Sepertinya tidak semua orang datang ke majelis untuk mencari ilmu agama, kebanyakan dari mereka malah sibuk membicarakan orang lain, jadi apa perlunya mengaji, toh hanya melahirkan orang-orang so' suci. "Mesya! Kok kamu di sini?" tanya Kang Andi, ia datang bersama laki-laki tadi. "Loh, kamu kenal dia Ndi? Dia mirip banget kan sama Evita, Jangan bilang kalau dia perempuan ketiga yang kamu nikahi," ucap Teman Kang Andi. "Ngaco! Ini Mesya saudara Dita.""Mesya, kenalin ini teman Akang. Dia Romi.""Kok kamu bisa mirip banget sama Evita, aku seperti melihat bayangannya, cuma bedanya si Evita jutek." Aku hanya tersenyum sedang Kang Andi melotot kearah temannya. "Kamu kenapa di sini Sya? Tidak di dalam?""Aku bosan Kang, makanya keluar.""Kamu lapar tidak?ikut kami yuk, makan di warung?" Ajak teman Kang Andi. "Rom! Gue nunggu istri gue dulu." "Siapa yang ngajak elu, orang gue ngajak Mesya.""Sial!""Becanda, Bro. Ya sudah kita tunggu Dita dulu."Tak lama ada beberapa orang yang mengham
Pov. Andi. Begitu rumit memahami wanita di mana mereka selalu merasa benar. Hari ini aku kecewa ketika istri dan adik iparku membuat keributan di rumah mantan istriku Evita, hal yang aku takutkan adalah kehilangan kembali akses untuk bertemu dengan anakku karena aku tahu bagaimana sifat Evita ketika kecewa, dan benar saja sehari setelah kejadian itu, Evita memblokir nomorku esoknya saat aku ke rumahnya ternyata dia sudah pulang ke Banten. Rasa kecewa dalam hatiku membuatku malas menggauli istriku, hubungan kami terasa semakin dingin, tetapi aku masih berusaha untuk bertanggung jawab karena tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, aku tidak mau gagal lagi dalam berumah tangga. Meski dalam hatiku selalu di cekam kerinduan terhadap Aa juga Evita. Masalah baru datang ketika Dita mengajak sepupunya, Mesya. Tinggal di rumah. Anak perempuan yang kupikir masih ingusan nyatanya malah berusaha menggoda imanku. Aku tak habis pikir mengapa Dita istriku sendiri begitu percaya kepada saudarany
"Aku masih belum mampu memahami ini semua, Kang. Jujur aku masih tak percaya sepenuhnya dengan apa yang Akang sampaikan," ucap Dita setelah beberapa saat kami hening, sontak saja hal itu membuatku terkejut. "Baiklah terserah, tapi sementara Mesya tinggal di sini, Akang lebih baik tinggal dahulu di rumah kebun bersama Romi.""Aku harap ini bukan alasan Akang untuk menghindariku, karena aku merasa Akang berubah setelah Teh Evita pergi lagi.""Masalah ini tentang Mesya, tidak ada hubungannya dengan Evita!""Apa karena Mesya mirip Teh Evita, sehingga Akang tidak suka.""Alasanku jelas, tapi kamu malah berputar-putar, Evita lagi Evita lagi, sudahlah aku malas. Aku pikir kamu wanita yang berpikiran smart ternyata….""Ternyata apa? Ternyata aku kampungan begitu?"Malas berdebat aku pun meninggalkan Dita, aku heran mengapa dia tidak paham bahkan tidak mempercayaiku. Aku pun pergi ke rumah kebun, rumah yang sebelum menikah aku tempati dengan Romi. Untungnya Romi selalu menyambutku dengan baik
"Jadi begini, Bah, Mak, mohon maaf sebelumnya, Andi tidak keberatan siapapun saudara Abah dan Emak jika mau tinggal di rumah kami, karena Andi cukup tahu diri, itu bukan rumah yang Andi bangun, melainkan hadiah dari Emak juga Abah, masalahnya Mesya itu bukan mahram Andi dan dia sudah dewasa sedangkan pakaian yang dia gunakan selalu terbuka, terus terang itu membuat Andi tidak nyaman."Aku menatap wajah Emak dan Abah, kulihat Abah nampak manggut-manggut sebagai seorang laki-laki pasti beliau paham apa maksudku."Benar juga, kami lalai dalam hal ini, mohon maafkan kami." ujar Abah merasa bersalah. "Iya, makanya Andi kemari untuk minta pendapat Abah bagaimana baiknya, supaya tidak menyinggung Mesya." Kulihat Abah nampak mengkerutkan keningnya, mungkin ia sedang berpikir. "Tapi bagaimana kelakuan Mesya selama tinggal di rumah kalian?" tanya Emak kali ini. "Mesya, baik mak. Dia anak penurut Andi tidak ada masalah dengan Mesya, cuma tolong di ukur dari segi agama bagaimana agar Andi set
"Aku bisa jelaskan, tolong kamu percaya aku, Um…."Dita menatapku lalu beralih menatap Mesya, dia tidak mengucapkan satu kalimat pun, tetapi malah memilih masuk ke kamar, aku pun menyusulnya ke kamar. Baru juga aku mau bicara…."Sudah tidak perlu menjelaskan apa-apa," ujarnya sambil menarik nafas panjang, aku menatapnya heran, masih belum bisa mencerna apa maksudnya. "Abah tadi sudah menghubungiku, tadi Akang pergi ke sana, kan? Aku percaya pada Akang. Tapi aku justru takut Mesya akan bicara yang tidak-tidak pada orangtuanya, seperti tadi dia mengadu padaku."Aku mendekati Dita, lalu menyentuh kedua tangannya. "Syukurlah kalau kamu percaya padaku.""Maaf kan aku, Kang. Semua salahku.""Tidak, bukan salahmu, tapi ini ujian untuk rumah tangga kita."Dita pun mendaratkan tubuhnya ke pelukanku. Sesaat kami hanyut dalam pelukan hangat, tiba-tiba saja terdengar suara Mesya yang sedang menangis sesegukan di kamarnya. Aku dan Dita saling berpandangan. "Kang, baiknya kita pura-pura saja.""
Suara deru mesin mobil terdengar di luar, aku yakin itu mobil milik Abahnya Dita, syukurlah mereka cepat datang kemari, meski pun aku agak khawatir kalau Mesya mengadukan kejadian tadi dan menfitnahku di depan Abah."Kang itu sepertinya Abah sudah sampai," ujar Dita, dan aku hanya mengangguk. Aku dan Dita bergegas keluar untuk menyambut Abah. "Abah, Emak, apa kabar? Dita kangen.""Emak juga kangen, di mana Kinara?""Kinara sedang tidur, Mak." Tiba-tiba terdengar suara tangisan, bukan Kinara yang menangis melainkan Mesya. Sudah kuduga pasti dia akan melancarkan aksinya, bagaimana ini Tuhan. "Itu siapa yang nangis, Teh, apa itu Mesya, dia kenapa?" tanya Emak Dita, sedangkan aku dan Dita saling berpandangan. "Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan? Abah tahu kalian pasti sedang ada masalah.""Sebaiknya, Abah dan Emak masuk dulu ke dalam, nanti Dita ceritakan."Setelah masuk dan duduk, kami hendak menjelaskan apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Mesya keluar dan benar saja dia kembali m
"Hmmm, itu-A-ku, kenapa Teh Dita jadi begini! kenapa kalian tidak ada yang bersimpati padaku! apakah Kang Andi bagi kalian orang yang sempurna?""Tolong tenang, duduklah, jangan mengalihkan pembicaraan, kita keluarga. Abah sudah tua, tidak mau melihat anak ribut-ribut.""Sudahlah, aku tidak mau ikut dengan siapapun, aku akan menunggu Mamah dan Papah datang!" Mesya pun berlalu ke kamar. "Ya Tuhan … Bagaimana kujelaskan ini semua kepada Aryo." ujar Abah nampak pusing, sungguh aku pun merasa sangat bersalah, di sini aku bukan mau membela diri, tapi kenyataannya anak itu yang berbuat ulah. "Seharusnya dari awal Nak Andi ceritakan kepada kami sejujurnya tanpa ada yang di tutup-tutupi, terus terang Emak sendiri ragu," ucapan Emak Dita benar-benar membuat jantungku terasa dicubit. Aku memilih diam dan pasrah saja, apa pun hukuman atau konsekuensi yang harus aku terima aku siap, meski itu bukan karena kesalahanku. Aku merasa tak enak hati pada keluarga Dita. Suasana pun hening, kami kalut d
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,
"Teh Evita!""Iya, ini aku Dit? Apa kabar?" ucapku sambil mengulurkan tangan. "Kabar baik," Ia pun menatap Amir juga Bapak. "Oh, iya. Dit. Kenalkan ini suamiku, Amir dan ini Bapakku."Dita pun menangkupkan kedua tangannya, lalu mempersilahkan kami masuk. "Mari masuk, Teh. Pak … eh Aa apa kabar?""Kabar baik, Umi Dita, Aa kemari karena kangen sama Kinara, Aa yang paksa Bunda untuk datang kemari, di mana Kinara, Umi?""Kinara ada di dalam, mari masuk….""Ada siapa, Um?" tanya Kang Andi dari dalam. Bukan menjawab Dita malah agak salah tingkah, sepertinya dia memang terkejut dengan kehadiranku."Ayo mari masuk," Lagi-lagi Dita menawari kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru juga kakiku melangkah tiba-tiba saja Kang Andi muncul dari balik pintu. Seketika mata kami beradu, Kang Andi terlihat lebih kaget melihatku, entah mengapa ada perasaan aneh yang kembali menjalar di hatiku. "Kang, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. "Ba-baik," Jawabnya, melihat Bapak ia pun segera mencium tangan Ba
"Ya ampun, kamu mau apalagi, Mir? Apa kamu belum puas?"Amir tak menjawab pertanyaanku, tapi lagi-lagi dia mengulang ritual tadi, tapi kali ini di kamar mandi. Setelah ia kehabisan tenaga, aku pun segera membersihkan diri, kutinggalkan saja dia di kamar mandi, kalau tidak, kapan akan selesai. Saat aku hendak memakai baju, tiba-tiba ponsel Amir terus saja berdering, kulihat sebuah nama di layar ponselnya. 'Si Bawel'Siapa yang dia tulis Si Bawel, penasaran kuangkat dan kujawab saja. Belum juga aku berucap, dari sebrang terdengar suara perempuan. "Halloo, Mir. gimana jadi ngga? Jangan bilang batal cuma gara-gara istri kamu, ya. Kamu pernah bilang kamu bakal selalu utamain aku. Awas kalau kamu ingkar janji, hallo, halooo, Mir, kok kamu diam saja!""Ma-af, Amirnya sedang mandi.""Isshhh!" Seketika perempuan tadi mematikan ponselnya seperti marah. Kusimpan kembali ponsel Amir dan tak mau terlalu memikirkannya.Setelah Amir selesai mandi. "Sayang tadi ada yang telpon kamu, aku bilang
"Apa maksud kamu, Amir?""Maaf, maaf kan, aku sayang, aku hanya sedang pusing." Ia mencoba meraih kedua tanganku dan kembali mencumbuiku. Namun, aku merasa hambar setelah mendengar ucapannya tadi. Segera kulepaskan kedua tangannya, lalu beranjak ke kasur untuk tidur. Laki-laki seperti apa yang aku nikahi, mengapa masih pengantin baru saja, sudah berucap yang membuatku sakit hati. Esoknya … pagi-pagi aku meminta izin kepada Amir, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bapak saja, sebenarnya untuk membeli rumah pun, aku mampu. Aku hanya ingin tahu saja, sejauh mana tanggung jawab Amir. "Mir, kita sudah pernah bicara, kan. Kalau aku tidak betah tinggal di sini, kita tinggal di rumah Bapak saja, kasian beliau cuma sendirian, seandainya Bapak menikah barulah nanti kita cari rumah baru.""Terserah kamu, saja, Vi. Tapi orangtuaku bilang, mereka akan membangun rumah untuk kita, di lahan sebelah sana." Amir menunjuk sebuah lahan kosong samping rumah orangtuanya."Ya, itu sich terserah, kan.
"Vi, maaf ya, buat kami tidak nyaman." ujar Mamah. "Tidak apa-apa, Mah.""Sebentar ya, Vi. Mamah mau nemuin yang punya hajat dulu, setelahnya kita pulang, eh ngga pulang juga, sich. Ya kita belanja dulu lah, ke Mall, atau perawatan dulu gitu ke salon." "Yasudah, Evita tunggu di sini, ya. Mah."Mamah pun berlalu pergi, Lagi-lagi aku terjebak di sekumpulan ibu-ibu. "Siapa itu? Cantik ya?" ujar seorang ibu yang menggunakan kebaya marun. "Itu, menantunya Bu Camat." Jawab ibu-ibu yang berada di sampingnya. "Oh, yang katanya janda itu?""Husss, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya denger."Tak tahan aku pun menegur mereka, kali ini aku tidak boleh diam seenak hati mereka membicarakanku. "Kenapa, Bu? Ibu mekbucarakan saya? Iya saya memang menantunya Bu Camat dan saya memang janda, memangnya ada masalah apa ya?""Maaf, Neng … maaf, jangan diambil hati.""Saya tidak mengambil hati, saya cuma bertanya pada ibu-ibu semua, emang ada masalah apa dengan status saya? Toh pasangan saya saja me
Aku bersiap hendak berangkat arisan dengan Mamah Amir. "Yang, kamu sudah rapi?""Iya, aku titip Aa, ya," ucapku kepada Amir. Lalu aku pun pamit kepada Aa yang sedang main game di dalam kamar. "Aa, Bunda berangkat dulu ya, sama Enin. Baik-baik ya, sayang.""Iya, Bunda. Aa sudah janjian sama Papah mau ke rumah kakek, tapi Aa mau ajak Bibi ya, Bun.""Iya, sayang. Ajak saja," Ku kecup kening Aa lalu memeluknya. Aku pun segera turun ke bawah menemui Mamah. "Vi, kamu sudah siap? MasyaAllah menantu Mamah cantik banget, gadis-gadis juga kalah sama kamu, Vi.""Ah, Mamah. Bisa saja."Saat hendak berjalan keluar tiba-tiba saja Papah Amir memanggil. "Eh, kalian sudah mau pergi, apa tidak butuh supir?""Ngga perlu, lah, Pah. Biar Evita saja yang nyetir, iya, kan. Mah? " Mamah terserah kamu saja, Vi. Tapi lagi pula tidak begitu jauh, kok dari sini.""Memang Arisan di mana Mah?" tanya Papah Amir. "Itu, arisan di rumah Bu Broto.""Bu Broto yang rumahnya di Blok F?""Iya.""Oh, kirain Papah di
Pov Evita. Tak lama Amir mendorong perempuan tadi. "Kang Amir! Kok aku didorong."Amir seperti memberi kode pada perempuan itu, akan kehadiranku. Tapi perempuan itu tetap tidak mengerti kode dari Amir, dia terus saja nyerocos, berbicara tanpa jeda. "Kang, kenapa kamu ganti nomor? Aku mau menghubungi kamu benar-benar susah, kamu bilang mau balik lagi ke Jakarta, tahunya kamu malah betah tinggal di kampung! Aku kesepian, Kang."Kulihat tukang bubur pun nampak melirik kearahku, kubiarkan saja, adegan itu berlangsung, ingin tahu saja apa yang bisa Amir jelaskan padaku, entah mengapa tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Amir pun menghampiriku tanpa perduli pada perempuan yang masih nyerocos itu. "Vi, kenalin ini temanku Alesha, dia teman kerjaku di jakarta dulu."Aku melirik santai saja, kulihat Amir nampak gelagapan sendiri, mungkin tak enak hati dengan kejadian tadi. "Alesha! Kenalkan ini istriku, Evita," ujar Amir kepada perempuan itu, kulihat perempuan yang Amir panggil Alesha it
Wanita mana yang mau gagal dalam berumah tangga, karena statusku yang kini menikah sudah tiga kali tak ayal selalu menjadi gosip hangat para ibu-ibu. "Eh si Amir itu nikah sama anak Pak Kades yang janda itu ya?""Iya, kabarnya udah janda dua kali, mana punya anak lagi.""Ih, sayang amat ya, masa anak bujang nikah sama janda beranak.""Tapi meski janda si Evita cantik loh, dan katanya kaya juga karena dapet warisan atau apalah gitu, dari lakinya.""Ah bukannya lakinya miskin?""Iya, laki pertamanya miskin, kan suami keduanya kaya, orang luar negri kabarnya."Begitulah percakapan ibu-ibu yang kudengar ketika aku melintas dekat rumah Mamah Amir. Karena merasa tak nyaman aku pun tak mau lagi tinggal di rumah Mamah Amir, bukan karena keluarganya tetapi lebih karena lingkungannya. "Yang, kita tinggal di rumah Bapakku saja, ya, karena kasian Bapak kesepian.""Aku sich terserah kamu saja, di mana nyamannya. Sebenarnya aku juga sudah siapin rumah buat kita.""Rumah?""Iya.""Tapi aku juga pu
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,