BUK!
Pukulan keras diterima Gema tepat di wajahnya. Saking kerasnya tinju itu, sampai membuat ia tersungkur ke lantai. Dia menatap lurus ayahnya yang sedang dipenuhi emosi yang tak terkendali setelah mendengar kalimatnya. "Anak kurang aja kamu, Gema! Selama ini Ayah tidak pernah mengajarimu berkata tidak sopan kepada orang tua!" Angga Wijaya menatap nanar putra satu-satunya itu. Jari telunjuknya tegak lurus ke arah wajah Gema. Suaranya menggelegar seisi ruangan itu. Pikirannya sudah dirasuki emosi. Tanpa buang waktu, dia kembali menarik kerah baju sang putra. Gema tidak melawan, sebaliknya. Dia tersenyum, menunjukkan kesan tidak takut. "BERHENTI, MAS!" teriak Anita, yang berjarak beberapa meter dari keributan. Ia berlari dari dapur, setelah mendengar suara teriakan suaminya. Angga menahan tangannya, padahal beberapa sentimeter lagi mampu membuat wajah tampan sang putra bengkak. Anita langsung berlari. "Hentikan keributan ini, Mas! Kamu jangan terpancing emosi. Kasian Gema, kalau kamu pukul dia setiap hari." Kemarin tambaran bertubi-tubi, sampai bekasnya masih terasa nyeri dan sekarang pukulan, yang meninggalkan bekas lebih parah, sampai tepi bibirnya mengeluarkan darah. Namun, Gema seolah tidak merasa jera, meskipun sudah berulang kali mendapatkan kekerasan fisik. Rasa sakit di tubuh bisa diobati secepat mungkin. Namun, sakit akibat dikhianati, tentu akan lama sembuhnya. "Lepasin dia, Mas! Kasian dia kalau terus dipukul. Mas, harus lebih sabar lagi menghadapinya." Suruan Anita mampu membuat Angga Wijaya mendapatkan kembali kesadarannya. Dia melepaskan kerah baju Gema. Alih-alih meminta maaf atas segala kalimat yang telah ia lontarkan beberapa saat lalu. Gema malah menunjukkan sikap arogansi. "Kenapa berhenti, Yah? Kenapa Ayah tidak memukulku lagi? Lakukan lagi, Yah! Aku ingin Ayah terus memukulku, sampai aku menyusul Bunda!" Kalimatnya itu, langsung membuat Angga Wijaya mengepalkan kedua tangannya. "DIRGANTARA!" teriaknya. Namun, di detik yang sama, Anita langsung menahan. "Cukup, Mas! Istighfar, Mas! Jangan kepancing emosi. Istighfar, Mas!" Anita mendekap tubuh suaminya, supaya ia tidak melakukan hal gila lagi. Sungguh, wanita mana yang tega, melihat pria yang disayanginya terlibat perkelahian, apa lagi, dengan anak sendiri? "Istighfar, Mas! Tenangin diri, Mas!" Gema yang sudah muak melihat drama itu, tanpa pikir panjang, langsung menarik tangan Anita secara paksa. "Mengapa kau bersikap baik kepadaku, ah? Seolah-olah, kau melindungi dari kemarahan ayahku?!" sungut Gema, dengan menjatuhkan tatapan nanar pada wanita yang dahulu sangat ia cintai. "Jawab aku, Anita! Sebenarnya kamu masih mencintai aku kan?!" Nada suaranya semakin tinggi dan genggaman tangannya pun semakin kuat. Membuat Anita merasa tidak nyaman. "Gema cukup!" Angga Wijaya tentu tidak tinggal diam. Dia menarik tangan Anita yang satunya, agar terlepas dari kemarahan sang putra. Tubuh Anita terhuyung ke belakang Angga Wijaya. Posisi Angga Wijaya sekarang saling berhadapan dengan Gema. Sama-sama melontarkan tatapan maut, penuh kemarahan. BRUK! Tidak pikiran panjang, satu lagi pukulan keras mendarat di wajah Gema. Sebelumnya di pipi kanan, kini giliran pipi kiri. Gema tersungkur di lantai. Anita menjerit histeris dan menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Apa yang harus ia perbuat, guna menghentikan perkelahian anak dan ayah itu? Hatinya sungguh tersiksa melihat Gema yang terus-menerus mendapat pukulan dari ayahnya. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan Angga Wijaya sepenuhnya. Sebab yang membuat perkelahian ini berbuntut panjang, ialah Gema yang terus bersikap keras kepala. Angga Wijaya mundur beberapa langkah. Napasnya memburu, seperti orang yang habis lari maraton. Matanya terpejam untuk beberapa detik, berusaha kerasa untuk mengendalikan pikirannya kembali. "Pergi kamu dari rumah ini! Jangan tunjukin muka kamu di rumah ini lagi! Sebelum kamu bisa mengubah sifat keras kepala kamu itu!" usianya tegas dan tanpa keraguan. Gema beranjak bangun sambil tersenyum puas. "Tanpa Anda minta pun, diriku sudah akan pergi dari rumah terkutuk ini!" sungutnya dengan suara yang tidak kalah tinggi dari sang Ayah. Kedua bahunya sedikit terangkat. Dia mengenakan kembali kacamata hitam itu. Memasang mimik wajah sangat, seolah bekas pukulan tadi, sama sekali tidak membekas. "Aku tidak akan kembali ke rumah ini!" tutupnya tegas, sebelum akhirnya melenggang pergi. Anita meremas ujung bajunya. Ada sesuatu yang ingin meledak di dalam dadanya. Begitu juga dengan matanya. Namun, semua itu tidak mampu ia keluarkan. Sampai akhirnya ia duduk lemas. Kedua kakinya tidak lagi mampu menopang berat tubuhnya. "Dek!" Angga Wijaya buru-buru menghampiri sang istri, sesaat setelah ia berhasil menjernihkan pikirannya. Dia langsung memeluknya erat. Mengelus lembut kepalanya dan berkata, "semuanya akan baik-baik saja, Dek. Maafkan Mas karena sudah kasar tadi." "Maafkan karena Mas tidak bisa mendidik Gema dengan benar, sehingga dia bersikap kasar kepada kamu, seperti tadi." Anita tidak tahu, siapa yang salah. Mungkin Gema tidaklah salah. Hal wajar jikalau ia marah. Hatinya hancur, sudah pasti. Anita menatap kosong objek di depannya. Belaian hangat dari sang suami, nyatanya tidak sepenuhnya membuat ia merasa tenang. Ada sedikit ketenangan, tapi entah akan bertahan berapa lama? Lantaran, Gema masih enggan menerima kenyataan, bahwa wanita yang ia cintai dulu, kini telah menjadi ibu baginya, meskipun hanya di atas kertas. *** Sementara itu, Gema sudah berada di dalam mobil Juna. Kebetulan, saat Gema keluar rumah, Juna sudah datang. "Lu mau pergi kemana, Bro? Kita udah jalan setengah jam, tapi belum tahu tujuannya," kata Juna bertanya sambil fokus menyetir. "Terserah lu aja, mau pergi kemana. Pokoknya pergi ke tempat yang jauh. Gue malas balik ke rumah terkutuk itu!" Nada suaranya dipenuhi dengan emosi, begitu juga dengan kalimatnya. Juna menghela napas panjang, "lu pasti ribut lagi sama bokap lu?" Tebakannya tidak mendapat jawaban. Namun, gema sedikit mengangguk guna membenarkan tebakan tersebut. Selain itu juga, Juna bisa melihat ada bekas memar di kedua pipi sahabatnya itu. "Ya udah kalau gitu. Kita ke Puncak aja kalau gitu. Mau engga? Kali aja lu bisa happy di sana." "Gue udah bilang. Terserah lu mau pergi kemana. Gue ikut aja, yang penting jangan balik ke rumah sialan itu lagi. Gue muak lihat muka mereka, yang dengan teganya mengkhianati kepercayaan gue." Suaranya bergetar. Terdengar seperti orang yang menahan emosi dan kesedihan. Juna dapat merasakan kekecewaan itu. Namun, ia juga tidak dapat berkomentar banyak karena takut dianggap terlalu jauh, ikut urusan rumah tangga orang. Mobil pun melaju cepat menuju Puncak. Entah apa yang akan terjadi di sana?Satu setengah jam kemudian. Mobil yang dikendarai Juna pun, telah memasuki kawasan puncak."Mampir ke warung makan dulu yuk! Gue laper, belum makan dari pagi," keluh Juna sambil mengelus perut rampingnya itu. Juna pun menepikan mobilnya ke sisi kiri jalan. "Lu aja yang makan, gue lagi ga mood makan," jawab Gema sambil membuang pandangan malas."Hadeuh, gini banget ya hidup, ngadepin orang yang lagi galau. Susah banget diajak ngobrolnya," sindirnya kemudian atas sikap yang Gema tunjukkan."Terserah lu mau ngomong apa. Gue malas ngapa-ngapain."Gema mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, memainkan layar ponselnya. Entah apa yang dilihat? Raut wajahnya tidak menunjukkan kesan bahagia sama sekali. Juna pun menghela napas berat. Dia yang sudah sangat geram, akhirnya mengambil tindakan. Juna merebut ponsel itu dari tangan Gema, sontak membuat pemuda itu melebarkan matanya."Balikin hp gue!"
"Alhamdulillah. Ya Allah. Saya seneng banget, denger kabar kalau kalian sudah menikah. Anita benar-benar mencintai, Mas Gema. Dia senang banget kalau cerita tentang Mas Gema, ke saya."Setiap pengakuan Bu Eem membuat Gema tersenyum. Ada kesan bahagia di dalam hatinya, seolah kisah tersebut adalah obat sakit hatinya.Gema seolah-olah lupa akan masalah yang sedang dihadapinya. Juna yang sedari tadi memperhatikan perubahan sikap Gema pun, sedikitnya bisa bernapas lega. "Iya, Bu. Saya juga senang karena bisa ketemu sama Bu Eem di sini. Padahal dulu Anita sering banget cerita soal Bu Eem, yang jualan di kantin sekolah. Katanya, masakan Bu Eem tuh enak-enak."Mendengar pujian yang dilontarkan Gema, membuat wanita empat puluh lima tahun itu, melebarkan senyumannya."Anita terlalu berlebihan. Padahal masakan saya biasa saja, Mas. Enggak enak-enak banget. Tidak seperti koki-koki handal di restoran," ucap Bu Eem merendah. Gema mengulas s
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Mobil pun mulai memasuki perkampungan. Rumah Anita memang masih pelosok dan padat penduduk.Mobil pun berhenti di tanah kosong, lebih tepatnya lapangan bola untuk anak-anak di sana."Lu aja yang cari tahu, gue malas keluar mobil," kata Gema, sesaat setelah mesin mobil dimatikan.Juna menatap lurus sahabatnya itu, "apa-apa si lu, Bro? Lu mau mati di mobil, kayak yang di berita-berita gitu?"Omelan itu seolah masuk kuping kanan, lalu keluar kuping kiri. Gema malas menanggapi dan ogah berdebat.Mendapati ucapannya hanya sebagai angin lalu, Juna pun menghela napas panjang. "Tadi, katanya pengen cari tahu, kenapa si Anita nikah sama bokap lu? Sekarang, udah capek-capek ke sini, lu malah malas-malasan kayak gini," protesnya yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Kali ini giliran Gema yang membuang napas berat, "ya! Gue keluar! Puas lu!" katanya sedikit membentak."Nah, gi
MALAM ITU.Anita yang kebingungan mencari uang 15 juta dalam waktu singkat, akhirnya memutuskan pergi ke kediaman keluarga Wijaya.Hanya keluarga Wijaya saja yang Anita percaya untuk bisa menolongnya. "Pak, tunggu sebentar. Saya masuk dulu," kata Anita kepada kang ojek online, yang telah mengantarkannya itu."Mau kemana, Mba? Bayar dulu ongkosnya!" seru pria itu yang langsung menggenggam erat pergelangan tangan Anita. Ia takut kalau Anita akan pergi tanpa membayar ongkosnya.Anita gelagapan dan panik, lantaran saat ini ia tidak memiliki seperser pun uang di tangannya. Dia berniat untuk masuk ke dalam rumah besar itu, guna mencari seseorang yang mungkin saja mau membantunya."Iya, Mas. Saya akan bayar, tapi nanti. Saya mau masuk dulu ke dalam buat ketemu sama orang. Entar kalau udah ketemu, saya pasti bayar," kata Anita kembali memberi penjelasan.Tubuhnya sudah bergetar hebat. Anita begitu ketakutan saat ini. Pikirannya benar-benar kacau antara bapaknya dan juga uang untuk membayar o
"Dek."Suara bariton itu, seketika menyadarkan gadis cantik yang sedang duduk di tepi ranjang, dari lamunannya. Sentuhan lembut Angga Wijaya di bahu membuat Anita mendongak. Pandangan keduanya pun saling bertemu. "Mas," ucapnya terdengar lirih. Buru-buru ia menyeka kristal bening yang masih tertahan di dinding matanya. Selanjutnya berdiri menghadap sang suami. "Kamu kenapa, Dek? Kamu habis nangis?" tanya Angga Wijaya kemudian.Anita menggeleng cepat, "enggak, Mas. Siapa yang nangis? Aku enggak nangis. Aku lagi tersenyum. Niii," katanya dan memasang senyuman lebar sampai terlihat deretan giginya yang putih."Kamu jangan bohong, Dek. Mas bisa lihat ada kesedihan di matamu." Angga Wijaya menyentuh pipi kanan sang istri penuh kelembutan. Anita pun terpejam, merasakan belaian itu masuk hingga ke dalam raganya. Setelahnya, ia kembali membuka matanya."Mas tahu, kalau kamu lagi sedih. Pasti mikirin Almarhum Bapak y
Meninggalkan kebersamaan yang sedang dirajut Anita dan Angga Wijaya. Di tempat terpisah. Gema yang sedang tertidur dalam posisi tengkurap pun, perlahan-lahan membuka matanya.Ada rasa sakit yang luar biasa sedang memberatkan tubuhnya. Ia merasa badannya seperti ditimpah batu berukuran sangat besar. Setelah kesadarannya penuh. Dia berbalik badan dan menatap langit-langit kamar itu. Pikirannya seolah sedang berkeliaran bebas tanpa penghalang. Ada sesuatu yang sedang ia rencanakan sekarang. "Lu udah bangun, Bro?" Juna pun mengayunkan kakinya, keluar dari kamar mandi. Dia bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawahnya.Rambutnya masih basah dan tubuhnya belum kering sepenuhnya. Masih ada butiran air yang menempel.Gema mengubah posisinya menjadi duduk bersila. Dipandanginya sekeliling kamar. Lebih tepatnya di dekat ranjang. Ada banyak botol minuman berserakan.Dia tidak protes, hanya diam. Sebab yang memb
"DIRGANTARA!" teriak Angga Wijaya, yang sudah menggenggam erat kerah baju sang putra dan siap melayangkan sebuah pukulan keras."Mas Angga! Berhenti!"Namun, tindakan tersebut berhenti, tepat saat seruan itu menyeruak. Menembus gendang telinga dua pria yang memiliki hubungan kuat itu.Tangan kanan Angga Wijaya mengambang di udara, sedangkan tangan lainnya masih menggenggam erat kerah baju Gema. Sementara pemuda itu, tampak tenang. Tidak ada sedikitpun rasa takut terpancar di wajahnya. Padahal, persekian detik saja, pukulan keras itu akan membuat wajah tampannya membiru."Cukup, Mas! Hentikan! Lepasin Gema, Mas!" pinta Anita dengan meninggikan suaranya. Ia tahu, sekedar ucapan tidak akan mampu mengubah pemikiran sang suami. Dia juga berusaha menarik tangan Angga Wijaya, supaya mau melepaskan cengkeramannya terhadap Gema."Jangan halangi saya, Dek. Anak ini sudah sangat keterlaluan! Semakin hari. Tingkahnya semakin keterlaluan! Se
SEPULUH MENIT KEMUDIAN.Pria yang akrab dipanggil Pak Wishnu itu, akhirnya datang. Ia membawa langkah pasti, memasuki ruangan yang sedang memanas itu Gema memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana sambil berjalan santai. Ia yang lebih dulu menyambut Pak Wishnu."Assalamualaikum, Mas Gema." Pria empat puluh lima tahun itu, mengucap salam lebih dulu. Mengulurkan tangan kanan. "Waalaikumsalam, Pak Wishnu. Maaf karena sudah merepotkan Anda, untuk datang ke sini," jawab Gema, sembari menjabat tangan pria yang berprofesi sebagai pengacara itu."Tidak repot sama sekali. Sudah sepatutnya saya membantu keluarga ini sebagaimana mestinya."Gema pun tersenyum simpul mendengar kalimat tersebut. Sementara itu, Angga Wijaya berdiri di sana tanpa bergeser sedikitpun dari posisinya. Sedangkan Anita yang semula duduk di sofa, sambil harap-harap cemas, kini berdiri dan perasaannya semakin tidak karuan."Tuan Angga," sapa Pak Wish