Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat.
"Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."
Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di tempat asalnya.
Rasya kembali ke kamar menemui ibunya, yang duduk gelisah di atas ranjang.
"Lho, ayah ke mana, Bu? Kenapa ibu belum tidur?" tanyanya, memperhatikan raut cemas di wajah sang ibu.
Anis terlihat tidak nyaman, kedua tangannya saling meremas, pertanda hatinya diliputi kegelisahan. "Ibu... takut. Tidak bisa tidur," jawab Anis pelan, menundukkan pandangannya seolah ingin menyembunyikan kecemasan yang jelas terlihat.
Rasya mendesah, mencoba menenangkan. "Pasti ibu tidak bisa tidur karena ayah masih di luar, ya? Biar Rasya panggil ayah sekarang." Ia mulai beranjak pergi, namun Anis dengan cepat menarik lengannya.
"Ibu ikut," ucapnya lirih namun mantap, seakan tak ingin membiarkan Rasya pergi.
Anis berjalan beriringan dengan Rasya, tangannya erat menggenggam lengan sang putra. Rasya merasakan tangan ibunya dingin, nyaris sedingin es, dan wajahnya tampak pucat. Hawa dingin terasa menelusup di sepanjang lorong, membuat bulu kuduk Anis meremang. Lalu terdengar lagi—suara tangis bayi, pelan namun tajam, memecah keheningan malam. Anis terhenti, mengerjap bingung.
"Kau mendengarnya, Nak?" tanyanya dengan suara bergetar, nyaris seperti bisikan.
"Iya, Bu," jawab Rasya cepat, mencoba bersikap biasa. "Mungkin itu bayi tetangga," lanjutnya, berusaha meredakan kecemasan ibunya.
Anis tersentak, menatap putranya dengan pandangan tajam, seakan menelusuri tiap kata yang diucapkannya. "Nak, kau tahu... tidak ada rumah di dekat sini. Rumah ini satu-satunya di antara tanah kosong yang ditinggalkan," suaranya penuh ketegangan, nyaris tak berani mengatakan lebih.
"Masa iya, Bu?" Rasya berusaha menyangkal, tapi hatinya mulai tidak nyaman. Ia memikirkan kembali saat pertama kali tiba di rumah ini tadi pagi—benar saja, kanan dan kiri rumah itu hanya lahan kosong yang luas, terhampar sunyi seakan menelan segalanya. Rasya menelan ludah, merasa bulu kuduknya meremang. Meski perasaan takut mulai menguasai, ia mencoba tegar demi ibunya.
"Kita ke luar, yuk, Bu. Sepertinya udara di luar lebih segar, dan kita bisa bantu Ayah," ajak Rasya, mencoba mengalihkan kecemasan.
Anis mengangguk setuju, meski raut wajahnya tetap menunjukkan kecemasan yang dalam. Mereka berdua melangkah ke ruang depan dan membuka pintu, berharap menemukan Hendra di halaman. Namun, setibanya di depan rumah, yang mereka lihat hanyalah gelapnya pekarangan, tanpa jejak Hendra di sana.
"Di mana ayahmu, Nak?" tanya Anis panik, matanya menyapu ke seluruh penjuru halaman yang kini tampak sepi dan mencekam. Rasya mulai was-was, tatapannya menyapu kegelapan seolah mencari sosok ayahnya yang lenyap tanpa jejak.
Tiba-tiba, suara keras memecah kesunyian dari dalam rumah, disusul dengan jeritan kesakitan yang sangat mereka kenal—Hendra! Anis menjerit kecil, tangannya gemetar memegang lengan Rasya, sebelum keduanya buru-buru berlari kembali ke dalam rumah, menuju ke arah suara itu.
"Ayah!" panggil Rasya cemas, suaranya menggema di lorong kosong. Rasya bergegas menuju tangga, tempat ia mendapati Hendra terjatuh di anak tangga terakhir, mengerang sambil memegangi kakinya yang terlihat memar.
"Ayah, apa yang terjadi?" Rasya membantu Hendra bangkit, sementara Anis menatap suaminya dengan ketakutan. Sekilas, Hendra menoleh ke belakang, seolah baru saja melihat sesuatu yang membuat wajahnya pucat pasi.
"Ayah hanya ingin meletakkan lukisan ini di dinding, tapi tangga tua ini rupanya sudah rapuh," Hendra berusaha menjelaskan sambil menahan sakit di pergelangan kakinya yang memar. Ia meraih pundak Rasya untuk menstabilkan tubuhnya yang gemetar. "Ayah tidak menyangka tangganya selemah ini," lanjutnya, suaranya terdengar lemah namun tetap memaksakan diri untuk bangkit.
"Kau ini sudah tua, jangan terlalu memaksa diri. Lihat akibatnya sekarang," ujar Anis, sedikit memarahi namun dengan nada cemas. Ia segera mendekat, menopang suaminya agar bisa berjalan pelan ke ruang tengah.
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Di tengah keheningan, suara tangisan bayi terdengar lagi—awalnya pelan, samar, seperti berasal dari jarak jauh, namun perlahan suara itu makin jelas, makin dekat, dan makin keras, seakan memenuhi setiap sudut ruangan. Suara tangisan itu begitu nyata, seakan-akan bayi itu berada tepat di dalam rumah, tak jauh dari mereka.
Rasya menelan ludah, wajahnya tampak pucat. "Aku penasaran," katanya dengan nada setengah berbisik, "darimana asal suara tangisan bayi itu? Logikanya, kalau rumah ini adalah bangunan yang berdiri sendiri tanpa tetangga dekat, tentunya suara bayi ini berasal dari dalam rumah."
Pernyataan Rasya menggantung di udara, menyisakan kecemasan yang makin terasa pekat. Anis dan Hendra saling pandang, merasakan detak jantung mereka bertambah cepat, seolah dipacu oleh kegelisahan yang tak terlukiskan. Mereka ingin menyangkal, menganggap bahwa suara itu hanyalah halusinasi atau gangguan dari luar. Namun, tak ada penjelasan logis yang bisa membantah kenyataan bahwa suara itu seakan muncul dari sudut rumah yang paling kelam.
Tanpa sadar, Hendra menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan debar di dadanya, sementara Anis meremas tangannya sendiri, berusaha mengusir rasa takut yang mulai mencengkeram hatinya. Namun, ketika suara tangisan bayi itu berubah menjadi jerit kesakitan yang mengerikan, Anis tak kuasa lagi menahan diri. Ia mencengkeram tangan Rasya lebih kuat, gemetar, berbisik lemah, "Kita harus pergi dari sini... sekarang juga."
Tapi sebelum ada yang bisa bergerak, terdengar bunyi langkah pelan, menyeret, di lantai atas. Langkah-langkah berat itu, diiringi isak yang memilukan, membuat mereka semua terpaku di tempat
"A-aku akan melihatnya," suara Rasya terdengar gemetar, namun ia mencoba menenangkan dirinya. Sebagai satu-satunya yang masih muda di antara mereka, Rasya merasa harus lebih berani, meskipun ketakutan mulai merayapi hatinya.
"Jangan, Nak," Anis menghentikan langkah Rasya, suaranya nyaris berbisik, penuh ketegangan. "Selama kita tidak mengusik... semuanya akan baik-baik saja." Anis memberi isyarat agar Rasya mengikutinya. Perlahan, ia menggandeng Hendra yang mulai terlihat lelah, mengarahkannya menuju kamar tanpa suara. Langkah-langkah mereka terdengar pelan, menggema di lorong sempit yang gelap dan sunyi, sementara isak lirih samar-samar masih terdengar dari kejauhan.
Sesampainya di kamar, Hendra menyandarkan diri dan berbisik pada istrinya, "Kau... baik-baik saja? Biasanya kau lebih penakut dariku."
Anis menghela napas pelan, menundukkan pandangan sambil menjawab lirih, "Aku belajar darimu, Mas... Kau bilang, kita tak perlu takut pada makhluk apa pun. Toh, kita semua ciptaan Tuhan." Namun, dalam dadanya, ia tahu ada rasa gentar yang begitu kuat.
"Ibu, Ayah," Rasya bergantian menatap kedua orang tuanya. "Rasya penasaran dengan suara itu, biarkan Rasya memeriksanya sebentar. Ibu dan Ayah tenang saja, Rasya hanya ingin tahu ada apa di atas." Dengan suara rendah, ia meyakinkan mereka sebelum akhirnya melangkah pergi.
Anis mengulurkan tangan, setengah ingin menghentikan Rasya, namun hanya mampu berbisik, "Hati-hati, Nak." Rasya mengangguk singkat dan mulai menaiki tangga, anak tangga demi anak tangga, dengan langkah hati-hati. Suara tangisan itu kian jelas di ujung lorong, memecah keheningan dengan nada lirih dan menyayat. Rasya merasakan dadanya berdegup tak karuan, sementara udara di sekitarnya terasa semakin dingin dan berat.
Sesampainya di lantai atas, Rasya mendapati hanya ada dua pintu di sana. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan tangan ke arah pintu pertama. Pintu itu tak bisa dibuka; terkunci erat, seolah mengurung sesuatu di dalamnya. Menelan ludah, Rasya berpaling ke pintu kedua, berbisik pada dirinya sendiri, "Sebaiknya coba yang ini."
Saat tangannya menggenggam kenop, terdengar suara pintu yang berderit pelan, menambah ketegangan di udara. Tiba-tiba, dari balik pintu, sesuatu menghantam tubuhnya keras. Rasya terhuyung ke belakang, merasakan hawa dingin menyeruak dari celah pintu yang terbuka. "Aduh." Rasya berusaha menepis sesuatu yang terus menghantamnya itu.
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
"Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran
Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga
"Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t
"Apa... Kau Lasmini?" Rasya tergagap, suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya."Iya, Nak. Aku Lasmini," suara itu menjawab, serak dan bergema. "Ada yang ingin Ibu ceritakan padamu," lanjut suara itu, nadanya penuh kepiluan yang dingin menusuk.Rasya memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri, meski jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kau menggangguku?" tanyanya dengan suara parau."Maafkan Ibu, Nak..." suara Lasmini terdengar semakin dekat, diiringi oleh desiran angin dingin yang seakan membelai telinga Rasya. "Ibu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."Rasya mulai merasakan hawa dingin merayap di sekitar lehernya, semakin lama semakin menusuk. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya berat, seperti ada yang menahannya. "Apa yang kau inginkan...?" gumamnya, dengan sisa keberanian yang hampir terkuras.Tiba-tiba, bayangan wajah samar muncul di sudu
"Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik
"Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb
Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A
Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng
Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany
Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d
Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok
Kartika berdiri terpaku. Bayang-bayang sosok perempuan semakin jelas di depannya. Dyah. Wajahnya yang pucat dengan mata cekung dan rambut panjang kusut terlihat menyeramkan di antara kegelapan. Hawa dingin seketika menusuk kulit Kartika, membuat tubuhnya menggigil."Hihihi... Kartika," suara lirih itu terdengar lagi, kini lebih dekat. "Lama kita tidak berjumpa..."Kartika menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Cakra lebih erat, berusaha meredam tangis bayinya yang mulai mereda namun masih tersendat-sendat. "Tidak.., tidak.., Mbak Dyah kenapa Kau masih ada di rumah warisan bapakku? Apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.Sosok Dyah tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kartika. "Aku tidak bisa pergi Kartika.., jiwaku masih tertahan. Aku baru bisa pergi kalau keluargaku mengembalikan rumah ini padamu atau ada yang melunasi hutangku!" Sosok Dyah menyeringai, menampakan giginya yang runcing tajam, bola matanya menonjol keluar, menyisakan urat dan darah. "Bayi i