“Terus planning lo apa?” tanya Ares saat itu.
Sejak tahu kabar bahwa Ikarus diusir dari apartemen, Ares langsung bergegas menemui sahabatnya itu.Ikarus mengedikkan bahu sembari meraup wajahnya dengan gusar. “Menangkap pelakunya. Gue nggak mungkin tinggal diam kalau aset gue dicuri sama dia gitu aja, kan?”“Jangan bikin malu elah, Rus. Masa penipu kena tipu?” sahut Eros langsung.Ikarus mendecak pelan. “Penipu juga manusia, Ros. Lagian gue udah lama juga nggak main begituan.”“Well, untuk sementara waktu lo bisa pakai satu kamar di hotel, Rus.”“Nggak usah, Res. Gue bisa—” Lalu pandangan Ikarus tertoleh pada Eros yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Nggak ya, Nyet!” ujar Eros seolah tahu maksud dari tatapan Ikarus. “Gue tahu lo secinta itu sama gue, tapi gue nggak bisa nolongin lo kali ini. Lo tahu kan… kalau kosan gue udah mirip kayak kuburan dibandingkan disebut kamar? Single bed, Anjir. Kalau lo cewek, mah. Gue iyain aja! Masalahnya lo cowok!”“Tail lah! Gue bisa tidur di mana aja, Ros. Gue—”“Good. Lo bisa tidur di hotel.” Eros menjentikkan jari. “Lagian lo sok-sokan mau diajak hidup susah. Jangan nambahin beban hidup gue bisa, nggak? Hidup gue udah berat!”“Sialan!”“Nggak usah mikir expenses, Rus. Gue bisa—”“Nggak, Res. Kalau gue stay di hotel terlalu mencolok. Manajemen bakalan mempertanyakan kenapa gue stay di sana, dan lo nggak mungkin pakai alasan demi pertemanan, kan?” tolak Ikarus masuk akal.“Kenapa lo nggak tinggal di tempatnya Ares aja?”“Bisa-bisa gue jadi babysitter-nya Astu sama Nira. Mana mereka lagi aktif-aktifnya pula.”“Di tempatnya Zeus?”“Babysitter-nya Tiff juga ujung-ujungnya!” “Fixed! Ke tempatnya Nyai aja!” ujar Eros tiba-tiba.Ikarus menghela napas panjang. “Jangan gila deh, Ros. Lo tahu kalau dia udah jadi tunangan orang, kan? Gue nggak mungkin tinggal di apartemennya Hera.”“Kenapa nggak, Rus?” sahut Ares dengan cepat. “Lo bukannya nggak setuju kalau Hera sama Bima, ya?”“Nggak gitu, Res. Gue lihat Hera bahagia gitu.”“Bahagia apanya? Lebih ke tertekan nggak, sih?” ujar Ares. “Malam ini mereka pergi berdua, by the way. MJ Entertainment ngadain acara di Nusa Dua Beach Resort dan Hera datang ke sana. Lo bisa manfaatin ini buat deketin Hera, Rus. Kapan lagi ya, kan?”“Nggak usah gila, Res.”“Lo harus gila dulu buat jadi pebinor, Rus. Setidaknya, gue di sini jauh lebih mendukung lo sama Hera katimbang Hera sama si Bajingan itu.”“Gue nggak dihitung?” sahut Eros dengan cepat. “Tapi ngomong-ngomong, Bima emang sebajingan itu?”“Feeling gue, sih. Tapi feeling gue nggak pernah meleset. Ya buat ngeyakinin itu, bisalah, Rus, lo cari tahu. Selama ini Hera selalu ada buat kita-kita, kan? She deserves better. Gue nggak suka sama cowok selebriti.”“Gue pikir-pikir lagi, deh. Gue pinjam mobil lo, Res.” Ikarus kemudian beranjak dari duduknya. “Titip barang-barang gue dulu, Ros. Besok kalau gue udah dapat tempat baru, gue bakalan ambil.”“Mau ke mana lo?” tanya Eros kemudian.Sementara Ikarus tidak menjawab. Pria itu berlalu begitu saja meninggalkan kedua sahabatnya yang masih termenung di tempatnya.Lima belas menit perjalanan menuju kota, Ikarus turun dari mobil setelah memarkirkannya. Untuk malam ini saja ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan satu-satunya tempat yang ia tuju adalah Despresso Bar.Pria itu mengayunkan langkahnya melewati pintu utama. Suara dentuman musik yang memekakkan telinga menjadi yang pertama yang menyambut kehadiran Ikarus.Ikarus melangkah mendekati konter bar. Ada beberapa kursi yang kosong di sana, ia lantas menarik satu bar stool di hadapannya dan langsung memesan satu gelas minuman.Saat Ikarus baru saja meneguk minumannya, ponselnya yang bergetar sudah lebih dulu menarik perhatian. Pria itu mengerutkan keningnya, sadar jika ‘Hera’ pasti sudah mengetahui berita tentang dirinya.“Lo di mana, Rus?” tanya Hera di seberang sana.“Kenapa?” Ikarus menghela napas sembari meneguk whiskey-nya.“Gue ke sana sekarang.” “Gue lagi di Despresso Bar.”Panggilan itu diakhiri sepihak oleh Hera. Alih-alih memikirkannya, pria itu memilih untuk tidak mengacuhkannya dan kembali menikmati minuman di hadapannya.Tiga puluh menit berlalu. Sampai Ikarus merasakan sebuah tepukan di bahunya. Ikarus kemudian menolehkan wajah dan mendapati Hera berdiri di sampingnya.Untuk sepersekian detik, Ikarus terpana dengan penampilan Hera yang tidak seperti biasanya. Perempuan itu mengenakan gaun hitam dengan potongan rendah. Di bagian belakang punggungnya hanya tertutupi tali spaghetti.“Lo mau masuk angin?” Ikarus lantas melepaskan jaket denim yang dikenakannya lalu mengangsurkannya kepada Hera. “Pakai!”Pun dengan Hera yang tidak menolak. Perempuan itu lantas menarik bar stool yang ada di samping Ikarus, lalu memesan satu botol tequila kepada sang bartender.“Jadi, apa yang terjadi sama lo?” tembak Hera langsung.“Lo jauh-jauh datang ke sini cuma mau nanyain itu. Bukannya lo ada acara hari ini?” tanya Ikarus mengalihkan perhatian.“Acaranya ngebosenin. Malas gue harus beramah tamah sama orang-orang yang nggak gue kenal.” “Bukannya lo pergi sama Bima?”Hera menghela napas pendek bersamaan dengan pesanannya tiba di hadapannya. Perempuan itu lantas menuangkan tequila yang baru saja dipesannya ke dalam gelas lalu meneguknya bersama dengan jeruk nipis.“Hari ini gue pengen mabuk.” Hera menyodorkan tequila-nya ke hadapan Ikarus, mengajak pria itu bersulang. “Merayakan hari kesialan kita.”Entah sudah berapa gelas yang Hera tuangkan pada gelasnya. Ikarus yang sejak tadi memperhatikan perempuan itu, menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu. “Lo lagi ada masalah?” tanya Ikarus penasaran.Hera menopangkan satu tangannya di dagu, matanya terlihat sayu. Menandakan bahwa kesadaran perempuan itu sudah hampir menghilang.“Lo minum terlalu banyak,” cegah Ikarus saat Hera hendak menuangkan tequila-nya lagi ke dalam gelas. “Gue antar lo balik sekarang!” Ikarus lantas bangkit berdiri, mengangsurkan sebuah black card miliknya kepada bartender. Baru setelah membayar, Ikarus menggandeng tangan Hera keluar dari Despresso Bar dan bergegas membawa perempuan itu pulang.“Lo kenapa, sih? Lo biasanya mabuk nggak sampai sebegininya, Ra. Ada apa?”Hera mengerjapkan matanya lalu memalingkan wajahnya ke samping jendela. “Bima, Rus…”“Kenapa dengan Bima?”Hera melemparkan kepalanya ke belakang dengan satu tangannya bertumpu di kening. Tidak mengatakan apa-apa. Sampai mobil yang dikendarai Ikarus tiba di basement apartemen Hera.Dengan langkah terseok, Ikarus menggamit lengan Hera lalu melangkah menyusuri koridor yang tampak sepi. Di sela langkahnya, getaran ponsel milik Hera yang menuntut diperhatikan sejenak membuat langkah keduanya terhenti.