Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat.
"Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis.
Anis mengangguk perlahan. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nak?" tanya Anis lembut.
Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin menjalani hidup berdua saja dengan Mas Rasya. Aku ingin bisa menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kami tidak membutuhkan kehadiran ibu di sini. Aku butuh privasi, Bu! Rumah ini terlihat sempit, karena adanya Ibu dan Bapak. Apa ini Ibu tidak ingin hidup mandiri, tanpa mengganggu anak dan menantu?"
"Mengganggu? Aku adalah ibu dari Rasya dan ibu juga sudah menganggapmu sebagai anak ibu sendiri."
Lisa menggertakkan giginya, menahan emosinya. "Ini bukan soal Ibu sebagai orang tua. Ini soal ruang. Rumah ini terasa semakin kecil. Aku ingin mengatur rumahku sendiri."
"Aku membutuhkan privasi, Bu," ucap Lisa sambil meletakkan piring terakhir. Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. "Bukankah rumah ini sudah diatasnamakan Mas Rasya?"
Kata-kata itu menusuk hati Anis. Ia menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. "Ini rumah kami," jawabnya.
"Tidak lagi, sejak sertifikat rumah beralih menjadi nama Mas Rasya!" Lisa beranjak dari tempatnya dan berlalu pergi, meninggalkan Anis yang menangis.
---
Saat Hendra pulang sore itu, Anis tak bisa menyembunyikan rasa sakit hatinya. Di ruang tamu yang sunyi, Anis akhirnya berbicara, "Pak, sepertinya aku tak tahan lagi, Lisa ingin mengusir kita. Dia selalu membuatku merasa tidak diinginkan."
Hendra mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah Anis yang penuh keriput dan beban hidup. Ia menarik nafas panjang.
“Kalau memang Lisa dan Rasya menginginkan hidup mandiri, sebaiknya kita yang harus pindah,” ujar Hendra dengan nada yang sangat tenang, hampir tanpa emosi. "Lagipula, rumah ini memang kita bangun untuk putra kita."
Anis terdiam sejenak. “Lalu, kita akan tinggal di mana?” tanyanya dengan nada cemas. Selama ini, meski menghadapi banyak masalah, ia tak pernah membayangkan harus meninggalkan rumah yang dibangunnya dengan keringat dan air mata di atas tanah warisan orang tuanya.
"Kau lupa dengan rumah warisan ayahku?" ujar Hendra sambil menatap istrinya dalam-dalam. "Rumah di Desa Kenikir. Rumah itu sudah puluhan tahun tidak dihuni. Sejak ayah meninggal, tak ada yang mau tinggal di sana. Mungkin inilah saatnya kita kembali ke sana."
Anis teringat rumah tua itu, rumah yang dibicarakan Hendra beberapa kali tapi tak pernah benar-benar dikunjungi. "Terakhir kau mengunjunginya satu tahun setelah Rasya lahir. Itu pun Kau hanya melihat dari depan," kata Anis, mencoba mengingat saat-saat ketika Hendra menceritakan tentang desa kecil itu.
"Aku tahu," jawab Hendra dengan suara yang pelan. "Tapi sekarang, kita tidak punya pilihan lain. Rasya dan Lisa butuh ruang mereka sendiri. Dan kita akan menjalani sisa hidup kita dengan damai."
Perasaan tak nyaman mulai menyusupi hati Anis. Meninggalkan rumah ini berarti melepaskan semua kenangan yang pernah mereka ciptakan. Namun, dia tahu, mungkin ini yang terbaik. Anis pun mengangguk pelan, menyerahkan segalanya kepada keputusan Hendra.
---
Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Desa Kenikir, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota.
Perjalanan memakan waktu beberapa jam, melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang.
Ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah warisan itu, Anis merasa jantungnya berdegup kencang.
Rumah itu tampak lebih besar dari yang ia bayangkan. Cat dindingnya sudah mengelupas, atapnya tampak retak di beberapa bagian, dan halaman depannya ditumbuhi semak-semak liar.
Hendra keluar dari mobil, mengamati rumah itu dengan mata yang berputar. “Kita pergi dulu ke rumah kepala desa, untuk mengurus izin,” katanya sambil memegang tangan Anis, mengajaknya meninggalkan rumah tua itu untuk sementara waktu.
Kepala desa, Pak Kartijan, menyambut mereka dengan ramah. Namun, saat Hendra menyebutkan bahwa mereka akan tinggal di rumah warisan keluarganya, wajah Pak Kartijan sedikit berubah. Ada kilatan kekhawatiran yang melintas di matanya.
“Kalian akan tinggal di rumah itu?” tanyanya dengan nada ragu. "Sudah lama sekali tak ada yang mendiami rumah itu. Orang-orang di desa ini ... mereka tak lagi berani mendekati rumah suwung itu."
Hendra tertawa kecil, mengira itu adalah cerita lama yang tak perlu dipedulikan. "Itu hanya rumah tua. Kami akan merapikannya sedikit dan tinggal di sana dengan tenang."
Pak Kartijan tak melanjutkan. Hanya ada diam yang menggantung di udara, sebelum akhirnya ia menandatangani izin tinggal untuk Hendra dan Anis.
---
Siang hari, matahari di atas Desa Kenikir terasa terik, tapi hawa dingin yang aneh membuat rumah tua itu seakan menyimpan sesuatu yang mistis.
Anis dan Hendra yang baru saja pulang dari rumah pak kartijan, bergegas membuka pagar. Netra mereka memicing, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang menghubungkan pagar sampai ke pintu.
Rumah yang penuh kenangan masa kecil Hendra kini tampak kusam, dengan tembok yang mengelupas dan dinding yang ditumbuhi lumut. Krekkkk! Pintu terbuka.
Anis memperhatikan sekeliling ruang tamu yang berdebu sambil memegang sapu. Setiap sudut rumah terasa berat, seakan menyimpan cerita yang tak pernah diungkapkan.
Hendra, di sisi lain, tampak lebih santai. Dia mengelap jendela tua dengan kain lap, matanya memandang keluar ke arah halaman yang dipenuhi semak belukar.
“Suwung,” gumam Hendra tiba-tiba sambil tertawa kecil. "Lucu sekali cerita mereka. Hanya karena kosong dan lama tidak dihuni, rumah ini sudah dilabeli suwung."
Anis menghentikan gerakannya, menatap suaminya dengan penuh rasa takut. “Kau tidak merasa aneh, Pak? Sejak kita tiba, aku merasa ada sesuatu yang salah."
Hendra menoleh, lalu tersenyum tipis. "Bu, ini hanya perasaanmu. Rumah tua seperti ini memang punya suasana berbeda. Lagi pula, kita sudah memutuskan untuk tinggal di sini, jadi jangan biarkan cerita-cerita tak masuk akal itu mengganggu."
Anis tidak menjawab. Namun, rasa cemas yang mengecewakannya tak kunjung hilang. Dia menyapu lantai kayu yang berderit saat diinjak, sementara Hendra terus sibuk membersihkan jendela.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai atas. Sebuah benda besar seakan jatuh dan pecah di lantai kayu. Anis tersentak kaget, refleksnya menggenggam sapu dengan erat. "Apa itu?" desisnya, matanya membelalak lebar.
"Meonggggg!"
Anis bernapas lega saat melihat kucing yang melompat dari luar jendela.
"Apa aku bilang! Cuma kucing," celetuk Hendra.
Anis hanya mengangguk, ia melanjutkan berjalan masuk ke kamar dan tidur.
Anis terbangun saat mendengar suara-suara dari lantai bawah. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang berbisik, pelan dan tak jelas. Awalnya dia mengira itu hanya angin, tapi bisikan itu semakin jelas dan semakin dekat.
"Siapa di sana? Pak?!" Anis mencoba memanggil suaminya.
Akhirnya, karena rasa takut yang semakin besar, Anis memberanikan diri keluar dari kamar. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu kamar, dan lorong di depan tampak gelap dan panjang. Bisikan itu semakin jelas, seolah berasal dari ruang tamu di bawah.
Ketika ia sampai di ujung tangga, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruang tamu, di balik bayang-bayang gelap, ada sosok yang berdiri. Sosok itu tampak samar-samar, hampir tak terlihat dalam kegelapan. Namun, Anis bisa merasakan kehadirannya. Perlahan, sosok itu bergerak ke arahnya, langkahnya lembut dan hampir tanpa suara.
Jantung Anis berdegup kencang, dan ia merasa sulit bergerak. Sosok itu semakin mendekat, hingga akhirnya wajahnya terlihat jelas melalui cahaya yang masuk melalui jendela.
Anis ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Sosok itu adalah perempuan. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat, dengan mata yang kosong dan bibir yang kering.
Anis mundur perlahan, tapi kakinya terasa berat. Sosok perempuan itu terus mendekat sambil berbisik lirih, membuat Anis berteriak.
"Arkhhhhhhhh!"
Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur nyaman di atas kasur kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang bahu sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. Ternyata mimpi, gumamnya lirih, tapi rasanya seperti nyata. Ia mencoba mengatur nafasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. “Mungkin kau lelah,” ucapnya, berusaha menenangkan diri. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. “Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan,” lanjutnya sambil bangkit berdiri.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih jauh, Anis tiba-tiba memegang lengannya dengan erat. “Aku ikut,” katanya, suaran
Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, "lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di te
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”Degggg!Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar."Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis kaget saat netranya melihat ada sesajen di bawah ranjang. Namun, karena tak mau terlibat terlalu jauh, ia bergegas menutup pintu dan kembali bergabung dengan Sulis.Tak lama kemudian, Hendra dan para pelayat kembali ke rumah duka. Wajah mereka terlihat lelah, dengan pakaian berdebu oleh tanah makam. Aroma dupa masih tercium di udara, menyatu dengan suasana sendu di dalam rumah. Semua duduk diam, menyisip teh hangat dalam hening yang mencekam.Hendra mendatangi Anis, menggeser duduk dan memangku Sandra."Yah, kok langsung memangku Sandra? Harusnya mandi dulu atau cuci muka lah paling tidak, habis dari pemakaman juga." Anis langsung mengambil alih Sandra kembali. "Nanti kalau Sandra 'sawan' bagaimana?""Aku sudah mandi kok, di rumah pak RT. Tadi orang-orang juga mandi di sana. Eh, tadi banyak tetangga yang ngamuk sama Dewi, lho."Ucapan Hendra mengundang rasa ingin tahu Anis. Keningnya mengkerut penuh rasa penasaran. Mengetahui
Seminggu setelah kematian Lukman, Anis sudah melupakan mengenai keadaan Lilis. Ia mulai beraktifitas seperti biasa, memasak, bermain dengan cucu dan aktifitas lain. Suatu pagi, Anis yang sedang bermain dengan dua cucu kesayangannya di ruang tamu, tersentak ketika ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp "Konco Lawas" muncul.Dengan santai, ia membuka pesan itu, namun wajahnya langsung berubah pucat. "Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bu Lilis telah berpulang. Semoga amal ibadahnya diterima." Anis membaca pesan itu berkali-kali, memastikan tidak salah baca. "Lilis meninggal?" gumamnya pelan, dengan penuh keterkejutan. Pikirannya berputar, teringat tatapan kosong Lilis yang terus mengarah ke langit-langit kemarin. "Ya Allah...." Anis memegang dadanya yang terasa sesak. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengetik balasan, tapi tak satu kata pun berhasil ia kirimkan. Wajah Lilis terus terbayang di benaknya."Kenapa kok pas 7 harian Lukman meninggal ya." Ani
"Pak, apa kita akan ikut mereka takziyah. Sementara, kita kan bawa Cakra dan Sandra," bisik Anis pada sang suami. "Lha mau bagaimana, Bu, mereka juga mengajak cucunya bukan? Kita ikut bentar saja, biar bagaimanapun Lukman sudah berjasa membantu Kartika sampai sembuh," bisik Hendra.Anis tampak ragu mendengar ucapan suaminya, tapi melihat antusiasme teman-teman yang lain yang juga mengajak cucu, ia jadi tak punya alasan menolak. Akhirnya keduanya sepakat ikut rombongan. Mobil yang ditumpangi Hendra dan Anis melaju di jalan beraspal yang membelah hamparan sawah hijau di kiri-kanan. Dari dalam mobil, terlihat petani dengan caping di bawah terik matahari sedang memanen. Langit siang cerah, awan putih berarak lembut, melukis langit yang indah.Pepohonan rindang melambai ditiup angin, memberikan kesan teduh meski matahari bersinar terik. Sesekali, motor atau sepeda melintas, menambah suasana desa yang tenang. Di kejauhan, terlihat bukit-bukit kecil seperti melindungi desa. Anis memandang
