Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”
“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”
Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”
Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam rasa kesalnya dalam hati, tidak ingin memperpanjang masalah. Ia menahan napas sejenak, mengatur perasaannya, sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.
Seperti biasanya, mereka berdua melaksanakan salat berjamaah. Hendra menjadi imam, sementara Anis berdiri di belakangnya, mengikuti dengan khusyuk setiap gerakan. Setelah salat Maghrib selesai, mereka berdua duduk sejenak untuk mengaji bersama, mengisi malam dengan lantunan ayat suci yang memberikan ketenangan dalam hati mereka. Suara Anis mengalun pelan, mengimbangi suara Hendra yang lebih dalam. Setiap ayat yang mereka bacakan terasa menenangkan, meskipun di balik ketenangan itu, pikiran Anis masih dihantui oleh pintu yang terbuka tadi.
Selesai mengaji, Hendra beranjak ke teras depan untuk membersihkan halaman. "Aku mau memastikan halaman bersih sebelum tidur. Siapa tahu ada ranting atau daun yang jatuh," katanya sembari berjalan keluar. Anis mengangguk dan memutuskan untuk membereskan barang-barang mereka yang belum sempat ditata sejak mereka tiba di rumah warisan itu.
Anis membuka lemari tua di sudut kamar, lemari besar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang rumit. Ia mulai memasukkan pakaian dan barang-barang kecil lainnya ke dalamnya. Saat sedang sibuk membereskan, tiba-tiba terdengar suara berisik dari atas. Sesuatu jatuh dari plafon. Anis tersentak kaget, tubuhnya menegang, namun ketika ia melihat ke lantai, ternyata hanya seekor tikus yang terjatuh. Ia menghela napas lega. "Tikus," gumamnya, berusaha menenangkan diri.
Meski begitu, rasa tidak nyaman tetap membayangi pikirannya. Sejak mereka tiba di rumah ini, suasana selalu terasa mistis. Rumah ini memang besar dan mewah, menunjukkan betapa kaya dan terpandangnya ayah mertua Hendra saat masih hidup. Anis berusaha mengalihkan pikirannya dengan terus berkutat pada barang-barangnya, namun sesekali ia masih merasakan perasaan ganjil itu.
Ia berbicara pada dirinya sendiri, seakan berusaha mencari jawaban, “Rumah ini sangat besar. Ayah mertua pasti sangat kaya, semua orang di desa ini menghormatinya. Tapi kenapa Mas Hendra memilih bekerja ikut orang dan tinggal di kota ya? Padahal kalau mau, dia bisa saja menggantikan posisi ayahnya sebagai juragan di sini.”
Tiba-tiba suara Hendra memotong lamunannya. "Itu karena saat aku lulus kuliah, aku langsung dapat pekerjaan di kota. Lagipula, kalau aku tidak pindah ke kota, mungkin aku tidak akan pernah bertemu denganmu."
Anis terkejut, tidak menyadari suaminya sudah masuk kembali ke kamar. Hendra tersenyum, duduk di sampingnya di tepi ranjang. Anis menghela napas panjang, masih merasakan kekalutan yang ia rasakan sejak pagi. Ia mencoba tersenyum, namun pikirannya tak bisa lepas dari kenangan tentang menantu mereka, Lisa, yang secara tidak langsung mengusir mereka dari rumah.
Anis menunduk, bulir air mata perlahan menggenang di sudut matanya. Ia mencoba menahannya, tapi luka di hatinya masih terasa. Hendra, yang memperhatikan istrinya dengan seksama, meraih tangan Anis dan menggenggamnya erat. “Sudahlah, Bu. Jangan dipikirkan lagi hal-hal yang menyakitkan seperti itu,” katanya dengan lembut. “Mungkin memang ini sudah digariskan oleh Allah, supaya kita bisa merawat rumah peninggalan almarhum ayahku. Lagipula, tinggal di desa seperti ini akan memberikan ketenangan buat kita, manusia tua seperti kita harusnya hidup lebih sederhana. Kita bisa jadi lebih produktif, berkebun, memelihara ikan, menikmati hari tua dengan tenang.”
“Kita doakan saja yang terbaik untuk Rasya dan Lisa. Doakan mereka segera memiliki momongan, aku sudah menginginkan cucu,” ujar Hendra dengan senyum tipis. Ucapannya diaminkan oleh Anis, yang sudah sejak lama memendam keinginan yang sama. Setiap kali berkumpul dengan teman-teman seusianya, apalagi saat reuni, mereka sering kali datang bersama cucu-cucu yang lucu. Anis tak bisa menyembunyikan rasa rindunya untuk menggendong seorang cucu, merasakan hangatnya kebersamaan keluarga yang lebih lengkap. Namun tiba-tiba Anis teringat sesuatu, tentang suaminya akan membersihkan halaman depan.
“Kamu tidak jadi membersihkan depan, Pak?” Anis mengerutkan kening melihat Hendra yang justru bersiap-siap tidur. Hendra yang sudah setengah mengantuk menjawab sambil meregangkan tubuhnya, “Aku melihat banyak semak belukar di depan. Kalau malam ini aku kerjakan juga percuma, sebaiknya besok pagi saja setelah salat Subuh.” Setelah berkata demikian, Hendra langsung terlelap, suaranya perlahan berubah menjadi dengkuran halus. Anis hanya menghela napas, memandang suaminya dari sisi ranjang tempatnya duduk.
Anis beranjak perlahan dari ranjang, mencoba tidak mengganggu Hendra yang sudah terlelap. Rasa haus mendadak membuatnya memutuskan untuk mengambil air di dapur sebelum tidur. Saat ia melangkah keluar kamar, suasana rumah tua itu seketika terasa berbeda. Setiap sudut ruangan seolah menyimpan bayangan, dan udara malam yang masuk melalui celah-celah dinding kayu terasa lebih dingin dari biasanya. Suara angin yang berdesir di luar semakin memperkuat kesunyian yang mencekam.
Saat melewati ruang tengah menuju dapur, bulu kuduk Anis tiba-tiba meremang. Perasaan aneh itu kembali menghampirinya, seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan. Lampu di dapur berkedip-kedip sesaat sebelum menyala sepenuhnya. Anis berdiri terpaku di pintu dapur, mendengar suara-suara halus seperti bisikan yang datang dari arah lorong. Meski hatinya berdebar keras, ia berusaha untuk tetap tenang, meraih gelas dan mengisinya dengan air. Namun, bayangan di ujung lorong itu tak kunjung hilang dari pikirannya, membuatnya tak bisa benar-benar merasa tenang.
Anis bersiap untuk menyelesaikan hajatnya, berbalik badan hendak kembali ke kamar. Namun, suara tangisan bayi yang nyaring tiba-tiba menghentikan langkahnya. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya membeku sejenak. “Bayi? Di mana ada bayi?” pikirnya bingung, merasa tak mungkin ada bayi di rumah tua yang sepi ini. Ia menatap ke arah lorong yang gelap, berusaha mencari sumber suara itu. Suara tangisan bayi terus terdengar, memecah keheningan malam yang mencekam, seolah memanggilnya.
Anis merasa keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dengan hati-hati, ia melangkah maju, mencoba mendekati suara yang semakin jelas terdengar. Setiap langkah yang ia ambil seolah membawa kembali kenangan akan masa-masa indah saat anaknya, Rasya, masih kecil. Namun, kali ini suasana terasa sangat berbeda; entah kenapa, tangisan itu seakan datang dari ruang hampa. “Apakah ini hanya imajinasiku?” Anis bergumam pelan, berusaha meyakinkan diri. Namun, nalurinya mengatakan bahwa ia tidak bisa mengabaikan suara itu. Mungkin ada sesuatu yang harus ia cari tahu. Dengan napas yang sedikit tercekat, ia melangkah lebih dekat ke arah suara tangisan tersebut.
Anis terus mencari sumber suara tangisan. Ia berjalan menuju ke arah pintu depan, mengira suara itu berasal dari luar. Namun saat ia baru saja membuka pintu, netranya melihat ke arah sebuah kardus yang berada di bawah pohon mangga.
Dengan gemetaran Anis melangkahkan kakinya, berjalan ke arah pohon mangga yang ada di halaman rumahnya. Belum sempat melihat isi di dalam kardus itu. Tiba-tiba saja pintu tertutup. Membuat Anis tercekat dan keringat dingin mulai mengucur di dahinya.
Brakkkkk!
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
"Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran
"Dyah... Nak, ini ibu...!" Suara Astutik lirih dan penuh kerinduan. Ia mencoba berjalan tertatih, mendekati sosok gaib putrinya. "Bu Astutik, jangan!" teriak Kartika panik, mencoba menghentikan langkah Astutik. Rasya pun memegangi bahu wanita tua itu, mencoba menariknya mundur. "Bu, itu bukan Dyah yang Ibu kenal!"Namun Astutik meronta, menepis tangan Rasya dan Kartika. "Lepaskan aku! Dia anakku! Dia membutuhkanku!" teriaknya sambil terus menangis. Tubuh renta itu tetap bergerak maju, mendekati sosok Dyah.Saat Astutik hanya tinggal beberapa langkah dari pintu, sosok Dyah tiba-tiba mengangkat tangannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, mengeluarkan energi hitam yang melesat ke arah Astutik. Tubuh tua itu terpental ke belakang, jatuh ke pelukan Rasya yang berlari menangkapnya tepat waktu."Astaga, Bu, Ibu baik-baik saja?" Rasya bertanya panik sambil memeriksa kondisi Astutik. Wanita itu hanya menangis, memegangi dadanya yang terasa sesak.Sosok Dyah kini beralih menatap Kartik
"Baiklah kalau itu keputusanmu, tapi resiko tanggung sendiri," dengus Hendra kesal.Kartika tersenyum, ke arah ayah mertuanya. "Terimakasih ya, Yah, Kartika berjanji hanya sebatas memastikan kalau bu Astutik baik-baik saja.""Terserah kamu, hanya saja Ayah ingin menegaskan sesuatu." Hendra menatap Kartika dengan tajam, nadanya penuh tekanan. "Jangan ikut campur terlalu jauh. Ayah terus terang tidak menyukai sikap putri Bu Astutik, yang bernama Wulan itu."Kartika mengangguk pelan, menyadari ketegangan di balik kata-kata ayah mertuanya. Ia tahu Hendra jarang berbicara setegas ini kecuali ia benar-benar merasa terganggu. Perlahan, Kartika menggandeng lengan Astutik, berusaha menenangkan wanita tua itu yang tampak begitu rapuh. "Baik, Pak. Saya mengerti. Saya akan segera bersiap," ujarnya, berusaha tetap tenang.Astutik menatap Kartika dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak Kartika. Ibu tahu ini merepotkan.""Saya akan mempersiapkan pakaian anak saya dulu. Kita naik angkot jam semb
Pintu angkot terbuka sendiri dengan bunyi berdecit. Di luar, bayangan rumah itu terlihat semakin mencekam di bawah sinar rembulan. Dengan langkah gemetar Astutik mulai turun. Tak lama setelah ia menginjakkan kaki di tanah, angkot itu meluncur dengan cepat, menghilang di balik gelapnya malam.Astutik terkesiap mendengar suara dari arah belakang. "Saya sepertinya pernah melihat Anda?" Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan wajah merah padam, Wulan kembali ke rumahnya, di Desa Cimelati. Mobil yang ditumpanginya melaju cepat. Sesampai di depan gapura desa, ia langkahnya semakin cepat, membangkitkan debu di jalan setapak yang ia lewati. Sesampainya di rumah, ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia mengabaikan beberapa tamu yang baru selesai melakukan ritual tiga harian. Astutik, yang sedang menyusun buku doa meja, terkejut saat melihat anaknya datang dengan wajah kesal. "Kau sudah pulang, Mak?" tanyanya."Ibu, aku ingin bicara. Ikut aku!" Wulan menggiring sang ibu menuju ke sebuah ruangan lain. "Mbak Dyah telah menjadi sesuatu yang mengerikan!" seru Wulan dengan nada bicara lantang.Astutik mengambil duduk berhadapan dengan putrinya. "Apa maksudmu, Wulan?""Rumah itu, Bu! Rumah warisan Dyah! Aku sudah mencoba membersihkannya, tapi arwahnya ... Maksudku, Mbak Dyah tidak seperti dulu. Dia penuh kemarahan dan kebencian! Mbak Dyah sudah berubah menjadi sosok jahat, Bu!" Wulan mulai menangis.A
Kartika mencoba tetap tenang meski dadanya bergemuruh. Dengan wajah datar, ia akhirnya mengiyakan permintaan Wulan. Namun, ketika Wulan dengan nada tinggi meminta agar proses pengalihan nama dipercepat, Kartika merasa seperti dilempar ke jurang ketidakadilan.“Aku akan memanggil notaris,” ujar Wulan sambil beranjak, ia keluar pintu dan kembali dengan dua orang pria memakai kemeja hitam, yang sepertinya baru saja selesai mengikuti pengajian di rumah mereka. “Kita langsung urus sekarang, supaya tidak ada lagi alasan kalian untuk datang," ucap Wulan, "dan satu hal lagi ... aku tidak takut dengan segala cerita ‘angker’ yang kalian karang tentang rumah itu! Bilang saja kalau Kau butuh uang jadi menghubungi ibuku kembali."Kata-kata Wulan yang tajam menusuk hati Kartika. Sementara Hendra hanya menatap dengan dingin dan menahan kesal.“Kami angkat tangan jika terjadi sesuatu di rumah warisan bapak Kartika, nanti,” ucap Hendra dengan nada tegas.“Itu rumah milikku sekarang!” balas Wulan deng
Hendra menatap Kartika melalui kaca spion, ekspresinya serius. "Hubungi Astutik. Suruh dia share lokasi rumahnya," ucapnya, suaranya tegas namun bergetar samar.Kartika langsung menurut. Dia mengambil ponsel dan segera menelepon Astutik. Tak lama, sebuah notifikasi masuk, menunjukkan lokasi rumah Bambang. "Sudah, Yah. Ini alamatnya," ujar Kartika sambil menyerahkan ponselnya kepada Hendra.Hendra hanya mengangguk ia memegang kendali setirnya, sambil sesekali melihat ke arah google map yang ditunjukan oleh Kartika. Namun, tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tengkuknya. Seperti hembusan napas seseorang.Hendra terdiam, matanya menatap lurus ke jalan yang mulai gelap. Hutan kecil di sisi jalan terasa seperti mengawasi mereka. Dia membaca doa dalam hati, berusaha mengabaikan sensasi mengerikan itu.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Anis dari kursi depan, memperhatikan suaminya yang tampak lebih tegang dari biasanya.“Tidak apa-apa,” jawab Hendra cepat, namun nada suarany
Pagi itu, udara terasa berat dan dingin, meski matahari sudah mulai naik perlahan di langit. Anis menghampiri Hendra yang sedang duduk di beranda, menyesap kopi hangat buatan istrinya. Ekspresi Hendra tampak lelah, alisnya berkerut dalam, seperti ada beban berat yang terus mengganggu pikirannya."Apa kita jadi berangkat ke rumah Bambang hari ini?" tanya Anis perlahan. Ia mengambil duduk di samping suaminya.Hendra menghela napas panjang. "Aku sedang memikirkan itu," jawabnya sambil menatap gelas kopi di tangannya. "Tapi entah kenapa aku merasa... Bambang tidak akan percaya begitu saja. Lagi pula, membawa boneka itu—memiliki resiko. Ada arwah Dyah yang bersiap mengamuk sewaktu-waktu.., kecuali, kalau lasmini bisa kita ajak sekalian."Anis menggigit bibirnya, merasa cemas. "Kau benar, ucapnya, "tapi menurutku, sebaiknya kita tidak menunggu lama. Kalau kita ragu terus, situasi ini hanya akan semakin buruk," katanya sambil melirik ke arah rumah, di mana boneka Cantika tergeletak di meja d
Hawa dingin semakin menusuk, membuat semua orang di ruangan itu seperti membeku. Sosok Dyah yang penuh dendam melayang di udara, matanya merah menyala. Namun, dari tubuh Anis, sosok lain perlahan muncul. Tubuh Anis terguncang hebat, hingga akhirnya bayangan seperti kabut putih keluar dan berdiri kokoh di hadapan Dyah. Itu adalah Lasmini, sosok gaib yang selama ini bersemayam dalam diri Anis."jadi kau Lasmini?" Hendra terperengah sama seperti Kartika yang takjub dengan kecantikan sang ibu.Lasmini mengangguk tersenyum, lalu ia kembali mengalihkan pandangan kepada Dyah, yang hampir saja berhasil membuat Anis beralih dunia."Dyah, aku sudah memperingatkanmu," suara Lasmini menggema, tegas dan penuh wibawa. "Pergi dari sini, atau kau akan binasa!"Dyah tertawa sinis, suaranya parau dan menggema di seluruh ruangan. "Kau pikir aku takut padamu, Lasmini? Aku tidak akan pergi! Karena aku tidak bisa pergi! Rumah ini seakan mengurungku! Maka dari itu, sekalian saja aku jadikan milikku!" Sosok
Kartika berdiri terpaku. Bayang-bayang sosok perempuan semakin jelas di depannya. Dyah. Wajahnya yang pucat dengan mata cekung dan rambut panjang kusut terlihat menyeramkan di antara kegelapan. Hawa dingin seketika menusuk kulit Kartika, membuat tubuhnya menggigil."Hihihi... Kartika," suara lirih itu terdengar lagi, kini lebih dekat. "Lama kita tidak berjumpa..."Kartika menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. Ia memeluk Cakra lebih erat, berusaha meredam tangis bayinya yang mulai mereda namun masih tersendat-sendat. "Tidak.., tidak.., Mbak Dyah kenapa Kau masih ada di rumah warisan bapakku? Apa maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.Sosok Dyah tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kartika. "Aku tidak bisa pergi Kartika.., jiwaku masih tertahan. Aku baru bisa pergi kalau keluargaku mengembalikan rumah ini padamu atau ada yang melunasi hutangku!" Sosok Dyah menyeringai, menampakan giginya yang runcing tajam, bola matanya menonjol keluar, menyisakan urat dan darah. "Bayi i