Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 1: Kembali ke Rumah Lama

Share

Rumah Angker Warisan Bapak
Rumah Angker Warisan Bapak
Penulis: Eliyona

Bab 1: Kembali ke Rumah Lama

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-07 09:06:47

Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah.

"Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.

Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.

Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."

Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Mengganggu? Aku adalah ibu dari Rasya, Lisa. Aku tidak mengerti kenapa Kau merasa terganggu hanya karena kami tinggal di rumah ini."

Lisa menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya. "Ini bukan soal Ibu sebagai mertuaku. Ini soal ruang. Rumah ini terasa semakin kecil saja. Aku merasa seperti tidak bisa mengatur rumahku sendiri."

"Aku membutuhkan privasi, Bu," kata Lisa sambil meletakkan piring terakhir. Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. "Bukankah rumah ini sudah di atas namakan mas Rasya?"

Kata-kata itu menusuk hati Anis. Lisa selalu tahu bagaimana menyelipkan kalimat-kalimat yang menohok, yang membuat Anis merasa tersingkir di rumahnya sendiri. Sejak Rasya menikah dengan Lisa, hubungan mereka tak pernah akur. 

Anis menghela napas, menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. "Ini rumah kami," jawabnya lemah, matanya menatap Lisa dengan sorot yang tak lagi sekeras dulu. Namun, ucapan Lisa kali ini seperti menjadi pukulan terakhir bagi hatinya.

"Tidak lagi, sejak sertifikat rumah beralih menjadi nama mas Rasya!" Lisa beranjak dari tempatnya dan berlalu pergi, meninggalkan Anis yang menangis.

---

Saat Hendra pulang sore itu, Anis tak bisa menyembunyikan rasa sakit hatinya. Di ruang tamu yang sunyi, Hendra duduk dengan tenang di kursi kayu sambil menatap istrinya yang tampak gelisah. Akhirnya, Anis mengeluarkan semua perasaannya.

"Aku tak tahan lagi, Lisa seperti ingin mengusir kita. Dia selalu membuatku merasa tidak diinginkan. Kau tahu betapa aku mencoba bersabar, tapi ini... ini terlalu jauh."

Hendra mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah Anis yang penuh keriput, dan beban hidup tampak jelas di sana. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara.

“Kalau memang Lisa dan Rasya menginginkan hidup mandiri, sebaiknya kita yang harus pindah,” ujar Hendra dengan nada yang sangat tenang, hampir tanpa emosi. "Lagipula, rumah ini memang kita bangun untuk putra kita, Rasya."

Anis terdiam sejenak. Kata-kata Hendra menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. “Lalu, kita akan tinggal di mana?” tanyanya, Anis mulai merasa cemas. Selama ini, meski segala masalah muncul, ia tak pernah membayangkan harus meninggalkan rumah yang dibangunnya dengan keringat dan air mata di atas tanah warisan orang tuanya.

"Kau lupa dengan rumah warisan ayahku?" ujar Hendra sambil menatap istrinya dalam-dalam. "Rumah di Desa Kenikir. Rumah itu sudah puluhan tahun tidak dihuni. Sejak ayah meninggal, tak ada yang tinggal di sana. Mungkin inilah saatnya kita kembali ke sana."

Anis teringat rumah tua itu, rumah yang dibicarakan Hendra beberapa kali tapi tak pernah benar-benar dikunjungi lagi. "Terakhir kau mengunjunginya tiga puluh tahun yang lalu. Itu pun Kau hanya melihat dari depan," kata Anis, mencoba mengingat saat-saat ketika Hendra membawakan cerita tentang desa kecil itu.

"Aku tahu," jawab Hendra dengan suara yang pelan. "Tapi sekarang, kita tidak punya pilihan lain. Rasya dan Lisa butuh ruang mereka sendiri. Dan kita... kita akan menjalani sisa hidup kita dengan damai."

Perasaan tak nyaman menyusup ke hati Anis. Meninggalkan rumah ini berarti melepaskan semua kenangan yang pernah mereka ciptakan. Namun, dia tahu, mungkin ini yang terbaik. Anis pun mengangguk pelan, menyerahkan segalanya kepada keputusan Hendra.

---

Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Desa Kenikir, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Perjalanan memakan waktu beberapa jam, melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang. Ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah warisan itu, Anis merasa jantungnya berdegup kencang. Rumah itu tampak lebih besar dari yang ia bayangkan. Cat dindingnya sudah mengelupas, atapnya tampak retak di beberapa bagian, dan halaman depannya ditumbuhi semak-semak liar.

Hendra keluar dari mobil, mengamati rumah itu dengan mata yang berputar. “Kita pergi dulu ke rumah kepala desa, untuk mengurus izin,” katanya sambil memegang tangan Anis, mengajaknya meninggalkan rumah tua itu untuk sementara waktu.

Kepala desa, Pak Kartijan, menyambut mereka dengan ramah. Namun, saat Hendra menyebutkan bahwa mereka akan tinggal di rumah warisan keluarganya, wajah Pak Kartijan sedikit berubah. Ada kilatan kekhawatiran yang melintas di matanya.

“Kalian akan tinggal di rumah itu?” tanyanya dengan nada ragu. "Sudah lama sekali tak ada yang menduduki rumah itu. Orang-orang di desa ini... mereka tak lagi berani mendekati rumah suwung itu."

Hendra tertawa kecil, mengira itu adalah cerita lama yang tak perlu dipedulikan. "Itu hanya rumah tua. Kami akan merapikannya sedikit dan tinggal di sana dengan tenang."

Pak Kartijan tak melanjutkan. Hanya ada diam yang menggantung di udara, sebelum akhirnya ia menandatangani izin tinggal untuk Hendra dan Anis.

---

Siang hari, matahari di atas Desa Kenikir terasa terik, namun hawa dingin yang aneh membuat rumah tua itu terasa panas. Anis dan Hendra baru saja pulang dari rumah Pak Kartijan, kepala desa, setelah mengurus administrasi agar mereka bisa tinggal di rumah warisan tersebut. Rumah yang penuh kenangan masa kecil Hendra kini tampak kusam, dengan tembok yang mengelupas dan dinding yang ditumbuhi lumut.

Anis memperhatikan sekeliling ruang tamu yang berdebu sambil memegang sapu. Setiap sudut rumah terasa berat, seolah menyimpan cerita yang tak pernah diungkapkan. Hendra, di sisi lain, tampak lebih santai. Dia mengelap jendela tua dengan kain lap, matanya memandang keluar ke arah halaman yang dipenuhi semak belukar.

“Suwung,” gumam Hendra tiba-tiba sambil tertawa kecil. "Lucu sekali cerita mereka. Hanya karena kosong dan lama tidak dihuni, rumah ini sudah dilabeli suwung."

Anis menghentikan gerakannya, menatap suaminya dengan penuh rasa takut. “Kau tidak merasa aneh, Hendra? Sejak kita tiba, aku merasa ada sesuatu yang salah. Rumah ini... terasa begitu sunyi, tapi bukan sunyi yang biasa.”

Hendra menoleh, tersenyum tipis. "Anis, ini hanya perasaanmu. Rumah tua seperti ini memang punya suasana berbeda. Lagi pula, kita sudah memutuskan untuk tinggal di sini, jadi jangan biarkan cerita-cerita kosong itu mengganggu."

Anis tidak menjawab. Namun, rasa cemas yang mengecewakannya tak kunjung hilang. Dia menyapu lantai kayu yang berderit saat diinjak, sementara Hendra terus sibuk membersihkan jendela.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai atas. Sebuah benda besar seakan jatuh dan pecah di lantai kayu. Anis tersentak kaget, refleksnya menggenggam sapu dengan erat. "Apa itu?" desisnya, matanya membelalak lebar.

"Meonggggg!"

Anis bernapas lega saat melihat kucing yang melompat dari luar jendela.

"Apa yang aku bilang! Cuma kucing. Sepertinya kamu perlu istirahat. Anis hanya mengangguk, berjalan masuk ke kamar dan tidur.

Anis terbangun saat mendengar suara-suara dari lantai bawah. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang berbisik, pelan dan tak jelas. Awalnya dia mengira itu hanya angin, tapi bisikan itu semakin jelas dan semakin dekat.

"Siapa di sana? Pak?!" Anis mencoba memanggil suaminya.

Akhirnya, karena rasa takut yang semakin besar, Anis memberanikan diri keluar dari kamar. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu kamar, dan lorong di depan tampak gelap dan panjang. Bisikan itu semakin jelas, seolah berasal dari ruang tamu di bawah.

Ketika ia sampai di ujung tangga, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruang tamu, di balik bayang-bayang gelap, ada sosok yang berdiri. Sosok itu tampak samar-samar, hampir tak terlihat dalam kegelapan, namun Anis bisa merasakan kehadirannya. Perlahan, gambar itu bergerak ke arah, langkahnya lembut dan hampir tanpa suara.

Jantung Anis berdegup kencang, dan ia tak bisa bergerak. Sosok itu semakin mendekat, hingga akhirnya wajahnya terlihat jelas melalui cahaya yang masuk melalui jendela.

Anis ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Sosok itu adalah perempuan. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat, dengan mata yang kosong dan bibir yang kering. Anis mundur perlahan, tapi kakinya terasa berat. Sosok perempuan itu terus mendekat, bisikannya semakin jelas.

"Arkhhhhhhhh!"

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 2 : Peringatan Warga

    Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 3 : Malam Pertama Di Rumah Suwung

    Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 4 : Suara Malam Yang Menghantui

    Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 5 : Putra Yang Datang

    Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 6. Suara Yang Sama

    Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 7. Menggali Sejarah Rumah Warisan

    Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

    “Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 9. Mimpi Aneh

    "Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 23. Dia Putrimu

    "Diam dulu, Nak Rasya," suara Anis terdengar dingin dan penuh wibawa. Rasya mematung, yakin sepenuhnya bahwa ibunya telah dirasuki. Tatapan Anis yang tajam kini tertuju pada Broto. "Aku ingin berbicara dengan Broto," ucapnya perlahan, namun menggetarkan suasana."Akui Kartika sebagai putrimu, Broto," ujar sosok Lasmini melalui Anis. "Bagaimanapun, kita pernah menikah, meski hanya secara sirih." Pernyataan itu membuat semua orang di ruangan terkejut. Hendra membatu, sementara Broto tampak pucat pasi."Lasmini..." gumam Broto, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan."Kartika adalah darah dagingmu! Putri yang kau tinggalkan demi menikahi Purwati yang kaya raya!" suara Lasmini menggema, membuat dada Broto terasa sesak."A-aku... aku..." Broto tergagap, tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan aku, Lasmini. Ini semua bukan keinginanku," ujarnya dengan suara parau, air mata mulai mengalir deras."Tapi kau tetap meninggalkanku

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 22. Penasaran

    Anis terpaku, tubuhnya terasa lunglai saat melihat foto Lisa yang muncul di layar ponsel putri Yayuk. Mata Anis terfokus pada wajah Lisa yang tersenyum, namun senyum itu kini terasa sangat asing dan menakutkan. Hendra yang sejak tadi hanya diam, mulai merasa ada yang janggal. Ia mendekat, memaksa putri Yayuk untuk menunjukkan gambar lainnya."Itu kan Lisa, Buk?" tanya Hendra dengan nada tinggi, suaranya menggema dalam keheningan. "Kenapa anak temanmu memiliki foto wanita sialan itu?!" Hendra menatap penuh amarah, matanya berapi-api, membuat suasana di sekitar mereka seketika tegang.Yayuk dan putrinya saling pandang, kebingungan meliputi wajah mereka. "Maksudnya Lisa wanita sialan, itu apa ya?" tanya Yayuk dengan hati-hati, mencoba menahan kegelisahannya.Rasya yang sudah tidak tahan, akhirnya membuka mulut. "Lisa itu mantan istri saya. Kami bercerai karena dia berselingkuh dengan seorang pria bernama Candra. Apa kalian kenal?" ucap Rasya dengan suara tegas, namun ada getaran amarah y

