Hendra mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Purwati menyebut Kartika gila? Rasya, di sisi lain, semakin ingin membongkar semua rahasia yang ada."Pak Broto ke mana sebenarnya?" tanya Rasya dengan nada kesal, suaranya mengandung kegelisahan.Purwati memandangnya dengan sorot mata penuh kecurigaan. "Kalau boleh tahu, apa urusan kalian ingin bertemu Mas Broto?" tanyanya dengan nada selidik.Hendra hendak menjelaskan, namun Rasya dengan cepat memotongnya. "Mungkin besok kita akan kembali menemui Pak Broto," ucap Rasya, memberi tanda agar mereka segera pergi.Saat Rasya dan Kartika berbalik untuk meninggalkan halaman rumah, Purwati tiba-tiba meraih lengan Hendra. "Mas Hendra, hati-hati," bisiknya pelan namun tajam. "Wanita bernama Kartika itu gila."Hendra terkejut mendengar ucapan itu. Dia memandang Purwati dengan alis berkerut, bingung dengan tuduhan yang begitu tiba-tiba. Namun, dalam benaknya, ia mulai mengaitkan kata-kata Purwati dengan mimpi-mimpi Rasya tentang Lasmini.'Mungkink
"Kau sudah pulang, Mas," sapa Lisa dengan senyum manis yang seolah tak menyimpan dosa. "Kenapa tidak bilang sebelumnya?" tanyanya dengan nada lembut.Rasya menatapnya dengan mata merah penuh amarah. "Pulang? Untuk melihatmu seperti ini?!" bentaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan. Langkahnya maju dengan penuh emosi, tangannya mengepal keras, siap meluapkan kemarahan.Namun, para satpam yang sudah bersiaga segera menghalangi. Mereka memegang Rasya dengan cengkeraman kuat. "Lepaskan aku!" teriak Rasya, berusaha melepaskan diri. "Aku ingin penjelasan darinya sekarang!" gertaknya sambil menunjuk Lisa dengan tatapan menusuk."Pak Rasya, mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin," ujar salah satu satpam, mencoba menenangkan situasi. Mereka menarik Rasya menjauh, meski pria itu terus meronta dengan emosi yang memuncak.Di sisi lain, Lisa tampak gelisah. Dia melirik pria di sampingnya, yang juga tampak kebingungan. "Bagaimana ini?" bisik pria itu dengan nada panik."Kenapa suamimu b
Petugas membawa Rasya ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut."Kenapa Anda melakukan pemukulan terhadap saudara Candra Permana?" tanya seorang penyelidik."Karena dia berselingkuh dengan istri saya," jawab Rasya tanpa ragu."Meski begitu, tindakan Anda tetap melanggar hukum," ujar penyelidik tegas. "Apa Anda bisa menghubungi keluarga Anda?"Rasya menggeleng pelan. "Maaf, ini urusan saya. Saya tidak ingin orang tua saya terlibat lebih jauh," ujarnya dengan tegas.Penyelidik hanya mengangguk, mencatat pernyataan itu. Ruangan hening sejenak, menciptakan ketegangan yang terasa menusuk.---Anis terbangun dengan napas memburu, hatinya diliputi firasat buruk."Ibu, apa yang terjadi?" tanya Kartika sambil menggendong Cakra."Aku bermimpi tentang Rasya," jawab Anis dengan suara bergetar. "Aku harus segera menghubunginya."Dengan langkah tergesa, Anis menuju meja ke sudut kamar mencari gawainya."Gaw
POV KartikaAku menggendong Cantika erat-erat di dadaku, berusaha menenangkan bayi mungil itu yang terus menggeliat. Suara tangis Cakra dari ranjang di kamar semakin memekakkan telinga.“Sayang, tangisanmu membuat ibu pusing! Diamlah!” Aku mendesis tajam. Kugendong Cantika menuju dapur, meninggalkan Cakra yang terus menangis. “Anak laki-laki tak boleh cengeng,” gumamku, menahan perasaan aneh yang mulai merayap.Namun langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat sosok tinggi jangkung dengan mata merah menyala berdiri di sudut dapur. Bayangan itu tidak bergerak, hanya mengamatiku dengan kehadiran yang membuat napasku tercekat.“Dia lagi...” desisku gemetar. Tanpa pikir panjang, aku bergegas membawa Cantika bersembunyi di kolong meja makan. Tubuhku bergetar hebat saat bayangan itu mengerang keras, suaranya menggetarkan kaca jendela.“Graaaghhhh!” Dengan cepat, sosok itu melesat keluar melalui jendela dapur, meninggalkanku dalam kepanikan.Aku merangkak keluar dengan kaki gemetar, m
Lisa membanting pintu dengan kasar, gemanya memenuhi rumah yang kini terasa dingin. Wajah kedua mertuanya tadi benar-benar membuatnya muak.“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada pria tua itu?” tanya Candra, memeluk Lisa dari belakang sambil mencium tengkuknya.Lisa melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menatapnya tajam, matanya penuh amarah dan kebencian. “Untuk apa? Apa dengan aku mengatakan semuanya, ibu dan ayahku bisa kembali hidup?” jawabnya dengan nada penuh luka.Hening sejenak, hanya terdengar napasnya yang berat. Lisa menatap ke luar jendela, tenggelam dalam rasa benci yang telah lama membara di hatinya.POV Lisa (Flashback)Masa kecilku penuh luka yang tak mudah dilupakan. Saat aku baru pulang dari sekolah, seorang teman menghampiriku dengan wajah cemas.“Lisa! Cepat pulang! Ayah dan ibumu bertengkar lagi!” katanya gugup.Aku hanya menghela napas, menguatkan diri. “Aku me
Hendra memandang serius ke arah Rasya dan Lisa, lalu memberi isyarat agar mereka bersiap untuk pergi. Kau sudah siap?" Hendra menatap Rasya lekat. “Kita harus segera ke pengadilan,” katanya tegas. “Urusan perceraian ini harus diselesaikan cepat, supaya Lisa bisa segera menghabiskan masa iddahnya dan menikah lagi. Dengan begitu, kau bisa lepas tanggung jawab.”Rasya menundukkan kepala, matanya terlihat kosong dan penuh beban. “Aku berharap begitu, Yah. Ini aib yang sangat berat, membuatku merasa dipermalukan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.Hendra menghela napas, lalu menatap anaknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau masih kepikiran soal harta dan rumah?” tanyanya, menilai apa yang ada dalam pikiran Rasya. Rasya hanya mengangguk pelan.Hendra menggelengkan kepala, menepuk pundak putranya dengan lembut. “Ikhlas itu ilmu tingkat tinggi, Nak. Kalau kau bisa melalui semua ini dengan ikhlas, kau akan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.”Ras
Anis terpaku, tubuhnya terasa lunglai saat melihat foto Lisa yang muncul di layar ponsel putri Yayuk. Mata Anis terfokus pada wajah Lisa yang tersenyum, namun senyum itu kini terasa sangat asing dan menakutkan. Hendra yang sejak tadi hanya diam, mulai merasa ada yang janggal. Ia mendekat, memaksa putri Yayuk untuk menunjukkan gambar lainnya."Itu kan Lisa, Buk?" tanya Hendra dengan nada tinggi, suaranya menggema dalam keheningan. "Kenapa anak temanmu memiliki foto wanita sialan itu?!" Hendra menatap penuh amarah, matanya berapi-api, membuat suasana di sekitar mereka seketika tegang.Yayuk dan putrinya saling pandang, kebingungan meliputi wajah mereka. "Maksudnya Lisa wanita sialan, itu apa ya?" tanya Yayuk dengan hati-hati, mencoba menahan kegelisahannya.Rasya yang sudah tidak tahan, akhirnya membuka mulut. "Lisa itu mantan istri saya. Kami bercerai karena dia berselingkuh dengan seorang pria bernama Candra. Apa kalian kenal?" ucap Rasya dengan suara tegas, namun ada getaran amarah y
"Diam dulu, Nak Rasya," suara Anis terdengar dingin dan penuh wibawa. Rasya mematung, yakin sepenuhnya bahwa ibunya telah dirasuki. Tatapan Anis yang tajam kini tertuju pada Broto. "Aku ingin berbicara dengan Broto," ucapnya perlahan, namun menggetarkan suasana."Akui Kartika sebagai putrimu, Broto," ujar sosok Lasmini melalui Anis. "Bagaimanapun, kita pernah menikah, meski hanya secara sirih." Pernyataan itu membuat semua orang di ruangan terkejut. Hendra membatu, sementara Broto tampak pucat pasi."Lasmini..." gumam Broto, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan."Kartika adalah darah dagingmu! Putri yang kau tinggalkan demi menikahi Purwati yang kaya raya!" suara Lasmini menggema, membuat dada Broto terasa sesak."A-aku... aku..." Broto tergagap, tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan aku, Lasmini. Ini semua bukan keinginanku," ujarnya dengan suara parau, air mata mulai mengalir deras."Tapi kau tetap meninggalkanku
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi
Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada
Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata