Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat.
"Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."
Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di tempat asalnya.
Rasya kembali ke kamar menemui ibunya, yang duduk gelisah di atas ranjang.
"Lho, ayah ke mana, Bu? Kenapa ibu belum tidur?" tanyanya, memperhatikan raut cemas di wajah sang ibu.
Anis terlihat tidak nyaman, kedua tangannya saling meremas, pertanda hatinya diliputi kegelisahan. "Ibu... takut. Tidak bisa tidur," jawab Anis pelan, menundukkan pandangannya seolah ingin menyembunyikan kecemasan yang jelas terlihat.
Rasya mendesah, mencoba menenangkan. "Pasti ibu tidak bisa tidur karena ayah masih di luar, ya? Biar Rasya panggil ayah sekarang." Ia mulai beranjak pergi, namun Anis dengan cepat menarik lengannya.
"Ibu ikut," ucapnya lirih namun mantap, seakan tak ingin membiarkan Rasya pergi.
Anis berjalan beriringan dengan Rasya, tangannya erat menggenggam lengan sang putra. Rasya merasakan tangan ibunya dingin, nyaris sedingin es, dan wajahnya tampak pucat. Hawa dingin terasa menelusup di sepanjang lorong, membuat bulu kuduk Anis meremang. Lalu terdengar lagi—suara tangis bayi, pelan namun tajam, memecah keheningan malam. Anis terhenti, mengerjap bingung.
"Kau mendengarnya, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan.
"Iya, Bu," jawab Rasya cepat, mencoba bersikap biasa. "Mungkin itu bayi tetangga," lanjutnya, berusaha meredakan kecemasan ibunya.
Anis tersentak, menatap putranya dengan pandangan tajam, seakan menelusuri tiap kata yang diucapkannya. "Nak, kau tahu... tidak ada rumah di dekat sini. Rumah ini satu-satunya di antara tanah kosong yang ditinggalkan," suaranya penuh ketegangan, nyaris tak berani mengatakan lebih.
"Masa iya, Bu?" Rasya berusaha menyangkal, tapi hatinya mulai tidak nyaman. Ia memikirkan kembali saat pertama kali tiba di rumah ini tadi pagi—benar saja, kanan dan kiri rumah itu hanya lahan kosong yang luas, terhampar sunyi seakan menelan segalanya. Rasya menelan ludah, merasa bulu kuduknya meremang. Meski perasaan takut mulai menguasai, ia mencoba tegar demi ibunya.
"Kita ke luar, yuk, Bu. Sepertinya udara di luar lebih segar, dan kita bisa bantu Ayah," ajak Rasya, mencoba mengalihkan kecemasan.
Anis mengangguk setuju, meski raut wajahnya tetap menunjukkan kecemasan yang dalam. Mereka berdua melangkah ke ruang depan dan membuka pintu, berharap menemukan Hendra di halaman. Namun, setibanya di depan rumah, yang mereka lihat hanyalah gelapnya pekarangan, tanpa jejak Hendra di sana.
"Di mana ayahmu, Nak?" tanya Anis panik, matanya menyapu ke seluruh penjuru halaman yang kini tampak sepi dan mencekam. Rasya mulai was-was, tatapannya menyapu kegelapan seolah mencari sosok ayahnya yang lenyap tanpa jejak.
Tiba-tiba, suara keras memecah kesunyian dari dalam rumah, disusul dengan jeritan kesakitan yang sangat mereka kenal—Hendra! Anis menjerit kecil, tangannya gemetar memegang lengan Rasya, sebelum keduanya buru-buru berlari kembali ke dalam rumah, menuju ke arah suara itu.
"Ayah!" panggil Rasya cemas, suaranya menggema di lorong kosong. Rasya bergegas menuju tangga, tempat ia mendapati Hendra terjatuh di anak tangga terakhir, mengerang sambil memegangi kakinya yang terlihat memar.
"Ayah, apa yang terjadi?" Rasya membantu Hendra bangkit, sementara Anis menatap suaminya dengan ketakutan. Sekilas, Hendra menoleh ke belakang, seolah baru saja melihat sesuatu yang membuat wajahnya pucat pasi.
"Ayah hanya ingin meletakkan lukisan ini di dinding, tapi tangga tua ini rupanya sudah rapuh," Hendra berusaha menjelaskan sambil menahan sakit di pergelangan kakinya yang memar. Ia meraih pundak Rasya untuk menstabilkan tubuhnya yang gemetar. "Ayah tidak menyangka tangganya selemah ini," lanjutnya, suaranya terdengar lemah namun tetap memaksakan diri untuk bangkit.
"Kau ini sudah tua, jangan terlalu memaksa diri. Lihat akibatnya sekarang," ujar Anis, sedikit memarahi namun dengan nada cemas. Ia segera mendekat, menopang suaminya agar bisa berjalan pelan ke ruang tengah.
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Di tengah keheningan, suara tangisan bayi terdengar lagi—awalnya pelan, samar, seperti berasal dari jarak jauh, namun perlahan suara itu makin jelas, makin dekat, dan makin keras, seakan memenuhi setiap sudut ruangan. Suara tangisan itu begitu nyata, seakan-akan bayi itu berada tepat di dalam rumah, tak jauh dari mereka.
Rasya menelan ludah, wajahnya tampak pucat. "Aku penasaran," katanya dengan nada setengah berbisik, "darimana asal suara tangisan bayi itu? Logikanya, kalau rumah ini adalah bangunan yang berdiri sendiri tanpa tetangga dekat, tentunya suara bayi ini berasal dari dalam rumah."
Pernyataan Rasya menggantung di udara, menyisakan kecemasan yang makin terasa pekat. Anis dan Hendra saling pandang, merasakan detak jantung mereka bertambah cepat, seolah dipacu oleh kegelisahan yang tak terlukiskan. Mereka ingin menyangkal, menganggap bahwa suara itu hanyalah halusinasi atau gangguan dari luar. Namun, tak ada penjelasan logis yang bisa membantah kenyataan bahwa suara itu seakan muncul dari sudut rumah yang paling kelam.
Tanpa sadar, Hendra menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan debar di dadanya, sementara Anis meremas tangannya sendiri, berusaha mengusir rasa takut yang mulai mencengkeram hatinya. Namun, ketika suara tangisan bayi itu berubah menjadi jerit kesakitan yang mengerikan, Anis tak kuasa lagi menahan diri. Ia mencengkeram tangan Rasya lebih kuat, gemetar, berbisik lemah, "Kita harus pergi dari sini... sekarang juga."
Tapi sebelum ada yang bisa bergerak, terdengar bunyi langkah pelan, menyeret, di lantai atas. Langkah-langkah berat itu, diiringi isak yang memilukan, membuat mereka semua terpaku di tempat
"A-aku akan melihatnya," suara Rasya terdengar gemetar, namun ia mencoba menenangkan dirinya. Sebagai satu-satunya yang masih muda di antara mereka, Rasya merasa harus lebih berani, meskipun ketakutan mulai merayapi hatinya.
"Jangan, Nak," Anis menghentikan langkah Rasya, suaranya nyaris berbisik, penuh ketegangan. "Selama kita tidak mengusik... semuanya akan baik-baik saja." Anis memberi isyarat agar Rasya mengikutinya. Perlahan, ia menggandeng Hendra yang mulai terlihat lelah, mengarahkannya menuju kamar tanpa suara. Langkah-langkah mereka terdengar pelan, menggema di lorong sempit yang gelap dan sunyi, sementara isak lirih samar-samar masih terdengar dari kejauhan.
Sesampainya di kamar, Hendra menyandarkan diri dan berbisik pada istrinya, "Kau... baik-baik saja? Biasanya kau lebih penakut dariku."
Anis menghela napas pelan, menundukkan pandangan sambil menjawab lirih, "Aku belajar darimu, Mas... Kau bilang, kita tak perlu takut pada makhluk apa pun. Toh, kita semua ciptaan Tuhan." Namun, dalam dadanya, ia tahu ada rasa gentar yang begitu kuat.
"Ibu, Ayah," Rasya bergantian menatap kedua orang tuanya. "Rasya penasaran dengan suara itu, biarkan Rasya memeriksanya sebentar. Ibu dan Ayah tenang saja, Rasya hanya ingin tahu ada apa di atas." Dengan suara rendah, ia meyakinkan mereka sebelum akhirnya melangkah pergi.
Anis mengulurkan tangan, setengah ingin menghentikan Rasya, namun hanya mampu berbisik, "Hati-hati, Nak." Rasya mengangguk singkat dan mulai menaiki tangga, anak tangga demi anak tangga, dengan langkah hati-hati. Suara tangisan itu kian jelas di ujung lorong, memecah keheningan dengan nada lirih dan menyayat. Rasya merasakan dadanya berdegup tak karuan, sementara udara di sekitarnya terasa semakin dingin dan berat.
Sesampainya di lantai atas, Rasya mendapati hanya ada dua pintu di sana. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan tangan ke arah pintu pertama. Pintu itu tak bisa dibuka; terkunci erat, seolah mengurung sesuatu di dalamnya. Menelan ludah, Rasya berpaling ke pintu kedua, berbisik pada dirinya sendiri, "Sebaiknya coba yang ini."
Saat tangannya menggenggam kenop, terdengar suara pintu yang berderit pelan, menambah ketegangan di udara. Tiba-tiba, dari balik pintu, sesuatu menghantam tubuhnya keras. Rasya terhuyung ke belakang, merasakan hawa dingin menyeruak dari celah pintu yang terbuka. "Aduh." Rasya berusaha menepis sesuatu yang terus menghantamnya itu.
Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah."Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Menggan
Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih
Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan