Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga.
"Slashhhhhhh!"
Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai.
Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan, ia mendapati bahwa itu hanyalah sebuah boneka yang sudah rusak, bentuknya memang menyeramkan. Boneka itu memiliki rambut hitam, matanya bolong satu, senyumnya menyeringai dengan noda merah di wajah dan tubuhnya yang hanya tertutup kain yang compang-camping.
"Pantas saja istriku pingsan," lirih Hendra "mungkin ketika ayah baru meninggal, seseorang meletakkan ranjang bayi dan boneka ini di sini." Hendra melempar boneka menyeramkan itu serampangan. Ia kembali mengingat kalau ia menitipkan kunci di pak Kartijan, supaya sang kepala desa membersihkan rumahnya sesekali.
Tanpa membuang waktu, Hendra membopong tubuh Anis yang pingsan ke kamar, berusaha menenangkan ketegangan yang melanda mereka. Namun, sepeninggalan keduanya, boneka itu tiba-tiba bergerak lambat merangkak menuju ke ranjang bayi, sambil mengedipkan satu matanya yang masih tersisa.
---
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela rumah tua yang baru dihuni, menerangi setiap sudut ruangan dengan kehangatan yang menyegarkan. Anis dan Hendra duduk di meja makan, sarapan sederhana tertata di meja kayu sederhana—nasi goreng sisa malam sebelumnya, dengan irisan mentimun dan telur mata sapi. Suasana tenang namun tegang terasa di antara sepasang lansia itu, terutama setelah kejadian malam sebelumnya yang membuat Anis masih merasa ketakutan. Hendra berusaha mencairkan suasana, namun pikirannya tidak bisa lepas dari kejadian aneh yang mereka alami di rumah warisan milik Irawan.
"Bagaimana kalau kita ke pasar nanti? Mungkin kita bisa beli beberapa sayuran segar untuk persediaan," saran Hendra, mencoba mengalihkan perhatian Anis dari bayangan seram semalam.
"Kita tidak memiliki kulkas di sini, aku takut sayuran itu akan busuk..."
Tiba-tiba, suara pintu diketuk, membuat perhatian keduanya teralih. Anis dan Hendra beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah pintu depan. Betapa terkejutnya, saat keduanya melihat Rasya, putra mereka, berdiri di ambang pintu. "Kau sendirian, Nak?" Tanya Anis sambil bergegas menghampiri dan memeluk putra semata wayangnya dengan penuh kasih. Rasya hanya mengangguk, wajahnya tampak lelah dan terbebani.
"Iya, Bu," jawab Rasya singkat. Dia terlihat ragu, seolah ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tetapi tak tahu bagaimana memulainya. Anis segera mengajak sang putra menuju dapur untuk sarapan.
"Sarapan dulu, meski hanya lauk seadanya." Anis tersenyum, berharap bisa membuat putranya merasa nyaman. Rasya duduk dan mulai menikmati sarapannya, tetapi saat itu pula, Anis dan Hendra mulai berbicara tentang kejadian malam sebelumnya. Mereka menceritakan pengalaman mereka melihat boneka rusak yang membuat Anis pingsan.
Rasya mendengarkan dengan seksama, meski hatinya terbelah antara perhatian pada orangtuanya dan komitmennya terhadap Lisa. Dalam hati, dia merasa rindu masa-masa ketika mereka semua hidup bersama di satu atap, tanpa masalah yang membebani tentunya, tanpa perasaan tertekan akibat konflik istri dan ibunya. Namun, cintanya kepada Lisa tak dapat dibantah, dan ia merasa terpaksa untuk hidup mandiri sesuai dengan keinginan wanita yang sangat dicintainya itu. Meski harus jauh dari kedua orangtuanya.
"Bagaimana kabar istrimu?" Anis berusaha mencairkan suasana, meski hatinya merasa sedikit sakit saat membahas Lisa. Ia masih berusaha menutupi sikap buruk menantu yang mengusirnya dari rumah miliknya sendiri, di depan sang putra.
"Baik, Bu," jawab Rasya, suaranya datar. "Sebenarnya kedatangan Rasya kemari untuk memberi kabar tentang kehamilan Lisa."
Sontak, ucapan Rasya membuat Anis dan Hendra berbinar bahagia. Mereka saling bertukar pandang, senyum lebar menghiasi wajah mereka, seolah semua kesedihan dan ketegangan malam itu lenyap seketika. "Kau akan jadi ayah, Nak!" seru Hendra dengan semangat, hampir melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya.
"Tapi baru dua minggu," lanjut Rasya.
"Kau harus menjaga istrimu, jangan sampai dia lelah. Semua keperluan untuk kehamilannya harus dipenuhi," ungkap Anis penuh perhatian, sampai-sampai ia melupakan perlakuan buruk Lisa kepadanya. "Pak, kita harus mempersiapkan semua kebutuhan untuk cucu kita." Anis mengalihkan pandangan kepada sang suami dengan senyum yang terus merekah.
Hendra mencubit gemas sang istri. "Kalau itu masih belum lah, Bu. Toh belum juga sebulan," jawabnya, mencoba mengingatkan Anis agar tidak berlebihan.
Rasya mengalihkan pembicaraan kembali ke awal di mana ayah dan ibunya berdiskusi mengenai keanehan rumah peninggalan kakeknya, Irawan.
"Keanehan itu tadi..."
"Pembicaraan mengenai calon cucu ibu lebih membahagiakan," potong Anis, ia berusaha mengalihkan perhatian sang putra dari suasana mencekam di rumah yang dia tinggali. Alasan lain, Anis tidak mau putranya khawatir.
"Tapi aku penasaran." Rasya meletakan sendoknya lalu menatap ayah dan ibunya bergantian.
"Makan saja dulu." Anis meletakan telur setengah matang kesukaan sang putra, seakan itu adalah kode supaya Rasya melanjutkan sarapan.
Makan pagi berlanjut dalam suasana hening, setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Rasya merasakan tekanan yang semakin berat, seolah ia berada di tengah dua kekuatan yang bertentangan—cintanya kepada Lisa dan rasa tanggung jawabnya kepada orangtuanya.
Setelah sarapan, Hendra menyarankan agar mereka semua membersihkan rumah dan halaman, menghilangkan aura suram yang meliputi rumah tua itu. "Kita harus menjadikan rumah ini lebih hidup," lanjutnya.
Anis setuju, dan bersama-sama mereka mulai membersihkan rumah, mengeluarkan barang-barang lama dan debu yang menumpuk. Namun, semakin mereka membersihkan, semakin Anis merasakan ketidaknyamanan di hatinya. Seolah ada sesuatu yang menyaksikan mereka, mengintai dari balik bayangan-bayangan yang tak terlihat.
Saat mereka berada di ruang tengah, Rasya membuka sebuah jendela yang sudah lama tertutup. Cahaya matahari memasuki ruangan dengan cerah, membuat kesan ruangan menjadi terang dan tidak segelap sebelumnya.
"Kalau seperti ini, rumah ini jadi memiliki kesan classy dan menenangkan," celetuk Hendra.
Setelah beberapa saat membersihkan, Hendra mengusulkan untuk beristirahat sejenak. Mereka duduk di kursi ruang tamu, mengisi waktu dengan bercerita tentang kenangan masa lalu di rumah itu.
"Kamu bisa tahu alamat rumah ini darimana?" Pertanyaan tiba-tiba Anis membuat Rasya tercekat.
"Sebenarnya...," lirih Rasya. Ia merasa sulit melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa, Nak?" Anis tak sabar mendengar balasan dari Rasya.
"Aku dan Lisa terlibat pertengkaran kecil, Bu." Rasya akhirnya menceritakan kecemburuannya saat melihat Lisa bersama seorang pria muda.
Cerita Rasya tentang Lisa bersama seorang pria yang keluar dari sebuah hotel, membuat Anis tidak bisa menahan ingatan tentang Lisa dan bagaimana sikap menantunya yang dingin membuatnya merasa diusir dari rumahnya sendiri. Dia merasa terjebak antara kebahagiaan mendengar kabar kehamilan Rasya dan kesedihan akibat perlakuan Lisa kepada Rasya.
"Maaf, Bu. Aku tahu kau merasa tidak nyaman dengan semua ini," kata Rasya, tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Lisa mengatakan kalau dia sedang mendatangi reuni, dan pria muda itu adalah temannya. Kecemburuan membuat Rasya buta."
"Tak apa, Nak," jawab Anis, suaranya lembut meski hati kecilnya merasa sakit. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
Ketika matahari mulai condong ke barat, mereka berempat—Anis, Hendra, dan Rasya—memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka duduk bersama, berbincang-bincang tentang rencana ke depan dan harapan-harapan yang ada. Rasya berharap dapat membawa Lisa ke rumah itu agar semua bisa berkumpul bersama, tetapi Anis merasakan ketegangan yang lebih dalam ketika nama Lisa disebut.
"Mungkin kita harus merayakan kehamilan Lisa," ujar Hendra, tersenyum penuh harapan. "Kita bisa mengundang teman-teman dan keluarga. Ini akan menjadi momen yang membahagiakan."
"Benar. Kalau Rasya mengenal teman Lisa, kedepan insyallah tidak ada kesalahpahaman." Anis mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia meragukan apakah Lisa akan bersikap baik di hadapan mereka. Ia tak ingin terjadi konflik di hari bahagia seperti itu. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa agar semua berjalan lancar dan harapan-harapan mereka menjadi kenyataan.
Ketika malam tiba, suasana rumah tetap terasa mencekam. Setiap suara kecil membuat Anis terloncat, dan pandangannya selalu tertuju pada ranjang bayi yang ada di ruang tengah. Rasya menyadari ibunya ketakutan, dan saat ia melihat wajah Anis, ia merasa harus melakukan sesuatu.
"Ibu kenapa?" tanya Rasya.
"Aku kira, ayahmu sudah memindah ranjang itu!" Anis menunjuk ke arah ranjang bayi berisi boneka seram.
Rasya beranjak ke arah ranjang yang ditunjuk sang ibu, sejenak ia tertegun dengan isi di dalamnya.
"Boneka seram begini, wajar saja ibu takut." Rasya meletakan kembali boneka itu di dalam ranjang. "Aku akan menyimpannya di gudang." Anis setuju. Rasya segera mengangkat ranjang bayi itu dan bersiap membawanya ke gudang yang ada di ujung lorong.
Rasya membuka pintu bersiap memasukan ranjang bayi itu ke dalam, tapi ia kebingungan saat boneka itu tidak berada di tempatnya.
"Kok aneh?" Rasya mengernyitkan keningnya.
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta
Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah."Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Menggan
Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih
Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat