Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 6. Suara Yang Sama

Share

Bab 6. Suara Yang Sama

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-07 14:54:22

Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat.

"Ah, sudahlah," gumamnya pelan, "lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."

Dengan langkah pelan, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di tempat asalnya.

Rasya kembali ke kamar menemui ibunya, yang duduk gelisah di atas ranjang.

"Lho, ayah ke mana, Bu? Kenapa ibu belum tidur?" tanyanya, memperhatikan raut cemas di wajah sang ibu.

Anis terlihat tidak nyaman, kedua tangannya saling meremas, pertanda hatinya diliputi kegelisahan. "Ibu... takut. Tidak bisa tidur," jawab Anis pelan.

Rasya mencoba menenangkan. "Pasti ibu tidak bisa tidur karena ayah masih di luar, ya? Biar Rasya panggil ayah sekarang." Ia mulai beranjak pergi, namun Anis dengan cepat menarik lengannya.

"Ibu ikut," ucapnya.

Anis berjalan beriringan dengan Rasya, tangannya erat menggenggam lengan sang putra. Rasya merasakan tangan ibunya dingin, nyaris sedingin es, dan wajahnya tampak pucat. Hawa dingin terasa menelusup di sepanjang lorong, membuat bulu kuduk Anis meremang. Lalu terdengar lagi—suara tangis bayi, pelan namun tajam, memecah keheningan malam. Anis terhenti, mengerjap bingung.

"Kau mendengarnya, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Iya, Bu." Rasya berusaha  bersikap biasa. "Mungkin itu bayi tetangga," lanjutnya.

Anis tersentak, menatap putranya dengan pandangan tajam. "Nak, kau tahu.., tidak ada rumah di dekat sini. Rumah ini satu-satunya di antara tanah kosong," balas Anis.

"Masa iya, Bu?" Rasya mulai tidak nyaman. Ia memikirkan kembali saat pertama kali tiba di rumah ini tadi pagi—benar saja, kanan dan kiri rumah itu hanya lahan kosong yang luas. Rasya menelan ludah, merasa bulu kuduknya meremang. 

"Kita ke luar, yuk, Bu. Sepertinya udara di luar lebih segar, dan kita bisa bantu Ayah," ajak Rasya, mencoba mengalihkan kecemasan.

Anis mengangguk setuju, meski raut wajahnya tetap menunjukkan kecemasan yang dalam. Mereka berdua melangkah ke ruang depan dan membuka pintu, berharap menemukan Hendra di halaman. Namun, setibanya di depan rumah, yang mereka lihat hanyalah gelapnya pekarangan.

"Di mana ayahmu, Nak?" tanya Anis panik, matanya menyapu ke seluruh penjuru halaman yang kini tampak sepi dan mencekam. Rasya mulai was-was, tatapannya menyapu kegelapan seolah mencari sosok ayahnya yang lenyap tanpa jejak.

Tiba-tiba, suara keras memecah kesunyian dari dalam rumah, disusul dengan jeritan kesakitan yang sangat mereka kenal—Hendra! Anis menjerit kecil, tangannya gemetar memegang lengan Rasya, sebelum keduanya buru-buru berlari kembali ke dalam rumah, menuju ke arah suara itu.

"Ayah!" panggil Rasya cemas, suaranya menggema di lorong kosong. Rasya bergegas menuju tangga, tempat ia mendapati Hendra terjatuh di anak tangga terakhir, mengerang sambil memegangi kakinya yang terlihat memar.

"Ayah, apa yang terjadi?" Rasya membantu Hendra bangkit, sementara Anis menatap suaminya dengan ketakutan. Sekilas, Hendra menoleh ke belakang, seolah baru saja melihat sesuatu yang membuat wajahnya pucat pasi. 

"Ayah hanya ingin meletakkan lukisan ini di dinding, tapi tangga tua ini rupanya sudah rapuh," Hendra berusaha menjelaskan sambil menahan sakit di pergelangan kakinya yang memar. Ia meraih pundak Rasya untuk menstabilkan tubuhnya yang gemetar. "Ayah tidak menyangka tangganya selemah ini," lanjutnya, suaranya terdengar lemah namun tetap memaksakan diri untuk bangkit.

"Kau ini sudah tua, jangan terlalu memaksa diri. Lihat akibatnya sekarang," ujar Anis, sedikit memarahi namun dengan nada cemas. Ia segera mendekat, menopang suaminya agar bisa berjalan pelan ke ruang tengah.

Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Di tengah keheningan, suara tangisan bayi terdengar lagi—awalnya pelan, samar, seperti berasal dari jarak jauh, namun perlahan suara itu makin jelas, makin dekat, dan makin keras, seakan memenuhi setiap sudut ruangan. Suara tangisan itu begitu nyata, seakan-akan bayi itu berada tepat di dalam rumah, tak jauh dari mereka.

Rasya menelan ludah, wajahnya tampak pucat. "Aku penasaran," katanya dengan nada setengah berbisik, "darimana asal suara tangisan bayi itu? Logikanya, kalau rumah ini adalah bangunan yang berdiri sendiri tanpa tetangga dekat, tentunya suara bayi ini berasal dari dalam rumah."

Pernyataan Rasya menggantung di udara, menyisakan kecemasan yang makin terasa pekat. Anis dan Hendra saling pandang, merasakan detak jantung mereka bertambah cepat, seolah dipacu oleh kegelisahan yang tak terlukiskan. Mereka ingin menyangkal, menganggap bahwa suara itu hanyalah halusinasi atau gangguan dari luar. Namun, tak ada penjelasan logis yang bisa membantah kenyataan bahwa suara itu seakan muncul dari sudut rumah yang paling kelam.

Tanpa sadar, Hendra menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan debar di dadanya, sementara Anis meremas tangannya sendiri, berusaha mengusir rasa takut yang mulai mencengkeram hatinya. Namun, ketika suara tangisan bayi itu berubah menjadi jerit kesakitan yang mengerikan, Anis tak kuasa lagi menahan diri. Ia mencengkeram tangan Rasya lebih kuat, gemetar, berbisik lemah, "Kita harus pergi dari sini... sekarang juga."

Tapi sebelum ada yang bisa bergerak, terdengar bunyi langkah pelan, menyeret, di lantai atas. Langkah-langkah berat itu, diiringi isak yang memilukan, membuat mereka semua terpaku di tempat.

"A-aku akan melihatnya," suara Rasya terdengar gemetar, namun ia mencoba menenangkan dirinya. Sebagai satu-satunya yang masih muda di antara mereka, Rasya merasa harus lebih berani, meskipun ketakutan mulai merayapi hatinya.

"Jangan, Nak," Anis menghentikan langkah Rasya, suaranya nyaris berbisik, penuh ketegangan. "Selama kita tidak mengusik... semuanya akan baik-baik saja." Anis memberi isyarat agar Rasya mengikutinya. Perlahan, ia menggandeng Hendra yang mulai terlihat lelah, mengarahkannya menuju kamar tanpa suara. Langkah-langkah mereka terdengar pelan, menggema di lorong sempit yang gelap dan sunyi, sementara isak lirih samar-samar masih terdengar dari kejauhan.

Sesampainya di kamar, Hendra menyandarkan diri dan berbisik pada istrinya, "Kau... baik-baik saja? Biasanya kau lebih penakut dariku."

Anis menghela napas pelan, menundukkan pandangan sambil menjawab lirih, "Aku belajar darimu, Mas... Kau bilang, kita tak perlu takut pada makhluk apa pun. Toh, kita semua ciptaan Tuhan." Namun, dalam dadanya, ia tahu ada rasa gentar yang begitu kuat.

"Ibu, Ayah," Rasya bergantian menatap kedua orang tuanya. "Rasya penasaran dengan suara itu, biarkan Rasya memeriksanya sebentar. Ibu dan Ayah tenang saja, Rasya hanya ingin tahu ada apa di atas." Dengan suara rendah, ia meyakinkan mereka sebelum akhirnya melangkah pergi.

Anis mengulurkan tangan, setengah ingin menghentikan Rasya, namun hanya mampu berbisik, "Hati-hati, Nak." Rasya mengangguk singkat dan mulai menaiki tangga, anak tangga demi anak tangga, dengan langkah hati-hati. Suara tangisan itu kian jelas di ujung lorong, memecah keheningan dengan nada lirih dan menyayat. Rasya merasakan dadanya berdegup tak karuan, sementara udara di sekitarnya terasa semakin dingin dan berat.

Sesampainya di lantai atas, Rasya mendapati hanya ada dua pintu di sana. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan tangan ke arah pintu pertama. Pintu itu tak bisa dibuka; terkunci erat, seolah mengurung sesuatu di dalamnya. Menelan ludah, Rasya berpaling ke pintu kedua, berbisik pada dirinya sendiri, "Sebaiknya coba yang ini."

Saat tangannya menggenggam kenop, terdengar suara pintu yang berderit pelan, menambah ketegangan di udara. Tiba-tiba, dari balik pintu, sesuatu menghantam tubuhnya keras. Rasya terhuyung ke belakang, merasakan hawa dingin menyeruak dari celah pintu yang terbuka. "Aduh." Rasya berusaha menepis sesuatu yang terus menghantamnya itu.

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 7. Menggali Sejarah Rumah Warisan

    Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

    “Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 9. Mimpi Aneh

    "Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 10. Demam Tinggi

    "Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 11. Sosok Di balik Pintu

    "Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 12. Wanita Muda Dan Bayinya

    Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 13. Keluarga Baru

    "Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 14. Kedatangan Lasmini

    "Apa... Kau Lasmini?" Rasya tergagap, suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya."Iya, Nak. Aku Lasmini," suara itu menjawab, serak dan bergema. "Ada yang ingin Ibu ceritakan padamu," lanjut suara itu, nadanya penuh kepiluan yang dingin menusuk.Rasya memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri, meski jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kau menggangguku?" tanyanya dengan suara parau."Maafkan Ibu, Nak..." suara Lasmini terdengar semakin dekat, diiringi oleh desiran angin dingin yang seakan membelai telinga Rasya. "Ibu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."Rasya mulai merasakan hawa dingin merayap di sekitar lehernya, semakin lama semakin menusuk. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya berat, seperti ada yang menahannya. "Apa yang kau inginkan...?" gumamnya, dengan sisa keberanian yang hampir terkuras.Tiba-tiba, bayangan wajah samar muncul di sudu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 102. Finish

    "Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 101. Hampir Finish

    Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 100. Terpaksa

    Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 99. Kembali Ke Rumah Dewi

    Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 98. Mencari Cara

    Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 97. Sosok Yang Belum Tenang

    Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 96. Keturunan Sakti

    Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 95. Reuni

    Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 94. Kedatangan Sosok Lilis

    "Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status