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 21. Keputusan

    Hendra memandang serius ke arah Rasya dan Lisa, lalu memberi isyarat agar mereka bersiap untuk pergi. Kau sudah siap?" Hendra menatap Rasya lekat. “Kita harus segera ke pengadilan,” katanya tegas. “Urusan perceraian ini harus diselesaikan cepat, supaya Lisa bisa segera menghabiskan masa iddahnya dan menikah lagi. Dengan begitu, kau bisa lepas tanggung jawab.”Rasya menundukkan kepala, matanya terlihat kosong dan penuh beban. “Aku berharap begitu, Yah. Ini aib yang sangat berat, membuatku merasa dipermalukan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.Hendra menghela napas, lalu menatap anaknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau masih kepikiran soal harta dan rumah?” tanyanya, menilai apa yang ada dalam pikiran Rasya. Rasya hanya mengangguk pelan.Hendra menggelengkan kepala, menepuk pundak putranya dengan lembut. “Ikhlas itu ilmu tingkat tinggi, Nak. Kalau kau bisa melalui semua ini dengan ikhlas, kau akan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.”Ras

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 20. Rahasia Kelam

    Lisa membanting pintu dengan kasar, gemanya memenuhi rumah yang kini terasa dingin. Wajah kedua mertuanya tadi benar-benar membuatnya muak.“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada pria tua itu?” tanya Candra, memeluk Lisa dari belakang sambil mencium tengkuknya.Lisa melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menatapnya tajam, matanya penuh amarah dan kebencian. “Untuk apa? Apa dengan aku mengatakan semuanya, ibu dan ayahku bisa kembali hidup?” jawabnya dengan nada penuh luka.Hening sejenak, hanya terdengar napasnya yang berat. Lisa menatap ke luar jendela, tenggelam dalam rasa benci yang telah lama membara di hatinya.POV Lisa (Flashback)Masa kecilku penuh luka yang tak mudah dilupakan. Saat aku baru pulang dari sekolah, seorang teman menghampiriku dengan wajah cemas.“Lisa! Cepat pulang! Ayah dan ibumu bertengkar lagi!” katanya gugup.Aku hanya menghela napas, menguatkan diri. “Aku me

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 19. Alih Kuasa

    POV KartikaAku menggendong Cantika erat-erat di dadaku, berusaha menenangkan bayi mungil itu yang terus menggeliat. Suara tangis Cakra dari ranjang di kamar semakin memekakkan telinga.“Sayang, tangisanmu membuat ibu pusing! Diamlah!” Aku mendesis tajam. Kugendong Cantika menuju dapur, meninggalkan Cakra yang terus menangis. “Anak laki-laki tak boleh cengeng,” gumamku, menahan perasaan aneh yang mulai merayap.Namun langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat sosok tinggi jangkung dengan mata merah menyala berdiri di sudut dapur. Bayangan itu tidak bergerak, hanya mengamatiku dengan kehadiran yang membuat napasku tercekat.“Dia lagi...” desisku gemetar. Tanpa pikir panjang, aku bergegas membawa Cantika bersembunyi di kolong meja makan. Tubuhku bergetar hebat saat bayangan itu mengerang keras, suaranya menggetarkan kaca jendela.“Graaaghhhh!” Dengan cepat, sosok itu melesat keluar melalui jendela dapur, meninggalkanku dalam kepanikan.Aku merangkak keluar dengan kaki gemetar, m

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 18. Kasih Ibu Sepanjang Masa, Kasih Ayah Seluas Samudra

    Petugas membawa Rasya ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut."Kenapa Anda melakukan pemukulan terhadap saudara Candra Permana?" tanya seorang penyelidik."Karena dia berselingkuh dengan istri saya," jawab Rasya tanpa ragu."Meski begitu, tindakan Anda tetap melanggar hukum," ujar penyelidik tegas. "Apa Anda bisa menghubungi keluarga Anda?"Rasya menggeleng pelan. "Maaf, ini urusan saya. Saya tidak ingin orang tua saya terlibat lebih jauh," ujarnya dengan tegas.Penyelidik hanya mengangguk, mencatat pernyataan itu. Ruangan hening sejenak, menciptakan ketegangan yang terasa menusuk.---Anis terbangun dengan napas memburu, hatinya diliputi firasat buruk."Ibu, apa yang terjadi?" tanya Kartika sambil menggendong Cakra."Aku bermimpi tentang Rasya," jawab Anis dengan suara bergetar. "Aku harus segera menghubunginya."Dengan langkah tergesa, Anis menuju meja ke sudut kamar mencari gawainya."Gaw

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 17. Selingkuh Menguras Hati

    "Kau sudah pulang, Mas," sapa Lisa dengan senyum manis yang seolah tak menyimpan dosa. "Kenapa tidak bilang sebelumnya?" tanyanya dengan nada lembut.Rasya menatapnya dengan mata merah penuh amarah. "Pulang? Untuk melihatmu seperti ini?!" bentaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan. Langkahnya maju dengan penuh emosi, tangannya mengepal keras, siap meluapkan kemarahan.Namun, para satpam yang sudah bersiaga segera menghalangi. Mereka memegang Rasya dengan cengkeraman kuat. "Lepaskan aku!" teriak Rasya, berusaha melepaskan diri. "Aku ingin penjelasan darinya sekarang!" gertaknya sambil menunjuk Lisa dengan tatapan menusuk."Pak Rasya, mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin," ujar salah satu satpam, mencoba menenangkan situasi. Mereka menarik Rasya menjauh, meski pria itu terus meronta dengan emosi yang memuncak.Di sisi lain, Lisa tampak gelisah. Dia melirik pria di sampingnya, yang juga tampak kebingungan. "Bagaimana ini?" bisik pria itu dengan nada panik."Kenapa suamimu b

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 16. Pulang

    Hendra mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Purwati menyebut Kartika gila? Rasya, di sisi lain, semakin ingin membongkar semua rahasia yang ada."Pak Broto ke mana sebenarnya?" tanya Rasya dengan nada kesal, suaranya mengandung kegelisahan.Purwati memandangnya dengan sorot mata penuh kecurigaan. "Kalau boleh tahu, apa urusan kalian ingin bertemu Mas Broto?" tanyanya dengan nada selidik.Hendra hendak menjelaskan, namun Rasya dengan cepat memotongnya. "Mungkin besok kita akan kembali menemui Pak Broto," ucap Rasya, memberi tanda agar mereka segera pergi.Saat Rasya dan Kartika berbalik untuk meninggalkan halaman rumah, Purwati tiba-tiba meraih lengan Hendra. "Mas Hendra, hati-hati," bisiknya pelan namun tajam. "Wanita bernama Kartika itu gila."Hendra terkejut mendengar ucapan itu. Dia memandang Purwati dengan alis berkerut, bingung dengan tuduhan yang begitu tiba-tiba. Namun, dalam benaknya, ia mulai mengaitkan kata-kata Purwati dengan mimpi-mimpi Rasya tentang Lasmini.'Mungkink

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 15. Konfrontasi

    "Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti la

DMCA.com Protection Status