Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga.
"Slashhhhhhh!"
Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai.
Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan, ia mendapati bahwa itu hanyalah sebuah boneka yang sudah rusak, bentuknya memang menyeramkan. Boneka itu memiliki rambut hitam, matanya bolong satu, senyumnya menyeringai dengan noda merah di wajah dan tubuhnya yang hanya tertutup kain yang compang-camping.
"Pantas saja istriku pingsan," lirih Hendra "mungkin ketika ayah baru meninggal, seseorang meletakkan ranjang bayi dan boneka ini di sini." Hendra melempar boneka menyeramkan itu serampangan. Ia kembali mengingat kalau ia menitipkan kunci di pak Kartijan, supaya sang kepala desa membersihkan rumahnya sesekali.
Tanpa membuang waktu, Hendra membopong tubuh Anis yang pingsan ke kamar, berusaha menenangkan ketegangan yang melanda mereka. Namun, sepeninggalan keduanya, boneka itu tiba-tiba bergerak lambat merangkak menuju ke ranjang bayi, sambil mengedipkan satu matanya yang masih tersisa.
---
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela rumah tua yang baru dihuni, menerangi setiap sudut ruangan dengan kehangatan yang menyegarkan. Anis dan Hendra duduk di meja makan, sarapan sederhana tertata di meja kayu sederhana—nasi goreng sisa malam sebelumnya, dengan irisan mentimun dan telur mata sapi. Suasana tenang namun tegang terasa di antara sepasang lansia itu, terutama setelah kejadian malam sebelumnya yang membuat Anis masih merasa ketakutan. Hendra berusaha mencairkan suasana, namun pikirannya tidak bisa lepas dari kejadian aneh yang mereka alami di rumah warisan milik Irawan.
"Bagaimana kalau kita ke pasar nanti? Mungkin kita bisa beli beberapa sayuran segar untuk persediaan," saran Hendra, mencoba mengalihkan perhatian Anis dari bayangan seram semalam.
"Kita tidak memiliki kulkas di sini, aku takut sayuran itu akan busuk..."
Tiba-tiba, suara pintu diketuk, membuat perhatian keduanya teralih. Anis dan Hendra beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah pintu depan. Betapa terkejutnya, saat keduanya melihat Rasya, putra mereka, berdiri di ambang pintu. "Kau sendirian, Nak?" Tanya Anis sambil bergegas menghampiri dan memeluk putra semata wayangnya dengan penuh kasih. Rasya hanya mengangguk, wajahnya tampak lelah dan terbebani.
"Iya, Bu," jawab Rasya singkat. Dia terlihat ragu, seolah ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tetapi tak tahu bagaimana memulainya. Anis segera mengajak sang putra menuju dapur untuk sarapan.
"Sarapan dulu, meski hanya lauk seadanya." Anis tersenyum, berharap bisa membuat putranya merasa nyaman. Rasya duduk dan mulai menikmati sarapannya, tetapi saat itu pula, Anis dan Hendra mulai berbicara tentang kejadian malam sebelumnya. Mereka menceritakan pengalaman mereka melihat boneka rusak yang membuat Anis pingsan.
Rasya mendengarkan dengan seksama, meski hatinya terbelah antara perhatian pada orangtuanya dan komitmennya terhadap Lisa. Dalam hati, dia merasa rindu masa-masa ketika mereka semua hidup bersama di satu atap, tanpa masalah yang membebani tentunya, tanpa perasaan tertekan akibat konflik istri dan ibunya. Namun, cintanya kepada Lisa tak dapat dibantah, dan ia merasa terpaksa untuk hidup mandiri sesuai dengan keinginan wanita yang sangat dicintainya itu. Meski harus jauh dari kedua orangtuanya.
"Bagaimana kabar istrimu?" Anis berusaha mencairkan suasana, meski hatinya merasa sedikit sakit saat membahas Lisa. Ia masih berusaha menutupi sikap buruk menantu yang mengusirnya dari rumah miliknya sendiri, di depan sang putra.
"Baik, Bu," jawab Rasya, suaranya datar. "Sebenarnya kedatangan Rasya kemari untuk memberi kabar tentang kehamilan Lisa."
Sontak, ucapan Rasya membuat Anis dan Hendra berbinar bahagia. Mereka saling bertukar pandang, senyum lebar menghiasi wajah mereka, seolah semua kesedihan dan ketegangan malam itu lenyap seketika. "Kau akan jadi ayah, Nak!" seru Hendra dengan semangat, hampir melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya.
"Tapi baru dua minggu," lanjut Rasya.
"Kau harus menjaga istrimu, jangan sampai dia lelah. Semua keperluan untuk kehamilannya harus dipenuhi," ungkap Anis penuh perhatian, sampai-sampai ia melupakan perlakuan buruk Lisa kepadanya. "Pak, kita harus mempersiapkan semua kebutuhan untuk cucu kita." Anis mengalihkan pandangan kepada sang suami dengan senyum yang terus merekah.
Hendra mencubit gemas sang istri. "Kalau itu masih belum lah, Bu. Toh belum juga sebulan," jawabnya, mencoba mengingatkan Anis agar tidak berlebihan.
Rasya mengalihkan pembicaraan kembali ke awal di mana ayah dan ibunya berdiskusi mengenai keanehan rumah peninggalan kakeknya, Irawan.
"Keanehan itu tadi..."
"Pembicaraan mengenai calon cucu ibu lebih membahagiakan," potong Anis, ia berusaha mengalihkan perhatian sang putra dari suasana mencekam di rumah yang dia tinggali. Alasan lain, Anis tidak mau putranya khawatir.
"Tapi aku penasaran." Rasya meletakan sendoknya lalu menatap ayah dan ibunya bergantian.
"Makan saja dulu." Anis meletakan telur setengah matang kesukaan sang putra, seakan itu adalah kode supaya Rasya melanjutkan sarapan.
Makan pagi berlanjut dalam suasana hening, setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Rasya merasakan tekanan yang semakin berat, seolah ia berada di tengah dua kekuatan yang bertentangan—cintanya kepada Lisa dan rasa tanggung jawabnya kepada orangtuanya.
Setelah sarapan, Hendra menyarankan agar mereka semua membersihkan rumah dan halaman, menghilangkan aura suram yang meliputi rumah tua itu. "Kita harus menjadikan rumah ini lebih hidup," lanjutnya.
Anis setuju, dan bersama-sama mereka mulai membersihkan rumah, mengeluarkan barang-barang lama dan debu yang menumpuk. Namun, semakin mereka membersihkan, semakin Anis merasakan ketidaknyamanan di hatinya. Seolah ada sesuatu yang menyaksikan mereka, mengintai dari balik bayangan-bayangan yang tak terlihat.
Saat mereka berada di ruang tengah, Rasya membuka sebuah jendela yang sudah lama tertutup. Cahaya matahari memasuki ruangan dengan cerah, membuat kesan ruangan menjadi terang dan tidak segelap sebelumnya.
"Kalau seperti ini, rumah ini jadi memiliki kesan classy dan menenangkan," celetuk Hendra.
Setelah beberapa saat membersihkan, Hendra mengusulkan untuk beristirahat sejenak. Mereka duduk di kursi ruang tamu, mengisi waktu dengan bercerita tentang kenangan masa lalu di rumah itu.
"Kamu bisa tahu alamat rumah ini darimana?" Pertanyaan tiba-tiba Anis membuat Rasya tercekat.
"Sebenarnya...," lirih Rasya. Ia merasa sulit melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa, Nak?" Anis tak sabar mendengar balasan dari Rasya.
"Aku dan Lisa terlibat pertengkaran kecil, Bu." Rasya akhirnya menceritakan kecemburuannya saat melihat Lisa bersama seorang pria muda.
Cerita Rasya tentang Lisa bersama seorang pria yang keluar dari sebuah hotel, membuat Anis tidak bisa menahan ingatan tentang Lisa dan bagaimana sikap menantunya yang dingin membuatnya merasa diusir dari rumahnya sendiri. Dia merasa terjebak antara kebahagiaan mendengar kabar kehamilan Rasya dan kesedihan akibat perlakuan Lisa kepada Rasya.
"Maaf, Bu. Aku tahu kau merasa tidak nyaman dengan semua ini," kata Rasya, tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Lisa mengatakan kalau dia sedang mendatangi reuni, dan pria muda itu adalah temannya. Kecemburuan membuat Rasya buta."
"Tak apa, Nak," jawab Anis, suaranya lembut meski hati kecilnya merasa sakit. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
Ketika matahari mulai condong ke barat, mereka berempat—Anis, Hendra, dan Rasya—memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka duduk bersama, berbincang-bincang tentang rencana ke depan dan harapan-harapan yang ada. Rasya berharap dapat membawa Lisa ke rumah itu agar semua bisa berkumpul bersama, tetapi Anis merasakan ketegangan yang lebih dalam ketika nama Lisa disebut.
"Mungkin kita harus merayakan kehamilan Lisa," ujar Hendra, tersenyum penuh harapan. "Kita bisa mengundang teman-teman dan keluarga. Ini akan menjadi momen yang membahagiakan."
"Benar. Kalau Rasya mengenal teman Lisa, kedepan insyallah tidak ada kesalahpahaman." Anis mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia meragukan apakah Lisa akan bersikap baik di hadapan mereka. Ia tak ingin terjadi konflik di hari bahagia seperti itu. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa berdoa agar semua berjalan lancar dan harapan-harapan mereka menjadi kenyataan.
Ketika malam tiba, suasana rumah tetap terasa mencekam. Setiap suara kecil membuat Anis terloncat, dan pandangannya selalu tertuju pada ranjang bayi yang ada di ruang tengah. Rasya menyadari ibunya ketakutan, dan saat ia melihat wajah Anis, ia merasa harus melakukan sesuatu.
"Ibu kenapa?" tanya Rasya.
"Aku kira, ayahmu sudah memindah ranjang itu!" Anis menunjuk ke arah ranjang bayi berisi boneka seram.
Rasya beranjak ke arah ranjang yang ditunjuk sang ibu, sejenak ia tertegun dengan isi di dalamnya.
"Boneka seram begini, wajar saja ibu takut." Rasya meletakan kembali boneka itu di dalam ranjang. "Aku akan menyimpannya di gudang." Anis setuju. Rasya segera mengangkat ranjang bayi itu dan bersiap membawanya ke gudang yang ada di ujung lorong.
Rasya membuka pintu bersiap memasukan ranjang bayi itu ke dalam, tapi ia kebingungan saat boneka itu tidak berada di tempatnya.
"Kok aneh?" Rasya mengernyitkan keningnya.
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
"Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran
Sosok itu membuka pintu perlahan, memperlihatkan dirinya sepenuhnya. Di hadapan Anis kini berdiri seorang wanita muda berwajah pucat, dengan bayi terbungkus jarik dalam gendongannya."Ka-kamu... manusia?" Anis bertanya tergagap, tubuhnya gemetar.Wanita itu mengangguk pelan. "Iya... maafkan saya. Saya tidak bermaksud masuk tanpa izin," katanya sambil menundukkan wajah, suaranya lirih dan penuh penyesalan.Saat itu, Hendra dan Rasya tiba dan langsung terdiam melihat pemandangan aneh di hadapan mereka. Sosok wanita asing itu berdiri di dekat Anis, wajahnya tak menunjukkan ekspresi selain kelelahan yang dalam."Dia siapa?" Hendra bertanya dengan suara tegang, matanya menatap penuh curiga. "Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah ini?""Saya... Kartika, dan ini putraku, Cakra." Suara Kartika terdengar lirih saat mengenalkan diri. "Sebenarnya, kami sudah ada di sini sejak beberapa bulan lalu. Setelah saya melahirkan Cakra"Hendra, Anis, dan Rasya saling bertukar pandang, terkejut dan kebingunga
"Sekarang istirahatlah, aku akan mencarikan kamar untukmu," kata Anis sambil bangkit dari tempat duduknya. Namun, saat membuka pintu, ia terkejut melihat Rasya dan Hendra berdiri di balik pintu, wajah mereka tampak cemas."Apa yang kalian lakukan? Menguping?" Anis mengerutkan kening, menatap kedua pria yang paling berharga dalam hidupnya. Rasya, yang berdiri paling dekat, terlihat ragu."Rasya, kau kan akan pulang. Kamarmu biar dipakai Kartika ya?" Anis mengalihkan pandangannya, mencoba memberikan solusi."Mana bisa begitu, Bu? Kamar di rumah ini kan tidak hanya dua. Lagipula, di sini ada empat kamar, termasuk kamar atas," sahut Rasya, menyanggah dengan tegas.Anis menghela napas panjang. "Ruangan ujung itu dijadikan gudang. Satu lagi dijadikan mushola, dan satu lagi memang kamar, tapi kondisinya sudah rapuh. Satu lagi, tak ada ranjangnya. Hanya ada kamar atas bekas kamar Kartika. Kamu mau pindah ke sana?"Rasya menggelengkan kepala. "Kamar itu tidak ada atapnya, Bu," ucapnya dengan t
"Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik
"Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb
Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A
Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng
Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany
Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d
Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok
Kartika berdiri terpaku. Bayang-bayang sosok perempuan semakin jelas di depannya. Dyah. Wajahnya yang pucat dengan mata cekung dan rambut panjang kusut terlihat menyeramkan di antara kegelapan. Hawa dingin seketika menusuk kulit Kartika, membuat tubuhnya menggigil."Hihihi... Kartika," suara lirih itu terdengar lagi, kini lebih dekat. "Lama kita tidak berjumpa..."Kartika menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Cakra lebih erat, berusaha meredam tangis bayinya yang mulai mereda namun masih tersendat-sendat. "Tidak.., tidak.., Mbak Dyah kenapa Kau masih ada di rumah warisan bapakku? Apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.Sosok Dyah tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kartika. "Aku tidak bisa pergi Kartika.., jiwaku masih tertahan. Aku baru bisa pergi kalau keluargaku mengembalikan rumah ini padamu atau ada yang melunasi hutangku!" Sosok Dyah menyeringai, menampakan giginya yang runcing tajam, bola matanya menonjol keluar, menyisakan urat dan darah. "Bayi i