Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

Share

Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-09 11:04:01

“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.

Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.

“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.

Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.

“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”

Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya, halaman ini benar-benar kotor. Dulu, waktu kakekmu masih di sini, halaman ini sering dirawat. Tapi setelah ditinggalkan bertahun-tahun, lihat saja hasilnya,” jawabnya dengan senyum samar.

Sementara itu, Anis masuk ke dalam rumah dengan membawa belanjaannya. Langkahnya terhenti di dapur ketika melihat piring bekas makanan yang tergeletak, nyaris kosong. Sesaat ia mengernyit, lalu menggeleng pelan. “Siapa yang lapar sampai menghabiskan hampir separuh isi baskom?” gumamnya bingung. Ia tak ingat meninggalkan makanan sebanyak itu di malam sebelumnya.

Anis kembali ke halaman, bergabung dengan Hendra dan Rasya. Hendra menyelesaikan pekerjaannya, menepuk debu dari tangannya, lalu menyunggingkan senyum lelah. “Ayo, Bu, kita sarapan saja,” ajaknya, menyadari perutnya mulai keroncongan.

“Ya, kita sarapan,” Anis menyetujui sambil tersenyum palsu, ia mencebikan muka, lalu berjalan mengiring di belakang ayah dan putranya.

Di meja makan, Hendra menatap tumpukan piring yang kosong di hadapannya, ekspresi bingung tergurat di wajahnya. Ia menarik kursi dan duduk, menoleh ke arah Anis. “Bu, sudah makan duluan, ya? Kok sampai habis dua piring?” tanyanya pelan.

Anis mendengus kesal. “Ayah ini mulai pikun, ya? Yang makan sampai habis kan ayah sendiri. Sekarang malah nuduh ibu!” Anis melirik Rasya dengan raut tidak senang.

Rasya mengernyit, lalu menatap ayahnya. “Lho, Bu, tadi ayah dari tadi kan di halaman, nggak ke dapur sama sekali. Yang pertama ke dapur justru ibu.” Hendra mulai menggeser piring.

Rasya hanya mengangguk, seakan membenarkan ucapan sang ayah. “Iya, ayah dari tadi membersihkan halaman, nggak sempat ke dapur, Bu,” jelasnya.

"Dia makan saat kita ke pasar tadi, waktu ibu masuk dapur, sudah ada piring dua yang kosong." Anis kekeuh dengan pernyataannya. Hendra mengerutkan kening, wajahnya menampakan kebingungan. "Lalu siapa yang makan? Ayah dari tadi benar-benar belum masuk ke rumah."

Anis terdiam, merasa bingung dan sedikit tersinggung. “Jadi... kamu menuduh ibu makan sendirian? Mana mungkin. Baru sampai dapur tadi, dan aku lihat piring-piring ini sudah kosong,” tukasnya dengan nada tidak terima.

Sejenak mereka bertiga saling pandang, masing-masing merasa janggal dengan kejadian itu. Mereka tak bisa mengabaikan fakta bahwa ada sesuatu yang tak biasa di rumah tersebut. 

"Sudahlah, Yah, Bu, kita nikmati saja makanan ini," ujar Rasya, mencoba menenangkan suasana. "Lagian, makanan ini masih banyak, kok." Ia mengambil satu piring bersih dari meja, berniat memulai sarapan dengan tenang. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat melihat sesuatu di meja yang membuat keningnya berkerut.

"Ayah, Ibu… ini dot siapa?" tanya Rasya pelan, mengangkat dot berwarna kuning yang tampak baru tapi terasa asing. Suara Rasya terdengar ragu, sementara matanya terus menatap benda itu dengan penuh tanda tanya.

Anis dan Hendra saling pandang, kebingungan tak kalah besar muncul di wajah mereka. "Dot?" Anis menatap dot itu lekat-lekat, lalu menggeleng perlahan. "Ibu nggak pernah bawa dot ke sini, Rasya, dan di rumah ini hanya ada kita bertiga."

Hendra pun terlihat heran. "Perasaan nggak ada dot waktu kita bersih-bersih kemarin. Rasanya baru sekarang benda itu muncul." Mereka semua terdiam, menatap dot dengan perasaan tak nyaman,  Rasya meletakkan kembali dot itu, dan mulai mencoba bersikap biasa.

"Sepertinya, ayah harus menceritakan sesuatu yang pernah ayah dengar dari Pak Tomo," Hendra berkata tiba-tiba, memecah keheningan yang terasa berat di ruangan itu. Rasya dan Anis saling pandang, penasaran sekaligus tak nyaman.

Hendra menarik napas panjang sebelum mulai bicara. "Tiga bulan setelah bapakku meninggal, rumah ini ditemukan dalam kondisi aneh," ucapnya pelan. "Di pintu masuk rumah, ditemukan mayat seorang wanita tanpa identitas. Tak ada yang tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau bagaimana dia bisa ada di sini."

Rasya menelan ludah, mendengarkan dengan saksama sementara Anis meremas tangannya sendiri, wajahnya mulai tegang. Hendra melanjutkan, "Setelah kejadian itu, warga sekitar mulai menjauhi rumah ini. Mereka takut dan bahkan melabeli rumah ini sebagai rumah warisan angker. Banyak yang bilang mereka mendengar suara-suara aneh, seperti tangisan bayi, khususnya di malam hari."

Suasana kembali hening, hanya terdengar desiran angin yang menerpa daun jendela. "Wanita itu ditemukan tewas dengan kondisi perut terbelah." Hendra menutup ceritanya, Rasya mulai merasakan perutnya bergejolak, membayangkan bagaiman wanita itu tewas. "Kenapa perutnya..." Rasya tak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Yang aku dengar, wanita itu gila dan saat datang kondisinya memang sudah hamil," jawab Hendra.

Keheningan yang mengikuti cerita itu justru semakin menambah rasa mencekam yang menyelimuti rumah tua tersebut.

"Ayah, Ibu, Rasya ingin Ayah dan Ibu kembali saja ke rumah. Aku akan bicara dengan Lisa," kata Rasya dengan tekad bulat. Anis menunduk, terdiam, sementara Hendra, yang tahu betul ketegangan antara istrinya dan menantunya, menatap Rasya tajam.

"Coba hubungi istrimu sekarang," ujar Hendra tegas. "Katakan padanya. Dan nyalakan pengeras suara, supaya kami juga mendengarnya."

Rasya ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti permintaan ayahnya. Ia menekan nomor Lisa, berharap ada respons yang baik. Beberapa kali ia mencoba, namun panggilannya tak diangkat. Rasya mendesah, lalu menuliskan pesan yang menjelaskan situasinya, meminta izin agar kedua orang tuanya bisa kembali tinggal bersama mereka.

Tak lama, sebuah balasan masuk. Hendra menatap Rasya penuh harap dan cemas. "Bacakan, Nak," ujarnya pelan.

Rasya membaca pesan itu dengan berat hati. Ternyata, Lisa menolak mentah-mentah, bahkan dengan nada yang dingin. "Ayah dan Ibu bisa cari tempat lain, Rasya. Aku tak bisa menerima mereka lagi di sini," tulisnya. Rasya menghela napas panjang, menatap wajah ayah dan ibunya yang tampak kecewa.

"Maaf, " lirih Rasya sambil meletakan gawainya.

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 9. Mimpi Aneh

    "Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 10. Demam Tinggi

    "Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 11. Sosok Di balik Pintu

    "Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 12. Wanita Muda Dan Bayinya

    Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 13. Keluarga Baru

    "Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 14. Kedatangan Lasmini

    "Apa... Kau Lasmini?" Rasya tergagap, suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya."Iya, Nak. Aku Lasmini," suara itu menjawab, serak dan bergema. "Ada yang ingin Ibu ceritakan padamu," lanjut suara itu, nadanya penuh kepiluan yang dingin menusuk.Rasya memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri, meski jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kau menggangguku?" tanyanya dengan suara parau."Maafkan Ibu, Nak..." suara Lasmini terdengar semakin dekat, diiringi oleh desiran angin dingin yang seakan membelai telinga Rasya. "Ibu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."Rasya mulai merasakan hawa dingin merayap di sekitar lehernya, semakin lama semakin menusuk. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya berat, seperti ada yang menahannya. "Apa yang kau inginkan...?" gumamnya, dengan sisa keberanian yang hampir terkuras.Tiba-tiba, bayangan wajah samar muncul di sudu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 15. Konfrontasi

    "Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti lan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 16. Pulang

    Hendra mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Purwati menyebut Kartika gila? Rasya, di sisi lain, semakin ingin membongkar semua rahasia yang ada."Pak Broto ke mana sebenarnya?" tanya Rasya dengan nada kesal, suaranya mengandung kegelisahan.Purwati memandangnya dengan sorot mata penuh kecurigaan. "Kalau boleh tahu, apa urusan kalian ingin bertemu Mas Broto?" tanyanya dengan nada selidik.Hendra hendak menjelaskan, namun Rasya dengan cepat memotongnya. "Mungkin besok kita akan kembali menemui Pak Broto," ucap Rasya, memberi tanda agar mereka segera pergi.Saat Rasya dan Kartika berbalik untuk meninggalkan halaman rumah, Purwati tiba-tiba meraih lengan Hendra. "Mas Hendra, hati-hati," bisiknya pelan namun tajam. "Wanita bernama Kartika itu gila."Hendra terkejut mendengar ucapan itu. Dia memandang Purwati dengan alis berkerut, bingung dengan tuduhan yang begitu tiba-tiba. Namun, dalam benaknya, ia mulai mengaitkan kata-kata Purwati dengan mimpi-mimpi Rasya tentang Lasmini.'Mungkink

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 97. Sosok Yang Belum Tenang

    Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 96. Keturunan Sakti

    Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 95. Reuni

    Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 94. Kedatangan Sosok Lilis

    "Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 93. Hampir Angkat Tangan

    "Cucuku harusnya mirip akulah, mana mungkin mirip kamu." Raut wajah Hendra berubah tidak suka, "lagian lho ya, harusnya si Udin itu cepat menikah biar bisa buat cucu yang mirip kamu."Mbah Kanjim hanya tersenyum, tidak menanggapi. Sementara Rasya, terlihat fokus menyetir, tapi pikirannya menerawang mengingat ucapan Mbah Kanjim semalam. Sementara mobil terus melaju pelan di jalan sempit, dikelilingi pohon-pohon besar yang daunnya rimbun. Rasya tampak larut dalam lamunannya, tatapan kosong mengarah ke depan. Hatinya penuh tanda tanya—apa benar sosok pria tua Mbah Kanjim akan menjadi anaknya? Rasya Memnag percaya mengenai hal gaib, tapi untuk reinkarnasi dia tidak terlalu percaya itu. "Rasya! Fokus!" tegur Hendra, suaranya memecah keheningan, membuat Rasya tersentak dari lamunan. "Itu pos satpamnya. Kau hampir terlewat!"Rasya menginjak rem mendadak, membuat mobil sedikit berguncang. Ia menarik napas dalam, berusaha mengembalikan konsentrasi."Maaf, aku tadi melamun," ucap Rasya, menco

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 92. Solusi Hendra (3)

    "Tapi kenapa?" tanya Hendra suaranya hampir gak kalah tinggi, membuat Rasya mengelus pundak sang ayah untuk menenangkannya. "Aku akan menjaga kalian dari sini, jangan khawatir. Cari saja wanita yang bernama Dewi itu." Mbah Kanjim mulai merendahkan suaranya. "Ini kasus yang berbeda lagi dengan dua kasus sebelumnya. Dyah dan Purwati menjadi gaib karena dendam, meski penyebabnya juga dua hal yang berbeda. Kalau kasus Lilis dan Dewi, bukan hanya sekedar dendam. Dia memiliki peliharaan sosok gaib."Malam semakin pekat di luar rumah Mbah Kanjim. Angin dingin bertiup, membuat dedaunan pohon beringin tua di halaman bergesekan dan menimbulkan suara aneh seperti bisikan. Lampu di teras rumah berkedip-kedip, seolah-olah nyaris padam. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar dari kejauhan, diikuti bunyi langkah samar yang seolah mengitari rumah.Suasana mendadak sunyi. Mbah Kanjim menelan kata, ia menatap Hendra dan Rasya dengan raut wajah serius. "Apa ada yang mengikuti kalian?" tanyanya. Hendra m

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 91. Bayangan

    "Kenapa Mbak Lilis tiba-tiba bisa jadi seperti itu?" tanya salah seorang tetangga. Dengan menangis, Dewi menjelaskan kalau Lilis adalah seorang penganut ilmu hitam. "Aku sendiri tidak menyangka, rupanya Mbak Lilis memiliki susuk. Entah dari mana dia bisa memilikinya." Suara Dewi terdengar sendu. Membuat beberapa orang mulai tergiring dengan opininya, tapi sebagian lagi seakan tidak percaya."Buktinya apa?" Ucapan salah seorang warga membuat Dewi mencebik. "Buktinya Mbak Lilis jadi kembang Mayang." Dewi menunjuk ke arah Lilis. Air mata mulai keluar, terlihat Lilis menangis. Sementara itu bayangan di belakang punggung Dewi semakin jelas terlihat. "Itu saja tidak cukup, siapa tahu ada orang yang sengaja mengirim 'tenun' kepadanya. Setahuku Lilis adalah wanita baik." "Kalau kau tidak percaya itu urusanmu, Mbah." Dewi mencelos membalas ucapan seorang wanita tua."Aku benar-benar tak menyangka," lirih Bu Kades, fokusnya lalu tertuju pada rantang berkat yang ada di meja. "Apa tadi Suci ke

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 90. Menjadi Kembang Mayang

    "Hahahahah!" Tawa Dewi bergema di ruangan. Ia menunjuk Lilis dengan tatapan mengejak. "Mulai hari ini kau jadi kembang Mayang!" Dewi menyeret tubuh Lilis yang separuh mati, menjauh dari pintu kamarnya.Terlihat Lilis yang kepayahan, berusaha meraih gawai milik Dewi, tapi Dewi malah menendangnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Lilis berusaha merangkak menuju ke ruang tamu. Akan tetapi lagi-lagi, Dewi menendangnya.Tubuh Lilis yang lemah, berusaha merangkak perlahan di atas lantai dingin, kedua tangannya berusaha menarik tubuhnya ke depan meski gemetar hebat. Nafasnya berat, terdengar seperti erangan kesakitan."Mau ke mana, kembang Mayang?" Ucapan Dewi terdengar menyakitkan. Lilis menangis. Sementara Anis mencoba memejamkan mata, melihat pemandangan di hadapannya."Aku tidak kuat," lirih Anis, "andai aku kasat mata, aku akan menolong Mbak Lilis." Anis mulai menangis."Kau hanya melihat bayangan ini sekali, coba bayangka

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 89. Guna-guna Istri Muda

    Lilis berjalan di dapur ia mencoba menahan perasaan dengan melakukan aktifitas memasak. Baru bersiap untuk menyiapkan bahan, Lilis tiba-tiba mendengar suara teriakan Dewi dari dalam kamar. Ia langsung berbalik dan terhenyak mendapati Dewi sudah berdiri di tengah pintu. "Mbak Lilis ini bagaimana sih, dipanggil gak menyahut," Dewi menggerutu, "perutku sakit aku biasanya mengompres perutku dengan air hangat."Tanpa menjawab, Lilis segera merebus air permintaan Dewi. "Oh, iya, Mbak. Saya ingin memastikan kembali mengenai ucapan Mbak Lilis tadi di rumah sakit." Dewi menghela nafas dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Mbak kok tega sih ngomong begitu. Saya ini hamil lho, anak mas Lukman. Tega sekali, Mbak bilang kalau mau mengambil bayi ini dan meminta Mas Lukman untuk menceraikan saya." Nada suara Dewi terdengar bergetar, seakan menahan diri untuk tidak menangis. Melihat itu hati Lilis trenyuh, dia merasa sudah keterlaluan. "Maaf, Mbak. Tadi saya hanya emosi saat mengetahui hubungan Mbak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status