Share

6. ADA RAHASIA

"Dek."

Panggilan tersebut, sontak menyadarkan Anita dari lamunannya. Pikirannya kembali pada detik ini.

Suara berat, disertai sentuhan lembut itu, membuat Anita mengulas senyuman tipis, yang sebenarnya ia buat-buat, guna menutupi kesedihannya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Angga Wijaya sembari menatap teduh sang istri.

"Enggak ada kok, Mas," jawabnya mengelak.

"Sepertinya, dia sudah tidur." Angga menjatuhkan tatapannya kepada pemuda dua puluh lima tahun, yang terbaring di atas ranjang.

Gema sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, setelah beberapa saat lalu terus melontarkan kata-kata kasar pada Angga Wijaya maupun Anita, sebagai bentuk kekesalannya kepada dua insan itu.

"Iya, sepertinya, Mas."

"Ya sudah. Sebaiknya kamu juga tidur. Sudah jam dua. Seharian ini, kamu belum istirahat sama sekali."

"Iya, Mas. Mas juga, harus istirahat."

Pria lima puluh tahun itu mengangguk. Seharusnya, ini menjadi malam pertama bagi mereka. Namun, keadaan rumit ini, membuat suasana malam pertama itu, tidaklah sebahagia yang dibayangkan.

Keduanya melenggang pergi dari sana. Berjalan beriringan menuju lantai dua, tempat kamar mereka berada.

Sesampainya di kamar, Angga Wijaya terlihat beberapa kali memijat bahunya. Anita yang melihatnya pun, segera mengambil inisiatif.

"Biar aku pijit lehernya, Mas," pintanya lembut, meskipun masih ada kecanggungan di dalam dirinya.

"Tidak usah. Ini hanya pegal-pegal biasa saja. Nanti juga hilang sendiri. Sudah sana, kamu istirahat. Sudah larut malam."

"Heum, Mas seriusan enggak apa-apa? Aku bisa bantu pijitin sebentar, supaya rasa pegalnya hilang." Kembali Anita memberi penawaran karena ia berpikir, ini adalah tugasnya sebagai seorang istri. Walau sebenarnya dia juga ragu.

"Iya, Dek. Mas serius. Udah, kamu bersih-bersih dulu. Terus langsung tidur."

Setelah berkata demikian, yang disertai senyuman terbaiknya, Angga Wijaya melenggang pergi.

Anita menghela napas berat. Masalah Gema, yang mengamuk, setidaknya bisa teratasi sedikit. Sekarang tinggal ia yang harus menghadapi suaminya.

Anita pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya, sekaligus mengganti pakaian.

Sementara itu, Angga Wijaya duduk di sofa. Menyandarkan kepalanya dan menajamkan kedua matanya.

'Jangan pernah menyentuhku lagi! Aku membencimu, Tuan Angga Wijaya!"

'Karena dirimu, telah merebut wanita yang sangat kucintai! Kau menikahi Anita, yang seharusnya menjadi menantumu, bukan menjadi istrimu!'

'Kau bahkan lebih menjijikkan dari seekor an*Jing!'

Dalam heningnya, terulang kembali kejadian, ketika Gema melontarkan kata-kata kasar terhadapnya. Tindakan Gema yang meludahi wajahnya pun, tidak luput dari ingatannya.

"Ya Tuhan. Hukumlah dirimu, seberat mungkin." Suaranya terdengar sangat lirih.

"Sebagai seorang Ayah, diriku telah gagal mendidiknya. Menjaganya dan memastikan kebahagiaannya. Diriku telah siap, bilamana nyawa ini Engkau ambil. Memisahkan jiwa, dari raganya."

.

Setengah jam kemudian. Anita pun telah selesai berganti pakaian. Dia melihat ranjang, tidak ada yang menidurinya.

"Kemana Mas Angga?" Dia bertanya-tanya.

Anita membawa langkahnya menuju sofa di sudut sebelah ruangan ini. Ternyata dugaannya itu benar. Pria yang sudah sah menjadi suaminya itu, tertidur di sofa.

Kembali Anita membuang napas berat. Situasi rumit seperti apa lagi, yang harus ia hadapi setelah ini?

"Mas," panggilnya dengan nada lembut, sambil mengelus punggung tangan suaminya.

"Mas, bangun, Mas. Tidurnya jangan di sofa," tambahnya mencoba untuk membangunkan Angga Wijaya yang sudah terlelap itu.

"Heum," suara erangan terdengar.

Perlahan-lahan Angga membuka matanya, sesegera mungkin ia menyadarkan pikirannya yang mulai terbawa ke alam mimpi, akibat kelelahan.

"Iya, Dek. Kenapa?" tanyanya pelan.

"Pindah, Mas. Tidurnya jangan di sofa. Pintah ke tempat tidur, biar Mas tidurnya nyenyak."

Angga mengucek-ngucek matanya, disertai senyuman tipis. "Iya, Dek. Udah kamu tidur duluan. Mas mau bersih-bersih dulu. Oh, iya. Entar Mas tidur di kamar lain saja. Supaya kamu bisa tidur nyenyak, tanpa terganggu sama Mas."

"Kenapa tidur di kamar lain, Mas? Kenapa tidak di sini saja, bukannya kita sudah sah menjadi suami istri?" Anita sedikit meninggikan suaranya. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Angga Wijaya.

"Iya, Mas tahu, tapi Mas, merasa sebaiknya kita tidur terpisah saja."

"Kenapa, Mas? Apa Mas tidak mau menghabiskan sisa malam ini bersama denganku?"

Lagi-lagi, Angga Wijaya menanggapinya dengan senyuman. "Bukannya Mas tidak mau menghabiskan malam bersama kamu, Dek. Akan tetapi, Mas tidak ingin merusak dirimu."

"Merusak bagaimana, Mas? Jelaskan padaku, maksud perkataan Mas, barusan."

Kali ini senyuman itu, telah memudar, bersamaan dengan halaan napas panjang. Dia beranjak bangun dari sofa, dipandanginya wajah cantik itu, penuh kekaguman.

"Bila waktunya tiba, kau akan memahami maksud dari perkataanku tadi. Sedangkan, untuk saat ini. Mas tidak akan mengatakan apa-apa kepadamu. Mas tidak ingin membuatmu terlalu kepikiran," ungkapnya, yang kini telah bisa tersenyum kembali.

Entah Anita harus mengatakan apa? Dia sungguh bingung dengan perkataan suaminya.

"Baiklah. Jika, memang itu yang Mas inginkan. Aku akan menuruti semua kata-kata, Mas Angga."

Mau tidak mau, Anita harus menerima kenyataan bahwa, ia tidak bisa tidur satu ranjang dengan suaminya.

Mendengar jawaban itu, Angga Wijaya menyentuh kedua pipi Anita. Ia sedikit menariknya, kemudian mengecup kening sang istri penuh kelembutan.

"Terima kasih, Dek. Kamu telah hadir dalam kehidupan, Mas."

Selanjutnya, Angga menarik tubuh Anita, membawanya masuk dalam pelukan hangat.

Anita tidak mampu berucap apa-apa. Cukup memejamkan matanya, merasakan desiran hebat di dalam raganya.

***

Hari berikutnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.35 WIB.

Gema perlahan-lahan membuka matanya. Ia melihat sekitarnya yang sudah terang akibat pantulan cahaya matahari yang menembus jendela.

Gema mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada dipan. Ia memegang kepalanya yang terasa sakit.

"Astaga. Apa yang kulakukan semalam?" Dia mencoba mengingat-ingat kembali, kejadian yang terjadi kemarin malam.

Terlintas lagi bayangan saat ia mabuk. Ada Juna yang membantunya dan ...

Gema memejamkan matanya berat, membuang pandangannya malas. Ya, malas ketika harus mengingat bayangan ayah serta Anita.

Hal sial apa yang telah ia lakukan, sampai-sampai harus dikhianati oleh orang-orang yang disayanginya?

Setelah sadar sepenuhnya, dia menyingkirkan selimut itu, kemudian turun dari ranjang. Sebelum melangkah, ia menyambar ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

Dicarinya nama Juna, diantara banyaknya kontak yang tersimpan.

[Bro, lu di mana? Jemput gue sekarang!]

Sebelum Juna bisa menjawab, Gema sudah mengakhiri sambungan telponnya. Membuang ponsel itu ke atas ranjang dengan kasar. Seolah tidak lagi memerlukan benda itu.

Selanjutnya dia pergi ke kamar mandi, untuk segera bersiap-siap.

***

Satu jam kemudian. Gema keluar dari kamar. Penampilannya sangat rapi. Rambut yang ditata mempesona. Jam tangan hitam melingkar di lengan kirinya, serta kacamata hitam menambah pesonanya.

"Mau pergi kemana kamu?" tanya Angga Wijaya serius.

Gema menghentikan langkahnya, kemudi membuka kacamata hitam itu. Ditatapnya kedua mata pria yang sangat dibencinya sekarang.

"Kemana aku ingin pergi? Apa harus, aku meminta izin kepada Anda, Tuan Angga Wijaya?" jawabnya penuh penekanan.

Sepasang anak dan ayah itu, saling bertukar tatapan tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status