Pov. Andi. Begitu rumit memahami wanita di mana mereka selalu merasa benar. Hari ini aku kecewa ketika istri dan adik iparku membuat keributan di rumah mantan istriku Evita, hal yang aku takutkan adalah kehilangan kembali akses untuk bertemu dengan anakku karena aku tahu bagaimana sifat Evita ketika kecewa, dan benar saja sehari setelah kejadian itu, Evita memblokir nomorku esoknya saat aku ke rumahnya ternyata dia sudah pulang ke Banten. Rasa kecewa dalam hatiku membuatku malas menggauli istriku, hubungan kami terasa semakin dingin, tetapi aku masih berusaha untuk bertanggung jawab karena tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, aku tidak mau gagal lagi dalam berumah tangga. Meski dalam hatiku selalu di cekam kerinduan terhadap Aa juga Evita. Masalah baru datang ketika Dita mengajak sepupunya, Mesya. Tinggal di rumah. Anak perempuan yang kupikir masih ingusan nyatanya malah berusaha menggoda imanku. Aku tak habis pikir mengapa Dita istriku sendiri begitu percaya kepada saudarany
"Aku masih belum mampu memahami ini semua, Kang. Jujur aku masih tak percaya sepenuhnya dengan apa yang Akang sampaikan," ucap Dita setelah beberapa saat kami hening, sontak saja hal itu membuatku terkejut. "Baiklah terserah, tapi sementara Mesya tinggal di sini, Akang lebih baik tinggal dahulu di rumah kebun bersama Romi.""Aku harap ini bukan alasan Akang untuk menghindariku, karena aku merasa Akang berubah setelah Teh Evita pergi lagi.""Masalah ini tentang Mesya, tidak ada hubungannya dengan Evita!""Apa karena Mesya mirip Teh Evita, sehingga Akang tidak suka.""Alasanku jelas, tapi kamu malah berputar-putar, Evita lagi Evita lagi, sudahlah aku malas. Aku pikir kamu wanita yang berpikiran smart ternyata….""Ternyata apa? Ternyata aku kampungan begitu?"Malas berdebat aku pun meninggalkan Dita, aku heran mengapa dia tidak paham bahkan tidak mempercayaiku. Aku pun pergi ke rumah kebun, rumah yang sebelum menikah aku tempati dengan Romi. Untungnya Romi selalu menyambutku dengan baik
"Jadi begini, Bah, Mak, mohon maaf sebelumnya, Andi tidak keberatan siapapun saudara Abah dan Emak jika mau tinggal di rumah kami, karena Andi cukup tahu diri, itu bukan rumah yang Andi bangun, melainkan hadiah dari Emak juga Abah, masalahnya Mesya itu bukan mahram Andi dan dia sudah dewasa sedangkan pakaian yang dia gunakan selalu terbuka, terus terang itu membuat Andi tidak nyaman."Aku menatap wajah Emak dan Abah, kulihat Abah nampak manggut-manggut sebagai seorang laki-laki pasti beliau paham apa maksudku."Benar juga, kami lalai dalam hal ini, mohon maafkan kami." ujar Abah merasa bersalah. "Iya, makanya Andi kemari untuk minta pendapat Abah bagaimana baiknya, supaya tidak menyinggung Mesya." Kulihat Abah nampak mengkerutkan keningnya, mungkin ia sedang berpikir. "Tapi bagaimana kelakuan Mesya selama tinggal di rumah kalian?" tanya Emak kali ini. "Mesya, baik mak. Dia anak penurut Andi tidak ada masalah dengan Mesya, cuma tolong di ukur dari segi agama bagaimana agar Andi set
"Aku bisa jelaskan, tolong kamu percaya aku, Um…."Dita menatapku lalu beralih menatap Mesya, dia tidak mengucapkan satu kalimat pun, tetapi malah memilih masuk ke kamar, aku pun menyusulnya ke kamar. Baru juga aku mau bicara…."Sudah tidak perlu menjelaskan apa-apa," ujarnya sambil menarik nafas panjang, aku menatapnya heran, masih belum bisa mencerna apa maksudnya. "Abah tadi sudah menghubungiku, tadi Akang pergi ke sana, kan? Aku percaya pada Akang. Tapi aku justru takut Mesya akan bicara yang tidak-tidak pada orangtuanya, seperti tadi dia mengadu padaku."Aku mendekati Dita, lalu menyentuh kedua tangannya. "Syukurlah kalau kamu percaya padaku.""Maaf kan aku, Kang. Semua salahku.""Tidak, bukan salahmu, tapi ini ujian untuk rumah tangga kita."Dita pun mendaratkan tubuhnya ke pelukanku. Sesaat kami hanyut dalam pelukan hangat, tiba-tiba saja terdengar suara Mesya yang sedang menangis sesegukan di kamarnya. Aku dan Dita saling berpandangan. "Kang, baiknya kita pura-pura saja.""
Suara deru mesin mobil terdengar di luar, aku yakin itu mobil milik Abahnya Dita, syukurlah mereka cepat datang kemari, meski pun aku agak khawatir kalau Mesya mengadukan kejadian tadi dan menfitnahku di depan Abah."Kang itu sepertinya Abah sudah sampai," ujar Dita, dan aku hanya mengangguk. Aku dan Dita bergegas keluar untuk menyambut Abah. "Abah, Emak, apa kabar? Dita kangen.""Emak juga kangen, di mana Kinara?""Kinara sedang tidur, Mak." Tiba-tiba terdengar suara tangisan, bukan Kinara yang menangis melainkan Mesya. Sudah kuduga pasti dia akan melancarkan aksinya, bagaimana ini Tuhan. "Itu siapa yang nangis, Teh, apa itu Mesya, dia kenapa?" tanya Emak Dita, sedangkan aku dan Dita saling berpandangan. "Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan? Abah tahu kalian pasti sedang ada masalah.""Sebaiknya, Abah dan Emak masuk dulu ke dalam, nanti Dita ceritakan."Setelah masuk dan duduk, kami hendak menjelaskan apa yang terjadi, tapi tiba-tiba Mesya keluar dan benar saja dia kembali m
"Hmmm, itu-A-ku, kenapa Teh Dita jadi begini! kenapa kalian tidak ada yang bersimpati padaku! apakah Kang Andi bagi kalian orang yang sempurna?""Tolong tenang, duduklah, jangan mengalihkan pembicaraan, kita keluarga. Abah sudah tua, tidak mau melihat anak ribut-ribut.""Sudahlah, aku tidak mau ikut dengan siapapun, aku akan menunggu Mamah dan Papah datang!" Mesya pun berlalu ke kamar. "Ya Tuhan … Bagaimana kujelaskan ini semua kepada Aryo." ujar Abah nampak pusing, sungguh aku pun merasa sangat bersalah, di sini aku bukan mau membela diri, tapi kenyataannya anak itu yang berbuat ulah. "Seharusnya dari awal Nak Andi ceritakan kepada kami sejujurnya tanpa ada yang di tutup-tutupi, terus terang Emak sendiri ragu," ucapan Emak Dita benar-benar membuat jantungku terasa dicubit. Aku memilih diam dan pasrah saja, apa pun hukuman atau konsekuensi yang harus aku terima aku siap, meski itu bukan karena kesalahanku. Aku merasa tak enak hati pada keluarga Dita. Suasana pun hening, kami kalut d
Cuaca Bandung yang dingin tak menyurutkan amarah Papah Mesya yang terlihat begitu panas, aku tahu orangtua mana yang tak sakit hati bila mendengar anak tersayang dilecehkan, tapi sungguh hal itu tak pernah kulakukan. Sungguh ironis sebenarnya aku lebih kasihan pada orangtua Mesya, apakah mereka tidak akan malu jika tahu kelakuan anaknya. "Baiklah akan kulaporkan masalah ini pada polisi, aku akan meminta seorang pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara.""Baik, silahkan saja, Paman.""Kamu menantang?""Tidak, aku tidak takut, karena aku tidak salah.""Awas saja kau, tak akan kulepaskan!" Ancam nya. Nampak Papah Mesya sedang menghubungi seseorang. "Apakah tidak ada jalan lain?" tanya Abah. "Biar saja, Bah. Aku yakin karena aku tidak bersalah, kita lihat saja hasilnya nanti," ujarku sambil menatap Mesya, Lagi-lagi dia merasa tak nyaman."Pah! Papah!""Ada apa sayang, sebentar Papah hubungi pengacara dahulu.""Tidak usah, Pah. Tolong jangan laporkan masalah ini ke polisi, Mesya malu,
"Bangun, Mah … bangun….""Sudah, sudah, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," ucap Abah yang di iya, kan. Oleh semuanya. Sesampainya di rumah sakit, Bu Marlina langsung di bawa ke UGD. Kulihat Mesya terus saja menangis. "Pah, maafkan Mesya …." "Sudahlah jangan bahas itu lagi, yang penting sekarang kesehatan Mamahmu."Lalu paman Aryo, pun mendekatiku. "Maafkan paman, sudah membuat wajahmu babak belur, sebaiknya sekalian kamu berobat."Aku bahkan tak ingat rasa sakitku. Namun, Dita menghampiriku. "Wajahmu memar, Kang. Sebaiknya ayo kamu sekalian saja diobati."Tanpa menunggu jawabanku Dita menarik tanganku lalu mencari Dokter umum. "Aku tidak apa-apa, kok.""Tidak apa-apa gimana, orang wajah Akang memar. " Terimakasih yah, kamu sudah percaya pada Akang."Dita hanya mengulas senyum. Aku lega akhirnya masalah ini selesai meskipun kami masih menunggu keadaan Bu Marlina, semoga saja beliau baik-baik saja. _______Malamnya Abah dan Emak memilih menginap di rumah kami, sedangkan Mesya