“Hari ini lo jadi pergi sama Bima, Ra?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Ares—atasan sekaligus sahabatnya di tempat ia bekerja, membuat lamunan Hera terburai.Pria itu tengah sibuk mengecek banquet event order (BEO) yang baru saja diserahkan Hera kepadanya. Sesekali melirik ke arah perempuan itu, mengernyit heran.“Jadi. Kenapa?” tanya Hera yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.“Tumben banget acaranya di Bali. Biasanya juga di Jakarta, kan? Dan tumben juga cowok lo nongol.” Ares menyandarkan punggungnya ke belakang. “Biasanya juga… dia sibuk, kan?”Hera menurunkan ponselnya, menatap lekat ke arah Ares yang sama sekali tidak menatapnya. “Res?” Baru kemudian Ares mendongak dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam Hera. “Gue heran kenapa kalian pada nggak suka sama Bima, sih?”Ares mengedikkan bahu. “Nggak suka gimana? Gue nggak pernah bilang kalau gue nggak suka sama dia, deh.”“Dari cara lo bersikap dan ngomong sekarang tuh, lo nggak bisa bohong sama gue, Res. Nggak
“Terus planning lo apa?” tanya Ares saat itu.Sejak tahu kabar bahwa Ikarus diusir dari apartemen, Ares langsung bergegas menemui sahabatnya itu.Ikarus mengedikkan bahu sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Menangkap pelakunya. Gue nggak mungkin tinggal diam kalau aset gue dicuri sama dia gitu aja, kan?”“Jangan bikin malu elah, Rus. Masa penipu kena tipu?” sahut Eros langsung.Ikarus mendecak pelan. “Penipu juga manusia, Ros. Lagian gue udah lama juga nggak main begituan.”“Well, untuk sementara waktu lo bisa pakai satu kamar di hotel, Rus.”“Nggak usah, Res. Gue bisa—” Lalu pandangan Ikarus tertoleh pada Eros yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Nggak ya, Nyet!” ujar Eros seolah tahu maksud dari tatapan Ikarus. “Gue tahu lo secinta itu sama gue, tapi gue nggak bisa nolongin lo kali ini. Lo tahu kan… kalau kosan gue udah mirip kayak kuburan dibandingkan disebut kamar? Single bed, Anjir. Kalau lo cewek, mah. Gue iyain aja! Masalahnya lo cowok!”“Tail lah! Gue bisa tidur di mana
“Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam, pria itu membalas pagutannya.Ikarus adalah pria normal. Seolah ada yang membangunkan sesuatu yang ada di dalam diri Ikarus, tubuh pria itu seketika memanas. Sebagian di dalam diri Ikarus memintanya untuk berhenti. Namun di sisi lain ia tidak ingin menghentikan apa yang baru saja akan dimulainya. Terlebih saat bibir Hera yang terasa manis membuat segalanya semakin menggila.Ikarus semakin memperdalam ciumannya. Satu tangannya melingkar di tengkuk leher Hera. Sementara satu tangan lainnya bergerak ke belakang, meremas pinggul Hera seiring dengan Ikarus yang menggeram pelan.Pun dengan Hera yang mulai menggerakkan pinggulnya, seolah bukan hanya Ikarus saja yang menggila, Hera juga merasakan hal sama.Bibir keduanya saling bertautan, li
HERA menggeliat di atas tempat tidurnya saat samar sekali ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Ia menarik selimut yang membalut tubuhnya, lalu ia mengerjapkan matanya.Perempuan itu menolehkan wajahnya, menatap jam yang ada di atas nakas. Pukul lima pagi. Lalu ia tersentak dengan matanya yang membelalak lebar. “Damn it!” makinya lirih.Hera menundukkan wajahnya, melihat bagaimana penampilannya yang masih polos dan hanya berbalutkan selimut tebal di tubuhnya. Perempuan itu menghela napas dengan gusar sembari menyugar rambutnya. “What the hell are you doing, Ra?”Ingatannya lantas membawanya kembali pada kejadian semalam. Bagaimana Hera marah dan kecewa dengan Bima, lalu ia pulang dalam kondisi yang setengah sadar setelah menenggak tequila beberapa gelas. Sampai akhirnya ia bercinta dengan sahabatnya sendiri.“Tolol lo, Ra!” Hera meraup wajahnya dengan gusar, ia abaikan rasa pengar sekaligus pening yang sejak tadi dirasakannya. “Mau ditaruh mana muka lo habis ini, hah?”Hera lant
“Kenapa telat?”Suara celetukan Ares yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya membuat Ikarus lantas menoleh ke arahnya.“Gue tadi ke tempat Eros dulu buat ambil baju.” Ikarus yang tadinya tengah sibuk membaca weekly report yang terpampang di layar monitor, lantas menghela napas panjang. “Gue udah bicara sama Hera.” Pandangan Ikarus kemudian tertuju ke arah Ares yang kini tengah menyandarkan bahunya di ambang pintu. “Mm… tapi dia menolak?”Ikarus mengangguk. “Iya.”“Alasannya?”“Dia menganggap kalau apa yang kita lakukan semalam itu cuma kesalahan satu malam. Dia nggak mau gue bertanggung jawab atas apa yang udah gue… renggut dari dia.” Ikarus menghela napas panjang. “Dia merasa nggak seharusnya kita melakukan hal itu semalam karena dia punya Bima.”“Dia yang memulainya, kan? Sebajingan-bajingannya lo, lo nggak kayak gue. Melakukan segala cara untuk merebut Eve dari cowoknya. Lo juga bukan Zeus yang terpaksa nidurin Artemis untuk nolongin dia dari desakan bokapnya.”“So, what
“Kak, gue lagi di restoran Asia dekat hotel lo. Lo balik jam berapa, sih? Kerja apa dikerjain?”“Berisik ya, Waf. Ini gue lagi siap-siap mau ke situ.”“Good. Gue mau minta traktir lo habis ini. Buruan.”Setelah mendengar ocehan adik perempuannya, Hera mengakhiri panggilannya dengan cepat. Ia lantas mengemasi barang-barangnya dan langsung bergegas meninggalkan ruangannya yang sudah sepi.Perempuan itu mengayunkan langkahnya menyusuri koridor. Sesekali ia melirik ruangan Ikarus yang masih terang benderang, lalu pandangannya tertuju pada paper bag dengan label ‘GUCCI’ di tangannya. Siang tadi Hera menyempatkan diri keluar hotel untuk membelikan kemeja baru untuk Ikarus.Ragu untuk memberikan kemejanya itu, Hera kembali mengayunkan langkahnya menuju ke lobi. Ia lantas melangkah menuju ke depan. Ditatapnya lalu lintas yang tampak ramai, perempuan itu memutuskan untuk berjalan kaki alih-alih membawa mobilnya.Begitu tiba di restoran Asia, Hera lantas mengedarkan matanya ke sekitar. Wafa yan
“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya.“Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.”“Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.”“Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati.“Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?”“Kenapa? Lo ngg
[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.][Kangen…]Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke b