Pukul 19:00 pun tiba….
Trining … terdengar suara dari handphoneku tanda pesan masuk.
[Lihatlah keluar gerbang rumahmu Nona, saya berada di mobil hitam menunggumu, tidak perlu takut, kamu boleh membawa Ayahmu jika khawatir aku culik]
Apa-apaan ini, aku diamkan saja.
10 menit
15 menit, bahkan sampai 30 menit.
[Saya masih menunggu, berharap Nona mau menemui]
Diam terus di kamar aku pun, gelisah.
"Pak itu di luar mobil siapa ya, kok parkir depan rumah kita?" tanya Mamah kepada Bapak.
"Kurang tahu, Mah. Mungkin saja tamu tetangga kita."
Aku yang mendengar obrolan mereka pun akhirnya penasaran dan keluar gerbang untuk melihat, benar saja tak lama kaca mobil di buka dan seorang laki-laki melambaikan tangannya.
_______
Entah apa yang merasukiku saat itu aku bertengkar hebat dengan Mamah hanya karena lagi-lagi Mamah membicarakanku dengan paratetangga, aku tak terima ketika Mamah bilang kalau Aa anakku anak setan, yah, maksud setan di sini Mamah mengatai Kang Andi.
Soal Mamah menghinaku, aku bisa terima tapi karena kali ini Mamah menghina anakku akhirnya aku pun murka, lalu pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Bapak. Saat inilah aku memutuskan untuk pergi dengan Andre dan menikah dengannya, mungkin ini terdengar gila tapi itulah kenyataannya.
"Kamu yakin mau menikah denganku?" tanya Andre.
"Ya, asalkan kamu membawaku pergi jauh dari sini."
"Kamu mau ke mana? Akan kuturuti tapi aku punya usaha di Singapura apa kamu mau jika kita tinggal di sana saja."
Akhirnya aku pun mengiyakan, aku menikah hanya di catatan sipil setelahnya aku pun ikut pindah ke Singapura berharap bisa melupakan semuanya.
Jujur sebenarnya Andre hanya sebuah pelarian saja, tak ada rasa cinta dalam hatiku, tapi ia bersikap sangat baik terhadap anakku.
Ada hal yang aneh darinya setelah menikah dia tidak pernah menyentuhku layaknya pasangan suami istri, aku yang masih normal tentu saja mengharapkan itu. Ia memberiku segalanya kecuali nafkah bathin.
"Apa aku begitu menjijikan sehingga kamu tidak mau menyentuhku?"
Andre hanya diam dan menarik nafas.
"Katakan Andre, untuk apa kau menikahiku? Jika aku hanya kau jadikan pajangan saja!"
"Maafkan aku, Vi. Jujur saja aku sangat mencintaimu aku juga menyayangi anakmu, ta-pi …."
"Tapi apa?"
Andre menarikku dalam pelukannya, lalu ia meraih tanganku dan memasukannya kedalam celananya, aku menyentuh miliknya, kami saling bertatapan dan berkali-kali aku memainkannya, tetapi miliknya tak kunjung berdiri.
Aku kembali memandangnya ia pun mengangguk dan terlihat matanya berkaca-kaca.
"Aku tidak punya kemampuan untuk itu, Vi. Demi Tuhan aku akan melepaskanmu, aku tahu kamu tersiksa. Akan kuurus surat cerai kita kembalilah ke Indonesia, akan kuberikan sejumlah uang untuk kompensasi karena selama ini kamu sudah jadi istri yang baik. Hari ini juga aku TALAK kamu Evita binti Marwan!"
Mendengar ucapannya aku pun hanya terdiam berusaha mencerna semuanya, Andre meninggalkanku sendiri di kamar sedangkan aku masih terkejut bagai kena aliran listrik, apa aku akan menjanda untuk yang kedua kalinya, setelah tiga tahun menikah mengapa aku baru tahu kalau dia ... Ya Tuhan … apakah ini karma karena aku kawin lari, menikah tanpa restu dari orang tua.
