"Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti lan
Hendra mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Purwati menyebut Kartika gila? Rasya, di sisi lain, semakin ingin membongkar semua rahasia yang ada."Pak Broto ke mana sebenarnya?" tanya Rasya dengan nada kesal, suaranya mengandung kegelisahan.Purwati memandangnya dengan sorot mata penuh kecurigaan. "Kalau boleh tahu, apa urusan kalian ingin bertemu Mas Broto?" tanyanya dengan nada selidik.Hendra hendak menjelaskan, namun Rasya dengan cepat memotongnya. "Mungkin besok kita akan kembali menemui Pak Broto," ucap Rasya, memberi tanda agar mereka segera pergi.Saat Rasya dan Kartika berbalik untuk meninggalkan halaman rumah, Purwati tiba-tiba meraih lengan Hendra. "Mas Hendra, hati-hati," bisiknya pelan namun tajam. "Wanita bernama Kartika itu gila."Hendra terkejut mendengar ucapan itu. Dia memandang Purwati dengan alis berkerut, bingung dengan tuduhan yang begitu tiba-tiba. Namun, dalam benaknya, ia mulai mengaitkan kata-kata Purwati dengan mimpi-mimpi Rasya tentang Lasmini.'Mungkink
"Kau sudah pulang, Mas," sapa Lisa dengan senyum manis yang seolah tak menyimpan dosa. "Kenapa tidak bilang sebelumnya?" tanyanya dengan nada lembut.Rasya menatapnya dengan mata merah penuh amarah. "Pulang? Untuk melihatmu seperti ini?!" bentaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan. Langkahnya maju dengan penuh emosi, tangannya mengepal keras, siap meluapkan kemarahan.Namun, para satpam yang sudah bersiaga segera menghalangi. Mereka memegang Rasya dengan cengkeraman kuat. "Lepaskan aku!" teriak Rasya, berusaha melepaskan diri. "Aku ingin penjelasan darinya sekarang!" gertaknya sambil menunjuk Lisa dengan tatapan menusuk."Pak Rasya, mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin," ujar salah satu satpam, mencoba menenangkan situasi. Mereka menarik Rasya menjauh, meski pria itu terus meronta dengan emosi yang memuncak.Di sisi lain, Lisa tampak gelisah. Dia melirik pria di sampingnya, yang juga tampak kebingungan. "Bagaimana ini?" bisik pria itu dengan nada panik."Kenapa suamimu b
Petugas membawa Rasya ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut."Kenapa Anda melakukan pemukulan terhadap saudara Candra Permana?" tanya seorang penyelidik."Karena dia berselingkuh dengan istri saya," jawab Rasya tanpa ragu."Meski begitu, tindakan Anda tetap melanggar hukum," ujar penyelidik tegas. "Apa Anda bisa menghubungi keluarga Anda?"Rasya menggeleng pelan. "Maaf, ini urusan saya. Saya tidak ingin orang tua saya terlibat lebih jauh," ujarnya dengan tegas.Penyelidik hanya mengangguk, mencatat pernyataan itu. Ruangan hening sejenak, menciptakan ketegangan yang terasa menusuk.---Anis terbangun dengan napas memburu, hatinya diliputi firasat buruk."Ibu, apa yang terjadi?" tanya Kartika sambil menggendong Cakra."Aku bermimpi tentang Rasya," jawab Anis dengan suara bergetar. "Aku harus segera menghubunginya."Dengan langkah tergesa, Anis menuju meja ke sudut kamar mencari gawainya."Gaw
POV KartikaAku menggendong Cantika erat-erat di dadaku, berusaha menenangkan bayi mungil itu yang terus menggeliat. Suara tangis Cakra dari ranjang di kamar semakin memekakkan telinga.“Sayang, tangisanmu membuat ibu pusing! Diamlah!” Aku mendesis tajam. Kugendong Cantika menuju dapur, meninggalkan Cakra yang terus menangis. “Anak laki-laki tak boleh cengeng,” gumamku, menahan perasaan aneh yang mulai merayap.Namun langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat sosok tinggi jangkung dengan mata merah menyala berdiri di sudut dapur. Bayangan itu tidak bergerak, hanya mengamatiku dengan kehadiran yang membuat napasku tercekat.“Dia lagi...” desisku gemetar. Tanpa pikir panjang, aku bergegas membawa Cantika bersembunyi di kolong meja makan. Tubuhku bergetar hebat saat bayangan itu mengerang keras, suaranya menggetarkan kaca jendela.“Graaaghhhh!” Dengan cepat, sosok itu melesat keluar melalui jendela dapur, meninggalkanku dalam kepanikan.Aku merangkak keluar dengan kaki gemetar, m
Lisa membanting pintu dengan kasar, gemanya memenuhi rumah yang kini terasa dingin. Wajah kedua mertuanya tadi benar-benar membuatnya muak.“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada pria tua itu?” tanya Candra, memeluk Lisa dari belakang sambil mencium tengkuknya.Lisa melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menatapnya tajam, matanya penuh amarah dan kebencian. “Untuk apa? Apa dengan aku mengatakan semuanya, ibu dan ayahku bisa kembali hidup?” jawabnya dengan nada penuh luka.Hening sejenak, hanya terdengar napasnya yang berat. Lisa menatap ke luar jendela, tenggelam dalam rasa benci yang telah lama membara di hatinya.POV Lisa (Flashback)Masa kecilku penuh luka yang tak mudah dilupakan. Saat aku baru pulang dari sekolah, seorang teman menghampiriku dengan wajah cemas.“Lisa! Cepat pulang! Ayah dan ibumu bertengkar lagi!” katanya gugup.Aku hanya menghela napas, menguatkan diri. “Aku me
Hendra memandang serius ke arah Rasya dan Lisa, lalu memberi isyarat agar mereka bersiap untuk pergi. Kau sudah siap?" Hendra menatap Rasya lekat. “Kita harus segera ke pengadilan,” katanya tegas. “Urusan perceraian ini harus diselesaikan cepat, supaya Lisa bisa segera menghabiskan masa iddahnya dan menikah lagi. Dengan begitu, kau bisa lepas tanggung jawab.”Rasya menundukkan kepala, matanya terlihat kosong dan penuh beban. “Aku berharap begitu, Yah. Ini aib yang sangat berat, membuatku merasa dipermalukan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.Hendra menghela napas, lalu menatap anaknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau masih kepikiran soal harta dan rumah?” tanyanya, menilai apa yang ada dalam pikiran Rasya. Rasya hanya mengangguk pelan.Hendra menggelengkan kepala, menepuk pundak putranya dengan lembut. “Ikhlas itu ilmu tingkat tinggi, Nak. Kalau kau bisa melalui semua ini dengan ikhlas, kau akan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.”Ras
Anis terpaku, tubuhnya terasa lunglai saat melihat foto Lisa yang muncul di layar ponsel putri Yayuk. Mata Anis terfokus pada wajah Lisa yang tersenyum, namun senyum itu kini terasa sangat asing dan menakutkan. Hendra yang sejak tadi hanya diam, mulai merasa ada yang janggal. Ia mendekat, memaksa putri Yayuk untuk menunjukkan gambar lainnya."Itu kan Lisa, Buk?" tanya Hendra dengan nada tinggi, suaranya menggema dalam keheningan. "Kenapa anak temanmu memiliki foto wanita sialan itu?!" Hendra menatap penuh amarah, matanya berapi-api, membuat suasana di sekitar mereka seketika tegang.Yayuk dan putrinya saling pandang, kebingungan meliputi wajah mereka. "Maksudnya Lisa wanita sialan, itu apa ya?" tanya Yayuk dengan hati-hati, mencoba menahan kegelisahannya.Rasya yang sudah tidak tahan, akhirnya membuka mulut. "Lisa itu mantan istri saya. Kami bercerai karena dia berselingkuh dengan seorang pria bernama Candra. Apa kalian kenal?" ucap Rasya dengan suara tegas, namun ada getaran amarah y
"Gak usah wedi, Nduk." Sosok itu terus melambaikan tangan ke arahnya, membuat Anis ingin menangis."Saya Mbah Sur, yang punya rumah ini." Pria itu menunjuk ke arah rumah Lukman. "Saya ini bapaknya Lukman. Seharusnya saya bisa pergi dengan tenang, tapi Dewi malah mengambil susuk milikku dan menanamkannya dalam tubuhnya."Anis tercekat, tapi ia mengusahakan langkahnya untuk mendekat."Ojo wedi. Saya sudah tobat di detik akhir sebelum mati," Mbah Sur mencoba meyakinkan Anis. "Saya butuh bantuanmu, supaya bisa mengikuti Lilis. Mbah berharap setelah kamu tahu jalan ceritanya, kamu bisa membantu melepas susuk dari Dewi. Mbah ingin pergi dengan tenang."Anis mengangguk. "Ba-gai-mana sa-ya bisa membantu?" tanyanya dengan terbata."Kau cukup ikuti. Setelah kembali ke alam sadarmu, cari saja keberadaan Dewi. Aku juga sudah menitipkan sesuatu kepadamu, bawa ke orang yang mengerti.""Aku tidak paham.""Lakukan saja, nanti kau juga aka
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”Degggg!Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar."Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis kaget saat netranya melihat ada sesajen di bawah ranjang. Namun, karena tak mau terlibat terlalu jauh, ia bergegas menutup pintu dan kembali bergabung dengan Sulis.Tak lama kemudian, Hendra dan para pelayat kembali ke rumah duka. Wajah mereka terlihat lelah, dengan pakaian berdebu oleh tanah makam. Aroma dupa masih tercium di udara, menyatu dengan suasana sendu di dalam rumah. Semua duduk diam, menyisip teh hangat dalam hening yang mencekam.Hendra mendatangi Anis, menggeser duduk dan memangku Sandra."Yah, kok langsung memangku Sandra? Harusnya mandi dulu atau cuci muka lah paling tidak, habis dari pemakaman juga." Anis langsung mengambil alih Sandra kembali. "Nanti kalau Sandra 'sawan' bagaimana?""Aku sudah mandi kok, di rumah pak RT. Tadi orang-orang juga mandi di sana. Eh, tadi banyak tetangga yang ngamuk sama Dewi, lho."Ucapan Hendra mengundang rasa ingin tahu Anis. Keningnya mengkerut penuh rasa penasaran. Mengetahui
Seminggu setelah kematian Lukman, Anis sudah melupakan mengenai keadaan Lilis. Ia mulai beraktifitas seperti biasa, memasak, bermain dengan cucu dan aktifitas lain. Suatu pagi, Anis yang sedang bermain dengan dua cucu kesayangannya di ruang tamu, tersentak ketika ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp "Konco Lawas" muncul.Dengan santai, ia membuka pesan itu, namun wajahnya langsung berubah pucat. "Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bu Lilis telah berpulang. Semoga amal ibadahnya diterima." Anis membaca pesan itu berkali-kali, memastikan tidak salah baca. "Lilis meninggal?" gumamnya pelan, dengan penuh keterkejutan. Pikirannya berputar, teringat tatapan kosong Lilis yang terus mengarah ke langit-langit kemarin. "Ya Allah...." Anis memegang dadanya yang terasa sesak. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengetik balasan, tapi tak satu kata pun berhasil ia kirimkan. Wajah Lilis terus terbayang di benaknya."Kenapa kok pas 7 harian Lukman meninggal ya." Ani
"Pak, apa kita akan ikut mereka takziyah. Sementara, kita kan bawa Cakra dan Sandra," bisik Anis pada sang suami. "Lha mau bagaimana, Bu, mereka juga mengajak cucunya bukan? Kita ikut bentar saja, biar bagaimanapun Lukman sudah berjasa membantu Kartika sampai sembuh," bisik Hendra.Anis tampak ragu mendengar ucapan suaminya, tapi melihat antusiasme teman-teman yang lain yang juga mengajak cucu, ia jadi tak punya alasan menolak. Akhirnya keduanya sepakat ikut rombongan. Mobil yang ditumpangi Hendra dan Anis melaju di jalan beraspal yang membelah hamparan sawah hijau di kiri-kanan. Dari dalam mobil, terlihat petani dengan caping di bawah terik matahari sedang memanen. Langit siang cerah, awan putih berarak lembut, melukis langit yang indah.Pepohonan rindang melambai ditiup angin, memberikan kesan teduh meski matahari bersinar terik. Sesekali, motor atau sepeda melintas, menambah suasana desa yang tenang. Di kejauhan, terlihat bukit-bukit kecil seperti melindungi desa. Anis memandang
"Kenapa Kartika tiba-tiba pingsan?" Anis mulai panik. "Cepat bawa masuk!"Melihat tubuh Kartika yang limbung, Rasya panik. Ia bergegas menggendong tubuh sang istri dan membaringkannya di atas kasur. Anis yang tak kalah khawatir, buru-buru mengambil minyak kayu putih dari meja. "Cepat ambil air, Rasya!" perintah Anis dengan nada cemas.Rasya berlari ke dapur, membawa segelas air dingin, sementara Anis mengusap pelipis Kartika dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat, Kartika perlahan membuka mata. "Kartika, kamu kenapa?!" tanya Rasya, suaranya penuh kekhawatiran.Wajah Kartika pucat, matanya berkaca-kaca. "Aku juga tidak tahu, Mas," gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya bergetar saat mencoba meraih tangan Rasya, tubuhnya masih terlihat lemah. Tak lama Hendra dan Cakra masuk. Melihat Cassandra, ekspresi Hendra bingung. Berbeda dengan Cakra, bocah itu tanpa aba-aba langsung menggandeng tangan Cassandra dan mengajaknya bermain. "Itu anak Lisa," celetuk Anis, seperti mengetahui
"Mas, bangun!" Candra membuka mata dan mendapati dua pria berseragam tengah mengguncang pundaknya. "Di mana saya?" tanyanya."Mas ada di rumah perbaikan diri. Ayo masuk, kita bicara di dalam, saya lihat, Mas ini tampak sedang tidak baik-baik saja." Polisi muda itu bersiap membantu Candra untuk berdiri. Namun belum sempat berdiri, Candra tiba-tiba menangis pilu. "Saya pembunuh!" teriaknya. "Saya sudah membunuh istri saya ...." Candra mulai histeris, tubuhnya bergetar hebat. Dua polisi itu saling pandang heran. Lalu kembali mengalihkan pandangan kepada Candra sambil berkata, "silahkan buat keterangan dulu di dalam."---Pagi harinya, Desa Lisa kembali gempar saat mobil polisi melintasi jalan utama, membawa Candra dengan wajah yang penuh penyesalan. Warga berkerumun di sekitar rumah kayu milik Lisa, berbisik-bisik dengan nada takut dan penasaran. Kartika dan Rasya yang bersiap pulang terhenti di tengah jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri. Di gendongannya, Cassandra merengek pela
"Apa maksudmu? Jadi benar Mas Candra yang membunuhmu?" ucap Kartika dengan nada gemetar tak percaya. "Ta-pi ... ke-napa?" Kartika terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Lisa seperti palu yang menghantam pikirannya. “Candra membunuhku,” ucap Lisa tanpa ragu. Mata Kartika membelalak, penuh ketidakpercayaan. “Tidak mungkin!” desisnya, suaranya nyaris lenyap. Namun, sorot dingin Lisa tak terbantahkan. Rasa takut menyelimuti Kartika, nafasnya memburu. Sorot mata penuh dendam itu, membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tenggorokannya tercekat dan tubuhnya kaku seakan tak bisa bergerak. "Candra membunuhku Kartika! Aku ingin mendapat keadilan atas kematianku! Bantu aku Kartika ... temukan Candra!" Suara Lisa diiringi dengan Isak tangisnya bergema di keheningan malam. “Keadilan...,” bisiknya pelan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan hawa dingin menusuk tulang. "Candra harus bertanggung jawab dan anakku ...." Lisa tak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis. "Anakku, dia tidak me