Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.
Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.
Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak tertutup penuh; hanya langit lepas di atasnya yang membentang tanpa penghalang, memperlihatkan hamparan sawah dan desa yang sunyi di kejauhan. Cahaya bulan mengintip dari balik awan, menambah nuansa mencekam pada tempat itu.
"Ternyata ini tempat untuk menjemur pakaian," gumamnya, merasa sedikit lega meski suasana tetap terasa aneh. Rasya melangkah perlahan, matanya memandang sekitar. Sejenak, ia mengira melihat bayangan yang melesat di ekor sudut pandangannya, namun begitu ia berbalik, tak ada apapun di sana. Di ujung ruangan, jemuran-jemuran tua yang lapuk bergoyang-goyang, menciptakan suara derit lembut yang membuat bulu kuduknya berdiri. Rasya merasa mendapat dorongan kuat untuk segera meninggalkan tempat itu.
Rasya menutup pintu dan bergegas menuruni tangga. Namun, hawa dingin tiba-tiba menyelimuti sekelilingnya, membuat kulitnya terasa menggigil. Suasana menjadi terlalu hening, seolah seluruh rumah menahan napas. Rasya mulai merasakan jantungnya berdegup kencang, setiap langkahnya terdengar menggema di koridor sunyi. Bulu kuduknya berdiri, dan instingnya menyuruhnya berlari. Ia mempercepat langkah, berharap segera sampai di kamar kedua orang tuanya, namun di tengah keheningan itu, samar-samar terdengar suara langkah lain di belakangnya, mengikuti setiap gerakannya. Namun, Rasya memilih tidak perduli.
Rasya membuka pintu kamar dengan perlahan. Di dalam, kedua orang tuanya menunggu dengan wajah tegang.
"Apa yang kamu temukan?" tanya Anis cepat, suaranya mengandung cemas.
"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Rasya, berusaha meyakinkan. "Suara itu juga sudah tidak terdengar. Ternyata, di atas hanya ada ruang kosong untuk menjemur pakaian, tapi... tidak ada pagar pembatas."
Hendra mengangguk sambil mendesah pelan. "Iya, aku belum sempat melihat lantai atas sejak kita datang."
"Kita bisa bersihkan besok pagi," ucap Rasya sambil menahan kantuk. "Aku tidur dulu, ya. Selamat malam, Bu, Yah." Rasya beranjak ke kamarnya dan menutup pintu kamar orang tuanya, perlahan.
Namun, saat baru keluar pintu, matanya menangkap sesuatu di ujung lorong. Sesosok siluet samar, terlihat seperti seorang wanita dengan bayi dalam gendongan, berdiri di bawah cahaya redup. Rasya menatapnya dengan ngeri, tubuhnya membeku seketika. Dia berkedip, tapi sosok itu menghilang.
“Mungkin aku terlalu lelah,” bisiknya, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari pikirannya. Tetapi perasaan tidak nyaman menggelayuti pikirannya. "Sebaiknya aku tidur." Rasya masuk ke dalam kamarnya, sejenak ia memandang kipas angin yang ada di langit kamar, lalu terlelap dalam alam mimpi.
---
Pagi itu, Rasya bersiap mengantar ibunya ke desa untuk berbelanja beberapa bahan kebutuhan. Ayahnya, Hendra, berencana tinggal di rumah untuk membersihkan lantai atas, yang belum sempat dibereskan.
"Ayah ikut saja, biar bersih-bersihnya nanti," ajak Rasya, menatap sang ayah dengan cemas. "Aku nggak tega ninggalin Ayah sendirian di sini, apalagi setelah kejadian aneh semalam."
Hendra terdiam sejenak, memikirkan perkataan Rasya. Memang, tadi malam rumah ini terasa dingin dan penuh bisikan yang tak kasatmata, tetapi begitu matahari terbit, suasana rumah ini tampak damai. Rasanya tak ada yang perlu dicemaskan.
"Pak?" Rasya menyenggol lengan ayahnya, membuyarkan lamunannya.
Hendra tersenyum tipis, mengangguk tenang. "Nggak apa-apa, Nak. Antar saja ibumu. Ayah sudah terbiasa di rumah ini sendiri. Lagipula, siang hari begini… rasanya semua baik-baik saja."
Rasya masih ragu, tapi akhirnya mengalah. Hendra meyakinkan mereka bahwa tak akan ada masalah, meskipun di dalam hatinya ia tetap merasakan sedikit keganjilan.
"Rasya pamit dulu ya, Pak."
Rasya dan Anis berjalan menuju desa Kenikir yang terletak di seberang jalan, tak jauh dari rumah mereka. Sepanjang jalan, Anis tak henti mengingatkan putranya.
“Kamu pulang jangan terlalu sore ya, lebih baik siang, biar sampai rumah nggak kemalaman,” ucap Anis, menatap Rasya dengan cemas.
"Rasya malah rencana pulang besok pagi, Bu," jawab Rasya sambil tersenyum.
Anis terkejut, lalu menepuk pundak putranya lembut. “Lho, kok besok? Kasihan Lisa, Nak. Apalagi dia sedang hamil, pasti dia butuh kamu di rumah, menemani.”
Rasya hanya mengangguk, sedikit canggung. “Tenang saja, Bu. Lisa sudah terbiasa kalau Rasya pulang agak lama,” katanya sambil melihat ke arah jalan. “Oh iya, Bu, pasarnya masih jauh nggak?”
Anis menunjuk ke depan, ke arah pasar yang mulai tampak. “Itu, di depan sana. Sudah dekat.”
Saat akan masuk pasar, seorang pria tua yang dikenal baik oleh keluarga mereka menghampiri keduanya. Anis memberi isyarat kepada Rasya untuk berbicara sebentar dengan pria tersebut. “Ibu masuk dulu ya, kamu ngobrol saja di sini,” ujar Anis, lalu berlalu menuju pasar. Rasya menatap ibunya sejenak, kemudian beralih memperhatikan pria tua itu yang seumuran ayahnya itu.
Rasya menatap pria di depannya, teman lama ayahnya, lalu mengajaknya duduk di warung kecil dekat pintu masuk pasar. “Pak Tomo, apa kabar?” tanya Rasya sambil mengulurkan tangan. Pak Tomo menyambut jabatannya dengan senyum tipis.
“Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri bagaimana, Nak?” tanya Pak Tomo.
“Alhamdulillah, luar biasa baik, Pak,” jawab Rasya sambil tersenyum. Namun, Pak Tomo tampak ragu, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan. Setelah menghela napas dalam, ia menatap Rasya dengan serius.
“Maaf, Nak Rasya, saya bukannya ingin ikut campur dalam urusan keluarga,” Pak Tomo berkata pelan, nada suaranya penuh kehati-hatian, “tapi saya penasaran. Apa yang membuat ayah dan ibumu memutuskan untuk kembali dan menempati rumah suwung itu?”
Rasya sedikit terkejut mendengar istilah “rumah suwung”—istilah yang digunakan warga sekitar untuk rumah yang lama tak berpenghuni dan dianggap membawa energi misitis. Pak Tomo menatapnya penuh arti, seakan ingin menyampaikan lebih banyak. Rasya menghela napas, merasakan sedikit keresahan dari tatapan pria itu, tetapi mencoba tetap tenang, menunggu kelanjutan pembicaraan Pak Tomo.
"Kenapa rumah warisan kakek itu disebut suwung?" tanya Rasya penasaran, menatap Tomo.
"Bukan cuma suwung, tapi juga singit alias angker," jawab Tomo serius. "Apa kau tidak tahu kalau dulu pernah ditemukan jenazah di sana?" lanjutnya dengan nada pelan namun tajam, seolah sedang menakar reaksi Rasya. Tomo mengamati pemuda itu dengan pandangan menyelidik. "Kalau boleh memberi saran, Nak Rasya, sebaiknya bawa pulang bapak dan ibumu ke kota saja. Rumah tua itu bukan tempat yang baik untuk mereka," bisik Tomo, suaranya terdengar mendesak, penuh kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
Rasya tercenung, merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Tomo, sebuah rahasia lama yang tampaknya tak ingin dibuka. Pikirannya mulai dihantui bayangan-bayangan tentang rumah tua itu. Namun, sebelum ia sempat menanggapi, langkah Anis terdengar mendekat.
Anis datang sambil membawa belanjaan, menatap keduanya dengan tatapan heran. "Ayo kita pulang, Nak," katanya lembut, sambil memberi isyarat kepada Rasya untuk pergi.
"Ibu, semisal Rasya mengajak ibu kembali, apa ibu setuju?" pertanyaan Rasya yang tiba-tiba membuat Anis menoleh ke arah sang putra.
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
"Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran
Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga
"Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t
"Apa... Kau Lasmini?" Rasya tergagap, suaranya hampir tak terdengar. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya."Iya, Nak. Aku Lasmini," suara itu menjawab, serak dan bergema. "Ada yang ingin Ibu ceritakan padamu," lanjut suara itu, nadanya penuh kepiluan yang dingin menusuk.Rasya memejamkan mata, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri, meski jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kau menggangguku?" tanyanya dengan suara parau."Maafkan Ibu, Nak..." suara Lasmini terdengar semakin dekat, diiringi oleh desiran angin dingin yang seakan membelai telinga Rasya. "Ibu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."Rasya mulai merasakan hawa dingin merayap di sekitar lehernya, semakin lama semakin menusuk. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasanya berat, seperti ada yang menahannya. "Apa yang kau inginkan...?" gumamnya, dengan sisa keberanian yang hampir terkuras.Tiba-tiba, bayangan wajah samar muncul di sudu
"Nak, bangun." Hendra mengguncang tubuh Rasya, membuat pemuda 27 tahun itu terjaga dengan napas yang masih tersengal."Astaga, aku mimpi lagi," gumam Rasya, menyapu wajahnya dengan tangan yang gemetar."Kau mimpi Lasmini lagi?" tanya Hendra dengan nada serius.Rasya mengangguk perlahan, berusaha menenangkan debar jantungnya. "Iya, Yah," jawabnya sambil menatap kosong ke arah jendela. "Aku rasa, aku harus bertemu Broto. Entah kenapa, mimpi ini seperti membawa pesan..."Hendra terdiam sejenak, menatap putranya penuh kecemasan. Ia menghela napas panjang, menyadari tekad Rasya yang semakin bulat. "Baiklah," katanya akhirnya, "kita coba menemui Broto. Tapi kita lakukan ini tanpa sepengetahuan Tomo."Rasya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar dukungan ayahnya."Ayo kita sarapan dulu," ajak Hendra sambil menepuk bahunya. "Kartika dan ibumu sudah menunggu di ruang makan. Mungkin kau akan merasa lebih baik setelah makan."Rasya tersenyum tipis, lalu bangkit dari tempat tidur, mengikuti lan
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”Degggg!Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar."Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis kaget saat netranya melihat ada sesajen di bawah ranjang. Namun, karena tak mau terlibat terlalu jauh, ia bergegas menutup pintu dan kembali bergabung dengan Sulis.Tak lama kemudian, Hendra dan para pelayat kembali ke rumah duka. Wajah mereka terlihat lelah, dengan pakaian berdebu oleh tanah makam. Aroma dupa masih tercium di udara, menyatu dengan suasana sendu di dalam rumah. Semua duduk diam, menyisip teh hangat dalam hening yang mencekam.Hendra mendatangi Anis, menggeser duduk dan memangku Sandra."Yah, kok langsung memangku Sandra? Harusnya mandi dulu atau cuci muka lah paling tidak, habis dari pemakaman juga." Anis langsung mengambil alih Sandra kembali. "Nanti kalau Sandra 'sawan' bagaimana?""Aku sudah mandi kok, di rumah pak RT. Tadi orang-orang juga mandi di sana. Eh, tadi banyak tetangga yang ngamuk sama Dewi, lho."Ucapan Hendra mengundang rasa ingin tahu Anis. Keningnya mengkerut penuh rasa penasaran. Mengetahui
Seminggu setelah kematian Lukman, Anis sudah melupakan mengenai keadaan Lilis. Ia mulai beraktifitas seperti biasa, memasak, bermain dengan cucu dan aktifitas lain. Suatu pagi, Anis yang sedang bermain dengan dua cucu kesayangannya di ruang tamu, tersentak ketika ponselnya bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp "Konco Lawas" muncul.Dengan santai, ia membuka pesan itu, namun wajahnya langsung berubah pucat. "Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bu Lilis telah berpulang. Semoga amal ibadahnya diterima." Anis membaca pesan itu berkali-kali, memastikan tidak salah baca. "Lilis meninggal?" gumamnya pelan, dengan penuh keterkejutan. Pikirannya berputar, teringat tatapan kosong Lilis yang terus mengarah ke langit-langit kemarin. "Ya Allah...." Anis memegang dadanya yang terasa sesak. Jari-jarinya gemetar saat mencoba mengetik balasan, tapi tak satu kata pun berhasil ia kirimkan. Wajah Lilis terus terbayang di benaknya."Kenapa kok pas 7 harian Lukman meninggal ya." Ani
"Pak, apa kita akan ikut mereka takziyah. Sementara, kita kan bawa Cakra dan Sandra," bisik Anis pada sang suami. "Lha mau bagaimana, Bu, mereka juga mengajak cucunya bukan? Kita ikut bentar saja, biar bagaimanapun Lukman sudah berjasa membantu Kartika sampai sembuh," bisik Hendra.Anis tampak ragu mendengar ucapan suaminya, tapi melihat antusiasme teman-teman yang lain yang juga mengajak cucu, ia jadi tak punya alasan menolak. Akhirnya keduanya sepakat ikut rombongan. Mobil yang ditumpangi Hendra dan Anis melaju di jalan beraspal yang membelah hamparan sawah hijau di kiri-kanan. Dari dalam mobil, terlihat petani dengan caping di bawah terik matahari sedang memanen. Langit siang cerah, awan putih berarak lembut, melukis langit yang indah.Pepohonan rindang melambai ditiup angin, memberikan kesan teduh meski matahari bersinar terik. Sesekali, motor atau sepeda melintas, menambah suasana desa yang tenang. Di kejauhan, terlihat bukit-bukit kecil seperti melindungi desa. Anis memandang
"Kenapa Kartika tiba-tiba pingsan?" Anis mulai panik. "Cepat bawa masuk!"Melihat tubuh Kartika yang limbung, Rasya panik. Ia bergegas menggendong tubuh sang istri dan membaringkannya di atas kasur. Anis yang tak kalah khawatir, buru-buru mengambil minyak kayu putih dari meja. "Cepat ambil air, Rasya!" perintah Anis dengan nada cemas.Rasya berlari ke dapur, membawa segelas air dingin, sementara Anis mengusap pelipis Kartika dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat, Kartika perlahan membuka mata. "Kartika, kamu kenapa?!" tanya Rasya, suaranya penuh kekhawatiran.Wajah Kartika pucat, matanya berkaca-kaca. "Aku juga tidak tahu, Mas," gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya bergetar saat mencoba meraih tangan Rasya, tubuhnya masih terlihat lemah. Tak lama Hendra dan Cakra masuk. Melihat Cassandra, ekspresi Hendra bingung. Berbeda dengan Cakra, bocah itu tanpa aba-aba langsung menggandeng tangan Cassandra dan mengajaknya bermain. "Itu anak Lisa," celetuk Anis, seperti mengetahui
"Mas, bangun!" Candra membuka mata dan mendapati dua pria berseragam tengah mengguncang pundaknya. "Di mana saya?" tanyanya."Mas ada di rumah perbaikan diri. Ayo masuk, kita bicara di dalam, saya lihat, Mas ini tampak sedang tidak baik-baik saja." Polisi muda itu bersiap membantu Candra untuk berdiri. Namun belum sempat berdiri, Candra tiba-tiba menangis pilu. "Saya pembunuh!" teriaknya. "Saya sudah membunuh istri saya ...." Candra mulai histeris, tubuhnya bergetar hebat. Dua polisi itu saling pandang heran. Lalu kembali mengalihkan pandangan kepada Candra sambil berkata, "silahkan buat keterangan dulu di dalam."---Pagi harinya, Desa Lisa kembali gempar saat mobil polisi melintasi jalan utama, membawa Candra dengan wajah yang penuh penyesalan. Warga berkerumun di sekitar rumah kayu milik Lisa, berbisik-bisik dengan nada takut dan penasaran. Kartika dan Rasya yang bersiap pulang terhenti di tengah jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri. Di gendongannya, Cassandra merengek pela
"Apa maksudmu? Jadi benar Mas Candra yang membunuhmu?" ucap Kartika dengan nada gemetar tak percaya. "Ta-pi ... ke-napa?" Kartika terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Lisa seperti palu yang menghantam pikirannya. “Candra membunuhku,” ucap Lisa tanpa ragu. Mata Kartika membelalak, penuh ketidakpercayaan. “Tidak mungkin!” desisnya, suaranya nyaris lenyap. Namun, sorot dingin Lisa tak terbantahkan. Rasa takut menyelimuti Kartika, nafasnya memburu. Sorot mata penuh dendam itu, membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tenggorokannya tercekat dan tubuhnya kaku seakan tak bisa bergerak. "Candra membunuhku Kartika! Aku ingin mendapat keadilan atas kematianku! Bantu aku Kartika ... temukan Candra!" Suara Lisa diiringi dengan Isak tangisnya bergema di keheningan malam. “Keadilan...,” bisiknya pelan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan hawa dingin menusuk tulang. "Candra harus bertanggung jawab dan anakku ...." Lisa tak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis. "Anakku, dia tidak me
Malam itu, Kartika berdiri di ruang tamu dengan wajah penuh simpati. "Mas, kita harus melayat ke rumah Lisa. Kasihan, anaknya masih kecil," katanya, seraya merapikan perlengkapan Cakra dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Ada kegundahan dalam suaranya.Namun, Anis yang memperhatikan gerak-gerik menantunya langsung angkat suara. "Kartika," panggilnya dengan nada tegas, "Ibu keberatan kalau kalian mengajak Cakra ke sana."Kartika menoleh, sedikit terkejut dengan keberatan itu. "Kenapa, Bu?"Anis mendekati mereka, wajahnya serius, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Cakra masih kecil. Ibu takut dia sawan kalau diajak ke sana. Apalagi, Lisa meninggal dengan cara yang tidak wajar." Suaranya bergetar saat menyebut kalimat terakhir, seolah ketakutan itu bukan hanya untuk Cakra, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih besar.Rasya, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Biar sajalah, Bu. Lagian ini kan bukan sekali ini saja, kami ngajak Cakra."Anis menghela nafas