"Kenapa Kartika tiba-tiba pingsan?" Anis mulai panik. "Cepat bawa masuk!"Melihat tubuh Kartika yang limbung, Rasya panik. Ia bergegas menggendong tubuh sang istri dan membaringkannya di atas kasur. Anis yang tak kalah khawatir, buru-buru mengambil minyak kayu putih dari meja. "Cepat ambil air, Rasya!" perintah Anis dengan nada cemas.Rasya berlari ke dapur, membawa segelas air dingin, sementara Anis mengusap pelipis Kartika dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat, Kartika perlahan membuka mata. "Kartika, kamu kenapa?!" tanya Rasya, suaranya penuh kekhawatiran.Wajah Kartika pucat, matanya berkaca-kaca. "Aku juga tidak tahu, Mas," gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya bergetar saat mencoba meraih tangan Rasya, tubuhnya masih terlihat lemah. Tak lama Hendra dan Cakra masuk. Melihat Cassandra, ekspresi Hendra bingung. Berbeda dengan Cakra, bocah itu tanpa aba-aba langsung menggandeng tangan Cassandra dan mengajaknya bermain. "Itu anak Lisa," celetuk Anis, seperti mengetahui
"Mas, bangun!" Candra membuka mata dan mendapati dua pria berseragam tengah mengguncang pundaknya. "Di mana saya?" tanyanya."Mas ada di rumah perbaikan diri. Ayo masuk, kita bicara di dalam, saya lihat, Mas ini tampak sedang tidak baik-baik saja." Polisi muda itu bersiap membantu Candra untuk berdiri. Namun belum sempat berdiri, Candra tiba-tiba menangis pilu. "Saya pembunuh!" teriaknya. "Saya sudah membunuh istri saya ...." Candra mulai histeris, tubuhnya bergetar hebat. Dua polisi itu saling pandang heran. Lalu kembali mengalihkan pandangan kepada Candra sambil berkata, "silahkan buat keterangan dulu di dalam."---Pagi harinya, Desa Lisa kembali gempar saat mobil polisi melintasi jalan utama, membawa Candra dengan wajah yang penuh penyesalan. Warga berkerumun di sekitar rumah kayu milik Lisa, berbisik-bisik dengan nada takut dan penasaran. Kartika dan Rasya yang bersiap pulang terhenti di tengah jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri. Di gendongannya, Cassandra merengek pela
"Apa maksudmu? Jadi benar Mas Candra yang membunuhmu?" ucap Kartika dengan nada gemetar tak percaya. "Ta-pi ... ke-napa?" Kartika terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Lisa seperti palu yang menghantam pikirannya. “Candra membunuhku,” ucap Lisa tanpa ragu. Mata Kartika membelalak, penuh ketidakpercayaan. “Tidak mungkin!” desisnya, suaranya nyaris lenyap. Namun, sorot dingin Lisa tak terbantahkan. Rasa takut menyelimuti Kartika, nafasnya memburu. Sorot mata penuh dendam itu, membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tenggorokannya tercekat dan tubuhnya kaku seakan tak bisa bergerak. "Candra membunuhku Kartika! Aku ingin mendapat keadilan atas kematianku! Bantu aku Kartika ... temukan Candra!" Suara Lisa diiringi dengan Isak tangisnya bergema di keheningan malam. “Keadilan...,” bisiknya pelan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan hawa dingin menusuk tulang. "Candra harus bertanggung jawab dan anakku ...." Lisa tak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis. "Anakku, dia tidak me
Malam itu, Kartika berdiri di ruang tamu dengan wajah penuh simpati. "Mas, kita harus melayat ke rumah Lisa. Kasihan, anaknya masih kecil," katanya, seraya merapikan perlengkapan Cakra dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Ada kegundahan dalam suaranya.Namun, Anis yang memperhatikan gerak-gerik menantunya langsung angkat suara. "Kartika," panggilnya dengan nada tegas, "Ibu keberatan kalau kalian mengajak Cakra ke sana."Kartika menoleh, sedikit terkejut dengan keberatan itu. "Kenapa, Bu?"Anis mendekati mereka, wajahnya serius, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Cakra masih kecil. Ibu takut dia sawan kalau diajak ke sana. Apalagi, Lisa meninggal dengan cara yang tidak wajar." Suaranya bergetar saat menyebut kalimat terakhir, seolah ketakutan itu bukan hanya untuk Cakra, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih besar.Rasya, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Biar sajalah, Bu. Lagian ini kan bukan sekali ini saja, kami ngajak Cakra."Anis menghela nafas