Rumah tangga hancur karena komunitas grup
PART 4
Anak Pak Camat
Sore ini kuajak Aa jalan-jalan di Taman Kota, aneka balon berwarna-warni menarik perhatiannya.
"Nda ... Aa mau ntu," ucapnya sambil menunjuk salah satu balon berwarna biru berbentuk doraemon.
"Aa mau yang ini?"
"Iya ... Yang ntu Nda."
"Yaudah sebentar yah sayang."
Akupun mengambil balon yang Aa minta.
"Yang ini berapa Mang?" tanyaku ke tukang balon
"Semua harga sama Teh sepuluh ribuan," jawabnya.
"Oke, satu Mang yang Doraemon."
Aa pun nampak senang, dia menggenggam erat balon itu, hanya dengan melihatnya seperti ini rasanya segala kesakitan untuk sementara terlupakan.
Karena hari menjelang petang, akupun segera pulang, saat aku sedang memarkirkan motor di halaman depan rumah, Aa yang sudah kuturunkan langsung masuk ke dalam, dengan ceria dia bawa balon itu sambil berlari. Namun saat aku kedalam, aku terpaku karena bingung, kulihat Aa mendekati seorang pria yang sedang ngobrol dengan Bapak.
Dia pun memanggilnya dengan sebutan ayah.
"Yah ... Yah ... Ni aku punya bayon," dengan cadel dia berucap.
Seketika aku yang menyaksikan itu, rasanya miris, apa saking rindunya Aa, sehingga dia memanggil orang lain dengan sebutan Ayah, padahal untuk seusianya seharusnya dia tahu, klo itu bukan Ayahnya.
Akupun mendekatinya, kubilang padanya.
"Aa sayang, itu bukan ayah, tapi itu Om Amir."
"Ayah ... Ana nda?"
"Ayah sedang banyak urusan sayang, nanti juga pasti ke sini jemput kita, sudah yuk ke kamar sama bunda."
"Nda ... Au Nda!" (Ngga mau bunda)
"Lho ... Kenapa?"
"Au cini aja " (Mau disini saja)
"Loh nanti ganggu Om sama Kakek."
"Sini Ade, main sama Om," ajak Amir
"Iya, biar saja Vi ... Dia di sini sama Bapak, kamu sebaiknya istirahat saja," ucap Bapak.
Akupun membiarkan Aa bermain dengan Amir juga Bapak, sementara aku masuk ke dalam kamar.
Terdengar suara gelak tawa dari ruang tamu, aku penasaran dan mengintip, Amir dan Aa bermain dengan akrab nampak seperti ayah dan anak, tiba-tiba saja bulir bening menerobos keluar begitu saja tanpa mampu aku tahan, teringat kembali aku kepada Kang Andi.
Apakah kamu tidak rindu anak kita Kang?
Kuhapus airmataku lalu keluar untuk bergabung dengan mereka.
"Vi ... Bantu mamah siapin makan yuk," ajak mamah tiba-tiba.
"Iya Mah."
Akupun bergegas menyiapkan makan malam, lalu kami makan malam bersama, saat asik menikmati hidangan, tiba-tiba saja mamah berbicara.
"Vi ... Kapan kamu urus surat cerai kamu, ngapain sich mau-maunya digantung begini sama laki-laki ga tahu diri!"
Seketika aku tersedak dan batuk-batuk.
Amir pun mengambilkanku segelas air.
"Mamah!" Hardik Bapak.
Bapak pun nampak melotot melihat kearah Mamah. Sedangkan aku merasa malu kepada Amir, kulihat Amir nampak tidak nyaman dengan keadaan ini.
Untuk mengalihkan suasana, tiba-tiba saja Amir menyuapi Aa. Anakku nampak senang dan berterimakasih.
"Maacih Om." (Makasih Om.)
Sadar akan adanya kehadiran anakku semua pun kembali menyantap makan malam. Saat itu tidak sengaja pandangan mataku juga Amir bersiborok, entah mengapa kulihat ia nampak salah tingkah.
Tak lama Amir pamit pulang, setelah urusan dengan Bapak selesai.
Amir merupakan anak Camat, itulah mengapa dia dekat dengan bapak karena urusan pekerjaan yang berhubungan dengan wilayah Bapak karena Bapak seorang KADES.
Saat hendak keluar pintu tiba-tiba saja Aa memeluk Amir, sontak saja membuat semua kaget, aku pun tak mampu berkata-kata, mengapa anak ini bisa merasa sedekat ini, padahal baru pertama bertemu.
Mamah nampak senang, sedang Bapak merasa tidak enak, lalu aku sendiri, perasaanku campur aduk, aku masih belum rela jika secepat ini Aa melupakan sosok Ayahnya sendiri.
☘️☘️☘️☘️
Setelah Amir pulang, tak lama Aa tertidur, karena bosan akupun berselancar di Media Sosial. Karena kepo aku mencari nama Ara di jejaring Media Sosial F******k.
Kulihat beberapa foto Ara, ternyata usia Ara memang lebih tua dariku, Ara sendiri sudah memiliki anak gadis yang sudah SMP, meskipun dari wajah, Ara. nampak masih muda.
Akupun teringat akan nomor Ara yang di kirim seseorang. Karena iseng aku pun mengirimkan pesan watshap.
[ Assalamu'alaikum]
Tak lama centang biru
[Waalaikum salam]
[Maaf ini siapa ya? ] tanya Ara
[Perkenalkan saya Evita istri kang Andi]
Centang biru lagi namun agak lama Ara membalas chat nya.
Lalu terlihat 'sedang mengetik'
Muncul balasan.
[Oh, kamu. Ada perlu apa dengan saya] balas Ara
[Saya hanya ingin memastikan ada hubungan apa Anda dengan suami saya?]
Dengan cepat dibalas.
[Suami? Apa mantan?] tanya Ara
Seketika aku agak jengkel, apakah Kang Andi mengatakan pada Ara kalau kita sudah bercerai? padahal aku pikir kata talak yang diucapkan Kang Andi melalui telpon hanya aku dan keluarga saja yang tahu, ternyata Ara sudah tahu.
[Kami belum bercerai scara hukum, dia masih suami saya, lalu ada hubungan apa anda dengan suami saya]
Agak lama Ara membalas, lalu….
[Hmmm ... Untuk soal itu kamu tanyakan sendiri saja pada suami, upsss salah mantan suami kamu Nona, sudah yah aku ngantuk bye.]
Seketika di layar nampak hilang tulisan online, mungkin Ara memang sudah mematikan ponselnya.
Benar-benar membuatku jengkel.
Taklama, pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
[Selamat malam Mamah Aa, semangat selalu ya….]
Tak lama muncul kembali pesan
[Aku merindukan senyum, gadis berkuncir dua, yang ketika di kantin selalu malak minta semangkok bakso.]
Seketika aku merasa tergelitik, teringat kembali kenangan masa lalu.
Sudah tiga bulan berlalu setelah kata talak itu, rasanya sudah habis kesabaranku. "Bagaimana, Vi. Apa kamu sudah mengambil keputusan?" Tanya Bapak. "Iya, Pak. Sepertinya Evita sudah yakin untuk mengurus surat perceraian.""Yasudah, kalau itu keputusanmu, Bapak akan kenalkan kamu dengan seorang pengacara, biar dia saja yang urus semuanya.""Terimakasih, Pak." Bapak berlalu pergi dengan tatapan yang entahlah. Aku tahu Bapak pasti kecewa, tidak ada orang tua yang ingin rumah tangga anaknya gagal, pun, demikian dengan Bapak. Tak menunggu lama, esoknya aku berangkat ke Bogor, aku mengganti semua kunci kios, sehingga Kang Andi tidak bisa lagi datang apalagi mengelolanya, kualihkan semuanya kepada orang kepercayaanku. ______"Vi, di depan ada Amir," ucap Mamah"Iya, Mah. Sebentar."Akhir-akhir ini Amir memang gencar mendekatiku, tetapi hatiku masih saja mengharapkan Kang Andi, aku masih berharap Kang Andi datang dan meminta rujuk, nyatanya setelah kunci kios kuganti ia malah semakin mer
"Benar-benar keterlaluan si Andi itu, Pak. Bikin malu saja, untung Evita sudah cerai sama dia, amit-amit punya menantu tukang mabok," ujar Mamah. "Sudahlah, Mah. Yang penting sudah dibereskan." "Maksud Bapak, apa dibereskan, Pak? Kang Andi baik-baik saja, kan. Pak?" "Kamu pikir Bapak berbuat apa? Bapak masih punya moral, Vi. Bapak sudah memerintahkan Pak RT untuk urus mantan suamimu, bukan untuk membunuhnya, meskipun sebenarnya hal itu ingin sekali Bapak lakukan!" Bentak Bapak penuh emosi. Kejadian hari ini benar-benar membuat citra Kang Andi makin buruk di mata orang tuaku, sepertinya memang sudah tidak pantas lagi jika aku masih mengharapkannya. Aku pikir orang tua adalah tempat ternyaman untuk aku kembali tapi nyatanya sikap Mamah makin lama makin membuatku tak nyaman untuk tetap di rumah ini. "Punya anak ngga berguna, sekarang malah bikin susah orang tua, dosa apa aku ini," ujar Mamah yang kudengar ngedumel sendiri sambil melotot kearah anakku, seketika Aa berlari kearahku.
Pukul 19:00 pun tiba….Trining … terdengar suara dari handphoneku tanda pesan masuk. [Lihatlah keluar gerbang rumahmu Nona, saya berada di mobil hitam menunggumu, tidak perlu takut, kamu boleh membawa Ayahmu jika khawatir aku culik]Apa-apaan ini, aku diamkan saja. 10 menit15 menit, bahkan sampai 30 menit. [Saya masih menunggu, berharap Nona mau menemui]Diam terus di kamar aku pun, gelisah. "Pak itu di luar mobil siapa ya, kok parkir depan rumah kita?" tanya Mamah kepada Bapak. "Kurang tahu, Mah. Mungkin saja tamu tetangga kita."Aku yang mendengar obrolan mereka pun akhirnya penasaran dan keluar gerbang untuk melihat, benar saja tak lama kaca mobil di buka dan seorang laki-laki melambaikan tangannya. _______Entah apa yang merasukiku saat itu aku bertengkar hebat dengan Mamah hanya karena lagi-lagi Mamah membicarakanku dengan paratetangga, aku tak terima ketika Mamah bilang kalau Aa anakku anak setan, yah, maksud setan di sini Mamah mengatai Kang Andi. Soal Mamah menghinaku,
Kini aku kembali….Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya bisa beres dengan uang, dengan apa yang aku miliki saat ini semua urusan terasa begitu mudah. "Bagaimana, apa saya bisa mendapatkan rumah itu?" tanyaku kepada seorang pengacara kenalanku."Tentu saja Nona Evita semua bisa saya urus dan anda tinggal mentransfer uangnya.""Baiklah, anda atur semuanya."Aku tersenyum puas, kujelajahi kembali akun media sosial untuk mencari informasi tentang Kang Andi. Lalu kuhubungi orang-orang yang dulu menjadi teman komunitasnya, aku pikir setelah bercerai denganku Kang Andi akan menikah dengan Ara, tapi nyatanya ia malah memilih gadis asal Bandung, aku jadi semakin penasaran setelah tahu info dari temannya. Rumah mewah di kawasan Bandung kini sudah aku miliki, aku pun mencari empat pegawai untuk bekerja di rumahku, untuk menggaji mereka tentu aku mampu. Dengan uang yang aku miliki aku pun memutarnya untuk berbisnis pakaian, tas dan barang-barang lainnya aku jual lewat online. Aku memil
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Istri Kang Andi. "Dita! bisa aku jelaskan, tadi Evita hampir jatuh," ujar Kang Andi. "Oh, iya. Tanahnya memang licin di tambah si Tetehnya pake sepatu tinggi kaya artis," ujar wanita itu seraya tersenyum, sepertinya ia percaya saja dan tidak mempermasalahkannya, ataukah istri Kang Andi memang sepolos itu, baguslah sepertinya aku bisa merebut Kang Andi kembali. "Bunda, aku senang main dengan Kinara, nanti aku boleh main lagi ke sini, ya.""Tentu saja boleh, Aa," ujar wanita itu masih bersikap ramahramah sebelum aku menjawabnya. "Baiklah, Kang, Dita, aku pamit dulu, Aa sayang salim sama Ayah," Aa pun mencium tangan Kang Andi. "Salim juga dong sama Umi Dita," ujar Kang Andi, anakku pun menurutinya. Sebelum pergi kembali kutatap Kang Andi, kulirik sekilas istrinya sepertinya dia menahan cemburu hanya saja dia pura-pura menyembunyikan perasaannya. ______Esoknya aku kembali dengan wajah yang lebih ramah, aku harus bisa masuk ke kehidupan mereka denga
Sesampainya di rumah, Aa tertidur pulas di mobil, Lagi-lagi Kang Andi menggendongnya. "Vi, biar aku yang gendong Aa, kamu tunjukan saja di mana kamarnya,""Baik, Kang."Setelah Aa di tidurkan aku mengantar Kang Andi ke depan. "Kang, tidak ngopi dulu?""Tidak, terimakasih. Aku takut Dita khawatir karena menungguku.""Oh, iya. terimakasih ya, Kang. Untuk hari ini, sepertinya Aa sangat Happy. Kamu ingat tidak, Kang. dulu kita merayakan ulang tahun Aa yang pertama saat di Bogor."Kulihat Kang Andi nampak diam lalu menarik nafas. "Vi, maafkan aku atas masalalu kita," ucap dia akhirnya. "Andai saja, kita masih bersama, Kang." Kang Andi tidak berucap apa-apa tapi sorot matanya menginginkan hal yang sama. "Vi, aku pulang dulu, ya."Aku pun mengantar ia ke depan, aku yakin kalau Kang Andi masih mencintaiku, yang aku heran, mengapa Kang Andi bisa menikahi wanita itu, aku tahu bagaimana selera Kang Andi, sedang Dita jauh sekali. Terkadang jika mengingat saat-saat dia menyia-nyiakan kami,
"Hallo, iya, Kang ada apa? Aku sudah selesai, kok.""Aku jemput kamu, ya?""Jemput? Kenapa harus di jemput aku bawa mobil, kok.""Hmm itu.""Hallo ada apa Kang?""Kamu tenang ya, Vi. Tolong segera kamu datang ke Rumah Sakit Bhakti ya, Vi.""Ada apa? Kang, mengapa aku harus ke sana?"Tuuuut… Sial malah mati, aku terus mencoba menghubungi Kang Andi, tetapi Kang Andi tidak mengangkat telponku, perasaanku jadi tak enak mengingat Aa. Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit yang di maksud. Sesampainya di sana, di parkiran sudah ada Kang Andi. "Vi, ayo ikut Akang.""Ke mana? Ada apa, Kang! Kenapa bajumu banyak darah?"Kang Andi masih diam sampai aku menarik tangannya "Jawab aku, Kang! Ada apa?""Aa, Vi.""Aa kenapa?""Aa jatoh saat main di halaman.""Jatoh bagaimana maksudmu, Kang! Aku kan titip dia cuma sebentar!"Aku pun bergegas berlari, " di mana dia, katakan di mana?"Saat aku berjalan di depan ruang perawatan, kulihat baju Dita berlumuran darah sedang menggendong anaknya. Aku pun mend
"Tunggu sebentar, Vi. Aku keluar dulu." Aku pun mengangguk diam-diam kuikuti Kang Andi. Benar saja Kang Andi sedang mengejar seorang perempuan yang sepertinya sedang menangis. "Tahu rasa kamu, Dita. Baru begitu saja kamu cemburu, lalu bagimana sakit hatinya aku menyaksikan anakku terkulai lemas."Nampak Kang Andi sedang menjelaskan sesuatu pada Dita. Tiba-tiba saja, di belakang mereka datang kembali orang tua Dita. Sepertinya orang tua Dita selalu berusaha ikut campur. Aku kembali ke kamar perawatan. "Aa, sayang … bangun, Nak. Ini Bunda."Aku kembali menangis dan membenamkan kepalaku pada tubuh mungilnya. Tiba-tiba saja terasa ada yang mengusap kepalaku, kontan aku terbangun. Kulihat Aa membuka matanya seraya tersenyum manis. "Bu-n-da….""Aa, Ya Allah sayang, kamu sudah sadar. Nak. Alhamdulillah…." Aku pun kembali menangis karena haru, lalu segera memanggil Kang Andi. "Kang! Kang! Aa sudah sadar," ujarku tak perduli dengan tatapan Dita dan keluarganya aku hanya ingin Kang Andi s