"Apa maksud kamu, Amir?""Maaf, maaf kan, aku sayang, aku hanya sedang pusing." Ia mencoba meraih kedua tanganku dan kembali mencumbuiku. Namun, aku merasa hambar setelah mendengar ucapannya tadi. Segera kulepaskan kedua tangannya, lalu beranjak ke kasur untuk tidur. Laki-laki seperti apa yang aku nikahi, mengapa masih pengantin baru saja, sudah berucap yang membuatku sakit hati. Esoknya … pagi-pagi aku meminta izin kepada Amir, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bapak saja, sebenarnya untuk membeli rumah pun, aku mampu. Aku hanya ingin tahu saja, sejauh mana tanggung jawab Amir. "Mir, kita sudah pernah bicara, kan. Kalau aku tidak betah tinggal di sini, kita tinggal di rumah Bapak saja, kasian beliau cuma sendirian, seandainya Bapak menikah barulah nanti kita cari rumah baru.""Terserah kamu, saja, Vi. Tapi orangtuaku bilang, mereka akan membangun rumah untuk kita, di lahan sebelah sana." Amir menunjuk sebuah lahan kosong samping rumah orangtuanya."Ya, itu sich terserah, kan.
"Ya ampun, kamu mau apalagi, Mir? Apa kamu belum puas?"Amir tak menjawab pertanyaanku, tapi lagi-lagi dia mengulang ritual tadi, tapi kali ini di kamar mandi. Setelah ia kehabisan tenaga, aku pun segera membersihkan diri, kutinggalkan saja dia di kamar mandi, kalau tidak, kapan akan selesai. Saat aku hendak memakai baju, tiba-tiba ponsel Amir terus saja berdering, kulihat sebuah nama di layar ponselnya. 'Si Bawel'Siapa yang dia tulis Si Bawel, penasaran kuangkat dan kujawab saja. Belum juga aku berucap, dari sebrang terdengar suara perempuan. "Halloo, Mir. gimana jadi ngga? Jangan bilang batal cuma gara-gara istri kamu, ya. Kamu pernah bilang kamu bakal selalu utamain aku. Awas kalau kamu ingkar janji, hallo, halooo, Mir, kok kamu diam saja!""Ma-af, Amirnya sedang mandi.""Isshhh!" Seketika perempuan tadi mematikan ponselnya seperti marah. Kusimpan kembali ponsel Amir dan tak mau terlalu memikirkannya.Setelah Amir selesai mandi. "Sayang tadi ada yang telpon kamu, aku bilang
"Teh Evita!""Iya, ini aku Dit? Apa kabar?" ucapku sambil mengulurkan tangan. "Kabar baik," Ia pun menatap Amir juga Bapak. "Oh, iya. Dit. Kenalkan ini suamiku, Amir dan ini Bapakku."Dita pun menangkupkan kedua tangannya, lalu mempersilahkan kami masuk. "Mari masuk, Teh. Pak … eh Aa apa kabar?""Kabar baik, Umi Dita, Aa kemari karena kangen sama Kinara, Aa yang paksa Bunda untuk datang kemari, di mana Kinara, Umi?""Kinara ada di dalam, mari masuk….""Ada siapa, Um?" tanya Kang Andi dari dalam. Bukan menjawab Dita malah agak salah tingkah, sepertinya dia memang terkejut dengan kehadiranku."Ayo mari masuk," Lagi-lagi Dita menawari kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru juga kakiku melangkah tiba-tiba saja Kang Andi muncul dari balik pintu. Seketika mata kami beradu, Kang Andi terlihat lebih kaget melihatku, entah mengapa ada perasaan aneh yang kembali menjalar di hatiku. "Kang, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. "Ba-baik," Jawabnya, melihat Bapak ia pun segera mencium tangan Ba
"Kang, mau ke mana kamu?""Cerewet! Apa setiap mau pergi, harus kuberitahu mau ke mana.""Bukan begitu, Kang. Tapi ini sudah malam!""Justru karena sudah malam, sebaiknya kamu tidur, jangan banyak omong!" bentak kang Andi sambil berlalu pergi membawa jaket juga kunci motornya. Dua belas tahun berumah tangga, banyak ujian diawal pernikahan, karena terhalang restu orang tua. Kenalkan namaku, Evita. Usiaku 19 tahun, aku memilih laki-laki biasa dari kota Bogor, Kang Andi. "Vi, sepertinya mamahmu kurang suka terhadapku, maafkan Akang ya, belum bisa membuatmu bahagia," ucap kang Andi. "Jangan bicara seperti itu, Kang. Sudah cukup cinta yang akang berikan untukku dan aku cukup bahagia dengan itu.""Tidak, Vi. Semua itu tidak cukup, Akang harus sukses, agar tidak direndahkan oleh keluargamu.""Apa yang akan Akang lakukan? Evita janji akan mendukung Akang, agar Akang menjadi orang sukses.""Terimakasih, sayang, Akang mau usaha Vi," ungkap Kang Andi. Sejak hari itu, dengan modal dari Bapakk
"Vi, bagaimana suami kamu, masa istri dan anaknya di sini tidak ditengokin ataupun dijemput?" tanya Mamah. "Mah, sebenarnya … Evita sudah dicerai, Mah. Sama kang Andi, melalui telpon," ucapku sambil terisak. Namun tak kusangka tanggapan Mamah datar-datar saja. "Oh begitu, yasudahlah, kamu masih muda masih banyak yang mau sama kamu, tidak perlu kamu pikirkan, laki-laki model begitu," ucap Mamah dengan entengnya. Aku hampir tak percaya kalau Mamah mengucap kalimat itu. Bulan berlalu ... Hati terasa hampa, ada rindu yang menggebu dalam hati ini. Aku harus bangkit dan memperbaiki semua ini, terlebih tentang usahaku dimasa pandemi seperti ini harus kuakali dengan berjualan scara online. Dua bulan kang Andi mengacuhkanku, seolah membuangku begitu saja, dia tidak sadar kalau apa yang dimiliki saat ini semua bermula dari modal bapakku. "Vi, apa yang terjadi, katakan pada Bapak, apa benar yang Mamah katakan, kalau kamu dicerai?" tanya Bapak. Aku diam sejenak, berusaha menata hatiku juga
"Mamah! Hentikan, Mah. Apa Mamah senang kalau semua orang tahu apa yang terjadi pada Evi, saat ini?" tanyaku sambil terisak. "Halah, tidak usah lebay kamu, Vi." Jawab Mamah enteng lalu berlalu pergi mengajak Bi Esih berbincang, terlihat Bi Esih yang tidak enak hati, ia pun menatapku dengan tatapan iba. ______Dingin malam mengusik jiwaku, kembali teringat laki-laki yang dulu menikahiku kini hanya menjadi sang mantan meski belum resmi bercerai secara hukum. Makin lama rasanya aku semakin membencinya pintu maaf yang kubuka lebar-lebar perlahan kian menutup, mungkin saja akan kugembok. Sakit karena disia-siakan dengan segala ketidakpastian membuatku jatuh pada suatu kehampaan. Masih pantaskah dia kutunggu? "Sampai kapan kamu seperti ini, Vi. Apa tidak sebaiknya kamu urus saja perceraianmu, daripada statusmu ngegantung," saran Mamah. "Iya, Mah. Mungkin Mamah benar, Evita harus segera urus perceraian, ta-pi, bagaimana dengan usaha Evita di Bogor, Mah?" "Bagaimana apanya? Kamu ini mema
Rumah tangga hancur karena komunitas grup PART 4Anak Pak CamatSore ini kuajak Aa jalan-jalan di Taman Kota, aneka balon berwarna-warni menarik perhatiannya. "Nda ... Aa mau ntu," ucapnya sambil menunjuk salah satu balon berwarna biru berbentuk doraemon. "Aa mau yang ini?" "Iya ... Yang ntu Nda.""Yaudah sebentar yah sayang."Akupun mengambil balon yang Aa minta. "Yang ini berapa Mang?" tanyaku ke tukang balon"Semua harga sama Teh sepuluh ribuan," jawabnya. "Oke, satu Mang yang Doraemon."Aa pun nampak senang, dia menggenggam erat balon itu, hanya dengan melihatnya seperti ini rasanya segala kesakitan untuk sementara terlupakan. Karena hari menjelang petang, akupun segera pulang, saat aku sedang memarkirkan motor di halaman depan rumah, Aa yang sudah kuturunkan langsung masuk ke dalam, dengan ceria dia bawa balon itu sambil berlari. Namun saat aku kedalam, aku terpaku karena bingung, kulihat Aa mendekati seorang pria yang sedang ngobrol dengan Bapak. Dia pun memanggilnya den
Sudah tiga bulan berlalu setelah kata talak itu, rasanya sudah habis kesabaranku. "Bagaimana, Vi. Apa kamu sudah mengambil keputusan?" Tanya Bapak. "Iya, Pak. Sepertinya Evita sudah yakin untuk mengurus surat perceraian.""Yasudah, kalau itu keputusanmu, Bapak akan kenalkan kamu dengan seorang pengacara, biar dia saja yang urus semuanya.""Terimakasih, Pak." Bapak berlalu pergi dengan tatapan yang entahlah. Aku tahu Bapak pasti kecewa, tidak ada orang tua yang ingin rumah tangga anaknya gagal, pun, demikian dengan Bapak. Tak menunggu lama, esoknya aku berangkat ke Bogor, aku mengganti semua kunci kios, sehingga Kang Andi tidak bisa lagi datang apalagi mengelolanya, kualihkan semuanya kepada orang kepercayaanku. ______"Vi, di depan ada Amir," ucap Mamah"Iya, Mah. Sebentar."Akhir-akhir ini Amir memang gencar mendekatiku, tetapi hatiku masih saja mengharapkan Kang Andi, aku masih berharap Kang Andi datang dan meminta rujuk, nyatanya setelah kunci kios kuganti ia malah semakin mer