Sesampainya di rumah, Aa tertidur pulas di mobil, Lagi-lagi Kang Andi menggendongnya. "Vi, biar aku yang gendong Aa, kamu tunjukan saja di mana kamarnya,""Baik, Kang."Setelah Aa di tidurkan aku mengantar Kang Andi ke depan. "Kang, tidak ngopi dulu?""Tidak, terimakasih. Aku takut Dita khawatir karena menungguku.""Oh, iya. terimakasih ya, Kang. Untuk hari ini, sepertinya Aa sangat Happy. Kamu ingat tidak, Kang. dulu kita merayakan ulang tahun Aa yang pertama saat di Bogor."Kulihat Kang Andi nampak diam lalu menarik nafas. "Vi, maafkan aku atas masalalu kita," ucap dia akhirnya. "Andai saja, kita masih bersama, Kang." Kang Andi tidak berucap apa-apa tapi sorot matanya menginginkan hal yang sama. "Vi, aku pulang dulu, ya."Aku pun mengantar ia ke depan, aku yakin kalau Kang Andi masih mencintaiku, yang aku heran, mengapa Kang Andi bisa menikahi wanita itu, aku tahu bagaimana selera Kang Andi, sedang Dita jauh sekali. Terkadang jika mengingat saat-saat dia menyia-nyiakan kami,
"Hallo, iya, Kang ada apa? Aku sudah selesai, kok.""Aku jemput kamu, ya?""Jemput? Kenapa harus di jemput aku bawa mobil, kok.""Hmm itu.""Hallo ada apa Kang?""Kamu tenang ya, Vi. Tolong segera kamu datang ke Rumah Sakit Bhakti ya, Vi.""Ada apa? Kang, mengapa aku harus ke sana?"Tuuuut… Sial malah mati, aku terus mencoba menghubungi Kang Andi, tetapi Kang Andi tidak mengangkat telponku, perasaanku jadi tak enak mengingat Aa. Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit yang di maksud. Sesampainya di sana, di parkiran sudah ada Kang Andi. "Vi, ayo ikut Akang.""Ke mana? Ada apa, Kang! Kenapa bajumu banyak darah?"Kang Andi masih diam sampai aku menarik tangannya "Jawab aku, Kang! Ada apa?""Aa, Vi.""Aa kenapa?""Aa jatoh saat main di halaman.""Jatoh bagaimana maksudmu, Kang! Aku kan titip dia cuma sebentar!"Aku pun bergegas berlari, " di mana dia, katakan di mana?"Saat aku berjalan di depan ruang perawatan, kulihat baju Dita berlumuran darah sedang menggendong anaknya. Aku pun mend
"Tunggu sebentar, Vi. Aku keluar dulu." Aku pun mengangguk diam-diam kuikuti Kang Andi. Benar saja Kang Andi sedang mengejar seorang perempuan yang sepertinya sedang menangis. "Tahu rasa kamu, Dita. Baru begitu saja kamu cemburu, lalu bagimana sakit hatinya aku menyaksikan anakku terkulai lemas."Nampak Kang Andi sedang menjelaskan sesuatu pada Dita. Tiba-tiba saja, di belakang mereka datang kembali orang tua Dita. Sepertinya orang tua Dita selalu berusaha ikut campur. Aku kembali ke kamar perawatan. "Aa, sayang … bangun, Nak. Ini Bunda."Aku kembali menangis dan membenamkan kepalaku pada tubuh mungilnya. Tiba-tiba saja terasa ada yang mengusap kepalaku, kontan aku terbangun. Kulihat Aa membuka matanya seraya tersenyum manis. "Bu-n-da….""Aa, Ya Allah sayang, kamu sudah sadar. Nak. Alhamdulillah…." Aku pun kembali menangis karena haru, lalu segera memanggil Kang Andi. "Kang! Kang! Aa sudah sadar," ujarku tak perduli dengan tatapan Dita dan keluarganya aku hanya ingin Kang Andi s
"A- Aa!""Vi, tenang dulu, sebentar aku panggil Dokter."Kang Andi pun bergegas untuk memanggil Dokter. Setelah Dokter dan Suster datang mereka meminta kami untuk keluar sebentar, sementara hape Kang Andi terus saja bunyi, kulihat Kang Andi mulai gelisah. Tapi aku tak perduli aku lebih gelisah lagi dengan keadaan Aa. "Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanyaku setelah Dokter keluar dari ruang perawatan. "Tenang, Bu. Semua baik-baik saja, itu hanya pengaruh obat saja, anak Ibu tetap bisa pulang besok.""Alhamdulillah, apa kami boleh melihatnya, Dok?""Tentu saja, silahkan. Oh iya ini resep obat yang harus anda tebus.""Baiklah, Dok. Terimakasih."Setelah Dokter pergi aku pun bergegas masuk, kulihat Aa masih memejamkan matanya. "Kang, daritadi hape kamu bunyi terus, lebih baik kamu pulang saja, kami baik-baik saja, kok," usirku secara halus. Kulirik sekilas Kang Andi nampak mematikan hapenya. "Aku akan tetap di sini sampai mengantar kalian pulang."Hatiku pun bersorak mendengar