“Ada telepon, Ra. Nggak lo angkat?”Hera menggeleng dengan matanya yang sayu. “Palingan dari bajingan itu. Biarkan saja,” racau perempuan itu.Begitu masuk ke dalam unitnya, Ikarus mendudukkan Hera di sofa. Ia melangkah menuju ke dapur untuk mengambilkan minum perempuan itu.“Diminum dulu, Ra.”Hera kemudian meraih gelas minuman yang diangsurkan Ikarus lalu meneguknya dengan pelan.Tidak ada percakapan apapun yang hadir di antara mereka. Ikarus hanya menatap prihatin ke arah Hera yang tampak menyedihkan.“So, mau bicara sekarang?”“Kalian pasti akan menertawakan gue setelah ini.” Hera terkekeh pelan, menatap Ikarus dengan pandangan sayu. Perempuan itu sudah benar-benar kehilangan sebagian kesadarannya.“What’s going on, Ra? Lo bisa cerita sama gue, dan gue janji nggak akan menertawakan lo.”Hera menghela napas panjang lalu melemparkan punggungnya ke belakang sofa. Matanya mengerjap, menatap langit-langit unitnya dengan pandangan menerawang.“Gue mungkin terlalu naif, Rus. Gue mencoba untuk percaya bahwa segala usaha Bima terhadap gue memang tulus apa adanya. Tapi ternyata anggapan gue itu salah. Dia cuma memanfaatkan gue.” Hera tersenyum getir, kembali menatap lekat Ikarus yang kini juga menatapnya. “Apa menurut lo gue nggak pantas mendapatkan cinta yang tulus?” Perempuan itu menundukkan wajah. Jemarinya menyentuh cincin yang kini tersemat di jari manisnya. “Sampai gue kepikiran, gue salah apa selama ini sampai-sampai Bima tega melakukan semua ini sama gue.”“Lo nggak salah apa-apa, Ra. Dia yang brengsek karena udah memanfaatkan lo.”Hera tersenyum getir. Rasanya menyesakkan sekali saat mengingat apa percakapan Bima tadi. “Setidaknya, gue nggak mau tinggal diam, Rus. Gue harus kasih pelajaran ke dia.”“Lo butuh bantuan gue? Gue akan—”Namun belum Ikarus melanjutkan ucapannya, Hera sudah lebih dulu memangkas jarak yang ada di antara mereka, melekatkan bibirnya di atas bibir Ikarus.Ikarus sempat terkesiap, terkejut dengan gerakan Hera yang tiba-tiba. Namun saat Ikarus hendak menghentikan kegilaan Hera, ciuman itu justru semakin dalam dirasakannya. Perempuan itu sudah mengubah posisinya hingga kini berada di atas pangkuan Ikarus. Kedua lututnya mengurung tubuh Ikarus hingga membuat pria itu kesulitan bergerak.“Ra…” desis Ikarus lirih.“What?” Hera mengerjap, tidak lama. Karena setelah itu Hera kembali mencium bibir Ikarus dengan penuh kelembutan. Ada sisa-sisa aroma manis yang pekat berpadu dengan tequila di bibir perempuan itu.Entah karena efek alkohol dan kemarahannya terhadap Bima yang seketika menumpulkan akal sehatnya, Hera mengalungkan kedua tangannya ke leher Ikarus, merapatkan tubuhnya.“Please stop, Ra!”“No. I can't stop,” bisik Hera tepat di telinga Ikarus. “Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam.***“Help me please, okay?” Tangan Hera lantas bergerak ke belakang, menarik tali spaghetti dress yang dikenakannya hingga luruh ke pinggangnya.Untuk selama beberapa saat Ikarus terdiam. Sampai saat Hera kembali merapat, mencium Ikarus lebih dalam dan tajam, pria itu membalas pagutannya.Ikarus adalah pria normal. Seolah ada yang membangunkan sesuatu yang ada di dalam diri Ikarus, tubuh pria itu seketika memanas. Sebagian di dalam diri Ikarus memintanya untuk berhenti. Namun di sisi lain ia tidak ingin menghentikan apa yang baru saja akan dimulainya. Terlebih saat bibir Hera yang terasa manis membuat segalanya semakin menggila.Ikarus semakin memperdalam ciumannya. Satu tangannya melingkar di tengkuk leher Hera. Sementara satu tangan lainnya bergerak ke belakang, meremas pinggul Hera seiring dengan Ikarus yang menggeram pelan.Pun dengan Hera yang mulai menggerakkan pinggulnya, seolah bukan hanya Ikarus saja yang menggila, Hera juga merasakan hal sama.Bibir keduanya saling bertautan, li
HERA menggeliat di atas tempat tidurnya saat samar sekali ia merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Ia menarik selimut yang membalut tubuhnya, lalu ia mengerjapkan matanya.Perempuan itu menolehkan wajahnya, menatap jam yang ada di atas nakas. Pukul lima pagi. Lalu ia tersentak dengan matanya yang membelalak lebar. “Damn it!” makinya lirih.Hera menundukkan wajahnya, melihat bagaimana penampilannya yang masih polos dan hanya berbalutkan selimut tebal di tubuhnya. Perempuan itu menghela napas dengan gusar sembari menyugar rambutnya. “What the hell are you doing, Ra?”Ingatannya lantas membawanya kembali pada kejadian semalam. Bagaimana Hera marah dan kecewa dengan Bima, lalu ia pulang dalam kondisi yang setengah sadar setelah menenggak tequila beberapa gelas. Sampai akhirnya ia bercinta dengan sahabatnya sendiri.“Tolol lo, Ra!” Hera meraup wajahnya dengan gusar, ia abaikan rasa pengar sekaligus pening yang sejak tadi dirasakannya. “Mau ditaruh mana muka lo habis ini, hah?”Hera lant
“Kenapa telat?”Suara celetukan Ares yang baru saja muncul dari balik pintu ruangannya membuat Ikarus lantas menoleh ke arahnya.“Gue tadi ke tempat Eros dulu buat ambil baju.” Ikarus yang tadinya tengah sibuk membaca weekly report yang terpampang di layar monitor, lantas menghela napas panjang. “Gue udah bicara sama Hera.” Pandangan Ikarus kemudian tertuju ke arah Ares yang kini tengah menyandarkan bahunya di ambang pintu. “Mm… tapi dia menolak?”Ikarus mengangguk. “Iya.”“Alasannya?”“Dia menganggap kalau apa yang kita lakukan semalam itu cuma kesalahan satu malam. Dia nggak mau gue bertanggung jawab atas apa yang udah gue… renggut dari dia.” Ikarus menghela napas panjang. “Dia merasa nggak seharusnya kita melakukan hal itu semalam karena dia punya Bima.”“Dia yang memulainya, kan? Sebajingan-bajingannya lo, lo nggak kayak gue. Melakukan segala cara untuk merebut Eve dari cowoknya. Lo juga bukan Zeus yang terpaksa nidurin Artemis untuk nolongin dia dari desakan bokapnya.”“So, what
“Kak, gue lagi di restoran Asia dekat hotel lo. Lo balik jam berapa, sih? Kerja apa dikerjain?”“Berisik ya, Waf. Ini gue lagi siap-siap mau ke situ.”“Good. Gue mau minta traktir lo habis ini. Buruan.”Setelah mendengar ocehan adik perempuannya, Hera mengakhiri panggilannya dengan cepat. Ia lantas mengemasi barang-barangnya dan langsung bergegas meninggalkan ruangannya yang sudah sepi.Perempuan itu mengayunkan langkahnya menyusuri koridor. Sesekali ia melirik ruangan Ikarus yang masih terang benderang, lalu pandangannya tertuju pada paper bag dengan label ‘GUCCI’ di tangannya. Siang tadi Hera menyempatkan diri keluar hotel untuk membelikan kemeja baru untuk Ikarus.Ragu untuk memberikan kemejanya itu, Hera kembali mengayunkan langkahnya menuju ke lobi. Ia lantas melangkah menuju ke depan. Ditatapnya lalu lintas yang tampak ramai, perempuan itu memutuskan untuk berjalan kaki alih-alih membawa mobilnya.Begitu tiba di restoran Asia, Hera lantas mengedarkan matanya ke sekitar. Wafa yan
“Lo mau tidur di mana malam ini?” tanya Hera dengan hati-hati, sadar jika Ikarus masih marah kepadanya.Setelah berhasil membujuk Ikarus untuk tetap tinggal di apartemennya, keduanya duduk berhadapan di meja makan. Ada satu bungkus nasi goreng yang sempat dibeli Ikarus sebelum tiba di apartemen Hera. Masing-masing dari mereka memegang sendok di tangannya.“Kenapa lo bisa seceroboh itu, sih?” ujar Hera lagi. “Lo kan hacker. Lo seharusnya—” Bibir Hera terkatup rapat saat suaranya naik satu oktaf. “Maksud gue… kenapa lo bisa kecolongan gini, coba.”“Namanya juga halangan,” jawab Ikarus dengan datar. “Nggak ada yang tahu kapan gue ditimpa musibah.”“Terus rencana lo apa setelah ini?” tanya Hera dengan hati-hati.“Nggak tahu. Gue bahkan nggak pegang duit sepeserpun sekarang,” ujar Ikarus berbohong. Hera menghela napas panjang sembari melipat kedua tangannya di atas meja. Ia sedikit mencondongkan kepalanya ke depan agar bisa menatap Ikarus dengan lekat. “Miskin banget, ya?”“Kenapa? Lo ngg
[Mas, hari ini sibuk? Aku pengen ketemu.][Kangen…]Ikarus menghela napas panjang begitu mendapati pesan itu muncul di layar ponselnya. Ia mengurut keningnya yang terasa pening. Rasanya masih seperti mimpi. Alih-alih membalasnya, Ikarus memilih untuk segera bergegas bersiap-siap.“Gue nggak biasa sarapan.” Perkataan Hera yang tiba-tiba muncul di depan kamar yang ditempati Ikarus itu membuat pria itu hampir terlonjak kaget karenanya.“Ya ampun, Ra. Lo nggak usah ngagetin gue gitu bisa nggak, sih?”“Lagian kenapa, sih? Lo pikir gue hantu?” Hera mencebikkan bibir. Mereka sudah terlihat rapi dengan balutan kerja masing-masing. Pun dengan Ikarus yang langsung mengenakan kemeja pemberian Hera tanpa mau repot-repot mencucinya terlebih dahulu. “Nggak kebesaran kan kemejanya?” katanya sembari tersenyum. “Tapi bisa nggak sih, lo pakai kemeja yang beneran dikit?” Hera lantas mengayunkan langkahnya mendekati Ikarus, tangannya terulur ke depan, membenarkan posisi kerahnya yang sempat terselip ke b
“Belum balik?” Ikarus mendongakkan wajah dan mendapati Ares berdiri di ambang pintu ruangannya. “Mau ngopi dulu, nggak? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”Ikarus tidak menjawab namun ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Mereka mengayunkan langkahnya menuju ke Sixty Lounge—cafe yang ada di pinggir pantai, masih di bawah naungan Sixty Season Resort.Begitu tiba di Sixty Lounge, mereka kemudian memesan dua cangkir kopi dan langsung duduk di salah satu meja yang kosong. Ditatapnya kerlap-kerlip di seberang lautan sana. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.Lalu, “Gue tadi siang ketemu sama Nadine. Dua minggu lagi dia akan menikah.”“So?”Ikarus menggeleng. “Gue udah feeling lama sebenarnya, Res. Hubungan gue sama Nadine nggak akan berhasil. Lo masih ingat waktu lo minta gue untuk melepaskan dia dan memilih untuk deketin Hera, kan?” Pria itu menyesap kopinya. “Gue sempat memikirkannya.”“Memikirkan Hera?”Ikarus mengangguk. “Iya. Hanya saja waktu itu Nadine yang nggak mau gue l
“Karena lo nggak bilang gue mesti pakai dress yang gimana, gue ambil dress asal. Semoga aja gue nggak saltum.”Mendengar perkataan itu, Ikarus yang terlihat resah sejak tadi lantas menoleh ke belakang dan langsung tertegun.“Gimana? Gue udah cocok digandeng ke kondangan, kan?” ujarnya lagi. Perempuan itu memutar tubuhnya, seolah ingin memperlihatkan betapa sempurnanya penampilannya kali ini.Ikarus yang melihatnya lantas bangkit dari duduknya dan langsung menerbitkan senyuman kecilnya. “Perfect!”Sudah hampir satu bulan lebih Ikarus tinggal di apartemen Hera. Dan selama itu pula mereka menjadi partner yang saling menguntungkan satu sama lain.“Gue nggak habis pikir kenapa Bima nggak seriusin lo aja,” celetuk Ikarus sembari membelai bahu Hera. “Lo cantik, lo sempurna, lo juga… enak.”Mendengar kalimat kurang ajar Ikarus, Hera menatap pria itu dengan tatapan galak. “Bilang aja lo ketagihan!”Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas. “Lo juga, kan?”Hera lantas menundukkan wajahnya. Pura-
“Rus? Suar mana?”Hera yang baru saja tiba di kediamannya lantas mengedar ke sekitar. Wajahnya terlihat lelah, ditambah dengan ia tidak menemukan putranya di sana.“Pulang-pulang tuh, kenapa bukan suaminya yang dicariin lebih dulu, sih? Kamu sengaja mau bikin aku cemburu atau gimana?” protes Ikarus saat itu.Hera menghela napas lalu melangkah mendekati Ikarus yang terlihat santai di sofa. Pria itu tengah mengambil cuti hari ini. “Iya, iya.” Hera mencium pipi Ikarus dengan pelan. “Suar sekarang di mana? Kamu kok kelihatan rapi gini? Mau ke mana?”Bayi mungil yang kini usianya baru menginjak tujuh bulan itu seakan jadi obat lelah Hera. Setiap kali perempuan itu menghabiskan waktu seharian dengan pekerjaannya yang menumpuk, setelah melihat Suar, lelahnya tiba-tiba menguap begitu saja.“Tadi Mama sama Papa mampir ke sini. Terus Suar sama Budhe Harni diangkut sekalian. Katanya biar papa sama mamanya ada waktu berduaan.”Hera terkekeh lalu berhambur memeluk Ikarus. “Emang selama ini kita ng
“Terima kasih untuk waktunya, Pak. Saya berharap kerjasama ini bisa berlangsung lama.”“Sama-sama, Pak Ikarus. Kalau begitu saya pamit dulu.”Setelah menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu klien, Ikarus melenggang meninggalkan restoran. Tangannya merogoh saku celananya, lalu membelalak.‘32 missed called from Heraira Cassandra’‘10 missed called from Mama’Ikarus menghentikan langkahnya. Ia mendadak panik. Jemarinya kemudian bergulir, menekan tombol memanggil. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi.Lalu, “Ra! Kamu—”“Bang, ini Mama. Kamu di mana sih, Bang? Dari tadi Mama coba telepon, Hera juga udah telepon kamu puluhan kali. Kok nggak dijawab, sih?”Mendengar suara Bella yang panik, Ikarus ikut panik. “Maaf, Ma. Aku tadi lagi meeting. Ada apa?”“Buruan ke rumah sakit, Bang. Hera mau lahiran!”Ikarus membelalak. Lalu tanpa pikir panjang pria itu berlari meninggalkan restoran untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.“Mama temenin Hera dulu ya, Ma. Ini aku lan
“Rus… lagi ngapain?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Hera yang baru saja bangun dari tidurnya. Sejak pulang kerja tadi, Hera memang memilih untuk tidur lantaran tengah mengantuk.Ikarus menoleh lalu menurunkan laptop dari pangkuannya, merentangkan tangannya ke arah Hera agar segera menghampirinya.“Lagi ngerjain weekly report, Sayang. Kok bangun?”“Iya. Aku tadi mimpi buruk.” Hera lantas berhambur memeluk Ikarus, menyurukkan wajahnya di ceruk leher suaminya.Masih dengan mengenakan pakaian kerjanya, Ikarus mengusap punggung Hera dengan lembut, kemeja yang dikenakannya basah karena keringat. “It’s okay… mimpi kan cuma bunga tidur, Ra. Kamu baik-baik saja sekarang.”Lama Hera berdiam diri di dalam dekapan Ikarus. Perempuan itu kemudian menarik diri, lalu menatap Ikarus dengan lekat.“Rus…”“Hm?”“Kayaknya Dede kangen sama kamu, deh.”Ikarus tercenung selama beberapa saat. Pria itu kemudian menarik ujung bibirnya ke atas lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir Hera. “Bentar ya
“Hai, Rhe… gue datang.” Hera menaruh sebuah buket bunga lily di atas pusara Rhea. Menatap lekat batu nisan yang bertuliskan ‘Sorhea Winona’ itu dengan perasaan berkecamuk. Satu tahun telah berlalu setelah kepergian Rhea. “Lo apa kabar? Lo baik-baik saja di sana, kan?”Hera menggigit bibirnya bagian dalam. Menahan desakan air di pelupuk matanya. Rasanya masih seperti mimpi. Baru kemarin Hera masih tertawa bersama Rhea, namun ia tidak menyangka jika Tuhan telah mengambil sahabatnya satu tahun yang lalu.“Rhe, bentar lagi lo bakalan banyak keponakan.” Hera mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. Tak mampu menghalau air matanya yang jatuh begitu saja. “Eve bentar lagi lahiran, dan Eros… dia juga bahagia seperti pesan terakhir lo. Bentar lagi dia juga bakalan jadi seorang ayah.” Perempuan itu kemudian menoleh ke samping, menatap Ikarus yang sejak tadi berdiri di sisinya. “Ada banyak hal yang pengen gue ceritakan sama lo, Rhe. Minggu lalu gue dapat kejutan dari Ikarus, dia beli rumah
“Sayang? Masih lama?”Hera yang baru saja keluar dari kamar mandi lantas terkekeh geli. “Ini lho, masih handukan. Mau ke dokter handukan gini?”Ikarus meraup wajahnya dengan gusar. Senyumnya terbit di wajahnya begitu saja. Pria itu kemudian melangkah mendekati Hera yang kini perutnya sudah membola. Usia kandungannya sudah menginjak bulan ketujuh, membuat perempuan itu terlihat menggemaskan. “Aku nggak sabar pengen lihat perkembangan jagoan kita.” Ikarus melingkarkan tangannya ke pinggang Hera, memeluk perempuan itu dari belakang. “Wangi banget, sih?”“Awas dong, Papa. Mama mau ganti baju dulu, nih. Gimana bisa ganti kalau kamu peluk gini, coba? Katanya nggak sabar pengen lihat jagoannya.”Ikarus melepaskan diri lalu terkekeh. “Iya, iya. Aku tunggu di depan kalau gitu, ya? Tapi jangan lama-lama.”“Iya.”Setelah menunggu lima belas menit, akhirnya Hera selesai bersiap-siap. Keduanya berjalan meninggalkan unit mereka untuk segera bergegas menuju ke rumah sakit detik itu juga.Tepat saat
“WHAT?!? Riri hamil anaknya Eros?” Mendengar perkataan Ikarus barusan, membuat Hera seketika membelalak. “Kamu udah pastikan kebenarannya?”Ikarus mengangguk. “Aku juga sempat kaget tadi. Udah gitu Ares ngamuk di kafe sampai bikin Eros babak belur.”“Tapi Eros nggak apa-apa, kan?”“Nggak apa-apa, kok. Untungnya Riri keluar dari ruangan dan menenangkan Ares.”“Ini kayak bukan Eros banget nggak, sih?” Hera menghela napas pendek. “Kayaknya aku harus nemuin Eros sekarang, deh.”“Sekarang banget?” Ikarus melepas kemeja yang dikenakannya, “tapi udah malam, Sayang.”Hera kemudian turun dari ranjang tidurnya lalu bergerak mendekati lemari pakaian untuk mengambil baju ganti di sana. “Masih jam delapan, kok. Aku harus tahu kebenarannya. Kita tahu kalau selama ini Eros belum bisa ngelupain Rhea, kan? Dan kita tahu hal itu.” ujar Hera terlihat tidak percaya.Ikarus menghela napas. “Aku anterin, ya?”“Nggak usah, Rus. Kamu juga barusan pulang, kan? Kamu pasti capek juga.”“Nggak ada kata capek ka
Hera hanya bisa menggelengkan kepalanya begitu tiba di Bali Galeria Mall. Suasana mall sore itu terlihat cukup ramai mengingat bahwa mereka berkunjung saat akhir pekan.“Emang kita mau nonton apa sih, Bang?” tanya Bella saat mereka sudah melangkah memasuki mall.Ikarus terkekeh. “Ada film Marvel, Ma. Bukan film horor, kok, jadi Mama nggak usah khawatir.”Bella menghela napas lega. “Sumpah, ya. Seumur-umur, Mama belum pernah double date begini, mana yang ngajak double date anak sendiri pula.”Ikarus kembali tertawa. “Kapan lagi bisa ngajak Mama sama Papa kencan barengan, kan?”Bella dan Kairav hanya menggelengkan kepalanya. Lalu mereka berjalan menaiki eskalator untuk menuju bioskop. Beruntungnya Ikarus sudah sempat membeli tiket nontonnya secara online, sehingga mereka tidak perlu mengantri lagi begitu mereka tiba di gedung bioskop.“Ra, kayaknya habis nonton nyalon bentaran seru deh, ya?” celetuk Bella saat itu.“Ah iya, Ma. Aku juga kayaknya pengen banget creambath, deh. Semenjak h
“Makan malam di luar, yuk? Sekalian aku pengen ngajak nonton kamu.” Ikarus menyurukkan wajahnya di ceruk leher Hera. Alih-alih menunggu tanggapan istrinya Ikarus kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi kamu lagi mager banget, ya? Masih ngerasa mual?”Suara Ikarus sejenak membuat Hera yang tadinya masih terpejam kini membuka matanya.Ini hari Sabtu, dan mereka libur. Seharian ini Hera menghabiskan waktunya dengan bergelung di bawah selimut. Entah karena hormon kehamilannya, Hera benar-benar malas untuk melakukan sesuatu akhir-akhir ini.“Mau nonton apa? Tumben banget, sih?” tanya Hera dengan malas.“Kok tumben? Emangnya salah kalau aku ngajak kamu ‘pacaran’ istri sendiri? Udah lama banget kayaknya kita nggak jalan berdua, kecuali kalau lagi makan, Ra. Ya, kan?”Hera memutar matanya lalu terkekeh geli. “Kamu kenapa, sih? Aneh banget tahu, nggak.”“Aneh kenapa, coba?”“Ya aneh aja. Nggak kayak biasanya kamu begini.” Hera tersenyum kecil, lalu mendaratkan kecupan singkat di pipi Ikarus. “Tad
“Kamu emang sengaja sekongkolan sama Eros, kan? Makanya bisa tahu kalau aku di sini?”Ikarus terkekeh lalu menyelipkan anak rambut Hera ke belakang telinga. Dibandingkan dengan sebelumnya yang masih merasa kesal, Hera sudah terlihat lebih tenang sekarang.Ikarus menghela napas. “Kenapa pakai acara kabur-kaburan segala, coba? Kan aku jadi khawatir sama kamu, Ra.”“Siapa coba yang memulai? Salah siapa pakai acara ngambek-ngambek nggak jelas gitu.”“Ya kan aku nggak suka kalau ada cowok yang deket-deket sama kamu, Ra. Mana dia kelihatan banget kalau tertarik sama kamu pula. Siapa yang nggak kesal, coba?”“Aku nggak akan berpaling sama kamu, Rus. Jadi kamu nggak usah khawatir. Lagian siapa yang bakalan naksir kalau tahu aku udah bersuami dan sekarang aku lagi hamil muda gini, hm?”“Dia nggak tahu kalau kamu lagi hamil, by the way.” Ikarus mendecak, menoleh dan memperhatikan Eros yang tengah duduk di bibir pantai, menikmati matahari terbenam yang terasa sempurna seorang diri.“Kan! Mulai l