Setelah hari ini tak lagi kulihat Andre, yang datang menemuiku hanya asisten juga pengacaranya, mereka mengurus semua berkas untuk kepulanganku ke Indonesia. Tak tanggung-tanggung Andre memberiku harta yang bagiku cukup banyak, mungkin tak akan habis jika hanya kugunakan untuk aku juga Aa. Aku tak perlu khawatir untuk masa depan Aa.
"Bu Evita ini semua berkas yang harus anda tandatangani," ucap asisten Andre.
"Di mana Andre? Tolong saya ingin bertemu dengannya sebelum pulang ke Indonesia."
"Maaf Bu Evita kami tidak tahu, kami hanya diperintahkan untuk mengurus berkas-berkas saja."
Aku benar-benar kecewa, mengapa Andre malah menghilang sejak hari di mana dia memberikan Talaknya, padahal mungkin masih bisa dibicarakan tapi dia malah memilih melepasku.
_____
Aku pulang….
Setibanya di Indonesia aku malah bingung harus ke mana, pulang kerumah Bapak dan Mamah rasanya malu, untuk sementara aku menginap di Hotel lalu mencari informasi tentang Kang Andi melalui akun media sosial teman-temannya.
Akhirnya aku temukan, ternyata Kang Andi sudah menikah lagi dan menetap di Bandung, mengapa takdir berpihak padanya, sedangkan aku?
"Bunda, kenapa kita di sini? Di mana Papah Andre? Aku kangen Bunda," tanya anakku Aa Alfarizi.
Aku memeluk Aa, tak kusangka jika ia merindukan Andre padahal Ayah kandungnya Kang Andi, aku tak tega tapi untuk kembali pada Andre pun sepertinya sudah tak mungkin.
Aku memutuskan untuk tinggal di Bandung, aku ingin Aa mendapatkan kasih sayang Ayahnya kembali, aku tak rela Kang Andi bahagia sementara pernikahanku kembali hancur.
Kini aku kembali….Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya bisa beres dengan uang, dengan apa yang aku miliki saat ini semua urusan terasa begitu mudah. "Bagaimana, apa saya bisa mendapatkan rumah itu?" tanyaku kepada seorang pengacara kenalanku."Tentu saja Nona Evita semua bisa saya urus dan anda tinggal mentransfer uangnya.""Baiklah, anda atur semuanya."Aku tersenyum puas, kujelajahi kembali akun media sosial untuk mencari informasi tentang Kang Andi. Lalu kuhubungi orang-orang yang dulu menjadi teman komunitasnya, aku pikir setelah bercerai denganku Kang Andi akan menikah dengan Ara, tapi nyatanya ia malah memilih gadis asal Bandung, aku jadi semakin penasaran setelah tahu info dari temannya. Rumah mewah di kawasan Bandung kini sudah aku miliki, aku pun mencari empat pegawai untuk bekerja di rumahku, untuk menggaji mereka tentu aku mampu. Dengan uang yang aku miliki aku pun memutarnya untuk berbisnis pakaian, tas dan barang-barang lainnya aku jual lewat online. Aku memil
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Istri Kang Andi. "Dita! bisa aku jelaskan, tadi Evita hampir jatuh," ujar Kang Andi. "Oh, iya. Tanahnya memang licin di tambah si Tetehnya pake sepatu tinggi kaya artis," ujar wanita itu seraya tersenyum, sepertinya ia percaya saja dan tidak mempermasalahkannya, ataukah istri Kang Andi memang sepolos itu, baguslah sepertinya aku bisa merebut Kang Andi kembali. "Bunda, aku senang main dengan Kinara, nanti aku boleh main lagi ke sini, ya.""Tentu saja boleh, Aa," ujar wanita itu masih bersikap ramahramah sebelum aku menjawabnya. "Baiklah, Kang, Dita, aku pamit dulu, Aa sayang salim sama Ayah," Aa pun mencium tangan Kang Andi. "Salim juga dong sama Umi Dita," ujar Kang Andi, anakku pun menurutinya. Sebelum pergi kembali kutatap Kang Andi, kulirik sekilas istrinya sepertinya dia menahan cemburu hanya saja dia pura-pura menyembunyikan perasaannya. ______Esoknya aku kembali dengan wajah yang lebih ramah, aku harus bisa masuk ke kehidupan mereka denga
Sesampainya di rumah, Aa tertidur pulas di mobil, Lagi-lagi Kang Andi menggendongnya. "Vi, biar aku yang gendong Aa, kamu tunjukan saja di mana kamarnya,""Baik, Kang."Setelah Aa di tidurkan aku mengantar Kang Andi ke depan. "Kang, tidak ngopi dulu?""Tidak, terimakasih. Aku takut Dita khawatir karena menungguku.""Oh, iya. terimakasih ya, Kang. Untuk hari ini, sepertinya Aa sangat Happy. Kamu ingat tidak, Kang. dulu kita merayakan ulang tahun Aa yang pertama saat di Bogor."Kulihat Kang Andi nampak diam lalu menarik nafas. "Vi, maafkan aku atas masalalu kita," ucap dia akhirnya. "Andai saja, kita masih bersama, Kang." Kang Andi tidak berucap apa-apa tapi sorot matanya menginginkan hal yang sama. "Vi, aku pulang dulu, ya."Aku pun mengantar ia ke depan, aku yakin kalau Kang Andi masih mencintaiku, yang aku heran, mengapa Kang Andi bisa menikahi wanita itu, aku tahu bagaimana selera Kang Andi, sedang Dita jauh sekali. Terkadang jika mengingat saat-saat dia menyia-nyiakan kami,
"Hallo, iya, Kang ada apa? Aku sudah selesai, kok.""Aku jemput kamu, ya?""Jemput? Kenapa harus di jemput aku bawa mobil, kok.""Hmm itu.""Hallo ada apa Kang?""Kamu tenang ya, Vi. Tolong segera kamu datang ke Rumah Sakit Bhakti ya, Vi.""Ada apa? Kang, mengapa aku harus ke sana?"Tuuuut… Sial malah mati, aku terus mencoba menghubungi Kang Andi, tetapi Kang Andi tidak mengangkat telponku, perasaanku jadi tak enak mengingat Aa. Aku pun bergegas pergi ke rumah sakit yang di maksud. Sesampainya di sana, di parkiran sudah ada Kang Andi. "Vi, ayo ikut Akang.""Ke mana? Ada apa, Kang! Kenapa bajumu banyak darah?"Kang Andi masih diam sampai aku menarik tangannya "Jawab aku, Kang! Ada apa?""Aa, Vi.""Aa kenapa?""Aa jatoh saat main di halaman.""Jatoh bagaimana maksudmu, Kang! Aku kan titip dia cuma sebentar!"Aku pun bergegas berlari, " di mana dia, katakan di mana?"Saat aku berjalan di depan ruang perawatan, kulihat baju Dita berlumuran darah sedang menggendong anaknya. Aku pun mend
"Tunggu sebentar, Vi. Aku keluar dulu." Aku pun mengangguk diam-diam kuikuti Kang Andi. Benar saja Kang Andi sedang mengejar seorang perempuan yang sepertinya sedang menangis. "Tahu rasa kamu, Dita. Baru begitu saja kamu cemburu, lalu bagimana sakit hatinya aku menyaksikan anakku terkulai lemas."Nampak Kang Andi sedang menjelaskan sesuatu pada Dita. Tiba-tiba saja, di belakang mereka datang kembali orang tua Dita. Sepertinya orang tua Dita selalu berusaha ikut campur. Aku kembali ke kamar perawatan. "Aa, sayang … bangun, Nak. Ini Bunda."Aku kembali menangis dan membenamkan kepalaku pada tubuh mungilnya. Tiba-tiba saja terasa ada yang mengusap kepalaku, kontan aku terbangun. Kulihat Aa membuka matanya seraya tersenyum manis. "Bu-n-da….""Aa, Ya Allah sayang, kamu sudah sadar. Nak. Alhamdulillah…." Aku pun kembali menangis karena haru, lalu segera memanggil Kang Andi. "Kang! Kang! Aa sudah sadar," ujarku tak perduli dengan tatapan Dita dan keluarganya aku hanya ingin Kang Andi s
"A- Aa!""Vi, tenang dulu, sebentar aku panggil Dokter."Kang Andi pun bergegas untuk memanggil Dokter. Setelah Dokter dan Suster datang mereka meminta kami untuk keluar sebentar, sementara hape Kang Andi terus saja bunyi, kulihat Kang Andi mulai gelisah. Tapi aku tak perduli aku lebih gelisah lagi dengan keadaan Aa. "Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanyaku setelah Dokter keluar dari ruang perawatan. "Tenang, Bu. Semua baik-baik saja, itu hanya pengaruh obat saja, anak Ibu tetap bisa pulang besok.""Alhamdulillah, apa kami boleh melihatnya, Dok?""Tentu saja, silahkan. Oh iya ini resep obat yang harus anda tebus.""Baiklah, Dok. Terimakasih."Setelah Dokter pergi aku pun bergegas masuk, kulihat Aa masih memejamkan matanya. "Kang, daritadi hape kamu bunyi terus, lebih baik kamu pulang saja, kami baik-baik saja, kok," usirku secara halus. Kulirik sekilas Kang Andi nampak mematikan hapenya. "Aku akan tetap di sini sampai mengantar kalian pulang."Hatiku pun bersorak mendengar
Renal pun berlalu pergi, dengan tatapan menantang. "Kang! Tidak seharusnya kamu bersikap seperti itu, bagaimanapun juga dia sudah menolongku.""Sebaiknya kamu tidak dekat-dekat dengannya," ujar Kang Andi yang kontan membuatku emosi. "Apa hak kamu mengatur hidupku, Kang! Kamu sudah bukan suamiku.""Maaf, tapi aku hanya ingin melindungimu, Vi. Renal bukan laki-laki yang baik.""Lalu apakah kamu laki-laki yang baik? Jangan terlalu naif, Kang. Mana ada laki-laki yang sepenuhnya baik.""Aku mohon kali ini dengarkan, aku. Jauhi Renal.""Egois!""Terserah apa pendapatmu?""Apa kamu cemburu jika aku dekat dengan, Renal?""Mungkin.""Apa kamu masih mencintaiku, Kang?" Kang Andi hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaanku. "Jawab, Kang. Kenapa diam!""Aku tidak tahu, Vi. Tapi dalam lubuk hati terdalam aku ingin mengulang masa lalu kita, aku ingin kita kembali menjadi keluarga yang utuh, ta-pi … aku tidak sanggup kalau harus menyakiti Dita.""Sudahlah, Kang. Malas aku dengar omong kosongmu!"A
Aku tidak punya rasa benci atau pun kecewa kepada Mamah. Tentang masa lalu Bapak mungkin sudah seperti itu jalannya. "Pak, siapa nama Ibu kandung Evita?" Bapak nampak menarik nafas panjang. "Ibumu bernama Marlina. Dia seorang gadis yang cantik dan baik hanya saja nasibnya kurang beruntung karena telah menikah dengan Bapak. Semoga saja dia baik-baik saja dan hidup bahagia," ujar Bapak sendu. "Apakah sama sekali Bapak tidak pernah tahu bagaimana kabarnya?" "Tidak, Vi. Bapak benar-benar tidak tahu, setelah Bapak memberikan sejumlah uang permintaan Ibu Marlina untuk pengobatan Ayahnya, Ibu Marlina menghilang, Bapak hanya dengar kabar kalau Ayahnya meninggal. Ketika Bapak mencoba mencari tahu lagi, Bapak sudah tidak lagi menemukan jejaknya. Sungguh itulah yang terjadi." "Vi, kini Bapak sendiri, kamu mau ya kembali tinggal di sini? Rumah ini akan terasa hidup kembali jika ada kamu juga Aa." "Itu Evita pikirkan dulu ya, Pak. Karena Evita sudah punya rumah di Bandung." "Oh iya, Ba