Renal pun berlalu pergi, dengan tatapan menantang. "Kang! Tidak seharusnya kamu bersikap seperti itu, bagaimanapun juga dia sudah menolongku.""Sebaiknya kamu tidak dekat-dekat dengannya," ujar Kang Andi yang kontan membuatku emosi. "Apa hak kamu mengatur hidupku, Kang! Kamu sudah bukan suamiku.""Maaf, tapi aku hanya ingin melindungimu, Vi. Renal bukan laki-laki yang baik.""Lalu apakah kamu laki-laki yang baik? Jangan terlalu naif, Kang. Mana ada laki-laki yang sepenuhnya baik.""Aku mohon kali ini dengarkan, aku. Jauhi Renal.""Egois!""Terserah apa pendapatmu?""Apa kamu cemburu jika aku dekat dengan, Renal?""Mungkin.""Apa kamu masih mencintaiku, Kang?" Kang Andi hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaanku. "Jawab, Kang. Kenapa diam!""Aku tidak tahu, Vi. Tapi dalam lubuk hati terdalam aku ingin mengulang masa lalu kita, aku ingin kita kembali menjadi keluarga yang utuh, ta-pi … aku tidak sanggup kalau harus menyakiti Dita.""Sudahlah, Kang. Malas aku dengar omong kosongmu!"A
Aku tidak punya rasa benci atau pun kecewa kepada Mamah. Tentang masa lalu Bapak mungkin sudah seperti itu jalannya. "Pak, siapa nama Ibu kandung Evita?" Bapak nampak menarik nafas panjang. "Ibumu bernama Marlina. Dia seorang gadis yang cantik dan baik hanya saja nasibnya kurang beruntung karena telah menikah dengan Bapak. Semoga saja dia baik-baik saja dan hidup bahagia," ujar Bapak sendu. "Apakah sama sekali Bapak tidak pernah tahu bagaimana kabarnya?" "Tidak, Vi. Bapak benar-benar tidak tahu, setelah Bapak memberikan sejumlah uang permintaan Ibu Marlina untuk pengobatan Ayahnya, Ibu Marlina menghilang, Bapak hanya dengar kabar kalau Ayahnya meninggal. Ketika Bapak mencoba mencari tahu lagi, Bapak sudah tidak lagi menemukan jejaknya. Sungguh itulah yang terjadi." "Vi, kini Bapak sendiri, kamu mau ya kembali tinggal di sini? Rumah ini akan terasa hidup kembali jika ada kamu juga Aa." "Itu Evita pikirkan dulu ya, Pak. Karena Evita sudah punya rumah di Bandung." "Oh iya, Ba
Namaku Andi … laki-laki kelahiran Bogor, saat aku masih bujang aku sudah terbiasa dengan alkohol juga obat-obat terlarang, sampai suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar merubah hidupku, dia adalah Evita. Aku bertemu dengan Evita saat ia bekerja menjadi SPG di Mall Bogor. Evita yang begitu cantik menjadi incaran tiap laki-laki, banyak teman juga sahabatku yang juga mendekatinya, tapi cintanya justru berlabuh padaku. Bukan hal mudah untuk meminangnya pertama kali aku menginjakan kaki di rumahnya, respon yang kurang baik sudah kuterima terlebih dari Mamah Evita. Siang itu dari Bogor ke Banten kuniatkan hati untuk berkenalan dengan keluarga Evita, rumah mewah bercat hijau dengan gerbang tinggi yang menjulang menyambutku saat itu, kokohnya bangunan dan sedikit taman yang tertata rapi di sebuah perkampungan seolah menunjukan siapa sosok pemiliknya. Evita menggandeng tanganku masuk ke rumahnya. "Assalamu'alaikum," ucap Evita"Waalaikum salam," Jawaban seseorang da
Empat bulan berlalu, setelah kata talak yang kuucapkan melalui sambungan telepon. Tiba-tiba saja aku dirundung rasa rindu yang teramat sangat terhadap Evita juga Aa. aku pun membuka kembali nomor yang telah aku blokir, ingin sekali menghubungi Evita. Namun masih ada rasa takut. Beberapa kali aku mengetik kalimat, tetapi terus kuhapus kembali. Sampai 15 menit, setelah blokiran dibuka, kulihat status whatsapp Evita yang berfoto dengan seorang pria, dengan senyum yang mengembang beserta Aa. Hatiku merasa panas dibakar cemburu, harga diriku terasa runtuh, barulah kusadar, mungkin inilah yang dirasakan Evita ketika melihatku berfoto dengan Ara. Akhirnya kuberanikan diri untuk menghubungi Evita. Tutttt.... Tutt.... Tak lama telpon diangkat. "Assalamu'alaikum.""Waalaikum salam." Jawab Evita datar. "Vi ... Aku minta maaf, selama ini aku khilaf, aku mau meninggalkan ini semua asal kita kembali seperti dulu. Ak.. "Belum juga aku menyelesaikan ucapanku namun Evita sudah memutus sambunga