Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah.
"Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.
Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.
Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."
Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Mengganggu? Aku adalah ibu dari Rasya, Lisa. Aku tidak mengerti kenapa Kau merasa terganggu hanya karena kami tinggal di rumah ini."
Lisa menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya. "Ini bukan soal Ibu sebagai mertuaku. Ini soal ruang. Rumah ini terasa semakin kecil saja. Aku merasa seperti tidak bisa mengatur rumahku sendiri."
"Aku membutuhkan privasi, Bu," kata Lisa sambil meletakkan piring terakhir. Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. "Bukankah rumah ini sudah di atas namakan mas Rasya?"
Kata-kata itu menusuk hati Anis. Lisa selalu tahu bagaimana menyelipkan kalimat-kalimat yang menohok, yang membuat Anis merasa tersingkir di rumahnya sendiri. Sejak Rasya menikah dengan Lisa, hubungan mereka tak pernah akur.
Anis menghela napas, menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. "Ini rumah kami," jawabnya lemah, matanya menatap Lisa dengan sorot yang tak lagi sekeras dulu. Namun, ucapan Lisa kali ini seperti menjadi pukulan terakhir bagi hatinya.
"Tidak lagi, sejak sertifikat rumah beralih menjadi nama mas Rasya!" Lisa beranjak dari tempatnya dan berlalu pergi, meninggalkan Anis yang menangis.
---
Saat Hendra pulang sore itu, Anis tak bisa menyembunyikan rasa sakit hatinya. Di ruang tamu yang sunyi, Hendra duduk dengan tenang di kursi kayu sambil menatap istrinya yang tampak gelisah. Akhirnya, Anis mengeluarkan semua perasaannya.
"Aku tak tahan lagi, Lisa seperti ingin mengusir kita. Dia selalu membuatku merasa tidak diinginkan. Kau tahu betapa aku mencoba bersabar, tapi ini... ini terlalu jauh."
Hendra mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah Anis yang penuh keriput, dan beban hidup tampak jelas di sana. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara.
“Kalau memang Lisa dan Rasya menginginkan hidup mandiri, sebaiknya kita yang harus pindah,” ujar Hendra dengan nada yang sangat tenang, hampir tanpa emosi. "Lagipula, rumah ini memang kita bangun untuk putra kita, Rasya."
Anis terdiam sejenak. Kata-kata Hendra menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. “Lalu, kita akan tinggal di mana?” tanyanya, Anis mulai merasa cemas. Selama ini, meski segala masalah muncul, ia tak pernah membayangkan harus meninggalkan rumah yang dibangunnya dengan keringat dan air mata di atas tanah warisan orang tuanya.
"Kau lupa dengan rumah warisan ayahku?" ujar Hendra sambil menatap istrinya dalam-dalam. "Rumah di Desa Kenikir. Rumah itu sudah puluhan tahun tidak dihuni. Sejak ayah meninggal, tak ada yang tinggal di sana. Mungkin inilah saatnya kita kembali ke sana."
Anis teringat rumah tua itu, rumah yang dibicarakan Hendra beberapa kali tapi tak pernah benar-benar dikunjungi lagi. "Terakhir kau mengunjunginya tiga puluh tahun yang lalu. Itu pun Kau hanya melihat dari depan," kata Anis, mencoba mengingat saat-saat ketika Hendra membawakan cerita tentang desa kecil itu.
"Aku tahu," jawab Hendra dengan suara yang pelan. "Tapi sekarang, kita tidak punya pilihan lain. Rasya dan Lisa butuh ruang mereka sendiri. Dan kita... kita akan menjalani sisa hidup kita dengan damai."
Perasaan tak nyaman menyusup ke hati Anis. Meninggalkan rumah ini berarti melepaskan semua kenangan yang pernah mereka ciptakan. Namun, dia tahu, mungkin ini yang terbaik. Anis pun mengangguk pelan, menyerahkan segalanya kepada keputusan Hendra.
---
Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Desa Kenikir, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Perjalanan memakan waktu beberapa jam, melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang. Ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah warisan itu, Anis merasa jantungnya berdegup kencang. Rumah itu tampak lebih besar dari yang ia bayangkan. Cat dindingnya sudah mengelupas, atapnya tampak retak di beberapa bagian, dan halaman depannya ditumbuhi semak-semak liar.
Hendra keluar dari mobil, mengamati rumah itu dengan mata yang berputar. “Kita pergi dulu ke rumah kepala desa, untuk mengurus izin,” katanya sambil memegang tangan Anis, mengajaknya meninggalkan rumah tua itu untuk sementara waktu.
Kepala desa, Pak Kartijan, menyambut mereka dengan ramah. Namun, saat Hendra menyebutkan bahwa mereka akan tinggal di rumah warisan keluarganya, wajah Pak Kartijan sedikit berubah. Ada kilatan kekhawatiran yang melintas di matanya.
“Kalian akan tinggal di rumah itu?” tanyanya dengan nada ragu. "Sudah lama sekali tak ada yang menduduki rumah itu. Orang-orang di desa ini... mereka tak lagi berani mendekati rumah suwung itu."
Hendra tertawa kecil, mengira itu adalah cerita lama yang tak perlu dipedulikan. "Itu hanya rumah tua. Kami akan merapikannya sedikit dan tinggal di sana dengan tenang."
Pak Kartijan tak melanjutkan. Hanya ada diam yang menggantung di udara, sebelum akhirnya ia menandatangani izin tinggal untuk Hendra dan Anis.
---
Siang hari, matahari di atas Desa Kenikir terasa terik, namun hawa dingin yang aneh membuat rumah tua itu terasa panas. Anis dan Hendra baru saja pulang dari rumah Pak Kartijan, kepala desa, setelah mengurus administrasi agar mereka bisa tinggal di rumah warisan tersebut. Rumah yang penuh kenangan masa kecil Hendra kini tampak kusam, dengan tembok yang mengelupas dan dinding yang ditumbuhi lumut.
Anis memperhatikan sekeliling ruang tamu yang berdebu sambil memegang sapu. Setiap sudut rumah terasa berat, seolah menyimpan cerita yang tak pernah diungkapkan. Hendra, di sisi lain, tampak lebih santai. Dia mengelap jendela tua dengan kain lap, matanya memandang keluar ke arah halaman yang dipenuhi semak belukar.
“Suwung,” gumam Hendra tiba-tiba sambil tertawa kecil. "Lucu sekali cerita mereka. Hanya karena kosong dan lama tidak dihuni, rumah ini sudah dilabeli suwung."
Anis menghentikan gerakannya, menatap suaminya dengan penuh rasa takut. “Kau tidak merasa aneh, Hendra? Sejak kita tiba, aku merasa ada sesuatu yang salah. Rumah ini... terasa begitu sunyi, tapi bukan sunyi yang biasa.”
Hendra menoleh, tersenyum tipis. "Anis, ini hanya perasaanmu. Rumah tua seperti ini memang punya suasana berbeda. Lagi pula, kita sudah memutuskan untuk tinggal di sini, jadi jangan biarkan cerita-cerita kosong itu mengganggu."
Anis tidak menjawab. Namun, rasa cemas yang mengecewakannya tak kunjung hilang. Dia menyapu lantai kayu yang berderit saat diinjak, sementara Hendra terus sibuk membersihkan jendela.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai atas. Sebuah benda besar seakan jatuh dan pecah di lantai kayu. Anis tersentak kaget, refleksnya menggenggam sapu dengan erat. "Apa itu?" desisnya, matanya membelalak lebar.
"Meonggggg!"
Anis bernapas lega saat melihat kucing yang melompat dari luar jendela.
"Apa yang aku bilang! Cuma kucing. Sepertinya kamu perlu istirahat. Anis hanya mengangguk, berjalan masuk ke kamar dan tidur.
Anis terbangun saat mendengar suara-suara dari lantai bawah. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang berbisik, pelan dan tak jelas. Awalnya dia mengira itu hanya angin, tapi bisikan itu semakin jelas dan semakin dekat.
"Siapa di sana? Pak?!" Anis mencoba memanggil suaminya.
Akhirnya, karena rasa takut yang semakin besar, Anis memberanikan diri keluar dari kamar. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu kamar, dan lorong di depan tampak gelap dan panjang. Bisikan itu semakin jelas, seolah berasal dari ruang tamu di bawah.
Ketika ia sampai di ujung tangga, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruang tamu, di balik bayang-bayang gelap, ada sosok yang berdiri. Sosok itu tampak samar-samar, hampir tak terlihat dalam kegelapan, namun Anis bisa merasakan kehadirannya. Perlahan, gambar itu bergerak ke arah, langkahnya lembut dan hampir tanpa suara.
Jantung Anis berdegup kencang, dan ia tak bisa bergerak. Sosok itu semakin mendekat, hingga akhirnya wajahnya terlihat jelas melalui cahaya yang masuk melalui jendela.
Anis ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Sosok itu adalah perempuan. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat, dengan mata yang kosong dan bibir yang kering. Anis mundur perlahan, tapi kakinya terasa berat. Sosok perempuan itu terus mendekat, bisikannya semakin jelas.
"Arkhhhhhhhh!"
Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih
Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta