Share

Rumah Angker Warisan Bapak
Rumah Angker Warisan Bapak
Penulis: Eliyona

Bab 1: Kembali ke Rumah Lama

Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah.

"Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.

Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.

Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."

Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Mengganggu? Aku adalah ibu dari Rasya, Lisa. Aku tidak mengerti kenapa Kau merasa terganggu hanya karena kami tinggal di rumah ini."

Lisa menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya. "Ini bukan soal Ibu sebagai mertuaku. Ini soal ruang. Rumah ini terasa semakin kecil saja. Aku merasa seperti tidak bisa mengatur rumahku sendiri."

"Aku membutuhkan privasi, Bu," kata Lisa sambil meletakkan piring terakhir. Suaranya terdengar datar, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan. "Bukankah rumah ini sudah di atas namakan mas Rasya?"

Kata-kata itu menusuk hati Anis. Lisa selalu tahu bagaimana menyelipkan kalimat-kalimat yang menohok, yang membuat Anis merasa tersingkir di rumahnya sendiri. Sejak Rasya menikah dengan Lisa, hubungan mereka tak pernah akur. 

Anis menghela napas, menahan amarah dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. "Ini rumah kami," jawabnya lemah, matanya menatap Lisa dengan sorot yang tak lagi sekeras dulu. Namun, ucapan Lisa kali ini seperti menjadi pukulan terakhir bagi hatinya.

"Tidak lagi, sejak sertifikat rumah beralih menjadi nama mas Rasya!" Lisa beranjak dari tempatnya dan berlalu pergi, meninggalkan Anis yang menangis.

---

Saat Hendra pulang sore itu, Anis tak bisa menyembunyikan rasa sakit hatinya. Di ruang tamu yang sunyi, Hendra duduk dengan tenang di kursi kayu sambil menatap istrinya yang tampak gelisah. Akhirnya, Anis mengeluarkan semua perasaannya.

"Aku tak tahan lagi, Lisa seperti ingin mengusir kita. Dia selalu membuatku merasa tidak diinginkan. Kau tahu betapa aku mencoba bersabar, tapi ini... ini terlalu jauh."

Hendra mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari wajah Anis yang penuh keriput, dan beban hidup tampak jelas di sana. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara.

“Kalau memang Lisa dan Rasya menginginkan hidup mandiri, sebaiknya kita yang harus pindah,” ujar Hendra dengan nada yang sangat tenang, hampir tanpa emosi. "Lagipula, rumah ini memang kita bangun untuk putra kita, Rasya."

Anis terdiam sejenak. Kata-kata Hendra menghantamnya seperti badai yang datang tiba-tiba. “Lalu, kita akan tinggal di mana?” tanyanya, Anis mulai merasa cemas. Selama ini, meski segala masalah muncul, ia tak pernah membayangkan harus meninggalkan rumah yang dibangunnya dengan keringat dan air mata di atas tanah warisan orang tuanya.

"Kau lupa dengan rumah warisan ayahku?" ujar Hendra sambil menatap istrinya dalam-dalam. "Rumah di Desa Kenikir. Rumah itu sudah puluhan tahun tidak dihuni. Sejak ayah meninggal, tak ada yang tinggal di sana. Mungkin inilah saatnya kita kembali ke sana."

Anis teringat rumah tua itu, rumah yang dibicarakan Hendra beberapa kali tapi tak pernah benar-benar dikunjungi lagi. "Terakhir kau mengunjunginya tiga puluh tahun yang lalu. Itu pun Kau hanya melihat dari depan," kata Anis, mencoba mengingat saat-saat ketika Hendra membawakan cerita tentang desa kecil itu.

"Aku tahu," jawab Hendra dengan suara yang pelan. "Tapi sekarang, kita tidak punya pilihan lain. Rasya dan Lisa butuh ruang mereka sendiri. Dan kita... kita akan menjalani sisa hidup kita dengan damai."

Perasaan tak nyaman menyusup ke hati Anis. Meninggalkan rumah ini berarti melepaskan semua kenangan yang pernah mereka ciptakan. Namun, dia tahu, mungkin ini yang terbaik. Anis pun mengangguk pelan, menyerahkan segalanya kepada keputusan Hendra.

---

Beberapa hari kemudian, mereka berangkat menuju Desa Kenikir, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota. Perjalanan memakan waktu beberapa jam, melewati jalan-jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang. Ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah warisan itu, Anis merasa jantungnya berdegup kencang. Rumah itu tampak lebih besar dari yang ia bayangkan. Cat dindingnya sudah mengelupas, atapnya tampak retak di beberapa bagian, dan halaman depannya ditumbuhi semak-semak liar.

Hendra keluar dari mobil, mengamati rumah itu dengan mata yang berputar. “Kita pergi dulu ke rumah kepala desa, untuk mengurus izin,” katanya sambil memegang tangan Anis, mengajaknya meninggalkan rumah tua itu untuk sementara waktu.

Kepala desa, Pak Kartijan, menyambut mereka dengan ramah. Namun, saat Hendra menyebutkan bahwa mereka akan tinggal di rumah warisan keluarganya, wajah Pak Kartijan sedikit berubah. Ada kilatan kekhawatiran yang melintas di matanya.

“Kalian akan tinggal di rumah itu?” tanyanya dengan nada ragu. "Sudah lama sekali tak ada yang menduduki rumah itu. Orang-orang di desa ini... mereka tak lagi berani mendekati rumah suwung itu."

Hendra tertawa kecil, mengira itu adalah cerita lama yang tak perlu dipedulikan. "Itu hanya rumah tua. Kami akan merapikannya sedikit dan tinggal di sana dengan tenang."

Pak Kartijan tak melanjutkan. Hanya ada diam yang menggantung di udara, sebelum akhirnya ia menandatangani izin tinggal untuk Hendra dan Anis.

---

Siang hari, matahari di atas Desa Kenikir terasa terik, namun hawa dingin yang aneh membuat rumah tua itu terasa panas. Anis dan Hendra baru saja pulang dari rumah Pak Kartijan, kepala desa, setelah mengurus administrasi agar mereka bisa tinggal di rumah warisan tersebut. Rumah yang penuh kenangan masa kecil Hendra kini tampak kusam, dengan tembok yang mengelupas dan dinding yang ditumbuhi lumut.

Anis memperhatikan sekeliling ruang tamu yang berdebu sambil memegang sapu. Setiap sudut rumah terasa berat, seolah menyimpan cerita yang tak pernah diungkapkan. Hendra, di sisi lain, tampak lebih santai. Dia mengelap jendela tua dengan kain lap, matanya memandang keluar ke arah halaman yang dipenuhi semak belukar.

“Suwung,” gumam Hendra tiba-tiba sambil tertawa kecil. "Lucu sekali cerita mereka. Hanya karena kosong dan lama tidak dihuni, rumah ini sudah dilabeli suwung."

Anis menghentikan gerakannya, menatap suaminya dengan penuh rasa takut. “Kau tidak merasa aneh, Hendra? Sejak kita tiba, aku merasa ada sesuatu yang salah. Rumah ini... terasa begitu sunyi, tapi bukan sunyi yang biasa.”

Hendra menoleh, tersenyum tipis. "Anis, ini hanya perasaanmu. Rumah tua seperti ini memang punya suasana berbeda. Lagi pula, kita sudah memutuskan untuk tinggal di sini, jadi jangan biarkan cerita-cerita kosong itu mengganggu."

Anis tidak menjawab. Namun, rasa cemas yang mengecewakannya tak kunjung hilang. Dia menyapu lantai kayu yang berderit saat diinjak, sementara Hendra terus sibuk membersihkan jendela.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari lantai atas. Sebuah benda besar seakan jatuh dan pecah di lantai kayu. Anis tersentak kaget, refleksnya menggenggam sapu dengan erat. "Apa itu?" desisnya, matanya membelalak lebar.

"Meonggggg!"

Anis bernapas lega saat melihat kucing yang melompat dari luar jendela.

"Apa yang aku bilang! Cuma kucing. Sepertinya kamu perlu istirahat. Anis hanya mengangguk, berjalan masuk ke kamar dan tidur.

Anis terbangun saat mendengar suara-suara dari lantai bawah. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang berbisik, pelan dan tak jelas. Awalnya dia mengira itu hanya angin, tapi bisikan itu semakin jelas dan semakin dekat.

"Siapa di sana? Pak?!" Anis mencoba memanggil suaminya.

Akhirnya, karena rasa takut yang semakin besar, Anis memberanikan diri keluar dari kamar. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu kamar, dan lorong di depan tampak gelap dan panjang. Bisikan itu semakin jelas, seolah berasal dari ruang tamu di bawah.

Ketika ia sampai di ujung tangga, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di sudut ruang tamu, di balik bayang-bayang gelap, ada sosok yang berdiri. Sosok itu tampak samar-samar, hampir tak terlihat dalam kegelapan, namun Anis bisa merasakan kehadirannya. Perlahan, gambar itu bergerak ke arah, langkahnya lembut dan hampir tanpa suara.

Jantung Anis berdegup kencang, dan ia tak bisa bergerak. Sosok itu semakin mendekat, hingga akhirnya wajahnya terlihat jelas melalui cahaya yang masuk melalui jendela.

Anis ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Sosok itu adalah perempuan. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat, dengan mata yang kosong dan bibir yang kering. Anis mundur perlahan, tapi kakinya terasa berat. Sosok perempuan itu terus mendekat, bisikannya semakin jelas.

"Arkhhhhhhhh!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status