Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”
“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”
Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”
Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam rasa kesalnya dalam hati, tidak ingin memperpanjang masalah. Ia menahan napas sejenak, mengatur perasaannya, sebelum melangkah masuk ke dalam rumah.
Seperti biasanya, mereka berdua melaksanakan salat berjamaah. Hendra menjadi imam, sementara Anis berdiri di belakangnya, mengikuti dengan khusyuk setiap gerakan. Setelah salat Maghrib selesai, mereka berdua duduk sejenak untuk mengaji bersama, mengisi malam dengan lantunan ayat suci yang memberikan ketenangan dalam hati mereka. Suara Anis mengalun pelan, mengimbangi suara Hendra yang lebih dalam. Setiap ayat yang mereka bacakan terasa menenangkan, meskipun di balik ketenangan itu, pikiran Anis masih dihantui oleh pintu yang terbuka tadi.
Selesai mengaji, Hendra beranjak ke teras depan untuk membersihkan halaman. "Aku mau memastikan halaman bersih sebelum tidur. Siapa tahu ada ranting atau daun yang jatuh," katanya sembari berjalan keluar. Anis mengangguk dan memutuskan untuk membereskan barang-barang mereka yang belum sempat ditata sejak mereka tiba di rumah warisan itu.
Anis membuka lemari tua di sudut kamar, lemari besar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang rumit. Ia mulai memasukkan pakaian dan barang-barang kecil lainnya ke dalamnya. Saat sedang sibuk membereskan, tiba-tiba terdengar suara berisik dari atas. Sesuatu jatuh dari plafon. Anis tersentak kaget, tubuhnya menegang, namun ketika ia melihat ke lantai, ternyata hanya seekor tikus yang terjatuh. Ia menghela napas lega. "Tikus," gumamnya, berusaha menenangkan diri.
Meski begitu, rasa tidak nyaman tetap membayangi pikirannya. Sejak mereka tiba di rumah ini, suasana selalu terasa mistis. Rumah ini memang besar dan mewah, menunjukkan betapa kaya dan terpandangnya ayah mertua Hendra saat masih hidup. Anis berusaha mengalihkan pikirannya dengan terus berkutat pada barang-barangnya, namun sesekali ia masih merasakan perasaan ganjil itu.
Ia berbicara pada dirinya sendiri, seakan berusaha mencari jawaban, “Rumah ini sangat besar. Ayah mertua pasti sangat kaya, semua orang di desa ini menghormatinya. Tapi kenapa Mas Hendra memilih bekerja ikut orang dan tinggal di kota ya? Padahal kalau mau, dia bisa saja menggantikan posisi ayahnya sebagai juragan di sini.”
Tiba-tiba suara Hendra memotong lamunannya. "Itu karena saat aku lulus kuliah, aku langsung dapat pekerjaan di kota. Lagipula, kalau aku tidak pindah ke kota, mungkin aku tidak akan pernah bertemu denganmu."
Anis terkejut, tidak menyadari suaminya sudah masuk kembali ke kamar. Hendra tersenyum, duduk di sampingnya di tepi ranjang. Anis menghela napas panjang, masih merasakan kekalutan yang ia rasakan sejak pagi. Ia mencoba tersenyum, namun pikirannya tak bisa lepas dari kenangan tentang menantu mereka, Lisa, yang secara tidak langsung mengusir mereka dari rumah.
Anis menunduk, bulir air mata perlahan menggenang di sudut matanya. Ia mencoba menahannya, tapi luka di hatinya masih terasa. Hendra, yang memperhatikan istrinya dengan seksama, meraih tangan Anis dan menggenggamnya erat. “Sudahlah, Bu. Jangan dipikirkan lagi hal-hal yang menyakitkan seperti itu,” katanya dengan lembut. “Mungkin memang ini sudah digariskan oleh Allah, supaya kita bisa merawat rumah peninggalan almarhum ayahku. Lagipula, tinggal di desa seperti ini akan memberikan ketenangan buat kita, manusia tua seperti kita harusnya hidup lebih sederhana. Kita bisa jadi lebih produktif, berkebun, memelihara ikan, menikmati hari tua dengan tenang.”
“Kita doakan saja yang terbaik untuk Rasya dan Lisa. Doakan mereka segera memiliki momongan, aku sudah menginginkan cucu,” ujar Hendra dengan senyum tipis. Ucapannya diaminkan oleh Anis, yang sudah sejak lama memendam keinginan yang sama. Setiap kali berkumpul dengan teman-teman seusianya, apalagi saat reuni, mereka sering kali datang bersama cucu-cucu yang lucu. Anis tak bisa menyembunyikan rasa rindunya untuk menggendong seorang cucu, merasakan hangatnya kebersamaan keluarga yang lebih lengkap. Namun tiba-tiba Anis teringat sesuatu, tentang suaminya akan membersihkan halaman depan.
“Kamu tidak jadi membersihkan depan, Pak?” Anis mengerutkan kening melihat Hendra yang justru bersiap-siap tidur. Hendra yang sudah setengah mengantuk menjawab sambil meregangkan tubuhnya, “Aku melihat banyak semak belukar di depan. Kalau malam ini aku kerjakan juga percuma, sebaiknya besok pagi saja setelah salat Subuh.” Setelah berkata demikian, Hendra langsung terlelap, suaranya perlahan berubah menjadi dengkuran halus. Anis hanya menghela napas, memandang suaminya dari sisi ranjang tempatnya duduk.
Anis beranjak perlahan dari ranjang, mencoba tidak mengganggu Hendra yang sudah terlelap. Rasa haus mendadak membuatnya memutuskan untuk mengambil air di dapur sebelum tidur. Saat ia melangkah keluar kamar, suasana rumah tua itu seketika terasa berbeda. Setiap sudut ruangan seolah menyimpan bayangan, dan udara malam yang masuk melalui celah-celah dinding kayu terasa lebih dingin dari biasanya. Suara angin yang berdesir di luar semakin memperkuat kesunyian yang mencekam.
Saat melewati ruang tengah menuju dapur, bulu kuduk Anis tiba-tiba meremang. Perasaan aneh itu kembali menghampirinya, seperti ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan. Lampu di dapur berkedip-kedip sesaat sebelum menyala sepenuhnya. Anis berdiri terpaku di pintu dapur, mendengar suara-suara halus seperti bisikan yang datang dari arah lorong. Meski hatinya berdebar keras, ia berusaha untuk tetap tenang, meraih gelas dan mengisinya dengan air. Namun, bayangan di ujung lorong itu tak kunjung hilang dari pikirannya, membuatnya tak bisa benar-benar merasa tenang.
Anis bersiap untuk menyelesaikan hajatnya, berbalik badan hendak kembali ke kamar. Namun, suara tangisan bayi yang nyaring tiba-tiba menghentikan langkahnya. Jantungnya berdegup kencang, dan tubuhnya membeku sejenak. “Bayi? Di mana ada bayi?” pikirnya bingung, merasa tak mungkin ada bayi di rumah tua yang sepi ini. Ia menatap ke arah lorong yang gelap, berusaha mencari sumber suara itu. Suara tangisan bayi terus terdengar, memecah keheningan malam yang mencekam, seolah memanggilnya.
Anis merasa keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dengan hati-hati, ia melangkah maju, mencoba mendekati suara yang semakin jelas terdengar. Setiap langkah yang ia ambil seolah membawa kembali kenangan akan masa-masa indah saat anaknya, Rasya, masih kecil. Namun, kali ini suasana terasa sangat berbeda; entah kenapa, tangisan itu seakan datang dari ruang hampa. “Apakah ini hanya imajinasiku?” Anis bergumam pelan, berusaha meyakinkan diri. Namun, nalurinya mengatakan bahwa ia tidak bisa mengabaikan suara itu. Mungkin ada sesuatu yang harus ia cari tahu. Dengan napas yang sedikit tercekat, ia melangkah lebih dekat ke arah suara tangisan tersebut.
Anis terus mencari sumber suara tangisan. Ia berjalan menuju ke arah pintu depan, mengira suara itu berasal dari luar. Namun saat ia baru saja membuka pintu, netranya melihat ke arah sebuah kardus yang berada di bawah pohon mangga.
Dengan gemetaran Anis melangkahkan kakinya, berjalan ke arah pohon mangga yang ada di halaman rumahnya. Belum sempat melihat isi di dalam kardus itu. Tiba-tiba saja pintu tertutup. Membuat Anis tercekat dan keringat dingin mulai mengucur di dahinya.
Brakkkkk!
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta
Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat, namun hari ini tampaknya semua akan berubah."Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Sorot matanya dingin dan tegas, jauh dari sikap menantu yang sopan.Anis mengangguk perlahan, bersiap menghadapi apa yang akan datang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Lisa?" tanyanya, suaranya tetap lembut meski ada nada tertahan di dalamnya.Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa kita tidak bisa hidup bersama seperti ini."Anis terdiam, menatap Lisa dengan tatapan tajam namun penuh perasaan. "Menggan
Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih