Suara deru mesin mobil terdengar di luar, aku yakin itu mobil milik Abahnya Dita, syukurlah mereka cepat datang kemari, meski pun aku agak khawatir kalau Mesya mengadukan kejadian tadi dan menfitnahku di depan Abah."Kang itu sepertinya Abah sudah sampai," ujar Dita, dan aku hanya mengangguk. Aku dan Dita bergegas keluar untuk menyambut Abah. "Abah, Emak, apa kabar? Dita kangen.""Emak juga kangen, di mana Kinara?""Kinara sedang tidur, Mak." Tiba-tiba terdengar suara tangisan, bukan Kinara yang menangis melainkan Mesya. Sudah kuduga pasti dia akan melancarkan aksinya, bagaimana ini Tuhan. "Itu siapa yang nangis, Teh, apa itu Mesya, dia kenapa?" tanya Emak Dita, sedangkan aku dan Dita saling berpandangan. "Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan? Abah tahu kalian pasti sedang ada masalah.""Sebaiknya, Abah dan Emak masuk dulu ke dalam, nanti Dita ceritakan."Setelah masuk dan duduk, kami hendak menjelaskan apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Mesya keluar dan benar saja dia kembali m
"Hmmm, itu-A-ku, kenapa Teh Dita jadi begini! kenapa kalian tidak ada yang bersimpati padaku! apakah Kang Andi bagi kalian orang yang sempurna?""Tolong tenang, duduklah, jangan mengalihkan pembicaraan, kita keluarga. Abah sudah tua, tidak mau melihat anak ribut-ribut.""Sudahlah, aku tidak mau ikut dengan siapapun, aku akan menunggu Mamah dan Papah datang!" Mesya pun berlalu ke kamar. "Ya Tuhan … Bagaimana kujelaskan ini semua kepada Aryo." ujar Abah nampak pusing, sungguh aku pun merasa sangat bersalah, di sini aku bukan mau membela diri, tapi kenyataannya anak itu yang berbuat ulah. "Seharusnya dari awal Nak Andi ceritakan kepada kami sejujurnya tanpa ada yang di tutup-tutupi, terus terang Emak sendiri ragu," ucapan Emak Dita benar-benar membuat jantungku terasa dicubit. Aku memilih diam dan pasrah saja, apa pun hukuman atau konsekuensi yang harus aku terima aku siap, meski itu bukan karena kesalahanku. Aku merasa tak enak hati pada keluarga Dita. Suasana pun hening, kami kalut d
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya
Wanita mana yang mau gagal dalam berumah tangga, karena statusku yang kini menikah sudah tiga kali tak ayal selalu menjadi gosip hangat para ibu-ibu. "Eh si Amir itu nikah sama anak Pak Kades yang janda itu ya?""Iya, kabarnya udah janda dua kali, mana punya anak lagi.""Ih, sayang amat ya, masa anak bujang nikah sama janda beranak.""Tapi meski janda si Evita cantik loh, dan katanya kaya juga karena dapet warisan atau apalah gitu, dari lakinya.""Ah bukannya lakinya miskin?""Iya, laki pertamanya miskin, kan suami keduanya kaya, orang luar negri kabarnya."Begitulah percakapan ibu-ibu yang kudengar ketika aku melintas dekat rumah Mamah Amir. Karena merasa tak nyaman aku pun tak mau lagi tinggal di rumah Mamah Amir, bukan karena keluarganya tetapi lebih karena lingkungannya. "Yang, kita tinggal di rumah Bapakku saja, ya, karena kasian Bapak kesepian.""Aku sich terserah kamu saja, di mana nyamannya. Sebenarnya aku juga sudah siapin rumah buat kita.""Rumah?""Iya.""Tapi aku juga pu
Pov Evita. Tak lama Amir mendorong perempuan tadi. "Kang Amir! Kok aku didorong."Amir seperti memberi kode pada perempuan itu, akan kehadiranku. Tapi perempuan itu tetap tidak mengerti kode dari Amir, dia terus saja nyerocos, berbicara tanpa jeda. "Kang, kenapa kamu ganti nomor? Aku mau menghubungi kamu benar-benar susah, kamu bilang mau balik lagi ke Jakarta, tahunya kamu malah betah tinggal di kampung! Aku kesepian, Kang."Kulihat tukang bubur pun nampak melirik kearahku, kubiarkan saja, adegan itu berlangsung, ingin tahu saja apa yang bisa Amir jelaskan padaku, entah mengapa tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Amir pun menghampiriku tanpa perduli pada perempuan yang masih nyerocos itu. "Vi, kenalin ini temanku Alesha, dia teman kerjaku di jakarta dulu."Aku melirik santai saja, kulihat Amir nampak gelagapan sendiri, mungkin tak enak hati dengan kejadian tadi. "Alesha! Kenalkan ini istriku, Evita," ujar Amir kepada perempuan itu, kulihat perempuan yang Amir panggil Alesha it
Aku bersiap hendak berangkat arisan dengan Mamah Amir. "Yang, kamu sudah rapi?""Iya, aku titip Aa, ya," ucapku kepada Amir. Lalu aku pun pamit kepada Aa yang sedang main game di dalam kamar. "Aa, Bunda berangkat dulu ya, sama Enin. Baik-baik ya, sayang.""Iya, Bunda. Aa sudah janjian sama Papah mau ke rumah kakek, tapi Aa mau ajak Bibi ya, Bun.""Iya, sayang. Ajak saja," Ku kecup kening Aa lalu memeluknya. Aku pun segera turun ke bawah menemui Mamah. "Vi, kamu sudah siap? MasyaAllah menantu Mamah cantik banget, gadis-gadis juga kalah sama kamu, Vi.""Ah, Mamah. Bisa saja."Saat hendak berjalan keluar tiba-tiba saja Papah Amir memanggil. "Eh, kalian sudah mau pergi, apa tidak butuh supir?""Ngga perlu, lah, Pah. Biar Evita saja yang nyetir, iya, kan. Mah? " Mamah terserah kamu saja, Vi. Tapi lagi pula tidak begitu jauh, kok dari sini.""Memang Arisan di mana Mah?" tanya Papah Amir. "Itu, arisan di rumah Bu Broto.""Bu Broto yang rumahnya di Blok F?""Iya.""Oh, kirain Papah di
"Vi, maaf ya, buat kami tidak nyaman." ujar Mamah. "Tidak apa-apa, Mah.""Sebentar ya, Vi. Mamah mau nemuin yang punya hajat dulu, setelahnya kita pulang, eh ngga pulang juga, sich. Ya kita belanja dulu lah, ke Mall, atau perawatan dulu gitu ke salon." "Yasudah, Evita tunggu di sini, ya. Mah."Mamah pun berlalu pergi, Lagi-lagi aku terjebak di sekumpulan ibu-ibu. "Siapa itu? Cantik ya?" ujar seorang ibu yang menggunakan kebaya marun. "Itu, menantunya Bu Camat." Jawab ibu-ibu yang berada di sampingnya. "Oh, yang katanya janda itu?""Husss, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya denger."Tak tahan aku pun menegur mereka, kali ini aku tidak boleh diam seenak hati mereka membicarakanku. "Kenapa, Bu? Ibu mekbucarakan saya? Iya saya memang menantunya Bu Camat dan saya memang janda, memangnya ada masalah apa ya?""Maaf, Neng … maaf, jangan diambil hati.""Saya tidak mengambil hati, saya cuma bertanya pada ibu-ibu semua, emang ada masalah apa dengan status saya? Toh pasangan saya saja me