Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

Share

Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-09 11:04:01

“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.

Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.

“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.

Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.

“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”

Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya, halaman ini benar-benar kotor. Dulu, waktu kakekmu masih di sini, halaman ini sering dirawat. Tapi setelah ditinggalkan bertahun-tahun, lihat saja hasilnya,” jawabnya dengan senyum samar.

Sementara itu, Anis masuk ke dalam rumah dengan membawa belanjaannya. Langkahnya terhenti di dapur ketika melihat piring bekas makanan yang tergeletak, nyaris kosong. Sesaat ia mengernyit, lalu menggeleng pelan. “Siapa yang lapar sampai menghabiskan hampir separuh isi baskom?” gumamnya bingung. Ia tak ingat meninggalkan makanan sebanyak itu di malam sebelumnya.

Anis kembali ke halaman, bergabung dengan Hendra dan Rasya. Hendra menyelesaikan pekerjaannya, menepuk debu dari tangannya, lalu menyunggingkan senyum lelah. “Ayo, Bu, kita sarapan saja,” ajaknya, menyadari perutnya mulai keroncongan.

“Ya, kita sarapan,” Anis menyetujui sambil tersenyum palsu, ia mencebikan muka, lalu berjalan mengiring di belakang ayah dan putranya.

Di meja makan, Hendra menatap tumpukan piring yang kosong di hadapannya, ekspresi bingung tergurat di wajahnya. Ia menarik kursi dan duduk, menoleh ke arah Anis. “Bu, sudah makan duluan, ya? Kok sampai habis dua piring?” tanyanya pelan.

Anis mendengus kesal. “Ayah ini mulai pikun, ya? Yang makan sampai habis kan ayah sendiri. Sekarang malah nuduh ibu!” Anis melirik Rasya dengan raut tidak senang.

Rasya mengernyit, lalu menatap ayahnya. “Lho, Bu, tadi ayah dari tadi kan di halaman, nggak ke dapur sama sekali. Yang pertama ke dapur justru ibu.” Hendra mulai menggeser piring.

Rasya hanya mengangguk, seakan membenarkan ucapan sang ayah. “Iya, ayah dari tadi membersihkan halaman, nggak sempat ke dapur, Bu,” jelasnya.

"Dia makan saat kita ke pasar tadi, waktu ibu masuk dapur, sudah ada piring dua yang kosong." Anis kekeuh dengan pernyataannya. Hendra mengerutkan kening, wajahnya menampakan kebingungan. "Lalu siapa yang makan? Ayah dari tadi benar-benar belum masuk ke rumah."

Anis terdiam, merasa bingung dan sedikit tersinggung. “Jadi... kamu menuduh ibu makan sendirian? Mana mungkin. Baru sampai dapur tadi, dan aku lihat piring-piring ini sudah kosong,” tukasnya dengan nada tidak terima.

Sejenak mereka bertiga saling pandang, masing-masing merasa janggal dengan kejadian itu. Mereka tak bisa mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu yang tak biasa di rumah tersebut. 

"Sudahlah, Yah, Bu, kita nikmati saja makanan ini," ujar Rasya, mencoba menenangkan suasana. "Lagian, makanan ini masih banyak, kok." Ia mengambil satu piring bersih dari meja, berniat memulai sarapan dengan tenang. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat melihat sesuatu di meja yang membuat keningnya berkerut.

"Ayah, Ibu… ini dot siapa?" tanya Rasya pelan, mengangkat dot berwarna kuning yang tampak baru tapi terasa asing. Suara Rasya terdengar ragu, sementara matanya terus menatap benda itu dengan penuh tanda tanya.

Anis dan Hendra saling pandang, kebingungan tak kalah besar muncul di wajah mereka. "Dot?" Anis menatap dot itu lekat-lekat, lalu menggeleng perlahan. "Ibu nggak pernah bawa dot ke sini, Rasya, dan di rumah ini hanya ada kita bertiga."

Hendra pun terlihat heran. "Perasaan nggak ada dot waktu kita bersih-bersih kemarin. Rasanya baru sekarang benda itu muncul." Mereka semua terdiam, menatap dot dengan perasaan tak nyaman,  Rasya meletakkan kembali dot itu, dan mulai mencoba bersikap biasa.

"Sepertinya, ayah harus menceritakan sesuatu yang pernah ayah dengar dari Pak Tomo," Hendra berkata tiba-tiba, memecah keheningan yang terasa berat di ruangan itu. Rasya dan Anis saling pandang, penasaran sekaligus tak nyaman.

Hendra menarik napas panjang sebelum mulai bicara. "Tiga bulan setelah bapakku meninggal, rumah ini ditemukan dalam kondisi aneh," ucapnya pelan. "Di pintu masuk rumah, ditemukan mayat seorang wanita tanpa identitas. Tak ada yang tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau bagaimana dia bisa ada di sini."

Rasya menelan ludah, mendengarkan dengan saksama sementara Anis meremas tangannya sendiri, wajahnya mulai tegang. Hendra melanjutkan, "Setelah kejadian itu, warga sekitar mulai menjauhi rumah ini. Mereka takut dan bahkan melabeli rumah ini sebagai rumah warisan angker. Banyak yang bilang mereka mendengar suara-suara aneh, seperti tangisan bayi, khususnya di malam hari."

Suasana kembali hening, hanya terdengar desiran angin yang menerpa daun jendela. "Wanita itu ditemukan tewas dengan kondisi perut terbelah." Hendra menutup ceritanya, Rasya mulai merasakan perutnya bergejolak, membayangkan bagaiman wanita itu tewas. "Kenapa perutnya..." Rasya tak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Yang aku dengar, wanita itu gila dan saat datang kondisinya memang sudah hamil," jawab Hendra.

Keheningan yang mengikuti cerita itu justru semakin menambah rasa mencekam yang menyelimuti rumah tua tersebut.

"Ayah, Ibu, Rasya ingin Ayah dan Ibu kembali saja ke rumah. Aku akan bicara dengan Lisa," kata Rasya dengan tekad bulat. Anis menunduk, terdiam, sementara Hendra, yang tahu betul ketegangan antara istrinya dan menantunya, menatap Rasya tajam.

"Coba hubungi istrimu sekarang," ujar Hendra tegas. "Katakan padanya. Dan nyalakan pengeras suara, supaya kami juga mendengarnya."

Rasya ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti permintaan ayahnya. Ia menekan nomor Lisa, berharap ada respons yang baik. Beberapa kali ia mencoba, namun panggilannya tak diangkat. Rasya mendesah, lalu menuliskan pesan yang menjelaskan situasinya, meminta izin agar kedua orang tuanya bisa kembali tinggal bersama mereka.

Tak lama, sebuah balasan masuk. Hendra menatap Rasya penuh harap dan cemas. "Bacakan, Nak," ujarnya pelan.

Rasya membaca pesan itu dengan berat hati. Ternyata, Lisa menolak mentah-mentah, bahkan dengan nada yang dingin. "Ayah dan Ibu bisa cari tempat lain, Rasya. Aku tak bisa menerima mereka lagi di sini," tulisnya. Rasya menghela napas panjang, menatap wajah ayah dan ibunya yang tampak kecewa.

"Maaf, " lirih Rasya sambil meletakan gawainya.

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 9. Mimpi Aneh

    "Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 10. Demam Tinggi

    "Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 11. Sosok Di balik Pintu

    "Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 12. Wanita Muda Dan Bayinya

    Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 13. Keluarga Baru

    "Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 14. Kedatangan Lasmini

    "Apa... Kau Lasmini?" Rasya tergagap, suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya."Iya, Nak. Aku Lasmini," suara itu menjawab, serak dan bergema. "Ada yang ingin Ibu ceritakan padamu," lanjut suara itu, nadanya penuh kepiluan yang dingin menusuk.Rasya memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri, meski jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kau menggangguku?" tanyanya dengan suara parau."Maafkan Ibu, Nak..." suara Lasmini terdengar semakin dekat, diiringi oleh desiran angin dingin yang seakan membelai telinga Rasya. "Ibu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."Rasya mulai merasakan hawa dingin merayap di sekitar lehernya, semakin lama semakin menusuk. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya berat, seperti ada yang menahannya. "Apa yang kau inginkan...?" gumamnya, dengan sisa keberanian yang hampir terkuras.Tiba-tiba, bayangan wajah samar muncul di sudu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 15. Konfrontasi

    "Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti la

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 16. Pulang

    Hendra mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Purwati menyebut Kartika gila? Rasya, di sisi lain, semakin ingin membongkar semua rahasia yang ada."Pak Broto ke mana sebenarnya?" tanya Rasya dengan nada kesal, suaranya mengandung kegelisahan.Purwati memandangnya dengan sorot mata penuh kecurigaan. "Kalau boleh tahu, apa urusan kalian ingin bertemu Mas Broto?" tanyanya dengan nada selidik.Hendra hendak menjelaskan, namun Rasya dengan cepat memotongnya. "Mungkin besok kita akan kembali menemui Pak Broto," ucap Rasya, memberi tanda agar mereka segera pergi.Saat Rasya dan Kartika berbalik untuk meninggalkan halaman rumah, Purwati tiba-tiba meraih lengan Hendra. "Mas Hendra, hati-hati," bisiknya pelan namun tajam. "Wanita bernama Kartika itu gila."Hendra terkejut mendengar ucapan itu. Dia memandang Purwati dengan alis berkerut, bingung dengan tuduhan yang begitu tiba-tiba. Namun, dalam benaknya, ia mulai mengaitkan kata-kata Purwati dengan mimpi-mimpi Rasya tentang Lasmini.'Mungkink

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 53. Tangisan Ibu

    "Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 52. Ibu Dan Anak

    "Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 51. Keluarga Hendra

    Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 50. Ibuku Sayang, Ibuku Malang

    Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 49. Beralih Kepemilikan

    Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 48. Perdebatan Panas

    Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 47. Solusi Hendra (Part 2)

    Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 46. Pertarungan Dua Dunia: Lasmini vs Dyah

    Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 45. Sssst... Jangan Ganggu!

    Kartika berdiri terpaku. Bayang-bayang sosok perempuan semakin jelas di depannya. Dyah. Wajahnya yang pucat dengan mata cekung dan rambut panjang kusut terlihat menyeramkan di antara kegelapan. Hawa dingin seketika menusuk kulit Kartika, membuat tubuhnya menggigil."Hihihi... Kartika," suara lirih itu terdengar lagi, kini lebih dekat. "Lama kita tidak berjumpa..."Kartika menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Cakra lebih erat, berusaha meredam tangis bayinya yang mulai mereda namun masih tersendat-sendat. "Tidak.., tidak.., Mbak Dyah kenapa Kau masih ada di rumah warisan bapakku? Apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.Sosok Dyah tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kartika. "Aku tidak bisa pergi Kartika.., jiwaku masih tertahan. Aku baru bisa pergi kalau keluargaku mengembalikan rumah ini padamu atau ada yang melunasi hutangku!" Sosok Dyah menyeringai, menampakan giginya yang runcing tajam, bola matanya menonjol keluar, menyisakan urat dan darah. "Bayi i

DMCA.com Protection Status