruk. Ia ingin menangis. Namun, air matanya seolah enggan untuk keluar. Ya, dirinya terlalu lelah untuk menangis. Setelah mendapatkan kembali kesadarannya, Anita hendak mengayunkan kakinya. Niat hati ingin menyusul ke kamar. Namun, Angga Wijaya dan Juna sudah lebih dulu keluar kamar. "Aku pamit pulang ya, Om. Udah dicariin ortu di rumah," kata Juna, sekalian pamit dengan Angga Wijaya. "Enggak sekalian nginep aja di sini?" tawarnya, yang sebenarnya berat . membiarkan Juna pulang selarut ini. "Enggak, Om. Enggak enak, nanti malah ganggu kalian. Om sama ..." Juna menjatuhkan pandangannya pada Anita di sana. Dia bingung harus memanggil Anita dengan sebutan apa? Mau dipanggil 'Tante' tapi kok agak aneh menurutnya. Secara usianya dengan Anita tidak terpaut jauh, malah sebaya. Selain itu, ia juga tahu persis bagaimana kisah percintaan antara Gema dan Anita. Sebab, ia dan Gema bersahabat sejak lama. "Ganggu kenapa?" Angga Wijaya menoleh ke belakang. Dia paham alur pembicaraan ini mengarah kemana. "Saya dan Anita tidak merasa terganggu. Malah sebaliknya, saya merasa senang kalau kamu menginap di sini." Dia kembali memberikan penawaran untuk kedua kalinya. "Enggak, Om. Lain waktu aja. Sekarang waktunya enggak tepat. Lagi pula, saya udah diminta untuk pulang. Kapan-kapan aja ya, Om." "Baiklah. Kalau begitu, kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut," pesan Angga Wijaya yang langsung mendapat anggukan kepala dari Juna. "Iya, Om. Terima kasih. Juna, pamit dulu kalau begitu." "Assalamualaikum," ucapnya sambil mengecup punggung tangan Angga Wijaya. "Waalaikumsalam," jawab Angga Wijaya. Juna menganggukan kepalanya, menatap Anita yang berjarak beberapa meter itu. Ia tidak berani untuk mencium punggung tangan wanita itu. Ada perasaan canggung dan Anita pun memiliki perasaan yang tidak jauh berbeda. Selanjutnya, Juna mengayunkan kakinya, meninggalkan rumah itu. "Mas. Boleh aku melihat kondisi Gema?" Suaranya terdengar lirih sambil meremas ujung hijabnya. "Iya. Dia ada di kamar tamu." Tidak ada alasan bagi Angga Wijaya untuk menolak permintaan tersebut. "Terima kasih, Mas." Setelah berkata demikian, Anita segera pergi menuju kamar tempat Gema berada. Sementara itu, Angga Wijaya membuang napas berat dari waktu ke waktu. Sungguh hari yang sungguh dipenuhi drama. Kepalanya mulai terasa sakit. Kata-kata yang dilontarkan Gema tadi, sungguh membuat hati seorang ayah seperti tertusuk anak panah. "Ya Allah. Semoga semuanya segera baik-baik saja. Amiin."LIMA HARI SEBELUM PERNIKAHAN TERJADI.•••Tok!Tok!Tok!Suara pintu yang diketuk berulang kali."Iya, sebentar!" seru Anita, yang berjalan tergesa-gesa dari ruang dapur rumahnya. Suara ketukan itu, membuatnya menghentikan segala aktivitas di dapur. "Siap itu, Neng?" tanya pria dewasa sambil terbatuk-batuk.Dia tidak lain adalah Sueb, ayahnya Anita. Ia keluar dari kamarnya setelah mendengar suara ketukan di luar. Kondisi ia sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. "Enggak tahu, Pak. Anita buka pintunya dulu ya." Sueb pun mengangguk. Namun, tiba-tiba perasaannya menjati tidak tenang. Firasatnya begitu buruk.Anita membukakan pintu. Dia langsung menatap dua pria bertubuh kekar, yang berdiri di depan rumahnya."Mana Bapakmu!" seru salah satu pria dengan tatapan yang mematikan. Aura yang keluar sangat tidak bersahabat. "Kalian siapa? Ada keperluan apa mencari Bapak?" tanyanya polos, yang memang tidak mengenal mereka. Sampai beberapa detik berlalu, dia masih bisa bersikap tenang. "Meny
"Dek."Panggilan tersebut, sontak menyadarkan Anita dari lamunannya. Pikirannya kembali pada detik ini. Suara berat, disertai sentuhan lembut itu, membuat Anita mengulas senyuman tipis, yang sebenarnya ia buat-buat, guna menutupi kesedihannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Angga Wijaya sembari menatap teduh sang istri."Enggak ada kok, Mas," jawabnya mengelak. "Sepertinya, dia sudah tidur." Angga menjatuhkan tatapannya kepada pemuda dua puluh lima tahun, yang terbaring di atas ranjang.Gema sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah beberapa saat lalu terus melontarkan kata-kata kasar pada Angga Wijaya maupun Anita, sebagai bentuk kekesalannya kepada dua insan itu."Iya, sepertinya, Mas.""Ya sudah. Sebaiknya kamu juga tidur. Sudah jam dua. Seharian ini, kamu belum istirahat sama sekali.""Iya, Mas. Mas juga, harus istirahat."Pria lima puluh tahun itu mengangguk. Seharusnya, ini menjadi malam pertama bagi mereka. Namun, keadaan rumit ini, membuat suasana malam perta
BUK!Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai.Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya. "Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!" Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu. Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut. "BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya. Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak.Anita langsung berlari. "Hent
Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak."Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu. Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. "Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas."Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan."Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali. Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan. Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya."Balikin hp gue!"
"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega. "Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya."Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah. Gema mengulas s
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Mobil pun mulai memasuki perkampungan. Rumah Anita memang masih pelosok dan padat penduduk.Mobil pun berhenti di tanah kosong, lebih tepatnya lapangan bola untuk anak-anak di sana."Lu aja yang cari tahu, gue malas keluar mobil," kata Gema, sesaat setelah mesin mobil dimatikan.Juna menatap lurus sahabatnya itu, "apa-apa si lu, Bro? Lu mau mati di mobil, kayak yang di berita-berita gitu?"Omelan itu seolah masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri. Gema malas menanggapi dan ogah berdebat.Mendapati ucapannya hanya sebagai angin lalu, Juna pun menghela napas panjang. "Tadi, katanya pengen cari tahu, kenapa si Anita nikah sama bokap lu? Sekarang, udah capek-capek ke sini, lu malah malas-malasan kayak gini," protesnya yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Kali ini giliran Gema yang membuang napas berat, "ya! Gue keluar! Puas lu!" katanya sedikit membentak."Nah, gi
MALAM ITU.Anita yang kebingungan mencari uang 15 juta dalam waktu singkat, akhirnya memutuskan pergi ke kediaman keluarga Wijaya.Hanya keluarga Wijaya saja yang Anita percaya untuk bisa menolongnya. "Pak, tunggu sebentar. Saya masuk dulu," kata Anita kepada kang ojek online, yang telah mengantarkannya itu."Mau kemana, Mba? Bayar dulu ongkosnya!" seru pria itu yang langsung menggenggam erat pergelangan tangan Anita. Ia takut kalau Anita akan pergi tanpa membayar ongkosnya.Anita gelagapan dan panik, lantaran saat ini ia tidak memiliki seperser pun uang di tangannya. Dia berniat untuk masuk ke dalam rumah besar itu, guna mencari seseorang yang mungkin saja mau membantunya."Iya, Mas. Saya akan bayar, tapi nanti. Saya mau masuk dulu ke dalam buat ketemu sama orang. Entar kalau udah ketemu, saya pasti bayar," kata Anita kembali memberi penjelasan.Tubuhnya sudah bergetar hebat. Anita begitu ketakutan saat ini. Pikirannya benar-benar kacau antara bapaknya dan juga uang untuk membayar o
"Dek."Suara bariton itu, seketika menyadarkan gadis cantik yang sedang duduk di tepi ranjang, dari lamunannya. Sentuhan lembut Angga Wijaya di bahu membuat Anita mendongak. Pandangan keduanya pun saling bertemu. "Mas," ucapnya terdengar lirih. Buru-buru ia menyeka kristal bening yang masih tertahan di dinding matanya. Selanjutnya berdiri menghadap sang suami. "Kamu kenapa, Dek? Kamu habis nangis?" tanya Angga Wijaya kemudian.Anita menggeleng cepat, "enggak, Mas. Siapa yang nangis? Aku enggak nangis. Aku lagi tersenyum. Niii," katanya dan memasang senyuman lebar sampai terlihat deretan giginya yang putih."Kamu jangan bohong, Dek. Mas bisa lihat ada kesedihan di matamu." Angga Wijaya menyentuh pipi kanan sang istri penuh kelembutan. Anita pun terpejam, merasakan belaian itu masuk hingga ke dalam raganya. Setelahnya, ia kembali membuka matanya."Mas tahu, kalau kamu lagi sedih. Pasti mikirin Almarhum Bapak y