Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.
Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.
Namun, sebelum Hendra melangkah lebih jauh, Anis tiba-tiba memegang lengannya dengan erat. "Aku ikut," katanya, suaranya terdengar sedikit gemetar, seolah takut ditinggalkan sendirian di rumah itu. Hendra menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Mereka pun bersiap keluar, mengunci pintu rumah tua itu dengan hati-hati sebelum berjalan berdua menuju desa, meninggalkan rumah yang terasa semakin sunyi di belakang mereka.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Kartijan, udara sore yang hangat terasa agak berbeda. Beberapa warga desa yang kebanyakan sudah lanjut usia tampak menyapa Hendra dan Anis. Mereka memandang pasangan itu dengan rasa penasaran, seolah menyimpan kenangan lama yang baru bangkit kembali. Di antara mereka, Tomo, teman sekolah Hendra dulu, tiba-tiba mendekat dengan langkah lambat namun penuh semangat. "Hendra!" sapa Tomo dengan senyum lebar. "Sudah lama sekali kau tidak kemari."
Hendra menoleh dan tersenyum, meski kerutan di dahinya tampak jelas. "Iya, Tomo. Lama sekali. Bagaimana kabarmu?" balas Hendra sopan. Namun, sebelum bisa melanjutkan percakapan lebih jauh, Tomo langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Hendra sedikit terkejut. "Apa kau sudah tahu kabar tentang rumah lamamu?" tanyanya, sambil berbisik lirih kepada Hendra.
Hendra mengerutkan kening, penasaran. "Kabar apa?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan ketidakpahaman. Tomo tertawa kecil, seolah merasa lucu bahwa Hendra benar-benar tidak tahu. "Tentu saja kau tidak tahu, kau terakhir ke sini 30 tahun lalu, saat baru menikah dengan Anis. Dengarkan ini, 25 tahun lalu, ada seorang wanita gila yang menempati rumah suwung ayahmu. Sekitar tiga bulan setelah ayahmu meninggal." Tomo mengajak Hendra dan Anis duduk berbincang di teras rumah, lalu ia memulai ceritanya
POV Tomo
Saat itu, hari masih pagi. Aku ingat dengan jelas, kabut tipis masih menyelimuti desa ketika aku mendengar kabar pertama kali tentang wanita gila itu. Entah dari mana asalnya, tapi tiba-tiba saja dia muncul, mondar-mandir keluar masuk rumah peninggalan Irawan, ayah Hendra. Rumah itu sudah cukup lama dibiarkan kosong, ditinggalkan begitu saja setelah pak Irawan meninggal. Tak ada yang berani mendekati tempat itu, apalagi barang berharga milik pak Irawan masih berada di dalamnya.
Wanita itu tak pernah bicara, hanya menangis atau tersenyum sendiri. Namun, yang paling menyeramkan adalah caranya mengancam siapa saja yang berani mendekatinya. Wanita gila itu mengayunkan parang ke arah warga yang mencoba mendekat. Warga desa tidak berani berbuat banyak. Warga membiarkan saja wanita itu di sana, biar tidak kosong, toh wanita itu hanya duduk di teras depan dan tidak mengganggu. Aku ingat adikku, Broto, yang berkata dengan nada bercanda saat kami sedang ngobrol di beranda, “Biar saja, Mas. Supaya rumah itu tidak suwung lagi.”
Mungkin benar, pikirku waktu itu. Rumah suwung sering kali dianggap membawa mistis di desa ini. Namun, ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatku tidak nyaman, tatapannya yang kosong membuat bulu kudukku meremang setiap kali aku melewatinya di depan rumah itu.
Satu-satunya orang yang bisa mendekati wanita itu adalah Broto. Adikku itu baru saja lulus kuliah saat wanita itu datang, dan dia memang memiliki cara bergaul yang lebih baik daripada aku atau yang lainnya. Mungkin karena dia berpendidikan, lebih sabar, dan pintar dalam pendekatan emosional, pikirku. Setiap kali aku mencoba bertanya kepadanya tentang wanita itu, dia hanya tersenyum tipis dan berkata, "Bukan apa-apa, Mas. Aku cuma kasihan padanya, lagipula dia tidak mengganggu."
Aku mulai curiga dengan adikku. Terutama ketika aku mulai menyadari sesuatu—wanita itu hamil. Perutnya perlahan membesar seiring waktu, dan tidak ada yang tahu siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Desas-desus mulai beredar di desa, ada yang mengatakan hamil anak genderuwo penghuni rumah suwung, bahkan ada yang sepemikiran denganku, wanita itu hamil anak Broto, tapi tak ada yang berani berbicara lebih jauh.
Aku ingat, suatu hari aku memberanikan diri bertanya pada ayahku tentang wanita itu dan kedekatan Broto dengannya. Ayahku hanya menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang terlihat. “Kami sudah tahu lama, sejak pertama kali wanita itu menginjakkan kaki di rumah suwung itu,” kata ayahku pelan. "Dia mungkin satu-satunya orang yang bisa mendekati wanita gila itu, tapi Broto tidak ada hubungannya dengan kehamilannya, sebab dia baru pulang sebulan setelah wanita gila itu datang. Lagipula aku perkirakan usia kandungannya sekitar tujuh bulan lebih. Wanita itu sudah hamil sejak sebelum datang kemari."
Aku lega mendengar itu. Mungkin aku salah menilai Broto, pikirku. Lagipula, Broto baru saja menikah dengan Purwati, anak kepala desa. Tidak mungkin dia melakukan sesuatu yang tidak baik di belakang istri barunya. Apalagi mereka baru nikah, belum ada setahun.
Waktu terus berjalan, dan wanita itu tetap berada di rumah suwung. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana dia bisa bertahan hidup di sana, namun setiap kali Broto mengunjungi rumah itu, dia selalu membawa makanan atau pakaian untuk wanita tersebut.
Hingga suatu pagi, sekitar tiga bulan setelah wanita itu pertama kali muncul, aku dan ayahku hendak berangkat ke sawah seperti biasa. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi desa sudah mulai hidup dengan suara-suara aktivitas warga yang memulai hari mereka. Saat itulah aku mencium bau busuk yang begitu menyengat dari arah rumah suwung.
"Bau apa itu?" tanyaku pada ayahku, yang juga tampak terganggu oleh bau tersebut.
Ayahku mengerutkan kening, memandang ke arah rumah suwung dengan ekspresi yang tidak biasa. "Sepertinya dari rumah itu," jawabnya singkat.
Dengan hati-hati, kami berjalan menuju rumah suwung, mengikuti sumber bau tersebut. Semakin dekat kami, semakin tajam bau busuk yang menyengat hidung. Aku menahan napas, mencoba mengabaikan rasa mual yang mulai muncul di perutku. Dan di sanalah, kami menemukan wanita gila itu tergeletak tak bernyawa di lantai.
Bau busuk berasal dari tubuhnya yang sudah mulai membusuk. Wajahnya pucat, matanya terbuka lebar, menatap kosong ke langit-langit seolah-olah sedang menyaksikan sesuatu yang tak bisa kulihat. Perutnya yang hamil tampak bengkak, dan darah kering mengalir dari tubuhnya, menyebar di lantai kayu tua yang sudah lama tidak terawat.
Aku tercekat, tak mampu bergerak. Pemandangan itu begitu mengerikan, membuat tubuhku kaku di tempat. Ayahku hanya berdiri diam di sampingku, wajahnya pucat pasi. Kami tidak tahu harus berkata apa. Hanya satu hal yang kupikirkan saat itu—apa yang sebenarnya terjadi di rumah suwung?
Baik aku maupun ayahku, tidak berani menyentuh wanita itu. Kami memilih memberikan kabar kepada warga, yang diteruskan kepada pihak berwajib.
Kembali ke awal.
Tomo mengakhiri ceritanya dengan napas yang berat, matanya menerawang ke arah rumah suwung di kejauhan. Anis duduk terpaku di kursinya, wajahnya pucat dan pandangannya penuh dengan rasa takut. Cerita yang baru saja ia dengar membuat bulu kuduknya meremang, bayangan tentang wanita gila yang tewas di rumah itu kini terus menghantui pikirannya. Tangannya gemetar, dan ia memegangi lengan Hendra dengan erat, seolah mencari perlindungan dari sesuatu yang tak terlihat.
"Kau tahu, aku menemukan jenazah wanita gila itu dalam keadaan perut terbelah tapi tidak menemukan ada tanda kehamilan." Tomo menghela nafas dalam. "Saat aku dan beberapa warga mencari keberadaan janinnya, kami tidak menemukan apapun. Sampai kami memiliki kesimpulan, wanita gila itu memakan jasad bayi yang baru dilahirkannya atau dia hanya berpura-pura hamil."
Hendra mendengarkan sambil mengusap lembut pundak Anis, mencoba menghilangkan rasa cemas yang menyelimuti istrinya. “Sudahlah, Bu, itu hanya cerita lama,” katanya pelan, meskipun ada keraguan yang tersembunyi di balik suaranya. “Kita di sini sekarang, dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Itu sudah puluhan tahun berlalu, aku yakin. Kalau kita tinggal di sana dan rutin mendekatkan diri kepada yang maha esa, tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan."
Hendra akhirnya pamit kepada Tomo untuk menemui pak Kartijan, kepala desa yang rumahnya berdekatan dengan Tomo.
Kembali Hendra dan Anis mendapat peringatan saat akan tinggal, tapi Hendra memilih mengabaikan ucapan pak Kartijan.
"Daripada Bapak memperingati kami, akan lebih baik kalau hari tua Pak Kartijan digunakan untuk beribadah. Lagipula pak Kartijan sudah cukup tua untuk menjabat kembali sebagai kepala desa, sebaiknya Bapak istirahat saja dan menyerahkan jabatan itu kepada yang lebih muda," ujar Hendra kepada pria yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu.
"Saya juga menginginkan itu, hanya saja anak muda di desa ini memutuskan untuk merantau ke kota. Tinggalah kami para lansia yang masih tinggal di sini," balas Kartijan.
Tak mau berdebat lebih lama, Hendra segera mengajak sang istri pulang. Sepanjang perjalanan, Hendra terus menggerutu, padahal niat dia menemui Kartijan adalah meminta izin tinggal, tapi dia malah mendapat peringatan tak penting.
Sesampai di rumah, Hendra dan Anis dikejutkan dengan pintu rumah yang terbuka. Padahal pagar dalam keadaan gembok terkunci.
"Aneh sekali," lirih Anis.
Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam
Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat
Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan
Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan namun mantap, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meleta
Rasya mencoba menepis lembaran hitam tipis yang terus berputar di sekelilingnya, seperti kain tua yang tertiup angin dan berkibar melingkari tubuhnya. "Apa-apaan ini? Mengganggu sekali," gerutunya kesal, sementara kain itu berkibar liar, menghalangi pandangannya.Akhirnya, dengan susah payah, dia berhasil meraih ujung kain dan melepaskannya dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, ia memegangnya di udara, memperhatikannya dengan lebih saksama. "Selimut atau layangan? Dan kenapa ada motif menyeramkan seperti ini?" gumam Rasya sambil menatap gambar aneh yang hampir menyerupai wajah iblis, tergambar buram dan pudar di tengah kain. Merasa risih dan tak nyaman, dia segera melemparkan kain itu ke lantai, membiarkannya tergeletak di sudut dengan bentuk berlipat dan bayangan hitam samar yang seakan menatapnya kembali.Ketika ia menoleh, pandangannya terpaku pada pemandangan yang tak terduga. Pintu yang tadi dibuka ternyata menghubungkannya ke sebuah area kosong di atap rumah. Atap tersebut tak
“Ibu bukannya menolak untuk kembali, tapi apa kau yakin Lisa akan menerima Ibu?” ujar Anis, suaranya terdengar ragu.Rasya terdiam, merasakan dilema yang tak mudah. Di satu sisi, ia ingin memenuhi permintaan ibunya; di sisi lain, ia tahu sifat Lisa yang sulit menerima kehadiran orang lain di rumah mereka.“Akan kucoba bicarakan lagi dengan Lisa, Bu,” ucap Rasya akhirnya, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Keduanya melangkah pelan menuju rumah, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka, berharap ada jalan keluar yang baik untuk keluarga kecil itu.Rasya membuka gerbang pagar dan mendapati ayahnya masih sibuk membersihkan halaman rumah. Rumput liar dan dedaunan kering berserakan di tanah, membuat tempat itu tampak kusam. Rasya meletakkan kantong belanjaan sang ibu di tangga depan dan melangkah mendekati Hendra.“Yah,” panggilnya, berjongkok di samping Hendra yang sedang mencabut rumput liar, “Ayah belum selesai juga?”Hendra mengelap peluh di dahinya dan mengangguk lelah. “Iya,
"Minta maaf untuk apa?" tanya Hendra."Minta maaf atas sikap Lisa," jawab Rasya. "Rasya merasa gagal mendidik Lisa menjadi istri yang baik. Rumah itu milik Ibu dan Ayah, rasanya tak pantas kalau...""Nak," Anis memotong lembut. "Jangan katakan begitu. Jangan merasa bersalah atas didikanmu. Doakan saja, semoga hati istrimu menjadi lembut."Rasya menahan sesak di dadanya, berusaha tegar di hadapan ibunya. Ia tahu, meski kecewa, ibunya tetap mengajarkan kesabaran dan ketulusan, bahkan untuk seseorang yang telah menyakitinya."Aku lelah, Bu. Jujur, aku merasa sangat bersalah, terutama pada Ayah dan Ibu. Seharusnya, aku dan Lisa yang pergi, bukan Ayah dan Ibu," ucap Rasya, suaranya bergetar menahan isak.Anis memandangnya penuh haru, memahami beratnya beban hati sang putra."Aku... sepertinya butuh istirahat, Bu. Permisi," lanjut Rasya pelan sebelum beranjak dari tempatnya, melangkah menuju kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah rasa bersalahnya.Rasya membaringkan tubuhnya di kasur,
"Rasya," suara lirih sang ibu terdengar lagi, membangunkan Rasya dari tidur. Ia tersentak, membuka mata, dan mulai bangkit, sadar itu semua hanyalah mimpi. "Ibu," lirihnya sambil mengusap wajah, masih merasakan ketegangan dari mimpinya."Apa yang kau mimpikan?" tanya ayahnya, suaranya lembut namun penuh perhatian."Lasmini," jawab Rasya, menatap dalam wajah sang ayah. "Nama wanita gila yang diceritakan Pak Tomo, dia adalah Lasmini."Hendra mengerutkan kening, menatap putranya bingung. "Dari mana kau tahu namanya?""Ayah, dalam mimpi tadi, Rasya melihat Broto muda membawa Lasmini ke rumah ini." Suara Rasya bergetar, dan jantungnya berdetak cepat. Rasa takut dan keringat dingin merayap di pelipisnya.Rasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku merasa ada yang harus aku pahami di sini, Yah," katanya pelan. "Aku akan menulis surat izin untuk tinggal lebih lama. Rasya harus menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya Lasmini.""Jangan mentang-mentang itu perusahan milik
Kartika meronta hebat, tubuhnya bergetar, air matanya bercucuran. "Lepas! Jangan sentuh aku!" teriaknya histeris. Hendra dan Rasya mencoba menenangkannya, namun semakin keras mereka menahannya, semakin kuat Kartika melawan.Lukman, yang menyaksikan kekacauan itu, melangkah mendekat. "Biarkan aku mencoba sesuatu," katanya tenang. Dia menarik napas dalam, memusatkan perhatian. "Kartika, lihat ke arahku. Tenanglah."Suaranya lembut, nyaris berbisik, mengalun seperti mantra. Lukman memulai proses hipnoterapi, mengarahkan Kartika untuk memejamkan mata. "Bayangkan tempat yang tenang, tempat di mana tidak ada rasa sakit..." Suaranya terus mengalir, menembus dinding kepanikan di kepala Kartika. Perlahan, perlawanan itu mereda, napasnya teratur, tubuhnya lemas. Dia tenggelam dalam alam bawah sadarnya.Dalam kondisi itu, Kartika mulai berbicara. Suaranya penuh luka, getir, mengungkap semua rasa sakit yang terpendam: penolakan, penghinaan, dan kehilangan. Setiap kata yang
Teriakan Hendra membangunkan Rasya dari tidur lelapnya. Pemuda itu mengucek mata dan keluar dari kamar, ia terkejut ketika melihat Kartika berdiri di tepi balkon, mengangkat tubuh kecil Cakra ke udara."Astaga!" Rasya berteriak panik. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah tangga. Hendra, yang lebih dulu mendekat, mencoba merebut bayi itu dari cengkeraman Kartika. Namun, Kartika menjerit, tubuhnya bergetar hebat."Lepas! Jangan sentuh dia!" teriak Kartika histeris. "Aku harus mengorbankan anakku... Supaya mereka berhenti menghantui kita!"Hendra sesaat, bingung dengan ucapannya. "Siapa mereka?" Pertanyaannya disambut dengan teriakan semakin keras dari Kartika."Kartika! Sadarlah! Tidak ada yang akan mengambil Cakra darimu!" katanya. Namun, Kartika semakin meronta."Mereka ada di sini!" jeritnya, menunjuk ke ruang kosong di seberang balkon. "Mereka ingin aku membayar kesalahan ayah angkatku! Mereka akan mengambil semuanya kalau aku tidak menyerahkan Cakra!" Kartika menangis sejadi
Kartika terhenyak, begitu pula Anis. Keduanya hanya sebatas, terbelalak, memelihara punggung Broto dan Purwati yang semakin menjauh.Tiba-tiba, suasana yang tenang itu terpecahkan oleh teriakan keras. "Arkhhhhh!" Kartika menjerit histeris, tangannya mengacak rambutnya, membuat beberapa helai rambut rontok, karena dia seperti menjambaknya. Suaranya mengiris udara, penuh kebencian dan kesakitan yang tidak terganggu. Anis terkejut, langkahnya terhenti sejenak.“Kau kenapa, Nak?” tanya Anis, suara penuh cemas, tangannya mengulurkan sentuhan lembut ke pundak Kartika, namun tidak mendapat respon."Aku benci h
Malam itu, Rasya tidak bisa memejamkan mata. Hawa dingin malam terasa menusuk tulang, tetapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Setelah beberapa menit berputar di atas kasur, ia akhirnya bangkit dan mengambil laptopnya. Ia berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.Jarinya lincah mengetik, memeriksa email yang masuk. "Ah, belum ada panggilan," gumamnya kecewa. Hampir seminggu berlalu sejak ia mengirim lamaran, tapi tak satu pun balasan diterima. Dengan mendesah pelan, ia menutup laptopnya.Tiba-tiba, suara tangisan Cakra memecah keheningan. Rasya segera keluar kamar, berniat mengecek keadaannya. Ia berjalan menuju tangga dengan langkah hati-hati, berusaha agar lantai kayu tua itu tidak berderit. Suara tangisan Cakra semakin keras, terdengar seperti memanggil-manggil, membuat bulu kuduknya meremang.Sesampainya di depan kamar Kartika, Rasya mengetuk pintu pelan sambil memanggil, "Kartika? Kau di dalam?" Namun, tidak ada jawaban. Hening menyelimu
"Diam dulu, Nak Rasya," suara Anis terdengar dingin dan penuh wibawa. Rasya mematung, yakin sepenuhnya bahwa ibunya telah dirasuki. Tatapan Anis yang tajam kini tertuju pada Broto. "Aku ingin berbicara dengan Broto," ucapnya perlahan, namun menggetarkan suasana."Akui Kartika sebagai putrimu, Broto," ujar sosok Lasmini melalui Anis. "Bagaimanapun, kita pernah menikah, meski hanya secara sirih." Pernyataan itu membuat semua orang di ruangan terkejut. Hendra membatu, sementara Broto tampak pucat pasi."Lasmini..." gumam Broto, suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan."Kartika adalah darah dagingmu! Putri yang kau tinggalkan demi menikahi Purwati yang kaya raya!" suara Lasmini menggema, membuat dada Broto terasa sesak."A-aku... aku..." Broto tergagap, tubuhnya bergetar hebat. "Maafkan aku, Lasmini. Ini semua bukan keinginanku," ujarnya dengan suara parau, air mata mulai mengalir deras."Tapi kau tetap meninggalkanku
Anis terpaku, tubuhnya terasa lunglai saat melihat foto Lisa yang muncul di layar ponsel putri Yayuk. Mata Anis terfokus pada wajah Lisa yang tersenyum, namun senyum itu kini terasa sangat asing dan menakutkan. Hendra yang sejak tadi hanya diam, mulai merasa ada yang janggal. Ia mendekat, memaksa putri Yayuk untuk menunjukkan gambar lainnya."Itu kan Lisa, Buk?" tanya Hendra dengan nada tinggi, suaranya menggema dalam keheningan. "Kenapa anak temanmu memiliki foto wanita sialan itu?!" Hendra menatap penuh amarah, matanya berapi-api, membuat suasana di sekitar mereka seketika tegang.Yayuk dan putrinya saling pandang, kebingungan meliputi wajah mereka. "Maksudnya Lisa wanita sialan, itu apa ya?" tanya Yayuk dengan hati-hati, mencoba menahan kegelisahannya.Rasya yang sudah tidak tahan, akhirnya membuka mulut. "Lisa itu mantan istri saya. Kami bercerai karena dia berselingkuh dengan seorang pria bernama Candra. Apa kalian kenal?" ucap Rasya dengan suara tegas, namun ada getaran amarah y
Hendra memandang serius ke arah Rasya dan Lisa, lalu memberi isyarat agar mereka bersiap untuk pergi. Kau sudah siap?" Hendra menatap Rasya lekat. “Kita harus segera ke pengadilan,” katanya tegas. “Urusan perceraian ini harus diselesaikan cepat, supaya Lisa bisa segera menghabiskan masa iddahnya dan menikah lagi. Dengan begitu, kau bisa lepas tanggung jawab.”Rasya menundukkan kepala, matanya terlihat kosong dan penuh beban. “Aku berharap begitu, Yah. Ini aib yang sangat berat, membuatku merasa dipermalukan.” Suaranya lirih, hampir tak terdengar.Hendra menghela napas, lalu menatap anaknya dengan tatapan penuh pengertian. “Kau masih kepikiran soal harta dan rumah?” tanyanya, menilai apa yang ada dalam pikiran Rasya. Rasya hanya mengangguk pelan.Hendra menggelengkan kepala, menepuk pundak putranya dengan lembut. “Ikhlas itu ilmu tingkat tinggi, Nak. Kalau kau bisa melalui semua ini dengan ikhlas, kau akan mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa.”Ras
Lisa membanting pintu dengan kasar, gemanya memenuhi rumah yang kini terasa dingin. Wajah kedua mertuanya tadi benar-benar membuatnya muak.“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada pria tua itu?” tanya Candra, memeluk Lisa dari belakang sambil mencium tengkuknya.Lisa melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menatapnya tajam, matanya penuh amarah dan kebencian. “Untuk apa? Apa dengan aku mengatakan semuanya, ibu dan ayahku bisa kembali hidup?” jawabnya dengan nada penuh luka.Hening sejenak, hanya terdengar napasnya yang berat. Lisa menatap ke luar jendela, tenggelam dalam rasa benci yang telah lama membara di hatinya.POV Lisa (Flashback)Masa kecilku penuh luka yang tak mudah dilupakan. Saat aku baru pulang dari sekolah, seorang teman menghampiriku dengan wajah cemas.“Lisa! Cepat pulang! Ayah dan ibumu bertengkar lagi!” katanya gugup.Aku hanya menghela napas, menguatkan diri. “Aku me
POV KartikaAku menggendong Cantika erat-erat di dadaku, berusaha menenangkan bayi mungil itu yang terus menggeliat. Suara tangis Cakra dari ranjang di kamar semakin memekakkan telinga.“Sayang, tangisanmu membuat ibu pusing! Diamlah!” Aku mendesis tajam. Kugendong Cantika menuju dapur, meninggalkan Cakra yang terus menangis. “Anak laki-laki tak boleh cengeng,” gumamku, menahan perasaan aneh yang mulai merayap.Namun langkahku terhenti. Mataku membelalak saat melihat sosok tinggi jangkung dengan mata merah menyala berdiri di sudut dapur. Bayangan itu tidak bergerak, hanya mengamatiku dengan kehadiran yang membuat napasku tercekat.“Dia lagi...” desisku gemetar. Tanpa pikir panjang, aku bergegas membawa Cantika bersembunyi di kolong meja makan. Tubuhku bergetar hebat saat bayangan itu mengerang keras, suaranya menggetarkan kaca jendela.“Graaaghhhh!” Dengan cepat, sosok itu melesat keluar melalui jendela dapur, meninggalkanku dalam kepanikan.Aku merangkak keluar dengan kaki gemetar, m