Sudah tiga bulan berlalu setelah kata talak itu, rasanya sudah habis kesabaranku.
"Bagaimana, Vi. Apa kamu sudah mengambil keputusan?" Tanya Bapak.
"Iya, Pak. Sepertinya Evita sudah yakin untuk mengurus surat perceraian."
"Yasudah, kalau itu keputusanmu, Bapak akan kenalkan kamu dengan seorang pengacara, biar dia saja yang urus semuanya."
"Terimakasih, Pak." Bapak berlalu pergi dengan tatapan yang entahlah.
Aku tahu Bapak pasti kecewa, tidak ada orang tua yang ingin rumah tangga anaknya gagal, pun, demikian dengan Bapak.
Tak menunggu lama, esoknya aku berangkat ke Bogor, aku mengganti semua kunci kios, sehingga Kang Andi tidak bisa lagi datang apalagi mengelolanya, kualihkan semuanya kepada orang kepercayaanku.
______
"Vi, di depan ada Amir," ucap Mamah
"Iya, Mah. Sebentar."
Akhir-akhir ini Amir memang gencar mendekatiku, tetapi hatiku masih saja mengharapkan Kang Andi, aku masih berharap Kang Andi datang dan meminta rujuk, nyatanya setelah kunci kios kuganti ia malah semakin meradang dan menjelek-jelekkanku di sosmed. Dasar laki-laki pengecut.
Akan kutemui Amir, setelah kurias wajahku, kutatap wajahku di cermin, aku merasa cantik, lalu aku memutar-mutar tubuhku, aku sexy dengan bobot tubuh yang ideal, apa kurangku? Mengapa Kang Andi menceraikanku?
"Vi, kamu sedang apa? Kasian Amir lama menunggu," ucap Mamah lagi.
"Iya, Mah." Akupun bergegas sebelum Mamah mengomel.
Aku keluar menggunakan dress warna hitam, entah apa yang dilihat Amir, aku jadi salah tingkah.
"Ada apa, Mir, apa ada yang salah?"
"Oh ti- tidak, Vi. Maaf kalau kamu tidak nyaman, tapi sungguh kamu terlihat sangat cantik," pujinya dan aku hanya tersenyum kearahnya.
"Kita makan di luar saja, ya,Vi. Aku mau ngajak kamu ke cafe milik sahabatku."
"Baiklah, tapi aku tidak bisa pulang terlalu malam, karena kasian Aa, takut tidak bisa tidur karena menungguku."
"Tenang saja, Aa sama Mamah ini, Vi. Kamu pergi saja daripada di rumah murung terus, mending sana cari hiburan," ucap Mamah tiba-tiba.
Tak lama nampak terdengar suara mobil di garasi.
"Itu, sepertinya Bapak sudah pulang."
Aku, Amir, juga Mamah, keluar menyambut Bapak, sekalian meminta izin untuk pergi.
"Wah, ada tamu rupanya," ucap Bapak.
"Iya, Pak. Maaf Amir mau minta izin untuk ngajak Evita keluar."
Bapak nampak berpikir sejenak lalu menyuruh kami untuk masuk.
"Mari, masuk terlebih dahulu, ada yang ingin Bapak bicarakan."
Kamipun saling berpandangan, seperti tahu jalan pikiranku Bapak pun berucap.
"Hai, santai saja, Bapak hanya ingin berbincang sebentar dengan kamu juga Amir."
Akhirnya kami masuk kembali ke dalam rumah.
"Aa kemana, Vi?" Tanya Bapak.
"Aa, sudah tidur, Pak. Dengan Bibi."
"Kalian duduk dulu, Bapak mau ganti baju sebentar." Bapak pun berlalu pergi diikuti Mamah dari belakang.
Aku dan Amir nampak canggung. Tak lama Bapak pun kembali menemui kami.
"Kalian ini kelihatan tegang banget, seperti baru bertemu saja, bukankah sudah lama kalian berteman?"
"Evita yang dulu dan sekarang sangat berbeda, Pak," ucap Amir.
"Loh, apa bedanya?"
"Dulu, Evita sangat ceria juga galak."
"Ih, kamu apa-apaan, Mir."
"Emang sekarang bagaimana?" Tanya Bapak lagi.
"Hmm, sekarang Evita lebih pendiam, satu hal yang tidak berubah dari dulu sampai sekarang, yaitu … Evita tetap cantik."
"Anak siapa dulu, dong," ucap Mamah kali ini.
"Tapi sekarang Evita bukan lagi anak-anak, bahkan Evita sudah punya anak."
"Tidak ada yang berubah dengan itu, Vi," ucap Amir.
"Hmm … jadi begini, Nak Amir, seperti kamu ketahui kalau anak Bapak ini bukan anak gadis lagi, ta-pi …." Bapak nampak menjeda kalimatnya sembari menarik nafas dalam-dalam.
"Evita memang sudah ditalak oleh suaminya, hanya saja surat keputusan dari pengadilan belum turun, kamu tahu sendiri kalau lingkungan kita begitu dekat dengan para tetangga, Bapak selaku Kades dan Ayahmu selaku Camat sudah barang pasti banyak orang yang kenal, Bapak khawatir kedekatan kalian saat ini akan jadi bahan gunjingan, untuk sementara Bapak tidak izinkan kalian pergi berdua, tunggulah nanti saat Evita sudah memiliki surat cerai, mohon kalian mengerti."
"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kalau saya sudah lancang," ucap Amir.
"Bapak ini apa-apaan sich, sudah bagus ada yang mau sama Si Evi," ucap Mamah kali ini.
Entah mengapa aku merasa sangat malu, statusku ini membuat aku tidak percaya diri, mungkin niat Bapak hanya ingin melindungiku dari omongan-omongan para tetangga, tetapi di sisi lain aku merasa menjadi beban dan aib di kekuargaku sendiri.
"Vi, kamu jangan tersinggung dengan keputusan Bapak, begitupun dengan kamu Mir, sejujurnya Bapak sangat senang ketika kamu main ke sini, terlebih melihat respon Aa," ucap Bapak nampak sedih.
"Pak, jika diijinkan saya akan menunggu Evita, sampai Evita siap, sebenarnya jauh sebelum Evita menikah saya sudah menyukainya, hanya saja saya tidak punya keberanian untuk mengatakannya, sampai saya sadar, kalau semua sudah terlambat karena tiba-tiba saja Evita mengirimkan surat undangan waktu itu."
Mendengar penuturan Amir tentu saja aku kaget, aku tidak menyangka kalau Amir menyimpan perasaan untukku, sedangkan aku sampai saat ini masih menganggapnya sebagai teman saja, karena di hatiku tetap hanya ada Kang Andi seorang.
Meski berkas perceraian sedang diurus aku masih menunggu keajaiban tiba, berharap Kang Andi datang dan meminta maaf dan memulai kembali dari awal. Setelah mengetahui perasaan Amir, aku semakin menjaga jarak, entahlah, aku hanya tak ingin menyakiti perasaannya.
Satu bulan berlalu…
Aku menatap selembar kertas yang berada di tanganku, tepat hari ini aku resmi menjanda. Rasanya begitu sesak kurasa.
Esoknya di depan rumah tiba-tiba saja terdengar suara kaca jendela pecah, sepertinya, seseorang sengaja melempar batu, kami sekeluarga kaget, Aa seketika menangis ketakutan, lalu terdengar suara teriakan dari luar.
"Hai, wanita sialan! Wanita iblis! Wanita matrealistis! Bisa-bisanya kamu membuat aku miskin, membuat aku tak punya apa-apa, puas kamu, hah. Puas!"
"Kurang ajar! Siapa itu?" Tanya Bapak.
"Hati-hati, Pak," ucap Mamah.
"Vi, kamu bawa Aa, ke kamar, biar Bapak yang bereskan, sedangkan Mamah, cepat panggil Mang Ujang."
"Heh! Wanita sundel keluar kamu, temui aku, kembalikan anakku, kembalikan hartaku, dasar sialan!" Umpat seseorang dari luar, tak lama terdengar banyak orang ribut. Aku menitipkan Aa pada Bi Inah asisten rumah tangga di rumah Bapak, sedangkan aku mengikuti Bapak kulihat beliau menghubungi Pak RT juga Pak Rw.
"Vi, kamu mau ke mana?"
"Mau keluar, Mah. Sepertinya Evita kenal suara itu."
"Iya, Vi. itu memang mantan suami kamu, Andi. Tapi sebaiknya kamu jangan kesana, kayaknya dia lagi mabok, Vi."
"Benar, apa kata Mamahmu, sebaiknya kamu diam di dalam, biar Bapak dan Pak RT yang bereskan."
"Ta-pi, Pak."
"Untuk kali ini dengarkan apa kata Bapak."
Aku begitu cemas takut kalau terjadi sesuatu, bisa-bisanya Kang Andi datang dalam keadaan mabuk, dahulu sebelum menikah Kang Andi memang punya kebiasaan minum alkohol juga memakai obat terlarang, tetapi setelah menikah tidak pernah sekalipun ia menyentuh barang haram itu lagi, karena ia mau mendengar nasihatku dan berjanji akan berubah, hari ini kenapa dia malah seperti ini, seharusnya dia datang baik-baik.
"Evita … keluar kamu, ayo ikut pulang denganku, aku masih mencintaimu, aku akan membuatmu bahagia, aku, a-ku… hahhhh!" Teriak Kang Andi.
"Cepat kalian bawa dia, amankan saja dahulu, di rumah Pak RT Jangan biarkan dia pulang berkendara dalam keadaan seperti ini," ucap Bapak. Alhamdulillah sepertinya Bapak tidak tersulut emosi bahkan masih memikirkan Kang Andi.
"Ini bukannya menantu, Bapak ya?" Tanya Pak RT.
"Mantan menantu, anak saya sudah bercerai dengan dia," jawab Bapak
"Lepaskan … lepaskan…."
"Diam kamu! Bikin malu!" Sentak Bapak, sedang Kang Andi masih meronta ketika tangannya berhasil dipegang oleh Pak RT juga salah seorang warga.
"Cepat bawa, ikat saja dulu tangannya," ujar Bapak, karena tidak mau diam akhirnya Bapak pun menampar Kang Andi, sungguh saat itu aku tak tega, aku hanya memperhatikan dari dalam melalui jendela kaca, rasanya perih hati ini melihat dirinya seperti itu.
"Evita … maafkan aku sayang, aku mencintaimu, pulang sayang…." lirih Kang Andi sambil menangis.
"Wah, ada apa ya?"
"Itu bukannya, menantu Pak Kades, kenapa dia teriak-teriak?"
"Iih, menantunya tukang mabok."
"Padahal ganteng banget, yah."
"Dia bukannya orang Bogor ya, jauh-jauh datang ke sini malah bikin keributan."
"Benar-benar bikin malu, yah."
Terdengar ucapan warga yang saling bersahutan, Kang Andi pun dibawa karena terlihat lemas.
Akupun hendak menemui Kang Andi, tapi lagi-lagi Bapak dan Mamah mencegah, akhirnya aku masuk ke kamar dan memeluk Aa dan menangis sejadi-jadinya.
'Bisa-bisanya kamu seperti ini kang....' lirihku
"Benar-benar keterlaluan si Andi itu, Pak. Bikin malu saja, untung Evita sudah cerai sama dia, amit-amit punya menantu tukang mabok," ujar Mamah. "Sudahlah, Mah. Yang penting sudah dibereskan." "Maksud Bapak, apa dibereskan, Pak? Kang Andi baik-baik saja, kan. Pak?" "Kamu pikir Bapak berbuat apa? Bapak masih punya moral, Vi. Bapak sudah memerintahkan Pak RT untuk urus mantan suamimu, bukan untuk membunuhnya, meskipun sebenarnya hal itu ingin sekali Bapak lakukan!" Bentak Bapak penuh emosi. Kejadian hari ini benar-benar membuat citra Kang Andi makin buruk di mata orang tuaku, sepertinya memang sudah tidak pantas lagi jika aku masih mengharapkannya. Aku pikir orang tua adalah tempat ternyaman untuk aku kembali tapi nyatanya sikap Mamah makin lama makin membuatku tak nyaman untuk tetap di rumah ini. "Punya anak ngga berguna, sekarang malah bikin susah orang tua, dosa apa aku ini," ujar Mamah yang kudengar ngedumel sendiri sambil melotot kearah anakku, seketika Aa berlari kearahku.
Pukul 19:00 pun tiba….Trining … terdengar suara dari handphoneku tanda pesan masuk. [Lihatlah keluar gerbang rumahmu Nona, saya berada di mobil hitam menunggumu, tidak perlu takut, kamu boleh membawa Ayahmu jika khawatir aku culik]Apa-apaan ini, aku diamkan saja. 10 menit15 menit, bahkan sampai 30 menit. [Saya masih menunggu, berharap Nona mau menemui]Diam terus di kamar aku pun, gelisah. "Pak itu di luar mobil siapa ya, kok parkir depan rumah kita?" tanya Mamah kepada Bapak. "Kurang tahu, Mah. Mungkin saja tamu tetangga kita."Aku yang mendengar obrolan mereka pun akhirnya penasaran dan keluar gerbang untuk melihat, benar saja tak lama kaca mobil di buka dan seorang laki-laki melambaikan tangannya. _______Entah apa yang merasukiku saat itu aku bertengkar hebat dengan Mamah hanya karena lagi-lagi Mamah membicarakanku dengan paratetangga, aku tak terima ketika Mamah bilang kalau Aa anakku anak setan, yah, maksud setan di sini Mamah mengatai Kang Andi. Soal Mamah menghinaku,
Kini aku kembali….Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya bisa beres dengan uang, dengan apa yang aku miliki saat ini semua urusan terasa begitu mudah. "Bagaimana, apa saya bisa mendapatkan rumah itu?" tanyaku kepada seorang pengacara kenalanku."Tentu saja Nona Evita semua bisa saya urus dan anda tinggal mentransfer uangnya.""Baiklah, anda atur semuanya."Aku tersenyum puas, kujelajahi kembali akun media sosial untuk mencari informasi tentang Kang Andi. Lalu kuhubungi orang-orang yang dulu menjadi teman komunitasnya, aku pikir setelah bercerai denganku Kang Andi akan menikah dengan Ara, tapi nyatanya ia malah memilih gadis asal Bandung, aku jadi semakin penasaran setelah tahu info dari temannya. Rumah mewah di kawasan Bandung kini sudah aku miliki, aku pun mencari empat pegawai untuk bekerja di rumahku, untuk menggaji mereka tentu aku mampu. Dengan uang yang aku miliki aku pun memutarnya untuk berbisnis pakaian, tas dan barang-barang lainnya aku jual lewat online. Aku memil
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Istri Kang Andi. "Dita! bisa aku jelaskan, tadi Evita hampir jatuh," ujar Kang Andi. "Oh, iya. Tanahnya memang licin di tambah si Tetehnya pake sepatu tinggi kaya artis," ujar wanita itu seraya tersenyum, sepertinya ia percaya saja dan tidak mempermasalahkannya, ataukah istri Kang Andi memang sepolos itu, baguslah sepertinya aku bisa merebut Kang Andi kembali. "Bunda, aku senang main dengan Kinara, nanti aku boleh main lagi ke sini, ya.""Tentu saja boleh, Aa," ujar wanita itu masih bersikap ramahramah sebelum aku menjawabnya. "Baiklah, Kang, Dita, aku pamit dulu, Aa sayang salim sama Ayah," Aa pun mencium tangan Kang Andi. "Salim juga dong sama Umi Dita," ujar Kang Andi, anakku pun menurutinya. Sebelum pergi kembali kutatap Kang Andi, kulirik sekilas istrinya sepertinya dia menahan cemburu hanya saja dia pura-pura menyembunyikan perasaannya. ______Esoknya aku kembali dengan wajah yang lebih ramah, aku harus bisa masuk ke kehidupan mereka denga
Sesampainya di rumah, Aa tertidur pulas di mobil, Lagi-lagi Kang Andi menggendongnya. "Vi, biar aku yang gendong Aa, kamu tunjukan saja di mana kamarnya,""Baik, Kang."Setelah Aa di tidurkan aku mengantar Kang Andi ke depan. "Kang, tidak ngopi dulu?""Tidak, terimakasih. Aku takut Dita khawatir karena menungguku.""Oh, iya. terimakasih ya, Kang. Untuk hari ini, sepertinya Aa sangat Happy. Kamu ingat tidak, Kang. dulu kita merayakan ulang tahun Aa yang pertama saat di Bogor."Kulihat Kang Andi nampak diam lalu menarik nafas. "Vi, maafkan aku atas masalalu kita," ucap dia akhirnya. "Andai saja, kita masih bersama, Kang." Kang Andi tidak berucap apa-apa tapi sorot matanya menginginkan hal yang sama. "Vi, aku pulang dulu, ya."Aku pun mengantar ia ke depan, aku yakin kalau Kang Andi masih mencintaiku, yang aku heran, mengapa Kang Andi bisa menikahi wanita itu, aku tahu bagaimana selera Kang Andi, sedang Dita jauh sekali. Terkadang jika mengingat saat-saat dia menyia-nyiakan kami,
"Hallo, iya, Kang ada apa? Aku sudah selesai, kok.""Aku jemput kamu, ya?""Jemput? Kenapa harus di jemput aku bawa mobil, kok.""Hmm itu.""Hallo ada apa Kang?""Kamu tenang ya, Vi. Tolong segera kamu datang ke Rumah Sakit Bhakti ya, Vi.""Ada apa? Kang, mengapa aku harus ke sana?"Tuuuut… Sial malah mati, aku terus mencoba menghubungi Kang Andi, tetapi Kang Andi tidak mengangkat telponku, perasaanku jadi tak enak mengingat Aa. Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit yang di maksud. Sesampainya di sana, di parkiran sudah ada Kang Andi. "Vi, ayo ikut Akang.""Ke mana? Ada apa, Kang! Kenapa bajumu banyak darah?"Kang Andi masih diam sampai aku menarik tangannya "Jawab aku, Kang! Ada apa?""Aa, Vi.""Aa kenapa?""Aa jatoh saat main di halaman.""Jatoh bagaimana maksudmu, Kang! Aku kan titip dia cuma sebentar!"Aku pun bergegas berlari, " di mana dia, katakan di mana?"Saat aku berjalan di depan ruang perawatan, kulihat baju Dita berlumuran darah sedang menggendong anaknya. Aku pun mend
"Tunggu sebentar, Vi. Aku keluar dulu." Aku pun mengangguk diam-diam kuikuti Kang Andi. Benar saja Kang Andi sedang mengejar seorang perempuan yang sepertinya sedang menangis. "Tahu rasa kamu, Dita. Baru begitu saja kamu cemburu, lalu bagimana sakit hatinya aku menyaksikan anakku terkulai lemas."Nampak Kang Andi sedang menjelaskan sesuatu pada Dita. Tiba-tiba saja, di belakang mereka datang kembali orang tua Dita. Sepertinya orang tua Dita selalu berusaha ikut campur. Aku kembali ke kamar perawatan. "Aa, sayang … bangun, Nak. Ini Bunda."Aku kembali menangis dan membenamkan kepalaku pada tubuh mungilnya. Tiba-tiba saja terasa ada yang mengusap kepalaku, kontan aku terbangun. Kulihat Aa membuka matanya seraya tersenyum manis. "Bu-n-da….""Aa, Ya Allah sayang, kamu sudah sadar. Nak. Alhamdulillah…." Aku pun kembali menangis karena haru, lalu segera memanggil Kang Andi. "Kang! Kang! Aa sudah sadar," ujarku tak perduli dengan tatapan Dita dan keluarganya aku hanya ingin Kang Andi s
"A- Aa!""Vi, tenang dulu, sebentar aku panggil Dokter."Kang Andi pun bergegas untuk memanggil Dokter. Setelah Dokter dan Suster datang mereka meminta kami untuk keluar sebentar, sementara hape Kang Andi terus saja bunyi, kulihat Kang Andi mulai gelisah. Tapi aku tak perduli aku lebih gelisah lagi dengan keadaan Aa. "Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanyaku setelah Dokter keluar dari ruang perawatan. "Tenang, Bu. Semua baik-baik saja, itu hanya pengaruh obat saja, anak Ibu tetap bisa pulang besok.""Alhamdulillah, apa kami boleh melihatnya, Dok?""Tentu saja, silahkan. Oh iya ini resep obat yang harus anda tebus.""Baiklah, Dok. Terimakasih."Setelah Dokter pergi aku pun bergegas masuk, kulihat Aa masih memejamkan matanya. "Kang, daritadi hape kamu bunyi terus, lebih baik kamu pulang saja, kami baik-baik saja, kok," usirku secara halus. Kulirik sekilas Kang Andi nampak mematikan hapenya. "Aku akan tetap di sini sampai mengantar kalian pulang."Hatiku pun bersorak mendengar
"Teh Evita!""Iya, ini aku Dit? Apa kabar?" ucapku sambil mengulurkan tangan. "Kabar baik," Ia pun menatap Amir juga Bapak. "Oh, iya. Dit. Kenalkan ini suamiku, Amir dan ini Bapakku."Dita pun menangkupkan kedua tangannya, lalu mempersilahkan kami masuk. "Mari masuk, Teh. Pak … eh Aa apa kabar?""Kabar baik, Umi Dita, Aa kemari karena kangen sama Kinara, Aa yang paksa Bunda untuk datang kemari, di mana Kinara, Umi?""Kinara ada di dalam, mari masuk….""Ada siapa, Um?" tanya Kang Andi dari dalam. Bukan menjawab Dita malah agak salah tingkah, sepertinya dia memang terkejut dengan kehadiranku."Ayo mari masuk," Lagi-lagi Dita menawari kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru juga kakiku melangkah tiba-tiba saja Kang Andi muncul dari balik pintu. Seketika mata kami beradu, Kang Andi terlihat lebih kaget melihatku, entah mengapa ada perasaan aneh yang kembali menjalar di hatiku. "Kang, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. "Ba-baik," Jawabnya, melihat Bapak ia pun segera mencium tangan Ba
"Ya ampun, kamu mau apalagi, Mir? Apa kamu belum puas?"Amir tak menjawab pertanyaanku, tapi lagi-lagi dia mengulang ritual tadi, tapi kali ini di kamar mandi. Setelah ia kehabisan tenaga, aku pun segera membersihkan diri, kutinggalkan saja dia di kamar mandi, kalau tidak, kapan akan selesai. Saat aku hendak memakai baju, tiba-tiba ponsel Amir terus saja berdering, kulihat sebuah nama di layar ponselnya. 'Si Bawel'Siapa yang dia tulis Si Bawel, penasaran kuangkat dan kujawab saja. Belum juga aku berucap, dari sebrang terdengar suara perempuan. "Halloo, Mir. gimana jadi ngga? Jangan bilang batal cuma gara-gara istri kamu, ya. Kamu pernah bilang kamu bakal selalu utamain aku. Awas kalau kamu ingkar janji, hallo, halooo, Mir, kok kamu diam saja!""Ma-af, Amirnya sedang mandi.""Isshhh!" Seketika perempuan tadi mematikan ponselnya seperti marah. Kusimpan kembali ponsel Amir dan tak mau terlalu memikirkannya.Setelah Amir selesai mandi. "Sayang tadi ada yang telpon kamu, aku bilang
"Apa maksud kamu, Amir?""Maaf, maaf kan, aku sayang, aku hanya sedang pusing." Ia mencoba meraih kedua tanganku dan kembali mencumbuiku. Namun, aku merasa hambar setelah mendengar ucapannya tadi. Segera kulepaskan kedua tangannya, lalu beranjak ke kasur untuk tidur. Laki-laki seperti apa yang aku nikahi, mengapa masih pengantin baru saja, sudah berucap yang membuatku sakit hati. Esoknya … pagi-pagi aku meminta izin kepada Amir, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bapak saja, sebenarnya untuk membeli rumah pun, aku mampu. Aku hanya ingin tahu saja, sejauh mana tanggung jawab Amir. "Mir, kita sudah pernah bicara, kan. Kalau aku tidak betah tinggal di sini, kita tinggal di rumah Bapak saja, kasian beliau cuma sendirian, seandainya Bapak menikah barulah nanti kita cari rumah baru.""Terserah kamu, saja, Vi. Tapi orangtuaku bilang, mereka akan membangun rumah untuk kita, di lahan sebelah sana." Amir menunjuk sebuah lahan kosong samping rumah orangtuanya."Ya, itu sich terserah, kan.
"Vi, maaf ya, buat kami tidak nyaman." ujar Mamah. "Tidak apa-apa, Mah.""Sebentar ya, Vi. Mamah mau nemuin yang punya hajat dulu, setelahnya kita pulang, eh ngga pulang juga, sich. Ya kita belanja dulu lah, ke Mall, atau perawatan dulu gitu ke salon." "Yasudah, Evita tunggu di sini, ya. Mah."Mamah pun berlalu pergi, Lagi-lagi aku terjebak di sekumpulan ibu-ibu. "Siapa itu? Cantik ya?" ujar seorang ibu yang menggunakan kebaya marun. "Itu, menantunya Bu Camat." Jawab ibu-ibu yang berada di sampingnya. "Oh, yang katanya janda itu?""Husss, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya denger."Tak tahan aku pun menegur mereka, kali ini aku tidak boleh diam seenak hati mereka membicarakanku. "Kenapa, Bu? Ibu mekbucarakan saya? Iya saya memang menantunya Bu Camat dan saya memang janda, memangnya ada masalah apa ya?""Maaf, Neng … maaf, jangan diambil hati.""Saya tidak mengambil hati, saya cuma bertanya pada ibu-ibu semua, emang ada masalah apa dengan status saya? Toh pasangan saya saja me
Aku bersiap hendak berangkat arisan dengan Mamah Amir. "Yang, kamu sudah rapi?""Iya, aku titip Aa, ya," ucapku kepada Amir. Lalu aku pun pamit kepada Aa yang sedang main game di dalam kamar. "Aa, Bunda berangkat dulu ya, sama Enin. Baik-baik ya, sayang.""Iya, Bunda. Aa sudah janjian sama Papah mau ke rumah kakek, tapi Aa mau ajak Bibi ya, Bun.""Iya, sayang. Ajak saja," Ku kecup kening Aa lalu memeluknya. Aku pun segera turun ke bawah menemui Mamah. "Vi, kamu sudah siap? MasyaAllah menantu Mamah cantik banget, gadis-gadis juga kalah sama kamu, Vi.""Ah, Mamah. Bisa saja."Saat hendak berjalan keluar tiba-tiba saja Papah Amir memanggil. "Eh, kalian sudah mau pergi, apa tidak butuh supir?""Ngga perlu, lah, Pah. Biar Evita saja yang nyetir, iya, kan. Mah? " Mamah terserah kamu saja, Vi. Tapi lagi pula tidak begitu jauh, kok dari sini.""Memang Arisan di mana Mah?" tanya Papah Amir. "Itu, arisan di rumah Bu Broto.""Bu Broto yang rumahnya di Blok F?""Iya.""Oh, kirain Papah di
Pov Evita. Tak lama Amir mendorong perempuan tadi. "Kang Amir! Kok aku didorong."Amir seperti memberi kode pada perempuan itu, akan kehadiranku. Tapi perempuan itu tetap tidak mengerti kode dari Amir, dia terus saja nyerocos, berbicara tanpa jeda. "Kang, kenapa kamu ganti nomor? Aku mau menghubungi kamu benar-benar susah, kamu bilang mau balik lagi ke Jakarta, tahunya kamu malah betah tinggal di kampung! Aku kesepian, Kang."Kulihat tukang bubur pun nampak melirik kearahku, kubiarkan saja, adegan itu berlangsung, ingin tahu saja apa yang bisa Amir jelaskan padaku, entah mengapa tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Amir pun menghampiriku tanpa perduli pada perempuan yang masih nyerocos itu. "Vi, kenalin ini temanku Alesha, dia teman kerjaku di jakarta dulu."Aku melirik santai saja, kulihat Amir nampak gelagapan sendiri, mungkin tak enak hati dengan kejadian tadi. "Alesha! Kenalkan ini istriku, Evita," ujar Amir kepada perempuan itu, kulihat perempuan yang Amir panggil Alesha it
Wanita mana yang mau gagal dalam berumah tangga, karena statusku yang kini menikah sudah tiga kali tak ayal selalu menjadi gosip hangat para ibu-ibu. "Eh si Amir itu nikah sama anak Pak Kades yang janda itu ya?""Iya, kabarnya udah janda dua kali, mana punya anak lagi.""Ih, sayang amat ya, masa anak bujang nikah sama janda beranak.""Tapi meski janda si Evita cantik loh, dan katanya kaya juga karena dapet warisan atau apalah gitu, dari lakinya.""Ah bukannya lakinya miskin?""Iya, laki pertamanya miskin, kan suami keduanya kaya, orang luar negri kabarnya."Begitulah percakapan ibu-ibu yang kudengar ketika aku melintas dekat rumah Mamah Amir. Karena merasa tak nyaman aku pun tak mau lagi tinggal di rumah Mamah Amir, bukan karena keluarganya tetapi lebih karena lingkungannya. "Yang, kita tinggal di rumah Bapakku saja, ya, karena kasian Bapak kesepian.""Aku sich terserah kamu saja, di mana nyamannya. Sebenarnya aku juga sudah siapin rumah buat kita.""Rumah?""Iya.""Tapi aku juga pu
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,