Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur nyaman di atas kasur kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang bahu sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. Ternyata mimpi, gumamnya lirih, tapi rasanya seperti nyata. Ia mencoba mengatur nafasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.
Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. “Mungkin kau lelah,” ucapnya, berusaha menenangkan diri. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. “Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan,” lanjutnya sambil bangkit berdiri.
Namun, sebelum Hendra melangkah lebih jauh, Anis tiba-tiba memegang lengannya dengan erat. “Aku ikut,” katanya, suaranya terdengar agak gemetar, seolah takut ditinggalkan sendirian di rumah itu. Hendra terdiam sejenak, lalu mengangguk. Mereka pun bersiap keluar, mengunci pintu rumah tua itu dengan hati-hati sebelum berjalan berdua menuju desa.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Kartijan, udara sore yang hangat terasa agak berbeda. Beberapa warga desa yang kebanyakan sudah lanjut usia tampak menyapa Hendra dan Anis. Mereka memandang pasangan itu dengan rasa penasaran, seakan menyimpan kenangan lama yang baru bangkit kembali. Di antara mereka, Tomo, teman sekolah Hendra dulu, tiba-tiba mendekat dengan langkah lambat tapi penuh semangat. "Hendra!" sapa Tomo dengan senyum lebar. "Sudah lama sekali kau tidak kemari."
Hendra menoleh dan tersenyum. "Iya. Lama sekali. Bagaimana kabarmu?" balas Hendra sopan. Namun, sebelum bisa melanjutkan percakapan lebih jauh, Tomo langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Hendra sedikit terkejut. "Apa kau sudah tahu tentang kabar rumah lamamu?" tanyanya sambil berbisik lirih kepada Hendra.
Hendra mengerutkan kening, penasaran. "Kabar apa?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan ketidakpahaman. Tomo tertawa kecil, seolah merasa lucu bahwa Hendra benar-benar tidak tahu. "Tentu saja kau tidak tahu, kau terakhir ke sini waktu anakmu masih balita, hahaha dengarkan aku, 25 tahun lalu, ada seorang wanita gila yang menempati rumah suwung ayahmu. Sekitar tiga bulan setelah ayahmu meninggal." Tomo mengajak Hendra dan Anis duduk berbincang di teras rumah, lalu ia memulai ceritanya
POV Tomo
Saat itu, hari masih pagi. Aku ingat dengan jelas, kabut tipis menyelimuti desa ketika aku mendengar kabar pertama kali tentang wanita gila itu. Entah dari mana asalnya, tapi tiba-tiba saja dia muncul, mondar-mandir keluar masuk rumah peninggalan Irawan, ayah Hendra. Rumah itu sudah cukup lama dibiarkan kosong, ditinggalkan begitu saja setelah pak Irawan meninggal. Tak ada yang berani mendekati tempat itu, apalagi barang berharga milik Pak Irawan masih berada di dalamnya.
Wanita itu tak pernah berbicara, hanya menangis atau tersenyum sendiri. Namun, yang paling menyeramkan adalah caranya mengancam siapa saja yang berani mendekatinya. Wanita gila itu selalu mengacungkan parang ke arah warga yang mencoba mendekat. Warga desa tidak berani berbuat banyak, jadi mereka membiarkan saja wanita itu di sana, biar tidak kosong, toh wanita itu hanya duduk di teras depan dan tidak mengganggu. Aku ingat adikku, Broto, pernah berkata, "Biar saja, Mas. Supaya rumah itu tidak suwung lagi.”
Mungkin benar, pikirku waktu itu. Rumah suwung sering kali dianggap membawa mistis di desa ini. Dengan adanya wanita gila itu, paling tidak anggapan 'mistis' sedikit bisa diabaikan.
Hanya saja aku merasa aneh, karena yang bisa mendekati wanita itu hanya Broto. Adikku itu baru saja lulus kuliah saat wanita itu datang, dan dia memang memiliki cara bergaul yang lebih baik daripada aku atau yang lainnya. Mungkin karena dia berpendidikan, lebih sabar, dan pintar dalam pendekatan emosional, pikirku. Setiap kali aku mencoba bertanya kepadanya tentang wanita itu, dia hanya tersenyum tipis.
Aku mulai curiga dengan adikku. Terutama ketika aku mulai menyadari sesuatu—wanita itu hamil. Perutnya perlahan membesar seiring waktu, dan tidak ada yang tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Desas-desus mulai beredar di desa, ada yang mengatakan hamil anak genderuwo penghuni rumah suwung, bahkan ada yang sepemikiran denganku, wanita itu hamil anak Broto, tapi tak ada yang berani berbicara lebih jauh.
Aku ingat, suatu hari aku memberanikan diri bertanya pada ayahku tentang wanita itu dan kedekatan Broto dengannya. Ayahku hanya menghela nafas panjang, dan berkata, “aku sudah tahu lama, sejak pertama kali wanita itu menginjakkan kaki di rumah suwung itu,” kata ayahku pelan. "Broto sudah bersumpah kalau dia tidak menghamili wanita gila itu. Broto juga baru pulang sebulan setelah wanita gila itu datang. Lagipula aku perkirakan usia kandungannya sekitar tujuh bulan lebih. Wanita itu sudah hamil sejak sebelum datang ke desa ini."
Aku lega mendengarnya. Mungkin aku salah menilai Broto, pikirku. Bagaimanapun, Broto baru saja menikah dengan Purwati, anak kepala desa. Tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak baik di belakang istri barunya. Apalagi mereka baru menikah, belum ada setahun.
Waktu terus berjalan, dan wanita itu tetap berada di rumah suwung. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana dia bisa bertahan hidup di sana, hanya saja setiap kali Broto mengunjungi rumah itu, dia selalu membawa makanan atau pakaian untuk wanita tersebut.
Hingga suatu pagi, sekitar tiga bulan setelah wanita itu pertama kali muncul, aku dan ayahku hendak berangkat ke sawah seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi desa sudah mulai ramai dengan suara-suara aktivitas warga yang mengawali hari mereka. Saat itulah aku mencium bau busuk yang begitu menyengat dari arah rumah suwung.
"Bau apa itu?" tanyaku pada ayahku, yang juga tampak terganggu oleh bau tersebut.
Ayahku mengerutkan kening, memandang ke arah rumah suwung dengan ekspresi yang tidak biasa. "Sepertinya dari rumah itu," jawabnya singkat.
Dengan hati-hati, kami berjalan menuju rumah suwung, mengikuti sumber bau tersebut. Semakin dekat kami, semakin tajam bau busuk yang menyengat hidung. Aku menahan nafas, mencoba mengabaikan rasa mual yang mulai muncul di perutku. Dan di sanalah, kami menemukan wanita gila itu tergeletak tak bernyawa di lantai.
Bau busuk berasal dari tubuhnya yang sudah mulai membusuk. Wajahnya pucat, matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit seolah-olah sedang menyaksikan sesuatu yang tak bisa kulihat. Perutnya yang hamil tampak bengkak, dan darah kering mengalir dari tubuhnya, menyebar di lantai kayu tua yang sudah lama tidak terawat.
Aku tercekat, tak mampu bergerak. Pemandangan yang begitu mengerikan, membuat tubuhku kaku di tempatnya. Ayahku hanya berdiri diam di sampingku, wajahnya pucat pasi. Kami tidak tahu harus berkata apa. Hanya satu hal yang dipikirkan saat itu—apa yang sebenarnya terjadi di rumah suwung?
Baik aku maupun ayahku, tidak berani menyentuh wanita itu. Kami memilih memberikan kabar kepada warga, yang diteruskan ke pihak berwajib.
Kembali ke awal.
Tomo mengakhiri ceritanya dengan nafas yang berat, matanya menerawang ke arah rumah suwung di kejauhan. Anis duduk bersandar di kursinya, wajahnya pucat dan dipenuhi rasa takut. Cerita yang baru saja ia dengar membuat bulu kuduknya meremang, bayangan tentang wanita gila yang mati di rumah itu kini terus menghantui pikiran. Tangannya gemetar, dan ia memegangi lengan Hendra dengan erat, seolah mencari perlindungan dari sesuatu yang tak terlihat.
"Kau tahu, aku menemukan jasad wanita gila itu dalam keadaan perut terbelah tapi tidak ditemukan tanda habis melahirkan." Tomo menghela nafas dalam. "Saat aku dan beberapa warga mencari keberadaan janinnya, kami tidak menemukan apapun. Sampai kami memiliki kesimpulan, wanita gila itu memakan jasad bayi yang baru dilahirkannya atau dia hanya berpura-pura hamil."
Hendra mendengarkan sambil mengusap lembut pundak Anis, mencoba menghilangkan rasa cemas yang mengganggu istrinya. “Sudahlah, Bu, itu hanya cerita lama,” katanya pelan, meskipun ada keraguan yang tersembunyi di balik suaranya. “Kita di sini sekarang, dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Itu sudah puluhan tahun berlalu, aku yakin. Kalau kita tinggal di sana dan rutin mendekatkan diri kepada yang maha esa, tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan."
Hendra akhirnya pamit kepada Tomo untuk menemui pak Kartijan, kepala desa yang rumahnya berdekatan dengan Tomo.
Kembali Hendra dan Anis mendapat peringatan saat akan tinggal, tapi Hendra memilih mengabaikan ucapan pak Kartijan.
“Daripada Bapak memperingati kami, akan lebih baik kalau hari tua Pak Kartijan digunakan untuk beribadah. Lagipula pak Kartijan sudah cukup tua untuk menjabat kembali sebagai kepala desa, sebaiknya Bapak beristirahat saja dan menyerahkan jabatan itu kepada yang lebih muda,” ujar Hendra.
"Saya juga menginginkan itu, hanya saja anak muda di desa ini memutuskan untuk merantau ke kota. Tinggalah kami para lansia yang masih tinggal di sini," balas Kartijan.
Tak mau berdebat lebih lama, Hendra segera mengajak sang istri pulang. Sepanjang perjalanan, Hendra terus menggerutu.
Sesampai di rumah, Hendra dan Anis dikejutkan dengan pintu rumah yang terbuka. Padahal tadi pagar dalam keadaan gembok terkunci.
"Aneh sekali," kata Anis.
Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, "lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di te
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
"Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek
Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis
Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se
Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink
Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi
Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada
Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata