"Kang, mau ke mana kamu?"
"Cerewet! Apa setiap mau pergi, harus kuberitahu mau ke mana."
"Bukan begitu, Kang. Tapi ini sudah malam!"
"Justru karena sudah malam, sebaiknya kamu tidur, jangan banyak omong!" bentak kang Andi sambil berlalu pergi membawa jaket juga kunci motornya.
Dua belas tahun berumah tangga, banyak ujian diawal pernikahan, karena terhalang restu orang tua. Kenalkan namaku, Evita. Usiaku 19 tahun, aku memilih laki-laki biasa dari kota Bogor, Kang Andi.
"Vi, sepertinya mamahmu kurang suka terhadapku, maafkan Akang ya, belum bisa membuatmu bahagia," ucap kang Andi.
"Jangan bicara seperti itu, Kang. Sudah cukup cinta yang akang berikan untukku dan aku cukup bahagia dengan itu."
"Tidak, Vi. Semua itu tidak cukup, Akang harus sukses, agar tidak direndahkan oleh keluargamu."
"Apa yang akan Akang lakukan? Evita janji akan mendukung Akang, agar Akang menjadi orang sukses."
"Terimakasih, sayang, Akang mau usaha Vi," ungkap Kang Andi.
Sejak hari itu, dengan modal dari Bapakku, lalu suport dan kerja keras, aku dan suami berhasil sukses, hingga memiliki lima kios di mall besar di kota Bogor.
Bukan hanya soal ekonomi, bahkan
Perjuanganku untuk mendapat seorang anak pun tidak mudah, karena hingga 8 tahun pernikahan aku baru dikaruniai seorang anak, alangkah bahagianya aku, mendapat seorang putra yang lucu dan ganteng, tentu itu membuat rumah tanggaku semakin harmonis.
______
Kala covid melanda dan dijalankannya PSBB, di mana mall tidak boleh buka, jadilah usahaku dan suami agak tersendat, di sanalah sedikit-sedikit terjadi cekcok dan pertengkaran antara kami, karena kurangnya komunikasi.
Terlebih setelah suamiku mengikuti salah satu komunitas grup, aku tidak mengerti kegiatan mereka, suamiku selalu pulang malam, dengan bilang rapatlah, ulang tahun temen grup lah, kumpul-kumpul ngga jelas dan seringnya senyum-senyum sendiri ketika melihat ponsel.
"Kang, ada apa, kok senyum-senyum sendiri?"
"Ini loh, Bun. Anak-anak becandaannya lucu banget."
"Anak-anak, siapa maksudnya?"
"Oh, iya. Akang lupa bilang, sekarang Akang ikut kegiatan di komunitas, Bun. Visi misinya benar-benar bagus, loh. Banyak membantu orang lain."
"Benarkah seperti itu, Kang?"
"Tentu saja, orang anggotanya saja orang-orang yang paham agama, kok," ucapnya yakin.
Dia selalu menghindariku ketika ada hal serius tentang bisnis yang ingin kubahas, makin ke sini makin terlihat ogah-ogahan
dalam menjalankan usaha kami, padahal ada beberapa karyawan yang bergantung hidup pada kami.
Izin berangkat pergi ke kios nyatanya entah ke mana, kulihat akun media sosial suamiku terpampang jelas fotonya dengan beberapa ibu-ibu yang memang usianya lebih tua dariku namun berkelakuan layaknya ABG, jujur aku jengah melihatnya, terlebih melihat senyum semringah suamiku yang seolah menikmati kebersamaan itu.
"Kang, bisa kita bicara? Bagaimana dengan pendapatan kios kita?"
"Sudah tahu sekarang mall tidak boleh buka, kamu malah tanya itu."
"Tapi kan, kita bisa jualan scara online."
"Iya kalau itu, kamu sajalah yang atur, kamu lebih paham pastinya," ucapnya sambil berlalu pergi.
Dia lebih mementingkan kegiatan sosialnya, daripada membahas soal usaha yang sedang dijalankan, yang membuatku kesal, dia sering berboncengan dengan Ara, seorang janda. Sudah cukup banyak foto-foto kedekatan kang Andi dengan Ara. Awalnya aku berpikir positif, sampai akhirnya siang itu.
"Bun, Ayah mau pergi ke setu(danau) dulu, yah, sama teman komunitas," ucap kang Andi
"Tapi, Kang. Kasian si Aa (anak kami) sepertinya dia sudah lama ngga kita ajak main."
"Kan, bisa lain kali, Bun. Kegiatan ini untuk perkenalan antar anggota, supaya silaturahmi kami semakin terjaga."
"Tolonglah kang, kali ini saja, sepenting apa acara itu, bukankah tiap malam juga Akang ikut kegiatan, masa hari minggu pun harus pergi sama mereka lagi?"
"Sudahlah, Bun. kamu jangan cerewet! Aku pergi."
"Tapi, Kang …! Akang …." Belum juga kuselesaikan kalimatku dia sudah pergi lagi.
Diapun berlalu meninggalkanku dan pergi dengan sepeda motornya, lagi-lagi kulihat foto-foto kebersamaan mereka. Kang Andi dan Ara, mereka benar-benar seolah kembali layaknya ABG lupa dengan status dan umur.
Apakah begini silaturahmi yang baik, sementara anak dan istri terabaikan? Aku bukan wanita yang pengekang andai memang kegiatannya membawa hal positif aku akan mendukungnya, namun nyatanya kang Andi lebih memilih dengan teman-teman komunitasnya dari pada menghabiskan waktu dengan anak istrinya.
Beberapa kali aku tegur, kang Andi malah menjadi. Puncaknya hari ini anakku sedang kurang sehat aku memintanya untuk menemani kami, tapi dia kembali meninggalkan kami bahkan dengan membentak-bentak.
"Kang, Aa sakit, antar kami ke dokter ya?"
"Kenapa sekarang kamu manja, Vi. Biasanya juga bawa sendiri, sudah kamu pergi saja sendiri sana."
"Loh, memang Akang mau ke mana?"
"Bukan urusan kamu, dasar wanita sialan!"
Aku yang sakit hati mengancamnya untuk pulang kerumah orang tuaku, bukannya melarang dia malah mempersilahkanku pergi.
"Baik, kalau sikap Akang seperti ini lebih baik aku pulang."
"Pulang sana, kamu pikir aku perduli!"
Sampai satu bulan aku di rumah orang tua, tidak ada inisiatif dia untuk menjemputku, malah rumah kami yang di Bogor dijadikan sarang perkumpulan mereka, bagaimana aku tidak meradang.
Kang Andi bilang teman-teman satu komunitasnya kebanyakan orang yang paham agama, kegiatannya pun positif menjenguk orang sakit, menyantuni anak yatim, juga berbagai kegiatan sosial lainnya, paktanya yang kulihat dari akun medsos komunitas itu sendiri, malah banyak kumpul, makan, dangdutan.
Hiburan-hiburan ngga jelas.
Di mana letak positifnya, kalau dia saja mulai tidak perduli dengan keluarganya.
Saat malam putraku satu-satunya mengalami demam, dia terus menerus menyebut ayahnya, meski rasa gengsi menyelimuti, akhirnya kukalahkan egoku, malam itu aku menghubunginya.
Tuuuut ...Tuuuut….
Tak lama telpon diangkat.
"Kang, Aa panas dari tadi dia panggil-panggil nama kamu, tolong Kang kamu segera datang."
"Salah sendiri, kenapa kamu pulang kerumah orang tua kamu, sekarang seenaknya nyuruh aku datang!"
"Ya ampun, kita ngga usah bahas masalah kita, tolonglah kamu mengalah lihat sebentar anak kita," pintaku memelas
"Kamu pikir dekat apa dari Bogor ke Banten! Sudah jangan ganggu aku."
Tuuuuuuuuttt
Tiba-tiba telpon dimatikan.
Esoknya kulihat status watshap salah satu teman suamiku yang satu komunitas, di sana kang Andi nampak bahagia berfoto bersama di pantai Pelabuhan Ratu.
Ya Tuhan … hatiku menjerit kenapa dia malah pergi rekreasi sementara anaknya sakit dan butuh dia. Namun dia tidak perduli, dan yang semakin membuatku meradang, lagi-lagi foto dia bersama Ara terpampang di beranda F******k komunitas itu.
Akhirnya kuberanikan diri menghubungi orang-orang yang berpengaruh di komunitas itu, hasilnya, nihil. Satupun tidak ada yang menanggapi, dan menganggap aku cari perhatian saja.
Karena kesal akhirnya kuputuskan membuat surat terbuka di beranda F******k agar semua anggota komunitas itu membacanya betapa ada seorang istri yang merasa terganggu dengan kegiatan-kegiatan mereka.
Benar saja hal ini memancing kemarahan suamiku. Dia merasa aku permalukan karena menyangkut pautkan masalah rumah tangga dengan komunitasnya.
Seketika dia menghubungiku.
Trininnggg....
"Hallo, Yah, a-." Belum juga kuselesaikan kalimatku.
" Heh, dasar wanita sialan, kurang ajar, tidak tahu diri, kamu sengaja bikin aku malu, posting-posting masalah di F******k. Ingat yah, mulai saat ini dan selamanya kamu tidak perlu menginjakan kaki lagi ke Bogor, saat ini juga, aku talak kamu!"
"Vi, bagaimana suami kamu, masa istri dan anaknya di sini tidak ditengokin ataupun dijemput?" tanya Mamah. "Mah, sebenarnya … Evita sudah dicerai, Mah. Sama kang Andi, melalui telpon," ucapku sambil terisak. Namun tak kusangka tanggapan Mamah datar-datar saja. "Oh begitu, yasudahlah, kamu masih muda masih banyak yang mau sama kamu, tidak perlu kamu pikirkan, laki-laki model begitu," ucap Mamah dengan entengnya. Aku hampir tak percaya kalau Mamah mengucap kalimat itu. Bulan berlalu ... Hati terasa hampa, ada rindu yang menggebu dalam hati ini. Aku harus bangkit dan memperbaiki semua ini, terlebih tentang usahaku dimasa pandemi seperti ini harus kuakali dengan berjualan scara online. Dua bulan kang Andi mengacuhkanku, seolah membuangku begitu saja, dia tidak sadar kalau apa yang dimiliki saat ini semua bermula dari modal bapakku. "Vi, apa yang terjadi, katakan pada Bapak, apa benar yang Mamah katakan, kalau kamu dicerai?" tanya Bapak. Aku diam sejenak, berusaha menata hatiku juga
"Mamah! Hentikan, Mah. Apa Mamah senang kalau semua orang tahu apa yang terjadi pada Evi, saat ini?" tanyaku sambil terisak. "Halah, tidak usah lebay kamu, Vi." Jawab Mamah enteng lalu berlalu pergi mengajak Bi Esih berbincang, terlihat Bi Esih yang tidak enak hati, ia pun menatapku dengan tatapan iba. ______Dingin malam mengusik jiwaku, kembali teringat laki-laki yang dulu menikahiku kini hanya menjadi sang mantan meski belum resmi bercerai secara hukum. Makin lama rasanya aku semakin membencinya pintu maaf yang kubuka lebar-lebar perlahan kian menutup, mungkin saja akan kugembok. Sakit karena disia-siakan dengan segala ketidakpastian membuatku jatuh pada suatu kehampaan. Masih pantaskah dia kutunggu? "Sampai kapan kamu seperti ini, Vi. Apa tidak sebaiknya kamu urus saja perceraianmu, daripada statusmu ngegantung," saran Mamah. "Iya, Mah. Mungkin Mamah benar, Evita harus segera urus perceraian, ta-pi, bagaimana dengan usaha Evita di Bogor, Mah?" "Bagaimana apanya? Kamu ini mema
Rumah tangga hancur karena komunitas grup PART 4Anak Pak CamatSore ini kuajak Aa jalan-jalan di Taman Kota, aneka balon berwarna-warni menarik perhatiannya. "Nda ... Aa mau ntu," ucapnya sambil menunjuk salah satu balon berwarna biru berbentuk doraemon. "Aa mau yang ini?" "Iya ... Yang ntu Nda.""Yaudah sebentar yah sayang."Akupun mengambil balon yang Aa minta. "Yang ini berapa Mang?" tanyaku ke tukang balon"Semua harga sama Teh sepuluh ribuan," jawabnya. "Oke, satu Mang yang Doraemon."Aa pun nampak senang, dia menggenggam erat balon itu, hanya dengan melihatnya seperti ini rasanya segala kesakitan untuk sementara terlupakan. Karena hari menjelang petang, akupun segera pulang, saat aku sedang memarkirkan motor di halaman depan rumah, Aa yang sudah kuturunkan langsung masuk ke dalam, dengan ceria dia bawa balon itu sambil berlari. Namun saat aku kedalam, aku terpaku karena bingung, kulihat Aa mendekati seorang pria yang sedang ngobrol dengan Bapak. Dia pun memanggilnya den
Sudah tiga bulan berlalu setelah kata talak itu, rasanya sudah habis kesabaranku. "Bagaimana, Vi. Apa kamu sudah mengambil keputusan?" Tanya Bapak. "Iya, Pak. Sepertinya Evita sudah yakin untuk mengurus surat perceraian.""Yasudah, kalau itu keputusanmu, Bapak akan kenalkan kamu dengan seorang pengacara, biar dia saja yang urus semuanya.""Terimakasih, Pak." Bapak berlalu pergi dengan tatapan yang entahlah. Aku tahu Bapak pasti kecewa, tidak ada orang tua yang ingin rumah tangga anaknya gagal, pun, demikian dengan Bapak. Tak menunggu lama, esoknya aku berangkat ke Bogor, aku mengganti semua kunci kios, sehingga Kang Andi tidak bisa lagi datang apalagi mengelolanya, kualihkan semuanya kepada orang kepercayaanku. ______"Vi, di depan ada Amir," ucap Mamah"Iya, Mah. Sebentar."Akhir-akhir ini Amir memang gencar mendekatiku, tetapi hatiku masih saja mengharapkan Kang Andi, aku masih berharap Kang Andi datang dan meminta rujuk, nyatanya setelah kunci kios kuganti ia malah semakin mer
"Benar-benar keterlaluan si Andi itu, Pak. Bikin malu saja, untung Evita sudah cerai sama dia, amit-amit punya menantu tukang mabok," ujar Mamah. "Sudahlah, Mah. Yang penting sudah dibereskan." "Maksud Bapak, apa dibereskan, Pak? Kang Andi baik-baik saja, kan. Pak?" "Kamu pikir Bapak berbuat apa? Bapak masih punya moral, Vi. Bapak sudah memerintahkan Pak RT untuk urus mantan suamimu, bukan untuk membunuhnya, meskipun sebenarnya hal itu ingin sekali Bapak lakukan!" Bentak Bapak penuh emosi. Kejadian hari ini benar-benar membuat citra Kang Andi makin buruk di mata orang tuaku, sepertinya memang sudah tidak pantas lagi jika aku masih mengharapkannya. Aku pikir orang tua adalah tempat ternyaman untuk aku kembali tapi nyatanya sikap Mamah makin lama makin membuatku tak nyaman untuk tetap di rumah ini. "Punya anak ngga berguna, sekarang malah bikin susah orang tua, dosa apa aku ini," ujar Mamah yang kudengar ngedumel sendiri sambil melotot kearah anakku, seketika Aa berlari kearahku.
Pukul 19:00 pun tiba….Trining … terdengar suara dari handphoneku tanda pesan masuk. [Lihatlah keluar gerbang rumahmu Nona, saya berada di mobil hitam menunggumu, tidak perlu takut, kamu boleh membawa Ayahmu jika khawatir aku culik]Apa-apaan ini, aku diamkan saja. 10 menit15 menit, bahkan sampai 30 menit. [Saya masih menunggu, berharap Nona mau menemui]Diam terus di kamar aku pun, gelisah. "Pak itu di luar mobil siapa ya, kok parkir depan rumah kita?" tanya Mamah kepada Bapak. "Kurang tahu, Mah. Mungkin saja tamu tetangga kita."Aku yang mendengar obrolan mereka pun akhirnya penasaran dan keluar gerbang untuk melihat, benar saja tak lama kaca mobil di buka dan seorang laki-laki melambaikan tangannya. _______Entah apa yang merasukiku saat itu aku bertengkar hebat dengan Mamah hanya karena lagi-lagi Mamah membicarakanku dengan paratetangga, aku tak terima ketika Mamah bilang kalau Aa anakku anak setan, yah, maksud setan di sini Mamah mengatai Kang Andi. Soal Mamah menghinaku,
Kini aku kembali….Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya bisa beres dengan uang, dengan apa yang aku miliki saat ini semua urusan terasa begitu mudah. "Bagaimana, apa saya bisa mendapatkan rumah itu?" tanyaku kepada seorang pengacara kenalanku."Tentu saja Nona Evita semua bisa saya urus dan anda tinggal mentransfer uangnya.""Baiklah, anda atur semuanya."Aku tersenyum puas, kujelajahi kembali akun media sosial untuk mencari informasi tentang Kang Andi. Lalu kuhubungi orang-orang yang dulu menjadi teman komunitasnya, aku pikir setelah bercerai denganku Kang Andi akan menikah dengan Ara, tapi nyatanya ia malah memilih gadis asal Bandung, aku jadi semakin penasaran setelah tahu info dari temannya. Rumah mewah di kawasan Bandung kini sudah aku miliki, aku pun mencari empat pegawai untuk bekerja di rumahku, untuk menggaji mereka tentu aku mampu. Dengan uang yang aku miliki aku pun memutarnya untuk berbisnis pakaian, tas dan barang-barang lainnya aku jual lewat online. Aku memil
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Istri Kang Andi. "Dita! bisa aku jelaskan, tadi Evita hampir jatuh," ujar Kang Andi. "Oh, iya. Tanahnya memang licin di tambah si Tetehnya pake sepatu tinggi kaya artis," ujar wanita itu seraya tersenyum, sepertinya ia percaya saja dan tidak mempermasalahkannya, ataukah istri Kang Andi memang sepolos itu, baguslah sepertinya aku bisa merebut Kang Andi kembali. "Bunda, aku senang main dengan Kinara, nanti aku boleh main lagi ke sini, ya.""Tentu saja boleh, Aa," ujar wanita itu masih bersikap ramahramah sebelum aku menjawabnya. "Baiklah, Kang, Dita, aku pamit dulu, Aa sayang salim sama Ayah," Aa pun mencium tangan Kang Andi. "Salim juga dong sama Umi Dita," ujar Kang Andi, anakku pun menurutinya. Sebelum pergi kembali kutatap Kang Andi, kulirik sekilas istrinya sepertinya dia menahan cemburu hanya saja dia pura-pura menyembunyikan perasaannya. ______Esoknya aku kembali dengan wajah yang lebih ramah, aku harus bisa masuk ke kehidupan mereka denga
"Teh Evita!""Iya, ini aku Dit? Apa kabar?" ucapku sambil mengulurkan tangan. "Kabar baik," Ia pun menatap Amir juga Bapak. "Oh, iya. Dit. Kenalkan ini suamiku, Amir dan ini Bapakku."Dita pun menangkupkan kedua tangannya, lalu mempersilahkan kami masuk. "Mari masuk, Teh. Pak … eh Aa apa kabar?""Kabar baik, Umi Dita, Aa kemari karena kangen sama Kinara, Aa yang paksa Bunda untuk datang kemari, di mana Kinara, Umi?""Kinara ada di dalam, mari masuk….""Ada siapa, Um?" tanya Kang Andi dari dalam. Bukan menjawab Dita malah agak salah tingkah, sepertinya dia memang terkejut dengan kehadiranku."Ayo mari masuk," Lagi-lagi Dita menawari kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Baru juga kakiku melangkah tiba-tiba saja Kang Andi muncul dari balik pintu. Seketika mata kami beradu, Kang Andi terlihat lebih kaget melihatku, entah mengapa ada perasaan aneh yang kembali menjalar di hatiku. "Kang, apa kabar?" tanyaku berbasa-basi. "Ba-baik," Jawabnya, melihat Bapak ia pun segera mencium tangan Ba
"Ya ampun, kamu mau apalagi, Mir? Apa kamu belum puas?"Amir tak menjawab pertanyaanku, tapi lagi-lagi dia mengulang ritual tadi, tapi kali ini di kamar mandi. Setelah ia kehabisan tenaga, aku pun segera membersihkan diri, kutinggalkan saja dia di kamar mandi, kalau tidak, kapan akan selesai. Saat aku hendak memakai baju, tiba-tiba ponsel Amir terus saja berdering, kulihat sebuah nama di layar ponselnya. 'Si Bawel'Siapa yang dia tulis Si Bawel, penasaran kuangkat dan kujawab saja. Belum juga aku berucap, dari sebrang terdengar suara perempuan. "Halloo, Mir. gimana jadi ngga? Jangan bilang batal cuma gara-gara istri kamu, ya. Kamu pernah bilang kamu bakal selalu utamain aku. Awas kalau kamu ingkar janji, hallo, halooo, Mir, kok kamu diam saja!""Ma-af, Amirnya sedang mandi.""Isshhh!" Seketika perempuan tadi mematikan ponselnya seperti marah. Kusimpan kembali ponsel Amir dan tak mau terlalu memikirkannya.Setelah Amir selesai mandi. "Sayang tadi ada yang telpon kamu, aku bilang
"Apa maksud kamu, Amir?""Maaf, maaf kan, aku sayang, aku hanya sedang pusing." Ia mencoba meraih kedua tanganku dan kembali mencumbuiku. Namun, aku merasa hambar setelah mendengar ucapannya tadi. Segera kulepaskan kedua tangannya, lalu beranjak ke kasur untuk tidur. Laki-laki seperti apa yang aku nikahi, mengapa masih pengantin baru saja, sudah berucap yang membuatku sakit hati. Esoknya … pagi-pagi aku meminta izin kepada Amir, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bapak saja, sebenarnya untuk membeli rumah pun, aku mampu. Aku hanya ingin tahu saja, sejauh mana tanggung jawab Amir. "Mir, kita sudah pernah bicara, kan. Kalau aku tidak betah tinggal di sini, kita tinggal di rumah Bapak saja, kasian beliau cuma sendirian, seandainya Bapak menikah barulah nanti kita cari rumah baru.""Terserah kamu, saja, Vi. Tapi orangtuaku bilang, mereka akan membangun rumah untuk kita, di lahan sebelah sana." Amir menunjuk sebuah lahan kosong samping rumah orangtuanya."Ya, itu sich terserah, kan.
"Vi, maaf ya, buat kami tidak nyaman." ujar Mamah. "Tidak apa-apa, Mah.""Sebentar ya, Vi. Mamah mau nemuin yang punya hajat dulu, setelahnya kita pulang, eh ngga pulang juga, sich. Ya kita belanja dulu lah, ke Mall, atau perawatan dulu gitu ke salon." "Yasudah, Evita tunggu di sini, ya. Mah."Mamah pun berlalu pergi, Lagi-lagi aku terjebak di sekumpulan ibu-ibu. "Siapa itu? Cantik ya?" ujar seorang ibu yang menggunakan kebaya marun. "Itu, menantunya Bu Camat." Jawab ibu-ibu yang berada di sampingnya. "Oh, yang katanya janda itu?""Husss, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya denger."Tak tahan aku pun menegur mereka, kali ini aku tidak boleh diam seenak hati mereka membicarakanku. "Kenapa, Bu? Ibu mekbucarakan saya? Iya saya memang menantunya Bu Camat dan saya memang janda, memangnya ada masalah apa ya?""Maaf, Neng … maaf, jangan diambil hati.""Saya tidak mengambil hati, saya cuma bertanya pada ibu-ibu semua, emang ada masalah apa dengan status saya? Toh pasangan saya saja me
Aku bersiap hendak berangkat arisan dengan Mamah Amir. "Yang, kamu sudah rapi?""Iya, aku titip Aa, ya," ucapku kepada Amir. Lalu aku pun pamit kepada Aa yang sedang main game di dalam kamar. "Aa, Bunda berangkat dulu ya, sama Enin. Baik-baik ya, sayang.""Iya, Bunda. Aa sudah janjian sama Papah mau ke rumah kakek, tapi Aa mau ajak Bibi ya, Bun.""Iya, sayang. Ajak saja," Ku kecup kening Aa lalu memeluknya. Aku pun segera turun ke bawah menemui Mamah. "Vi, kamu sudah siap? MasyaAllah menantu Mamah cantik banget, gadis-gadis juga kalah sama kamu, Vi.""Ah, Mamah. Bisa saja."Saat hendak berjalan keluar tiba-tiba saja Papah Amir memanggil. "Eh, kalian sudah mau pergi, apa tidak butuh supir?""Ngga perlu, lah, Pah. Biar Evita saja yang nyetir, iya, kan. Mah? " Mamah terserah kamu saja, Vi. Tapi lagi pula tidak begitu jauh, kok dari sini.""Memang Arisan di mana Mah?" tanya Papah Amir. "Itu, arisan di rumah Bu Broto.""Bu Broto yang rumahnya di Blok F?""Iya.""Oh, kirain Papah di
Pov Evita. Tak lama Amir mendorong perempuan tadi. "Kang Amir! Kok aku didorong."Amir seperti memberi kode pada perempuan itu, akan kehadiranku. Tapi perempuan itu tetap tidak mengerti kode dari Amir, dia terus saja nyerocos, berbicara tanpa jeda. "Kang, kenapa kamu ganti nomor? Aku mau menghubungi kamu benar-benar susah, kamu bilang mau balik lagi ke Jakarta, tahunya kamu malah betah tinggal di kampung! Aku kesepian, Kang."Kulihat tukang bubur pun nampak melirik kearahku, kubiarkan saja, adegan itu berlangsung, ingin tahu saja apa yang bisa Amir jelaskan padaku, entah mengapa tidak ada rasa cemburu dalam hatiku. Amir pun menghampiriku tanpa perduli pada perempuan yang masih nyerocos itu. "Vi, kenalin ini temanku Alesha, dia teman kerjaku di jakarta dulu."Aku melirik santai saja, kulihat Amir nampak gelagapan sendiri, mungkin tak enak hati dengan kejadian tadi. "Alesha! Kenalkan ini istriku, Evita," ujar Amir kepada perempuan itu, kulihat perempuan yang Amir panggil Alesha it
Wanita mana yang mau gagal dalam berumah tangga, karena statusku yang kini menikah sudah tiga kali tak ayal selalu menjadi gosip hangat para ibu-ibu. "Eh si Amir itu nikah sama anak Pak Kades yang janda itu ya?""Iya, kabarnya udah janda dua kali, mana punya anak lagi.""Ih, sayang amat ya, masa anak bujang nikah sama janda beranak.""Tapi meski janda si Evita cantik loh, dan katanya kaya juga karena dapet warisan atau apalah gitu, dari lakinya.""Ah bukannya lakinya miskin?""Iya, laki pertamanya miskin, kan suami keduanya kaya, orang luar negri kabarnya."Begitulah percakapan ibu-ibu yang kudengar ketika aku melintas dekat rumah Mamah Amir. Karena merasa tak nyaman aku pun tak mau lagi tinggal di rumah Mamah Amir, bukan karena keluarganya tetapi lebih karena lingkungannya. "Yang, kita tinggal di rumah Bapakku saja, ya, karena kasian Bapak kesepian.""Aku sich terserah kamu saja, di mana nyamannya. Sebenarnya aku juga sudah siapin rumah buat kita.""Rumah?""Iya.""Tapi aku juga pu
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,