Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 7. Menggali Sejarah Rumah Warisan

Share

Bab 7. Menggali Sejarah Rumah Warisan

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 13:46:16

Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.

Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.

Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak tertutup penuh; hanya langit lepas di atasnya yang membentang tanpa penghalang, memperlihatkan hamparan sawah dan desa yang sunyi di kejauhan. Cahaya bulan mengintip dari balik awan, menambah nuansa mencekam pada tempat itu.

"Ternyata ini tempat untuk menjemur pakaian," gumamnya, merasa sedikit lega meski suasana tetap terasa aneh. Rasya melangkah perlahan, matanya memandang sekitar. Sejenak, ia mengira melihat bayangan yang melesat di ekor sudut pandangannya, namun begitu ia berbalik, tak ada apapun di sana. Di ujung ruangan, jemuran-jemuran tua yang lapuk bergoyang-goyang, menciptakan suara derit lembut yang membuat bulu kuduknya berdiri. Rasya merasa mendapat dorongan kuat untuk segera meninggalkan tempat itu.

Rasya menutup pintu dan bergegas menuruni tangga. Namun, hawa dingin tiba-tiba menyelimuti sekelilingnya, membuat kulitnya terasa menggigil. Suasana menjadi terlalu hening, seolah seluruh rumah menahan napas. Rasya mulai merasakan jantungnya berdegup kencang, setiap langkahnya terdengar menggema di koridor sunyi. Bulu kuduknya berdiri, dan instingnya menyuruhnya berlari. Ia mempercepat langkah, berharap segera sampai di kamar kedua orang tuanya, namun di tengah keheningan itu, samar-samar terdengar suara langkah lain di belakangnya, mengikuti setiap gerakannya. Namun, Rasya memilih tidak perduli.

Rasya membuka pintu kamar dengan perlahan. Di dalam, kedua orang tuanya menunggu dengan wajah tegang.

"Apa yang kamu temukan?" tanya Anis cepat, suaranya mengandung cemas.

"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Rasya, berusaha meyakinkan. "Suara itu juga sudah tidak terdengar. Ternyata, di atas hanya ada ruang kosong untuk menjemur pakaian, tapi... tidak ada pagar pembatas."

Hendra mengangguk sambil mendesah pelan. "Iya, aku belum sempat melihat lantai atas sejak kita datang."

"Kita bisa bersihkan besok pagi," ucap Rasya sambil menahan kantuk. "Aku tidur dulu, ya. Selamat malam, Bu, Yah." Rasya beranjak ke kamarnya dan menutup pintu kamar orang tuanya, perlahan.

Namun, saat baru keluar pintu, matanya menangkap sesuatu di ujung lorong. Sesosok siluet samar, terlihat seperti seorang wanita dengan bayi dalam gendongan, berdiri di bawah cahaya redup. Rasya menatapnya dengan ngeri, tubuhnya membeku seketika. Dia berkedip, tapi sosok itu menghilang.

“Mungkin aku terlalu lelah,” bisiknya, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari pikirannya. Tetapi perasaan tidak nyaman menggelayuti pikirannya. "Sebaiknya aku tidur." Rasya masuk ke dalam kamarnya, sejenak ia memandang kipas angin yang ada di langit kamar, lalu terlelap dalam alam mimpi.

---

Pagi itu, Rasya bersiap mengantar ibunya ke desa untuk berbelanja beberapa bahan kebutuhan. Ayahnya, Hendra, berencana tinggal di rumah untuk membersihkan lantai atas, yang belum sempat dibereskan.

"Ayah ikut saja, biar bersih-bersihnya nanti," ajak Rasya, menatap sang ayah dengan cemas. "Aku nggak tega ninggalin Ayah sendirian di sini, apalagi setelah kejadian aneh semalam."

Hendra terdiam sejenak, memikirkan perkataan Rasya. Memang, tadi malam rumah ini terasa dingin dan penuh bisikan yang tak kasatmata, tetapi begitu matahari terbit, suasana rumah ini tampak damai. Rasanya tak ada yang perlu dicemaskan.

"Pak?" Rasya menyenggol lengan ayahnya, membuyarkan lamunannya.

Hendra tersenyum tipis, mengangguk tenang. "Nggak apa-apa, Nak. Antar saja ibumu. Ayah sudah terbiasa di rumah ini sendiri. Lagipula, siang hari begini… rasanya semua baik-baik saja."

Rasya masih ragu, tapi akhirnya mengalah. Hendra meyakinkan mereka bahwa tak akan ada masalah, meskipun di dalam hatinya ia tetap merasakan sedikit keganjilan.

"Rasya pamit dulu ya, Pak."

Rasya dan Anis berjalan menuju desa Kenikir yang terletak di seberang jalan, tak jauh dari rumah mereka. Sepanjang jalan, Anis tak henti mengingatkan putranya.

“Kamu pulang jangan terlalu sore ya, lebih baik siang, biar sampai rumah nggak kemalaman,” ucap Anis, menatap Rasya dengan cemas.

"Rasya malah rencana pulang besok pagi, Bu," jawab Rasya sambil tersenyum.

Anis terkejut, lalu menepuk pundak putranya lembut. “Lho, kok besok? Kasihan Lisa, Nak. Apalagi dia sedang hamil, pasti dia butuh kamu di rumah, menemani.”

Rasya hanya mengangguk, sedikit canggung. “Tenang saja, Bu. Lisa sudah terbiasa kalau Rasya pulang agak lama,” katanya sambil melihat ke arah jalan. “Oh iya, Bu, pasarnya masih jauh nggak?”

Anis menunjuk ke depan, ke arah pasar yang mulai tampak. “Itu, di depan sana. Sudah dekat.”

Saat akan masuk pasar, seorang pria tua yang dikenal baik oleh keluarga mereka menghampiri keduanya. Anis memberi isyarat kepada Rasya untuk berbicara sebentar dengan pria tersebut. “Ibu masuk dulu ya, kamu ngobrol saja di sini,” ujar Anis, lalu berlalu menuju pasar. Rasya menatap ibunya sejenak, kemudian beralih memperhatikan pria tua itu yang seumuran ayahnya itu.

Rasya menatap pria di depannya, teman lama ayahnya, lalu mengajaknya duduk di warung kecil dekat pintu masuk pasar. “Pak Tomo, apa kabar?” tanya Rasya sambil mengulurkan tangan. Pak Tomo menyambut jabatannya dengan senyum tipis.

“Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya Pak Tomo.

“Alhamdulillah, luar biasa baik, Pak,” jawab Rasya sambil tersenyum. Namun, Pak Tomo tampak ragu, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan. Setelah menghela napas dalam, ia menatap Rasya dengan serius.

“Maaf, Nak Rasya, saya bukannya ingin ikut campur dalam urusan keluarga,” Pak Tomo berkata pelan, nada suaranya penuh kehati-hatian, “tapi saya penasaran. Apa yang membuat ayah dan ibumu memutuskan untuk kembali dan menempati rumah suwung itu?”

Rasya sedikit terkejut mendengar istilah “rumah suwung”—istilah yang digunakan warga sekitar untuk rumah yang lama tak berpenghuni dan dianggap membawa energi misitis. Pak Tomo menatapnya penuh arti, seakan ingin menyampaikan lebih banyak. Rasya menghela napas, merasakan sedikit keresahan dari tatapan pria itu, tetapi mencoba tetap tenang, menunggu kelanjutan pembicaraan Pak Tomo.

"Kenapa rumah warisan kakek itu disebut suwung?" tanya Rasya penasaran, menatap Tomo.

"Bukan cuma suwung, tapi juga singit alias angker," jawab Tomo serius. "Apa kau tidak tahu kalau dulu pernah ditemukan jenazah di sana?" lanjutnya dengan nada pelan namun tajam, seolah sedang menakar reaksi Rasya. Tomo mengamati pemuda itu dengan pandangan menyelidik. "Kalau boleh memberi saran, Nak Rasya, sebaiknya bawa pulang bapak dan ibumu ke kota saja. Rumah tua itu bukan tempat yang baik untuk mereka," bisik Tomo, suaranya terdengar mendesak, penuh kekhawatiran yang sulit disembunyikan.

Rasya tercenung, merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Tomo, sebuah rahasia lama yang tampaknya tak ingin dibuka. Pikirannya mulai dihantui bayangan-bayangan tentang rumah tua itu. Namun, sebelum ia sempat menanggapi, langkah Anis terdengar mendekat.

Anis datang sambil membawa belanjaan, menatap keduanya dengan tatapan heran. "Ayo kita pulang, Nak," katanya lembut, sambil memberi isyarat kepada Rasya untuk pergi.

"Ibu, semisal Rasya mengajak ibu kembali, apa ibu setuju?" pertanyaan Rasya yang tiba-tiba membuat Anis menoleh ke arah sang putra.

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 8. Meneruskan Cerita Dan Penolakan

    “Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 9. Mimpi Aneh

    "Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 10. Demam Tinggi

    "Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 11. Sosok Di balik Pintu

    "Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 12. Wanita Muda Dan Bayinya

    Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 13. Keluarga Baru

    "Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 14. Kedatangan Lasmini

    "Apa... Kau Lasmini?" Rasya tergagap, suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya."Iya, Nak. Aku Lasmini," suara itu menjawab, serak dan bergema. "Ada yang ingin Ibu ceritakan padamu," lanjut suara itu, nadanya penuh kepiluan yang dingin menusuk.Rasya memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri, meski jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kau menggangguku?" tanyanya dengan suara parau."Maafkan Ibu, Nak..." suara Lasmini terdengar semakin dekat, diiringi oleh desiran angin dingin yang seakan membelai telinga Rasya. "Ibu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."Rasya mulai merasakan hawa dingin merayap di sekitar lehernya, semakin lama semakin menusuk. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya berat, seperti ada yang menahannya. "Apa yang kau inginkan...?" gumamnya, dengan sisa keberanian yang hampir terkuras.Tiba-tiba, bayangan wajah samar muncul di sudu

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 15. Konfrontasi

    "Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti la

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 23. Dia Putrimu

    "Diam dulu, Nak Rasya," suara Anis terdengar dingin dan penuh wibawa. Rasya mematung, yakin sepenuhnya bahwa ibunya telah dirasuki. Tatapan Anis yang tajam kini tertuju pada Broto. "Aku ingin berbicara dengan Broto," ucapnya perlahan, namun menggetarkan suasana."Akui Kartika sebagai putrimu, Broto," ujar sosok Lasmini melalui Anis. "Bagaimanapun, kita pernah menikah, meski hanya secara sirih." Pernyataan itu membuat semua orang di ruangan terkejut. Hendra membatu, sementara Broto tampak pucat pasi."Lasmini..." gumam Broto, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan."Kartika adalah darah dagingmu! Putri yang kau tinggalkan demi menikahi Purwati yang kaya raya!" suara Lasmini menggema, membuat dada Broto terasa sesak."A-aku... aku..." Broto tergagap, tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan aku, Lasmini. Ini semua bukan keinginanku," ujarnya dengan suara parau, air mata mulai mengalir deras."Tapi kau tetap meninggalkanku

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 22. Penasaran

    Anis terpaku, tubuhnya terasa lunglai saat melihat foto Lisa yang muncul di layar ponsel putri Yayuk. Mata Anis terfokus pada wajah Lisa yang tersenyum, namun senyum itu kini terasa sangat asing dan menakutkan. Hendra yang sejak tadi hanya diam, mulai merasa ada yang janggal. Ia mendekat, memaksa putri Yayuk untuk menunjukkan gambar lainnya."Itu kan Lisa, Buk?" tanya Hendra dengan nada tinggi, suaranya menggema dalam keheningan. "Kenapa anak temanmu memiliki foto wanita sialan itu?!" Hendra menatap penuh amarah, matanya berapi-api, membuat suasana di sekitar mereka seketika tegang.Yayuk dan putrinya saling pandang, kebingungan meliputi wajah mereka. "Maksudnya Lisa wanita sialan, itu apa ya?" tanya Yayuk dengan hati-hati, mencoba menahan kegelisahannya.Rasya yang sudah tidak tahan, akhirnya membuka mulut. "Lisa itu mantan istri saya. Kami bercerai karena dia berselingkuh dengan seorang pria bernama Candra. Apa kalian kenal?" ucap Rasya dengan suara tegas, namun ada getaran amarah y

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 21. Keputusan

    Hendra memandang serius ke arah Rasya dan Lisa, lalu memberi isyarat agar mereka bersiap untuk pergi. Kau sudah siap?" Hendra menatap Rasya lekat. “Kita harus segera ke pengadilan,” katanya tegas. “Urusan perceraian ini harus diselesaikan cepat, supaya Lisa bisa segera menghabiskan masa iddahnya dan menikah lagi. Dengan begitu, kau bisa lepas tanggung jawab.”Rasya menundukkan kepala, matanya terlihat kosong dan penuh beban. “Aku berharap begitu, Yah. Ini aib yang sangat berat, membuatku merasa dipermalukan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.Hendra menghela napas, lalu menatap anaknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau masih kepikiran soal harta dan rumah?” tanyanya, menilai apa yang ada dalam pikiran Rasya. Rasya hanya mengangguk pelan.Hendra menggelengkan kepala, menepuk pundak putranya dengan lembut. “Ikhlas itu ilmu tingkat tinggi, Nak. Kalau kau bisa melalui semua ini dengan ikhlas, kau akan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.”Ras

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 20. Rahasia Kelam

    Lisa membanting pintu dengan kasar, gemanya memenuhi rumah yang kini terasa dingin. Wajah kedua mertuanya tadi benar-benar membuatnya muak.“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada pria tua itu?” tanya Candra, memeluk Lisa dari belakang sambil mencium tengkuknya.Lisa melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menatapnya tajam, matanya penuh amarah dan kebencian. “Untuk apa? Apa dengan aku mengatakan semuanya, ibu dan ayahku bisa kembali hidup?” jawabnya dengan nada penuh luka.Hening sejenak, hanya terdengar napasnya yang berat. Lisa menatap ke luar jendela, tenggelam dalam rasa benci yang telah lama membara di hatinya.POV Lisa (Flashback)Masa kecilku penuh luka yang tak mudah dilupakan. Saat aku baru pulang dari sekolah, seorang teman menghampiriku dengan wajah cemas.“Lisa! Cepat pulang! Ayah dan ibumu bertengkar lagi!” katanya gugup.Aku hanya menghela napas, menguatkan diri. “Aku me

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 19. Alih Kuasa

    POV KartikaAku menggendong Cantika erat-erat di dadaku, berusaha menenangkan bayi mungil itu yang terus menggeliat. Suara tangis Cakra dari ranjang di kamar semakin memekakkan telinga.“Sayang, tangisanmu membuat ibu pusing! Diamlah!” Aku mendesis tajam. Kugendong Cantika menuju dapur, meninggalkan Cakra yang terus menangis. “Anak laki-laki tak boleh cengeng,” gumamku, menahan perasaan aneh yang mulai merayap.Namun langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat sosok tinggi jangkung dengan mata merah menyala berdiri di sudut dapur. Bayangan itu tidak bergerak, hanya mengamatiku dengan kehadiran yang membuat napasku tercekat.“Dia lagi...” desisku gemetar. Tanpa pikir panjang, aku bergegas membawa Cantika bersembunyi di kolong meja makan. Tubuhku bergetar hebat saat bayangan itu mengerang keras, suaranya menggetarkan kaca jendela.“Graaaghhhh!” Dengan cepat, sosok itu melesat keluar melalui jendela dapur, meninggalkanku dalam kepanikan.Aku merangkak keluar dengan kaki gemetar, m

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 18. Kasih Ibu Sepanjang Masa, Kasih Ayah Seluas Samudra

    Petugas membawa Rasya ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut."Kenapa Anda melakukan pemukulan terhadap saudara Candra Permana?" tanya seorang penyelidik."Karena dia berselingkuh dengan istri saya," jawab Rasya tanpa ragu."Meski begitu, tindakan Anda tetap melanggar hukum," ujar penyelidik tegas. "Apa Anda bisa menghubungi keluarga Anda?"Rasya menggeleng pelan. "Maaf, ini urusan saya. Saya tidak ingin orang tua saya terlibat lebih jauh," ujarnya dengan tegas.Penyelidik hanya mengangguk, mencatat pernyataan itu. Ruangan hening sejenak, menciptakan ketegangan yang terasa menusuk.---Anis terbangun dengan napas memburu, hatinya diliputi firasat buruk."Ibu, apa yang terjadi?" tanya Kartika sambil menggendong Cakra."Aku bermimpi tentang Rasya," jawab Anis dengan suara bergetar. "Aku harus segera menghubunginya."Dengan langkah tergesa, Anis menuju meja ke sudut kamar mencari gawainya."Gaw

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 17. Selingkuh Menguras Hati

    "Kau sudah pulang, Mas," sapa Lisa dengan senyum manis yang seolah tak menyimpan dosa. "Kenapa tidak bilang sebelumnya?" tanyanya dengan nada lembut.Rasya menatapnya dengan mata merah penuh amarah. "Pulang? Untuk melihatmu seperti ini?!" bentaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan. Langkahnya maju dengan penuh emosi, tangannya mengepal keras, siap meluapkan kemarahan.Namun, para satpam yang sudah bersiaga segera menghalangi. Mereka memegang Rasya dengan cengkeraman kuat. "Lepaskan aku!" teriak Rasya, berusaha melepaskan diri. "Aku ingin penjelasan darinya sekarang!" gertaknya sambil menunjuk Lisa dengan tatapan menusuk."Pak Rasya, mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin," ujar salah satu satpam, mencoba menenangkan situasi. Mereka menarik Rasya menjauh, meski pria itu terus meronta dengan emosi yang memuncak.Di sisi lain, Lisa tampak gelisah. Dia melirik pria di sampingnya, yang juga tampak kebingungan. "Bagaimana ini?" bisik pria itu dengan nada panik."Kenapa suamimu b

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 16. Pulang

    Hendra mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Purwati menyebut Kartika gila? Rasya, di sisi lain, semakin ingin membongkar semua rahasia yang ada."Pak Broto ke mana sebenarnya?" tanya Rasya dengan nada kesal, suaranya mengandung kegelisahan.Purwati memandangnya dengan sorot mata penuh kecurigaan. "Kalau boleh tahu, apa urusan kalian ingin bertemu Mas Broto?" tanyanya dengan nada selidik.Hendra hendak menjelaskan, namun Rasya dengan cepat memotongnya. "Mungkin besok kita akan kembali menemui Pak Broto," ucap Rasya, memberi tanda agar mereka segera pergi.Saat Rasya dan Kartika berbalik untuk meninggalkan halaman rumah, Purwati tiba-tiba meraih lengan Hendra. "Mas Hendra, hati-hati," bisiknya pelan namun tajam. "Wanita bernama Kartika itu gila."Hendra terkejut mendengar ucapan itu. Dia memandang Purwati dengan alis berkerut, bingung dengan tuduhan yang begitu tiba-tiba. Namun, dalam benaknya, ia mulai mengaitkan kata-kata Purwati dengan mimpi-mimpi Rasya tentang Lasmini.'Mungkink

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 15. Konfrontasi

    "Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti la

DMCA.com Protection Status