Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”
“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”
Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”
Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam rasa kesalnya dalam hati, tidak ingin memperpanjang masalah. Ia menahan napas sejenak, mengatur perasaannya, sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.
Seperti biasanya, mereka berdua melaksanakan salat berjamaah. Hendra menjadi imam, sementara Anis berdiri di belakangnya, mengikuti dengan khusyuk setiap gerakan. Setelah salat Maghrib selesai, mereka berdua duduk sejenak untuk mengaji bersama, mengisi malam dengan lantunan ayat suci yang memberikan ketenangan dalam hati mereka. Suara Anis mengalun pelan, mengimbangi suara Hendra yang lebih dalam. Setiap ayat yang mereka bacakan terasa menenangkan, meskipun di balik ketenangan itu, pikiran Anis masih dihantui oleh pintu yang terbuka tadi.
Selesai mengaji, Hendra beranjak ke teras depan untuk membersihkan halaman. "Aku mau memastikan halaman bersih sebelum tidur. Siapa tahu ada ranting atau daun yang jatuh," katanya sembari berjalan keluar. Anis mengangguk dan memutuskan untuk membereskan barang-barang mereka yang belum sempat ditata sejak mereka tiba di rumah warisan itu.
Anis membuka lemari tua di sudut kamar, lemari besar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang rumit. Ia mulai memasukkan pakaian dan barang-barang kecil lainnya ke dalamnya. Saat sedang sibuk membereskan, tiba-tiba terdengar suara berisik dari atas. Sesuatu jatuh dari plafon. Anis tersentak kaget, tubuhnya menegang, namun ketika ia melihat ke lantai, ternyata hanya seekor tikus yang terjatuh. Ia menghela napas lega. "Tikus," gumamnya, berusaha menenangkan diri.
Meski begitu, rasa tidak nyaman tetap membayangi pikirannya. Sejak mereka tiba di rumah ini, suasana selalu terasa mistis. Rumah ini memang besar dan mewah, menunjukkan betapa kaya dan terpandangnya ayah mertua Hendra saat masih hidup. Anis berusaha mengalihkan pikirannya dengan terus berkutat pada barang-barangnya, namun sesekali ia masih merasakan perasaan ganjil itu.
Ia berbicara pada dirinya sendiri, seakan berusaha mencari jawaban, “Rumah ini sangat besar. Ayah mertua pasti sangat kaya, semua orang di desa ini menghormatinya. Tapi kenapa Mas Hendra memilih bekerja ikut orang dan tinggal di kota ya? Padahal kalau mau, dia bisa saja menggantikan posisi ayahnya sebagai juragan di sini.”
Tiba-tiba suara Hendra memotong lamunannya. "Itu karena saat aku lulus kuliah, aku langsung dapat pekerjaan di kota. Lagipula, kalau aku tidak pindah ke kota, mungkin aku tidak akan pernah bertemu denganmu."
Anis terkejut, tidak menyadari suaminya sudah masuk kembali ke kamar. Hendra tersenyum, duduk di sampingnya di tepi ranjang. Anis menghela napas panjang, masih merasakan kekalutan yang ia rasakan sejak pagi. Ia mencoba tersenyum, namun pikirannya tak bisa lepas dari kenangan tentang menantu mereka, Lisa, yang secara tidak langsung mengusir mereka dari rumah.
Anis menunduk, bulir air mata perlahan menggenang di sudut matanya. Ia mencoba menahannya, tapi luka di hatinya masih terasa. Hendra, yang memperhatikan istrinya dengan seksama, meraih tangan Anis dan menggenggamnya erat. “Sudahlah, Bu. Jangan dipikirkan lagi hal-hal yang menyakitkan seperti itu,” katanya dengan lembut. “Mungkin memang ini sudah digariskan oleh Allah, supaya kita bisa merawat rumah peninggalan almarhum ayahku. Lagipula, tinggal di desa seperti ini akan memberikan ketenangan buat kita, manusia tua seperti kita harusnya hidup lebih sederhana. Kita bisa jadi lebih produktif, berkebun, memelihara ikan, menikmati hari tua dengan tenang.”
“Kita doakan saja yang terbaik untuk Rasya dan Lisa. Doakan mereka segera memiliki momongan, aku sudah menginginkan cucu,” ujar Hendra dengan senyum tipis. Ucapannya diaminkan oleh Anis, yang sudah sejak lama memendam keinginan yang sama. Setiap kali berkumpul dengan teman-teman seusianya, apalagi saat reuni, mereka sering kali datang bersama cucu-cucu yang lucu. Anis tak bisa menyembunyikan rasa rindunya untuk menggendong seorang cucu, merasakan hangatnya kebersamaan keluarga yang lebih lengkap. Namun tiba-tiba Anis teringat sesuatu, tentang suaminya akan membersihkan halaman depan.
“Kamu tidak jadi membersihkan depan, Pak?” Anis mengerutkan kening melihat Hendra yang justru bersiap-siap tidur. Hendra yang sudah setengah mengantuk menjawab sambil meregangkan tubuhnya, “Aku melihat banyak semak belukar di depan. Kalau malam ini aku kerjakan juga percuma, sebaiknya besok pagi saja setelah salat Subuh.” Setelah berkata demikian, Hendra langsung terlelap, suaranya perlahan berubah menjadi dengkuran halus. Anis hanya menghela napas, memandang suaminya dari sisi ranjang tempatnya duduk.
Anis beranjak perlahan dari ranjang, mencoba tidak mengganggu Hendra yang sudah terlelap. Rasa haus mendadak membuatnya memutuskan untuk mengambil air di dapur sebelum tidur. Saat ia melangkah keluar kamar, suasana rumah tua itu seketika terasa berbeda. Setiap sudut ruangan seolah menyimpan bayangan, dan udara malam yang masuk melalui celah-celah dinding kayu terasa lebih dingin dari biasanya. Suara angin yang berdesir di luar semakin memperkuat kesunyian yang mencekam.
Saat melewati ruang tengah menuju dapur, bulu kuduk Anis tiba-tiba meremang. Perasaan aneh itu kembali menghampirinya, seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan. Lampu di dapur berkedip-kedip sesaat sebelum menyala sepenuhnya. Anis berdiri terpaku di pintu dapur, mendengar suara-suara halus seperti bisikan yang datang dari arah lorong. Meski hatinya berdebar keras, ia berusaha untuk tetap tenang, meraih gelas dan mengisinya dengan air. Namun, bayangan di ujung lorong itu tak kunjung hilang dari pikirannya, membuatnya tak bisa benar-benar merasa tenang.
Anis bersiap untuk menyelesaikan hajatnya, berbalik badan hendak kembali ke kamar. Namun, suara tangisan bayi yang nyaring tiba-tiba menghentikan langkahnya. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya membeku sejenak. “Bayi? Di mana ada bayi?” pikirnya bingung, merasa tak mungkin ada bayi di rumah tua yang sepi ini. Ia menatap ke arah lorong yang gelap, berusaha mencari sumber suara itu. Suara tangisan bayi terus terdengar, memecah keheningan malam yang mencekam, seolah memanggilnya.
Anis merasa keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dengan hati-hati, ia melangkah maju, mencoba mendekati suara yang semakin jelas terdengar. Setiap langkah yang ia ambil seolah membawa kembali kenangan akan masa-masa indah saat anaknya, Rasya, masih kecil. Namun, kali ini suasana terasa sangat berbeda; entah kenapa, tangisan itu seakan datang dari ruang hampa. “Apakah ini hanya imajinasiku?” Anis bergumam pelan, berusaha meyakinkan diri. Namun, nalurinya mengatakan bahwa ia tidak bisa mengabaikan suara itu. Mungkin ada sesuatu yang harus ia cari tahu. Dengan napas yang sedikit tercekat, ia melangkah lebih dekat ke arah suara tangisan tersebut.
Anis terus mencari sumber suara tangisan. Ia berjalan menuju ke arah pintu depan, mengira suara itu berasal dari luar. Namun saat ia baru saja membuka pintu, netranya melihat ke arah sebuah kardus yang berada di bawah pohon mangga.
Dengan gemetaran Anis melangkahkan kakinya, berjalan ke arah pohon mangga yang ada di halaman rumahnya. Belum sempat melihat isi di dalam kardus itu. Tiba-tiba saja pintu tertutup. Membuat Anis tercekat dan keringat dingin mulai mengucur di dahinya.
Brakkkkk!
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, "lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di te
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
"Ayo kita pulang," ujar Anis, suaranya pelan namun tegas, menyadarkan Hendra dari kebingungannya.Hendra menoleh ke arah Rasya, tampak cemas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Hendra, khawatir."Entah," jawab Rasya, sedikit mengangkat bahu. "Saat mantri itu melihatku, dia memberiku air minum, dan secara ajaib demamku langsung turun." Rasya mengatakan itu dengan acuh, namun ada kesan tidak biasa pada suaranya. "Eh, ada Pak Tomo," lanjut Rasya, "oh iya, pria muda yang tadi bersama Pak Tomo, di mana dia?"Pertanyaan Rasya langsung membuat Tomo tersinggung. Dengan wajah memerah, Tomo menanggapi dengan nada kesal. "Aku sudah berbicara dengan Ayahmu, aku sudah tahu. Sebaiknya kau beristirahat saja, supaya bisa cepat pulang ke kota." Tomo lalu beranjak pergi, meninggalkan Anis dan Rasya yang saling pandang, keduanya bingung dengan perubahan sikap Tomo yang biasanya ramah, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi ketus setelah berbicara dengan Hendra."Ada apa dengan Pak Tomo, Yah?" tanya Rasya, suaran
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi
Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada
Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata